Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. CAMILAN

"Astaghfirullah!"

Bruuk!

Pekikikan Jatu disusul dengan bunyi berdebam dari tubuh yang membentur lantai. Begitu terkejutnya hingga ia tak menyadari masih ada dua anak tangga lagi yang harus dijejaki sebelum tiba di lantai dasar.

Sementara sosok yang tengah duduk di sofa sambil mengotak-atik iPad, hanya termangu. Antara terkejut dan bingung. Sungguh, gerakan ceroboh tadi sangat jauh dari kesan anggun.

Jatu segera berdiri, menggosok-gosok telapak tangan yang terasa perih. Jatuhnya memang tidak terasa terlalu sakit, tapi hatinya teriris saat bangkit. Malu setengah mati. Ia bahkan sempat berpikir untuk pura-pura tak sadarkan diri. Namun, urung karena ragu akan mendapatkan pertolongan dari pria yang tengah lekat memandangi.

Dengan langkah-langkah pincang, Jatu berjalan mendekat. "Ada apa, ya, Pak?"

Bukannya menjawab, pria itu malah balik bertanya, "Kamu tadi ngapain?"

Pertanyaan itu menghentikan langkah Jatu. Rasa-rasanya ia ingin melempar slippers yang dikenakan ke wajah datar itu. Apa pria di sana tidak lihat kalau tadi ada yang jatuh gara-gara terkejut? Apa dipikirnya ini salah satu gerakan dari debus?

Jatu mendengkus. "Menurut bapak?" ketusnya.

"Praktek kungfu," jawab Titan tanpa rasa bersalah.

'Benar, kan? Harusnya sandal ini sudah melayang dari tadi,' rutuk Jatu dalam hati. Gadis itu lalu melanjutkan langkah menuju sofa tempat Titan berada.

Di ruangan berukuran 6 x 10 meter itu, Terdapat empat buah sofa panjang yang masing-masing dilengkapi dengan sebuah meja. Dengan keberadaan televisi berukuran 36 inchi di salah satu sudut, ruangan itu dapat berfungsi sebagai tempat menerima tamu, kumpul, sekaligus tempat untuk menonton bareng.

Akan tetapi, pekan UAS menyebabkan ruangan yang biasanya ramai itu mendadak sunyi senyap. Para penghuni tengah sibuk belajar di kamar masing-masing. Hanya ada seorang satpam yang tengah serius menonton pertandingan sepak bola Indonesia versus Malaysia.

Titan duduk di sofa yang terletak jauh dari sang satpam. Pembicaraan yang akan dilakukan cukup serius dan membutuhkan fokus. Dia juga tak ingin ada orang lain yang mendengarnya.

Jatu menarik kursi plastik tunggal yang ada di ruangan itu, lalu meletakkannya di hadapan Titan. Meskipun ingin, rasa-rasanya terlalu canggung jika harus duduk sesofa bersama sang dosen. Apalagi kalo ada penghuni lain yang memergoki.

"Kenapa ke sini, Pak?" tanyanya setelah duduk sempurna.

"Nggak boleh?" Titan malah balik bertanya.

Jatu mengelus dada. Setelah siang tadi diabaikan, rasa-rasanya kunjungan malam hari ini terlalu membingungkan. "Boleh, sih. Tapi, aneh aja."

Titan menatap lekat ke mata Jatu. "Saya mau ngomong serius sama kamu," ucapnya dingin.

Dada Jatu terasa bergemuruh mendengar kalimat itu. "Ngomong serius?" ulangnya dengan suara lirih.

Seserius apakah obrolan yang akan dilakukan? Apakah sang dosen akan memintanya menjadi pacar? Jatu bertanya-tanya dalam hati. Tiba-tiba ia tersadar. Jika begitu, ia harus melakukan satu hal penting terlebih dulu.

Jatu melihat ke arah baju yang dikenakan. Kaos lengan panjang hitam yang warnanya sudah pudar hingga lebih terlihat seperti warna abu-abu. Dengan bawahan training, bekas seragam olahraga SMA. Dipadu jilbab instan yang membuat wajahnya tampak bulat.

Gadis itu tiba-tiba bergidik pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin pembicaraan serius tersebut dilakukan oleh dua orang yang penampilannya berbeda 180 derajat? Titan yang necis dengan sweater putih dan jeans, sedangkan dirinya terlalu apa adanya.

"Saya boleh ganti baju dulu, nggak?" tanya Jatu ragu-ragu.

"Nggak usah!" cegah Titan buru-buru, lalu mencermati Jatu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Penampilan kamu nggak akan merubah apa yang mau saya sampaikan."

Jatu mengatupkan bibir, lalu menepis pikiran yang tadi sempat mampir. Apa yang akan dibicarakan sang dosen sudah pasti jauh dari khayalnya. Tentu saja.

"Bapak mau bicara apa?" tanya Jatu pelan.

"Isi NRM sama password kamu." Titan menyerahkan iPad yang sedari tadi digenggam.

Jatu menerima benda pipih itu dengan bingung. Di layar telah terpampang halaman khusus mahasiswa yang ada website kampus. Dengan ragu, gadis itu memasukan nomor registrasi mahasiswa beserta password yang diminta. Selanjutnya, ia mengembalikan iPad tersebut kepada sang pemilik sambil bertanya,

"Buat apa, Pak?"

"Saya ke sini sebagai pembimbing akademik," jawab Titan sambil memainkan jari-jarinya di layar. "Oh iya!" serunya sambil merogoh saku belakang. "Seduhin! Gulanya dua sendok."

Jatu melirik pada dua sachet kopi instan yang sudah diletakkan di meja. Kedua-duanya adalah kopi hitam, tanpa campuran susu, krim, maupun gula. Seketika ia bergidik. Meskipun penyuka kopi, tapi kopi hitam bukan seleranya.

"Anak BEM biasa minum kopi hitam, kan? Saya dulu juga di BEM," jelas Titan saat menangkap tatapan heran di mata mahasiswi itu.

Jatu mengerutkan bibir. Memang, kopi hitam adalah andalan anggota BEM agar mata tetap terjaga saat begadang untuk adu pikiran, tapi tidak termasuk dirinya. Anggota BEM yang lain....

Tiba-tiba, Jatu menemukan kenyataan lain yang bisa dijadikan peluru. "Mantan anak BEM, tapi kok julid sama mahasiswa yang demo," sindirnya.

Titan mendelik, tapi urung membalas sindiran tersebut. Dia kembali menatap iPad. Ada hal penting lain yang harus dipikirkannya.

"Memang, sih, idealisme akan luntur ketika berbenturan dengan kemapanan. Banyak kok contohnya. Pejabat-pejabat yang ada di pusat, di daerah, bahkan di kampus. Dulunya kan banyak aktivis yang katanya menyuarakan keinginan rakyat kecil. Tapi sekarang? Pada melempem!" Jatu berorasi.

Titan meletakkan iPad di pangkuan, lalu bersedekap. "Susah banget, ya, nyeduh kopi doang?" tegurnya.

Pria itu kembali mengalihkan pandangan ke layar pipih. Masih dengan hati yang menggerutu, Titan menyusuri tabel-tabel di layar. Berulang kali dia meneguhkan hati agar tidak goyah dan mengingkari niat awal.

Dengan helaan napas berat, Jatu pun mengambil dua sachet kopi itu. Lalu dengan langkah pincang menuju dapur yang juga berada di lantai dasar.

"Sekalian camilan!" Tanpa berpaling dari iPad, Titan menambah permintaan.

Mendengar perintah itu, Jatu mendengkus. 'Tamu yang merepotkan,' gerutunya dalam hati.

Lima menit kemudian, Jatu kembali dengan dua gelas kopi dan dua bungkus mie instan rasa kari ayam. Ia meletakkan seluruh suguhan di meja, lalu kembali duduk manis di kursi plastik.

"Kamu ngapain aja di kelas? Sampai nggak bisa dapat IPK 3," semprot Titan ketika Jatu baru saja duduk. Pria itu menyerahkan iPad lalu mengambil secangkir kopi yang telah terhidang.

"Pahit!" pekiknya tertahan. Titan segera menyambar gelas satunya. Dia menduga, mahasisiwi itu sengaja tidak memberi gula hanya pada gelas miliknya.

"Pahit juga," keluh Titan setelah mencicipi kopi yang lain. "Emang nggak ada gula?"

Jatu mesam-mesem. Rasanya gengsi jika harus berkata jujur bahwa stok gula di dapur sudah habis. Gadis itu membasahi bibir. "Saya takut diabetes, kalo minum manis sambil ngeliatin bapak," kelitnya.

"Kok bisa?" Titan mengerutkan kening.

Jatu melebarkan senyum. Maklumi ketidakmampuan sang duda untuk memahami kata-kata rayuan. Mungkin, pria itu sudah lama tidak mendapatkannya.

"Soalnya, bapak udah terlalu manis," ucap Jatu sambil menunduk, pura-pura tersipu.

Titan mendelik. Antara bahagia, juga keki. "Kenapa punya saya juga pahit? Kamu pikir saya juga bakal diabetes gara-gara liat kamu?" cecarnya, menutupi perasaan salah tingkah.

"Emang bapak nggak suka ngaca? Di kamar, kamar mandi, spion, atau di kampus," berondong Jatu. "Kalo bapak diabetes gara-gara keseriangan ngaca ditambah minum gula, gimana?"

Rahang Titan menegang. Ada rasa kesal sekaligus senang. Namun, dia bingung harus mengekpresikan yang mana. Tiba-tiba, pria itu teringat pada camilan yang diminta. Segera dipalingkan pandang ke arah meja. Sedetik kemudian, dia tertegun.

"Indomienya," Titan meraih bungkusan kuning itu, "kok nggak dimasak?"

Jatu mencibir. "Katanya mantan anak BEM. Pasti tau dong camilan favorit kalo lagi ngobrol."

Titan menghembuskan napas. Merasa tersentil oleh ejekan mahasiswi itu, dia pun membuka bungkus mie instan di genggaman. Diremasnya bungkusan tersebut seolah-olah menyalurkan emosi yang tertahan, kemudian dimasukkan bumbu yang tersedia. Pria itu pun melahapnya dengan penuh kenikmatan, ingin membuktikan bahwa dirinya profesional.

Jatu menyaksikan adegan demi adegan dengan senyum terkulum. Rasanya puas karena telah membalas perlakuan dosen itu.

Setelah beberapa saat menikmati mie mentah, Titan mengulurkan tangan. Isyarat agar iPad-nya dikembalikan. "Semester depan, kamu ambil makul apa aja?"

"Skripsi sama sidang doang." Jatu mengingat-ingat. "Itu juga kalo semester ini nggak ada makul yang dapat D," sambungnya sinis.

Semua mahasiswa tahu, tidak mengikuti ujian akhir semester pada mata kuliah Titan, secara sederhana berarti mengulang mata kuliah tersebut di semester lain. Padahal, dosen-dosen lain masih memberikan toleransi. Paling tidak, tugas tambahan atau remedial untuk mendapatkan nilai minimal C.

"Dengan asumsi semua mata kuliah di semester ini dapat B, IPK kamu masih mentok di 2,9 sekian. Masih terlalu jauh." Titan mengabaikan sindiran Jatu.

"Jauh ke mana, Pak?"

Tanpa menjawab pertanyaan Jatu, Titan pun melanjutkan. "Skripsi kamu nanti harus dapat A. Terus, semester depan kamu juga harus perbaiki beberapa makul. Karena cuma boleh ambil maksimal 12 SKS di luar skripsi, berarti baiknya kamu ambil..." Titan menelusuri tabel-tabel di layar, "Kalkulus Integral, Geometri Analitika, sama Aljabar Abstrak."

Mulut Jatu menganga. Masih mencerna sekaligus tak percaya pada kalimat-kalimat yang baru didengar. "Kalkulus Integral sama Geometri Analitika saya memang C. Tapi, Aljabar Abstrak saya kan udah dapat B. Masa ulang lagi?" protesnya.

"Kami harus dapat A buat angkat IPK kamu. Bobotnya 4 SKS."

"Berarti, bapak juga bakal ngasih A buat Kalkulus Integral, dong?" Jatu mengangkat-turunkan kedua alis sambil tersenyum lebar.

Titan melotot. "Sejak kapan saya murah hati ngasih nilai A?" tanyanya tajam yang membuat Jatu tertunduk seketika.

Seluruh mahasiswa tahu, Titan paling pelit masalah nilai. Tidak pernah sekalipun dia memberikan nilai A untuk mahasiswanya. B adalah nilai tertinggi yang bisa didapatkan. Sementara yang lain lebih banyak mendapat C atau D.

"Tapi, kenapa saya harus ngulang-ngulang banyak buat ngangkat IPK sih, Pak?" rajuk Jatu. Mengulang mata kuliah sembari mengerjakan skripsi, baginya adalah hal yang luar biasa sulit.

Titan berdecak sambil geleng-geleng. "Emang kamu nggak tahu? Biar bisa lanjut S2 di Korea, IPK kamu minimal harus 3,2."

"Hah?" Jatu mebelalak. "Kok tinggi amat? Syarat beasiswa aja cuma 3,00."

"Kamu nggak pernah nyari info?" selidik Titan.

Gadis itu menggeleng pelan. Selama ini, ia berpikir bahwa persyaratan beasiswalah yang paling berat. Ternyata, untuk kuliah di Korea pun, syaratnya tidak mudah. Ia memang belum mencari informasi detail tentang persyaratan kuliah di negara tersebut. Jika tahu seperti ini, ia pasti lebih serius belajar sejak semester satu.

Jatu tertunduk lemas. Tubuhnya lunglai seperti vertebrata yang kehilangan tulang belakang. Rasa-rasanya impian kuliah di Korea terancam musnah. "Gimana kalo saya nggak dapat 3,2, Pak?"

"Kamu pasti bisa," ucap Titan meyakinkan. "Belajar lebih serius dan ...."

"Dan apa, Pak?" tanya Jatu penuh rasa ingin tahu.

"Hormat sama dosen-dosen. Termasuk ke saya," jawab Titan. Pria itu lalu kembali berpaling ke layar iPad.

"Apa hubungannya? Emang hormat ke dosen bisa bikin nilai bagus?" cibir Jatu.

Titan melirik, lalu menghela napas. "Buktiin aja sendiri," ujar pria itu. "Setidaknya, kamu harus belajar hormat ke calon suami."

Mendengar kalimat terakhir, Jatu segera mengucek-ngucek telinga. "Calon suami?" ulangnya, khawatir salah dengar.

"Kamu udah nggak minat nikah sama saya?" tanya Titan ringan, tanpa mengalihkan pandang pada Jatu.

Jatu tersentak. Mungkinkah ia salah dengar? Atau hanya halusinasi? Namun, kalimat tadi terlalu jelas untuk menjadi sekedar khayalan.

Gadis itu segera menggeser kursi, memangkas jarak dari Titan. Lalu, ia mencondongkan tubuh ke arah sang dosen, menopang dagu dengan dua telapak tangan sambil kembali mengerjap-ngerjapkan mata.

"Bapak mau jadi suami saya?" tanyanya memastikan.

Wajah Titan bersemu merah. Dia semakin berpura-pura sibuk dengan iPad di genggaman. "Hanya kalo kamu dapat beasiswa," tukasnya dingin.

"Loh, kok?" Jatu menegakkan tubuh. "Kalo nikah sama bapak saya nggak perlu ngajuin beasiswa, dong!" protesnya.

Titan menatap mata Jatu. "Kalo mau kuliah di Korea, kamu harus dapat beasiswa!" tegasnya.

"Dasar pelit!" gerutu Jatu dengan suara pelan, tapi masih terdengar oleh Titan.

Pria itu segera berdehem. "Hor-mat," ucapnya penuh penekanan.

Mendapat respon itu, Jatu cengar-cengir. Kembali teringat pesan Titan. Namun, hatinya masih mengganjal. "Emang bapak nggak punya uang, ya?" tanya gadis itu dengan suara pelan. Tiba-tiba merasa iba dengan kondisi keuangan sang dosen.

"Punyalah!" jawab Titan sengit. "Tapi saya mau kamu bangga karena bisa kuliah dengan usaha sendiri. Selain itu, saya mau kamu juga bisa jadi role model buat Amore."

Mendengar alasan itu, Jatu terharu sambil mesam-mesem. Ternyata di balik sikap dinginnya, Titan mempertimbangkan sesuatu secara detail.

Setelah beberapa detik mesam-mesem sendiri, gadis itu teringat satu hal penting. Ia pun mendongak. "Kalo saya nggak dapat beasiswa, gimana?"

"Harus bisa!" Titan menegaskan. "Biar saya bisa hemat gula di rumah karena minum kopi sambil liat kamu," sambungnya dengan volume suara yang jauh lebih pelan.

Jatu terkesiap, berusaha menahan bahagia yang membuncah. "Apa? Apa?" desaknya minta pengulangan. Baru kali ini ia mendengar sang dosen melontarkan kalimat rayuan. Rasanya aneh, sekaligus manis.

"Nggak ada siaran ulang!" tolak Titan sambil mematikan iPad. "Saya mau pulang biar kamu bisa belajar."

Jatu mengulum senyum. Malam ini mungkin ia akan begadang. Namun, bukan karena fokus belajar.

'Ah, kenapa juga si duda harus bikin pernyataan saat pekan UAS. Kalo nilai-nilainya jelek, Pak Titan harus tanggung jawab,' gerutu Jatu, sambil menahan rasa bahagia.

Setelah menenggak habis kopi pahit, Titan pun pamit sambil menenteng plastik mie instan. Sepertinya itu adalah camilan paling enak yang pernah dicoba. Mungkin malam ini dia akan menikmatinya sebutir demi sebutir.

Mobil Titan sudah pergi lebih dari lima belas menit yang lalu. Namun, Jatu masih bertahan di teras kost. Mengulang adegan demi adegan yang tadi telah berlangsung.

Hingga sebuah mobil masuk ke pekarangan. Semakin masuk hingga berhenti di depan rumah pemilik kost. Jatu mengenali mobil tersebut. Maka untuk memastikan, ia berjalan mendekat.

Dari kaca depan mobil, Jatu mengintip ke dalam. Didapatinya wajah kikuk dari sang pengemudi juga penumpang di samping. Mendadak gadis itu rebahan di kap mobil. Ada rasa lega menyelusup dada. Sepertinya, ia akan butuh banyak camilan untuk mendengar sebuah kisah panjang.

🌹🌹🌹🌹🌹

Cie...cie....
Yang mau hemat gula.


Btw, ayo tebak! Siapakah yang ada di dalam mobil?



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro