Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28: Lompatan tupai

Setelah drama Adjie dan Ariel selesai, Martha baru bisa bernapas lega ketika melihat Adjie memaksa Ariel dengan segala gombalan dan rayuannya yang edan itu. Sampai-sampai, katanya Adjie membelikan mobil Lamborghini Aventador putih metalic yang dia pesan untuk Ariel—hanya agar Ariel mau untuk pulang ke Jakarta bersamanya.

Lelah, urusannya dengan Angkasa saja belum selesai, ditambah-tambah drama rumah tangga Adjie.

Martha jadi berpikir, jangan-jangan dia akan seperti itu jika nanti menikah.

"Kita nggak akan begitu," sahut Angkasa di belakang dan memeluk Martha.

Martha terkesiap sampai-sampai dia bingung menerima kedua lengan besar Angkasa yang memeluknya tiba-tiba. "Apa?"

"Kamu masih pikirin Ariel dan Adjie yang bertengkar hebat kayak tadi?"

Martha berdecih geli. "Mereka sudah sering begitu, bahkan sebelum menikah sudah sering ribut."

"Oh ya? Kalau begitu, kita nggak akan. Aku punya banyak stok kesabaran buat menghadapi kamu," ujar Angkasa kepadanya.

Martha mendengus, mengusap lengan Angkasa yang berbulu dan tersenyum tipis. Dia menyukai waktu-waktu bersama Angkasa seperti ini, tidak terburu-buru dan sepertinya memang harus menata kembali waktu pengenalan yang sebenarnya masih benar-benar belum pernah Martha lakukan.

Tapi tetap saja, Angkasa pernah sampai segila itu kepadanya dan mengatakan hal...

Martha langsung berbalik dan menjauh dari Angkasa, lalu kedua mata Martha menatap Angkasa dengan panik.

Menyadari ada yang berubah dari cara tatapan Martha, Angkasa mendekat menarik tangan Martha dan mengusap lengan Martha yang begitu dingin. "Kenapa?"

"Sa, aku belum pernah tidur sama lelaki mana pun semenjak tidur bersama kamu,"

"Apa?" tanya Angkasa terkejut karena ucapan Martha yang tiba-tiba.

Martha mengangguk cepat dan kelihatan panik saat menjawab. "Iya, aku belum pernah tidur sama siapa-siapa lagi, aku juga nggak pernah menerima laki-laki lain untuk tidur dengan aku, Sa. Aku nggak semurah yang kamu pikirkan untuk menerima lelaki lain untuk tidur bersama."

"Martha,"

"Sa,"

Keduanya saling bertatapan satu sama lain hingga Martha tahu dia akan berubah menjadi gila dalam hitungan waktu.

"Aku..." Martha tergugu.

Aku tidak mau berhubungan dengan perempuan seperti kamu, Martha.

Berapa pria yang sudah pernah kamu terima untuk tidur bersama? Pasti tidak hanya aku, kan? Ya... bagi perempuan sepertimu yang kelihatannya tidak akan pernah bisa menghormati suami, aku ragu kalau harus terus melanjutkan hubungan bersama kamu.

Aku butuh wanita yang bisa menghormatiku sebagai pria, tidak perlu pintar dan kaya raya, dan tidak perlu memedulikan kemewahan seperti kamu.

Kenapa kata-kata Angkasa seperti kaset lama yang lagunya selalu berputar di dalam kepala Martha? Dan kenapa kalimat itu seperti halaman belakang yang kembali Martha buka untuk dia baca?

"Martha, ya Tuhan..."

Angkasa mengusap kedua matanya yang basah, tanpa Martha sadari dia baru saja menangis di hadapan pria itu.

"Coba kamu ingat-ingat lagi, Sa. Apa yang pernah kamu katakan sama aku, kenapa... kamu..." Martha menarik napasnya kembali dan saat ini rasanya Martha seperti perempuan yang tidak memiliki harga diri setelah ditolak mentah-mentah dengan kata-kata kejam yang Angkasa berikan kepadanya. "Kamu butuh perempuan yang bisa menghormati kamu," tekan Martha dengan suara lelahnya. "Kamu nggak menginginkan perempuan seperti aku, Sa."

"Martha," Angkasa segera merangkum wajah Martha dengan kedua tangannya.

Angkasa tidak pernah menyangka bahwa kalimat yang pernah dia utarakan akan diingat terus menerus oleh Martha seperti ini. "Maaf... aku tahu, aku sudah mengucapkan kata-kata itu, maaf... aku salah, semua kata-kata yang aku ucapkan itu berbanding terbalik dengan apa yang aku inginkan, Tha."

"I don't believe you," balas Martha, apa salahnya menjadi perempuan hingga Angkasa menilainya semurah itu?

"Tha,"

"Sakit, Sa... kamu bilang kamu nggak menginginkan aku," Martha kembali menangis. "Aku sudah sampai hati untuk menyukai kamu, aku belum pernah menikah dan aku belum pernah benar-benar menghormati lelaki selain Papaku, Angkasa."

"Maaf..." Angkasa menunduk meraih wajah Martha dan mencium keningnya. "Demi Tuhan Martha, aku akan menghormati kamu, kamu yang harus aku hormati setelah semua kata-kataku yang keterlaluan."

Martha melampiaskan semua rasa amarahnya dengan pukulan yang dia lakukan pada tubuh Angkasa. "Nggak mau, Sa... jangan pilih aku, jangan aku... aku..."

"Nggak," tolak Angkasa mentah-mentah. "Aku mau kamu, tolong... maafkan aku, Tha. Aku salah, aku mengaku salah. Tolong... kita belum memulai apa pun, jangan pernah begini, Tha." pintanya dengan nada memohon.

Angkasa menyatukan keningnya dengan kening Martha, merasai semua rasa sakit dari perempuan yang dia cintai. Rasa sesal mulai merajai hatinya, bagaimana jika Martha benar-benar tidak mau memberikan maaf untuknya? Sementara apa yang telah dia lakukan pada Martha begitu keterlaluan.

Tidak seharusnya dia mengatakan hal-hal yang tidak pantas kepada Martha.

"Kamu menganut patriarki?" tanya Martha tiba-tiba membuat Angkasa membuka kedua matanya dan menatap perempuan itu dengan bingung.

"Hm?"

"Karena aku merasa kamu adalah lelaki yang sudah biasa menjadi provider tulang punggung keluarga—termasuk kamu dan Mami kamu, Sa." tiba-tiba saja suasana berubah menjadi serius. "Kamu butuh perempuan yang menghormati kamu, kan? Tell me, perempuan seperti apa yang kamu inginkan?"

"Tha aku—"

"Kamu mau istri yang seperti apa, Angkasa?" ulang Martha dengan tegas. "Aku perlu tahu, kalau sana ada satu atau dua hal yang kamu inginkan ada pada diri aku, maka kamu boleh menikahi aku."

Angkasa mengusap wajah Martha dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak perlu jadi apa pun yang aku mau, Tha. You're enough."

"Jangan bicara seperti itu lagi, Sa, atau aku akan minta kamu mundur sekarang juga." ancamnya kali ini.

Angkasa terdiam, lalu dia meraih Martha ke dalam pelukannya membiarkan Martha menyandarkan wajahnya pada dadanya dan jantungnya yang selalu bergemuruh sejak tadi.

"Semakin dewasa, orientasiku untuk pasangan ideal berubah, Tha." keduanya saling berpelukan dan terdiam, di atas ranjang yang besar dan dingin serta cuaca Bedugul yang tengah hujan deras.

"Jangan banyak basa basi, Sa." timpal Martha yang kini merasa mengantuk setelah menangis, tapi pelukan Angkasa adalah pelukan paling nyaman yang pernah Martha temui.

"Aku nggak basa basi, jujur aku suka dengan perempuan yang percaya diri. Karena perempuan dengan sifat persuasif dan nggak pemalu kelihatan lebih seksi di mataku. Aku suka perempuan yang punya nyali besar untuk menunjukkan pada dunia kalau dia pantas untuk berdiri sendiri, menarik, dan pandai melakukan hal-hal di luar nalar atau logika—dalam rentang positif." lalu Angkasa terkekeh pelan dan mencium puncak kepala Martha. "Dan sejak aku lihat kamu pertama kali di Seminyak, aku suka kamu yang begitu sombong dan percaya dirinya jalan dan nongkrong sendirian di Beach Club cafe, bahkan ketika banyak laki-laki yang memandangi kamu sekali pun, kamu kelihatan nggak peduli."

Martha mengangkat wajahnya, alisnya bertaut bingung mendengarkan ucapan Angkasa. Baru kali ini dia disebut sombong oleh pria yang katanya mencintainya. Alih-alih pujian, Angkasa terdengar seperti tengah menilainya.

"Lalu setelah tahu kamu sebagai Martha Amidjaja, mendadak aku berpikir segalanya tentang kamu bisa jadi deal breaker buat aku." kini giliran Angkasa yang mengutarakan perasaannya. "Sejak dulu, aku hanya tinggal bersama Mamiku, Sa. Dan sejak kecil juga aku sudah banyak melewati susah bersama Mamiku. Satu-satunya keinginan yang aku miliki saat kecil adalah, aku ingin menaikkan derajat kehidupanku bersama Mami, dan itu semua jelas—aku harus mapan dan sukses."

"..."

"Menjadi dokter kelihatannya memang mapan, tapi saat awal-awal sebelum aku bisa menjadi spesialis seperti sekarang, aku benar-benar nggak berani untuk melamar perempuan mana pun, Tha. Aku ingin Mami, dan istriku hidup tenang, nyaman, nggak kesusahan sama sekali. Tapi kamu memecahkan semua ekspektasi aku, you have everything," Angkasa memeluk Martha kian erat dan mencium pelipisnya. "Aku takut buat hidup kamu susah kalau memaksakan hubungan ke depannya, kamu sudah lahir dalam keluarga berada, Tha. Dan aku akan merasa gagal kalau sampai-sampai kamu menikah denganku dan turun derajat."

"Kamu masih menilai aku serendah itu ya, Sa?" tanya Martha dengan lirih.

Angkasa menggeleng panik, dia ketakutan dan buru-buru menyangkal. "Nggak, Tha. Nggak, aku..." Angkasa kelihatan serba salah dan salah tingkah sekarang. "... aku nggak berpikir seperti itu, dan aku menginginkan kamu sekarang, tapi... apakah kamu benar-benar mau menerimaku dengan segala kekuranganku, Tha?"

Martha menggeleng. "Kamu belum jawab pertanyaanku sejak tadi. Istri yang bagaimana yang kamu inginkan, Sa?"

Wajah Angkasa sudah berubah merah sekarang, pria itu benar-benar tengah menahan malu sekuat tenaga. Martha ingin tertawa sebenarnya, tapi menggoda Angkasa dan mengorek apa yang pria itu inginkan memang tujuan Martha.

Jika benar-benar keinginan Angkasa terlalu tinggi, maka Martha benar-benar akan mundur.

"Aku menginginkan istri yang bisa mengatur waktu, dalam urusan waktu di rumah, di luar, waktu bersama keluarga, dan waktu untuk dirinya sendiri." kata Angkasa memberanikan diri. "Aku menginginkan setidaknya ada satu atau dua anak di rumah, istri humoris, ceria, dan bisa diajak diskusi. Tidak perlu bisa memasak, karena aku nggak melihat indikator istri yang terus menerus diam di dapur, aku perlu Nyonya di rumah yang bisa menemani Mamiku kapan pun, jalan dengan Mamiku, dan yang paling penting..."

"Yang paling penting?" tunggu Martha.

"Yang paling penting, istri yang hebat di atas ranjang." katanya sambil berbisik di hadapan hidung mungil Martha. "And you have that skill, Martha."

Kali ini giliran Martha yang gugup, tatapan Angkasa turun menatap bibir Martha, dan pada saat itu Martha tahu apa yang diinginkan Angkasa.

"Aku nggak bisa masak, Sa." bisik Martha ketika Angkasa mendekatkan bibirnya dan menyentuh permukaan bibir Martha.

"I don't care," bisik Angkasa berusaha melumat bibir Martha dengan hati-hati.

Martha menyambut ciuman Angkasa, ketika Angkasa melakukannya lebih dalam, Angkasa membiarkan Martha menaiki tubuhnya, kedua lengannya menjaga pinggang Martha, turun mengusap panggul dengan seduktif hingga pemiliknya kini yang mengambil kendali.

Angkasa lupa kapan terakhir dia berciuman dengan perempuan, tapi bibir Martha adalah bibir yang selalu dia tunggu.

Martha bergerak dengan intens di atas tubuhnya, Angkasa tahu sebentar lagi dia tidak akan bisa mengendalikan diri. Angkasa ikut bangun, meraih salah satu wajah Martha dan menciumnya penuh damba, mengusap pinggang polos Martha dan naik menuju lengkungan tulang punggung Martha.

"Tha," Angkasa ingin berhenti, tapi Martha tidak.

Martha meneruskan gerakannya, membiarkan milik Angkasa mengeras pada bagian tubuhnya, Martha turun mencium rahang Angkasa.

"Tha," geram Angkasa, ini tidak adil pikirnya dia berusaha menahan diri untuk tidak berlebihan kepada Martha tapi Martha yang malah... "Stop Tha," pinta Angkasa dengan wajah sengsara.

Martha tersenyum miring lantas berkata. "Kenapa? Takut?"

"Mau nikah dulu apa nggak? Kamu nggak jawab lamaranku dari tadi!" protes Angkasa.

Martha mengangkat bahunya acuh. "Tergantung, soalnya aku nggak bisa masak? Tapi aku mau punya dua anak, dan aku juga mau jadi teman Mami kamu. How?" tanyanya kepada Angkasa.

Angkasa membulatkan matanya, degup jantungnya mengeras seiring senyuman nakal yang terpasang di wajah Martha yang berusaha menggodanya. "Jadi... mau?"

Reaksi paling bodoh yang pernah Martha lihat dari seorang Angkasa Jagawana. "Cium dulu," pinta Martha lagi.

"Akan aku beri, sebanyak apa pun yang kamu mau."

"A million kisses?" tanya Martha.

Angkasa mengangguk cepat. "Deal," kali ini Angkasa yang memulai kembali, ciuman yang dipandu oleh Angkasa jelas lebih berbeda.

Angkasa membalikkan posisi Martha yang kini ada dibawahnya, keduanya saling melumat satu sama lain seakan tengah menegaskan perasaan diantara keduanya.

Dari sekian jawaban Angkasa, Martha masih bisa mentoleransi jawaban yang Angkasa berikan. Bukankah ini yang dia mau? Keinginannya tidak muluk-muluk bukan? Dia ingin menjadi seorang ibu yang dicintai. Membayangkan bahwa dirinya bisa disayangi oleh anak-anaknya nanti membuat Martha tersenyum di sela-sela ciuman mereka.

Martha tidak bisa menahan diri ketika Angkasa mencium tulang selangka nya, turun pada dadanya dan mengecupi seluruh kulitnya tanpa tertinggal apa pun.

"Sa,"

"Mm-hm?"

"Apa kamu punya pengaman?" tanya Martha kepada Angkasa.

Angkasa mengangkat wajahnya dari dada Martha dan menggeleng. "No,"

Martha merengut sebal, lantas begitu dia menjemput bibir Angkasa kembali. "Lets do it,"

"Tanpa pengaman?" tanya Angkasa memastikan sekali lagi.

Martha mengangguk. "Ya, pull me out..." pinta Matja mendorong wajah Angkasa menuju bagian dirinya.

Seakan mengerti, Angkasa menaikkan dress Martha ke atas perut, menyentuh pinggiran celana dalam perempuan itu dengan jari-jarinya yang gemetar.

Martha melihat semua ketidakberdayaan Angkasa pada dirinya, dengan senyuman miring, Martha membuka lebar kedua kakinya dan menyisir rambut-rambut Angkasa dengan jarinya.

"Suck it." pinta Martha dengan suara seraknya.

Angkasa menengadah, mendekatkan wajahnya dan melakukan apa yang Martha minta padanya.

Martha tahu dia tidak akan pernah bisa berhenti jika Angkasa sudah berhadapan dengan miliknya. Bagaimana pun juga, dia akan menenggelamkan dirinya bersama Angkasa. Martha yakin, dia bukan hanya menyukai Angkasa, tapi Martha mencintainya dan menginginkan Angkasa untuk dirinya juga.

***

a/n:

Belum tau aje di depan nanti akan ada bahaya apa😏, Btw aku mau jujurrrr sama kalian semua, aku kayaknya kena breakout pusing banget, ini perjalanan Martha sama Angkasa masih sepanjangggg itu teman-teman. 

Tau ga sih, makin sini makin mentokkk kalau udah capek maunya langsung istirahat. Maafkan aku😭, mau coba tahan tapi susah, lagi berusaha manage waktu juga biar bisa aktif lagi kayak dulu, mana tempat kerja lagi banyak problem🥹 yaaa semuanya resiko, I know tapi jujurrr boleh gak aku minta waktu istirahat?

Kalau udah nggak capek lagi, aku bakalan sering update. Maaf ya... maafkan aku yang tidak profesional ini.

Senin, 24 Juli 2023.

p.s: kayaknya emg butuh healing.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro