Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab V | Pemakan Dosa


Hanya ada satu sungai yang mengalir di Hutan Terakhir, dan barangkali satu-satunya air jernih yang bisa ditolerir oleh Almaris. Sungai itu terletak di belakang pondok, tetapi terlalu jauh bagi mereka untuk berputar ke sana. Maka, Dainhart memacu kuda menuju hulu sungai.

Jubahnya berkibar di belakang seiring ia menerjang dinginnya angin hutan yang menusuk kulit. Satu tangannya merangkul Almaris agar tidak terjatuh, dan satunya lagi mencengkeram tali kekang erat-erat. Napasnya berat dan dadanya berdegup kencang—bukan karena kelelahan saja, melainkan waktu yang bekejaran.

Almaris.

Dainhart harus menyelamatkannya—mau tidak mau.

Hulu sungai akhirnya nampak di depan mata. Airnya mengalir deras di antara bebatuan tajam nan licin yang berserakan. Aroma tanah basah menguar kuat, bercampur dengan pekatnya kabut magis. Dainhart menarik tali kekang kuat-kuat, membuat kuda hitamnya berderak berhenti. Si kuda menyemburkan napas protes.

"Almaris. Ayo." Dainhart menunduk, bersiap untuk membopong sang penyihir turun. Hatinya mencelus melihat Almaris menjadi lebih pucat daripada biasa, darahnya membasahi lengan dan jubah Dainhart. Kulitnya bukan pucat karena kekurangan sinar matahari lagi, melainkan darah, dan ada sesuatu yang membuat dada Dainhart berdebar.

Almaris tampak ... manusiawi. Terlewat manusiawi, sampai-sampai membuatnya merinding. Rasanya Almaris bakal mati dalam satu menit.

Untuk pertama kali, Dainhart lebih suka melihat Almaris kembali menjadi penyihir. Ia bergegas melompat turun dari kuda dengan perempuan itu di rengkuhan. Ia membawa Almaris ke sungai, berhati-hati menurunkannya untuk membersihkan luka.

"Minum."

Dainhart menciduk air dengan tangan, menempelkannya pada bibir Almaris yang gemetaran. Sang penyihir terlalu lemas untuk bergerak. Dainhart mesti membantu mengalirkan air sungai ke mulutnya, perlahan dan penuh kegugupan acap kali jarinya menyentuh bibir Almaris yang membiru.

Namun hampir tak ada perubahan signifikan pada sang penyihir. Perempuan itu masih lemas. Dainhart bertambah frustrasi membayangkan tinggal dirinya seorang yang mengarungi hutan ini, terperangkap entah sampai berapa lamanya di antara bisikan-bisikan arwah. Ia memang pembunuh, tetapi tetaplah seorang manusia. Dan ia tak bisa membayangkan apa jadinya jika dunia kehilangan Almaris—kehilangan satu-satunya sosok yang sepemikiran dengannya.

"Jangan mati, kumohon." Dainhart mendesis. "Siapa yang bakal membantuku membunuh Raja?"

Ujung bibir Almaris membentuk seringai lemah. "Kau bahkan belum mengatasi Erine ...."

"Itu juga, sialan. Jangan mati duluan." Dainhart mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada tanaman yang bisa membantu menyembuhkan Almaris. Hutan Terakhir benar-benar dirancang untuk tidak memberikan tambahan kesempatan hidup bagi siapapun.

Jika Almaris tak bisa mengisap jiwa sementara waktu, maka apa yang disantapnya selain air? Dainhart menatapnya sekali lagi. "Kalau makanan membuatmu mual, maka apa yang kausantap selain air dan jiwa?"

Keengganan di wajah Almaris menampakkan bahwa sebenarnya ada satu lagi solusi, tetapi sang penyihir tak mau mengungkapkan sejak awal. "Darah," bisiknya. "Karena juga terikat dengan nyawa manusia. Apapun yang menyangkut nyawa, aku menyantapnya. Tapi tidak daging. Daging ... santapan para hewan."

Dainhart menarik napas dalam-dalam. Ia tidak terkejut, meski rasanya tetap menyedihkan. Benar. Almaris adalah penyihir gelap, makhluk nokturnal, apapun itu. Tidak ada yang normal tentang wanita yang selalu hidup seorang diri ini.

Tanpa banyak ucap, Dainhart menarik pedang dari sarungnya, menggoresnya pada lengan kiri. Luka seketika terbuka, digenangi darah segar menggoda.

Almaris membeliak. "Dain, apa yang kau lakukan?"

Pria itu menyodorkan tangan pada Almaris. Ekspresinya misterius dan tak terbaca. "Minum."

"Tapi ini akan mengurangi usiamu!"

"Lakukan saja," desak Dainhart. "Aku tidak akan membiarkanmu mati."

Ragu-ragu, Almaris mencondongkan tubuh. Genggamannya pada lengan Dainhart tidak kokoh. Bibirnya menyentuh luka itu, dan saat tetes pertama darah menyentuh lidahnya, tubuh Almaris gemetar. Sihir yang hilang perlahan merayapi nadi, menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Ia mulai merasakan kekuatan yang terputus kembali, meski sedikit, bahkan mungkin tak seberapa.

Namun ini cukup. Cukup untuk membuat semangatnya terbakar. Sebab dosa-dosa dan harapan yang terkandung dalam darah Dainhart beresonansi sempurna di dalam nadi Almaris. Lebih tajam, lebih kuat. Dainhart bukan sekadar manusia biasa. Mereka berbagi banyak kesamaan, dan Almaris merasakan gejolak mendebarkan. Seolah tubuhnya tahu, mereka memiliki tujuan yang sama—memburu pendosa, membunuh yang memang selayaknya mati.

Semula Dainhart mendesis ngilu, tetapi perlahan mereda, hingga tergantikan sensasi aneh yang menjalar di sekujur badan. Rasa sakitnya berubah menjadi sesuatu yang lain. Seperti dingin yang bertikai dengan kehangatan, dan kenyamanan yang membuatnya tak keberatan untuk diminum habis darahnya. Bulu kuduknya merinding dan degup jantungnya memburu.

Apakah ini salah satu sihir sang pengisap jiwa, agar orang-orang sukarela mati di tangannya?

Saat Almaris menyesap lebih banyak, Dainhart mengembuskan napas panjang. Ia bisa menyaksikan luka menganga Almaris berangsur menutup. Namun, di momen yang bersamaan, kepalanya mulai terasa ringan dan kakinya lemas.

Sang penyihir mendongak kala mendengar napas Dainhart memberat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang pekat. Rupanya semu kehidupan telah merona di pipi Almaris lagi.

Dainhart menatap sayu. "Siapa sangka ternyata kau vampir, hm?"

"Bukan vampir." Almaris menggerutu malu, meski tidak bisa menahan senyum yang terbit di bibir memerah itu. "Penyihir lebih bermartabat, dan mereka tidak bisa sihir." Ia menarik diri. Dijilatnya bibir sambil mengatupkan tangan pada luka Dainhart.

Dinginnya sentuhan Almaris begitu familiar pada kulitnya. Menenangkan.

Kini ganti sang penyihir yang membantu menghentikan pendarahan di luka Dainhart. Untungnya tidak lebih buruk, tetapi tetap saja seharga usia sang pria yang berkurang entah berapa lama, dan sensasi ringan di kepalanya.

"Aku tidak merasakan keberadaan Erine," nada Almaris terdengar stabil. "Lebih baik kita beristirahat saja. Kau tetap di sini."

Dainhart hampir meraih tangannya secara refleks, tetapi kelelahan telanjur memerangkapnya. "Kau mau ke mana?"

"Memetik buah untukmu," jawaban Almaris menjadi sayup-sayup di telinga sang duke, padahal napas wanita itu sedang menerpa wajahnya. Samar-samar terasa sentuhan jari yang dingin di dahi Dainhart.

"Bertahanlah, Dain. Aku ... membutuhkanmu."



Dainhart tidak tahu apakah ia benar-benar terlelap atau tidak. Yang ia tahu, dirinya tergolek lemas pada batang ara pencekik, akar-akarnya yang gemuk menjaga sang pria dari isapan tanah berlumpur. Selama beberapa saat ia tidak berpikir, pandangannya kabur menghadap hulu sungai yang bergemericik. Percikannya segar tiap menyentuh pipi Dainhart, membuatnya berpikir bahwa tidak ada buruknya juga kalau suatu saat dia menjadi penjaga Hutan Terakhir. Toh, alasannya dahulu tidak mau menjadi penyihir karena kebanggaannya sebagai seorang kesatria manusia.

Namun ... apa gunanya mempertahankan kebanggaan itu jika membuatnya terjebak pada aturan seorang raja bejat? Lebih baik ia berada di atas hukum para manusia yang bodoh. Biar dia menjadi penyihir, kalau itu bisa mempermudahnya membunuh Raja, membunuh para pendosa ....

Selagi merenung, Dainhart mendengar kehadiran seseorang mendekat. "Almaris?" gumamnya. "Lama sekali kau pergi."

Namun, jari yang menyentuh dagunya sama sekali tidak dingin. Hangat. Ketika Dainhart mendongak, ada serbuk bintang yang berjatuhan di wajahnya. Rerumputan hijau dan bunga-bunga bermekaran di sekeliling.

"Astaga, malangnya!" suara itu familiar dan asing sekaligus.

Dainhart membeliak. Satu yang pasti: ia paham bahwa sebaiknya penyihir itu tidak menyentuhnya. Saat Almaris memegangnya, tidak ada ancaman yang Dainhart rasakan selain anehnya sensasi dingin dan rasa lapar yang sekadar menari-nari di mata kelam perempuan itu. Akan tetapi, penyihir berambut putih ini, seolah berniat menyengat jiwa Dainhart keluar dari tubuhnya.

Sebab Dainhart adalah pendosa, dan kehadiran Erine membuat hati busuknya meronta-ronta.

Tangannya meraba-raba sekitar, tetapi yang didapati hanyalah rerumputan hijau dan bunga-bunga lavender, bukan pedang. Sial, di mana pedangnya? Di mana kuda hitam itu dan Almaris?

"Bagaimana bisa ada manusia lagi di sini? Dan baju itu ... kau seorang bangsawan?" Erine kembali bersuara. Ia mengeluarkan tongkat, dan Dainhart tahu dirinya harus pergi saat itu juga.

"Minggir, penyihir. Aku tidak butuh bantuanmu." Sang duke mencoba mendorong tubuhnya berdiri, tetapi gerakannya tidak stabil dan ia terhuyung-huyung.

"Hati-hati!" Erine segera menarik bahu Dainhart. Satu cengkeraman membuat pria itu tersetrum. "Biar kusembuhkan dirimu dulu, Tuan! Ini pasti perbuatan Almaris. Ia benar-benar tidak bisa diperingatkan, aku harus memperingatkannya lebih keras."

Ucapan Erine memantik memori tidak menyenangkan di benak Dainhart. Kepalanya spontan menggelegak. Dengan pandangan berkunang-kunang, ia mendorong penyihir itu menjauh.

"Jangan sentuh Almaris," geramnya. "Kau tidak bisa membunuhnya, atau kau akan mengacaukan keseimbangan dunia."

Erine terperanjat. "Apa maksudmu?" tanyanya, tetapi ia tidak berniat menanti jawaban Dainhart. Ia menggeleng keras. "Kau sudah tidak waras! Kau melantur seperti pemuda manusia yang tempo hari kutolong."

Kala Erine mengacungkan tongkat, Dainhart membeliak. Tamat sudah.

"Aku harus menyembuhkanmu," kata-kata Erine terdengar seperti vonis malaikat maut. Tongkatnya diacungkan ke arah Dainhart.

Cahaya menyilaukan meledak, membutakan pandangan sang duke. Ia mengangkat tangan untuk menghalau sinar menyengat matanya. Pasrah. Jika ini memang akhir hidupnya, maka ia—

Erine tiba-tiba menjerit. Cahaya di tongkatnya terbang—tidak, tongkat itu juga terpental. Belum sempat Dainhart mencerna apa yang terjadi, terdengar derap kuda mendekat dan raungan amarah Almaris memecah kesenyapan hutan.

"DIA MILIKKU, BANGSAT!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro