Bab IV | Macan yang Kelaparan
Kalau bukan karena ancaman Dainhart menjadi kandidat pengganti Almaris jika sang penyihir mati, ia pasti sudah mencekik wanita itu. Sayangnya, Dainhart hanya bisa menahan kejengkelan sepanjang hari. Memang penyihir tidak bisa dipercaya dengan mudah, apalagi orang macam Almaris.
Mereka baru memulai misi pembunuhan Erine keesokan hari. Dainhart menolak mengarungi hutan saat malam kendati Almaris mampu melihat dalam kegelapan sesempurna binatang nokturnal. Akibatnya Almaris semakin lemas, dan cuma air yang membuatnya bertahan hidup. Walau ia menjadi manusia sementara waktu, Almaris tidak suka makan makanan manusia. Ia muntah-muntah ketika disodori buah-buahan yang dipetik Dainhart dari pohon-pohon terdekat.
Makanannya hanya jiwa pendosa.
"Kau ini aneh," Dainhart mencemooh. "Pantas ceking."
Almaris memutar bola mata. "Beri aku lima jiwa pendosa dan tubuhku bakal segendut menteri-menteri kerajaan yang korupsi itu."
Dainhart refleks tertawa sumbang, kendati cepat-cepat mengatupkan bibirnya lagi. Ia tidak menyangka selera humornya dengan Almaris mirip. Sialan. Apa ia selangkah lebih dekat menjadi penyihir penjaga Hutan Terakhir?
Pagi itu, ketika matahari cukup terang untuk menyinari sebagian kecil hutan, Almaris bersiul. Dainhart sempat waswas, berpikir yang datang adalah macan kumbang, tetapi yang berderap mendekat justru membuatnya kian miris.
Adalah seekor kuda, terlegam dari yang pernah dilihatnya, bersurai sekusut rambut-rambut mayat, dan langkahnya meninggalkan jejak asap kelam. Kala kuda itu mendekat, tampak luka-luka gigitan yang abadi di sekujur badan.
"Kuda hantu." Almaris menepuk leher si kuda dengan bangga seolah hewan kesayangan. "Sudah di sini sejak sebelum aku lahir. Ia tidak mati meski diterkam macan-macan dan ular-ular di sini."
Dainhart bergidik. Sensasi menungganginya juga tidak kalah mengerikan. Rasanya ia seperti duduk di atas awan kelabu yang menggelegar tiap si kuda berderap. Keberadaan Almaris di belakangnya juga tidak membantu. Ia terbiasa dengan kulit sang penyihir yang dingin. Merasakan jari-jari hangat menekannya kala Almaris membutuhkan bantuan naik, terasa begitu janggal bagi Dainhart.
Tidak, Dainhart memang mulai gila semenjak masuk hutan ini. Ia sekuat tenaga menahan dorongan untuk memutar kuda hitam, menjatuhkan Almaris, dan pergi sejauh mungkin dari hutan sialan ini.
Untung saja ada penyihir suci itu.
Diam-diam Dainhart bersyukur. Dedaunan rimbun memang masih menutupi langit pada petak-petak yang belum dijamah Erine, menciptakan bayangan pekat yang berkelindan di antara batang-batang beringin tua. Aroma tanah basah dan kelembapan menyengat hidungnya, bercampur dengan sesuatu yang lebih asing—jejak magis yang membuat tengkuknya meremang. Namun, setidaknya, jalan-jalan setapak bermunculan. Kabut tidak lagi setebal kemarin, dan tak ada suara teriakan-teriakan aneh yang menuntut Dainhart agar segera dimakan macan.
Namun, bagi Almaris, rerumputan hijau dan bunga-bunga lavender yang menyerobot tanah hitam berlumpur adalah sebuah kenistaan. Terdengar kicauan burung yang bising alih-alih kukuk burung hantu dan desis ular yang menenangkan. Pandangannya pun berkunang-kunang tiap memandang arah yang disinari mentari benderang.
Ia menghela napas. Bahu kaku Dainhart juga tidak membantu membuatnya merasa lebih baik. "Kalau kau tegang begitu, kudanya ikutan gelisah," suaranya tenang, tapi mengandung kelelahan yang kentara.
"Maaf kalau aku tidak terbiasa menunggang kuda bersama seseorang yang ingin mengisap jiwaku," Dainhart menjawab dingin, tetap menatap lurus ke depan.
Almaris mendengus kecil. "Percayalah, itu bukan prioritas utamaku sekarang."
Dainhart diam. Tidak ada gunanya berdebat. Ia memutuskan untuk mengikuti arah rerumputan hijau mengular. Namun, baru saja kuda hitam itu menginjakkan kaki di bawah berkas sinar, bahunya dipukul oleh Almaris.
"Sial!" wanita itu mengumpat, mendahului protes Dainhart. "Menjauh dari sinar, keparat! Lihat apa yang terjadi!"
Dainhart menoleh. Matanya membeliak melihat darah merembes dari pori-pori kulit Almaris yang tidak tertutupi gaun. Tanpa pikir panjang, pria itu menghalau kuda kembali ke dinginnya bayang-bayang pohon.
Di belakangnya, Almaris sibuk menarik lengannya masuk ke dalam gaun hitam, seperti kucing yang mundur ke kurungan. Namun, gaunnya bukanlah jubah, dan tingkahnya justru membuat darah berceceran.
"Hei, hei." Dainhart terkesiap ngeri. Ia memang terbiasa membunuh orang, tetapi melihat penyakit aneh Almaris membuatnya merinding. "Kenapa bisa begitu?"
"Aku alergi pada sinar mentari langsung, rerumputan hijau, dan bunga-bunga memualkan itu," jawab Almaris getir. "Itu konsekuensi bagi keluarga penyihir yang turun-temurun dinasibkan untuk menjaga Hutan Terakhir. Anggap seperti manusia yang alergi dingin atau debu."
Dainhart menyeringai. "Kasihan," cemoohnya, tidak benar-benar merasa iba pada sang penyihir. "Kalau begitu, kau sebenarnya tidak sekuat penyihir-penyihir normal lain yang bisa berkelana ke mana pun selama ada sungai, atau pohon, atau bunga."
Gerutuan Almaris terdengar seperti rajukan bocah dan kebencian nenek tua sekaligus, "Katakan itu sekali lagi saat aku mendapat kekuatanku lagi."
Dainhart mengangkat bahu. "Entahlah, penyihir," katanya jumawa. "Kau sudah terlalu lemah untuk mencari mangsa lain, sebab kau tak bisa mengisap jiwaku sekarang. Dan kau membutuhkanku."
Almaris benci mengakuinya, tetapi Dainhart benar. Sebagai gantinya, ia mencubit pinggang sang duke dengan kuku-kuku tajam. Dainhart tersentak kaget.
Gara-gara itu, mereka saling melempar cemoohan dan bantahan sepanjang perjalanan, menyaingi kicauan burung-burung yang bertengger di puncak tertinggi ara pencekik dan Weeping Willow. Kudanya juga berjalan lambat, sepertinya sama-sama lemah dengan sinar mentari laiknya Almaris. Butuh waktu lama untuk menyusuri hutan mahaluas dengan mengikuti jejak rerumputan. Seolah tak ada ujung. Kata Almaris, Hutan Terakhir memang diciptakan membingungkan agar tak ada pendosa yang bisa kabur, kendati ada jalan setapak sekalipun.
"Singkat kata, sihir Erine tidak akan semudah itu menggagalkan sihir turun-temurun kami," kata Almaris bangga ketika mereka berhenti di bawah sebuah pohon apel ranum.
Dainhart menggigit apel petikannya dengan keras. "Kau tahu kalau Erine menyadarinya, dia bakal menebar lebih banyak mantra, kan?"
Almaris menggertakkan gigi. "Karena itulah kita harus segera membunuhnya."
"Tapi apa kau yakin? Membunuh orang yang mewakili Serikat Sihir? Itu sama seperti membunuh utusan Raja yang sedang bertugas."
Wanita itu mengatupkan bibirnya yang kering. Benar juga. Namun, ia jengkel setengah mati dengan Erine sampai-sampai ingin membunuhnya segera.
"Ya sudah, diusir saja," tukasnya sebal, berusaha terdengar tajam kendati langkahnya mulai pincang. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan."
Ketika mereka menunggangi kuda sekali lagi, Dainhart telah mencurigai gelagat Almaris yang kian melemah. Semakin jauh kuda membawa mereka, tubuh sang penyihir perlahan condong ke depan. Dainhart merasakannya sebelum benar-benar menyadari apa yang terjadi—sentuhan ringan pada pinggangnya, kemudian lengan Almaris melingkar dengan enggan di sekelilingnya, jelas-jelas mencari pegangan atau ia akan jatuh dari sentakan kuda.
Sejenak, otak Dainhart berhenti bekerja. "Hei—"
"Jangan salah paham," gumam Almaris, suaranya samar karena kelelahan. "Pandanganku agak ... berputar."
Dainhart berdeham, tiba-tiba merasa panas meskipun suhu hutan ini dingin menusuk. "Seharusnya kau makan saja apel tadi," omelnya. "Mual sedikit tidak masalah."
Almaris tidak menjawab. Napasnya terdengar teratur di belakang punggung Dainhart, tapi ada sesuatu pada cara Almaris menggenggam pinggangnya yang membuat pria itu menegang lebih dari sebelumnya. Dengan paksa, Dainhart mencoba fokus kembali pada hutan angker yang terhampar.
Sementara itu Almaris berusaha menajamkan pendengaran, lantas menunjuk ke arah yang teramat gelap di sebelah barat. "Ke sana," katanya yakin. "Aku merasakan kehidupan di situ."
Dainhart mengangguk. Dengan satu tangan pada sarung pedang, dan satu tangan lagi memegang tali kekang, ia menuju sumber yang ditunjuk Almaris. Benar apa kata sang penyihir. Terdengar suara gemerisik.
Tapi ... kenapa tak ada cahaya?
Ketika mereka telanjur jauh memasuki sudut hutan yang remang-remang, dan Almaris mendesah lega, barulah Dainhart sadar bahwa mereka kemungkinan menuju sisi yang salah. Gemerisik di hadapannya kian keras, dan alih-alih terdengar mantra, yang ada malah geraman hewan buas.
Sebuah bayangan hitam melompat dari balik pepohonan. Mata kuningnya bersinar liar. Seekor macan kumbang, lebih besar dari ukuran normalnya, melangkah maju dengan geraman rendah. Bulunya dipenuhi bekas luka. Air liurnya menetes seolah-olah telah lama tidak menemukan mangsa manusia.
Dainhart membeliak. "Almaris, kau—"
Almaris pun terperanjat. Ia tersentak sadar dari gelayut dingin yang menenangkan kulit dan perasaannya. Pandangannya masih berkunang-kunang, dan sejujurnya, sang penyihir mulai kehilangan akal karena lapar dan tanpa sihir.
"Oh, sial," Almaris mengumpat dengan suara serak. "Kukira Erine. Ternyata Leon."
Menyadari ini, Dainhart tak punya pilihan. Apalagi macan kumbang itu makin mendekat. Dengan jengkel, ia melompat turun dan melepaskan pedang dari sarungnya. Dainhart bersiap menebas, tetapi sebelum pedangnya bisa diayunkan, Almaris tahu-tahu melompat turun dari kuda.
"Leon, jangan! Ini aku!" serunya. Ia mengacungkan tangan seolah siap merapal mantra, tetapi tak ada yang keluar dari sana. Almaris lupa jika Erine telah menyita sihirnya. Frustrasi, ia berkata lagi, "Apa kau tidak mengenalku? Leon?"
Namun, macan kumbang itu tidak mendengarnya. Dari cara liurnya menetes, macan itu terlampau kelaparan. Bagaimanapun, jika Almaris tidak mendapatkan pendosa, hewan-hewan buas di hutan itu juga tidak bisa makan.
"Minggir." Dainhart menghalau Almaris. "Dia sudah tidak mengenalimu lagi."
Hati sang penyihir remuk mendengarnya. Ia menatap Leon si macan dengan nanar. Benarkah? Makhluk buas yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu tak mengenalnya? Namun, rasa lapar mampu bertindak sebagai hukum paling dasar yang mengatur tingkah seorang makhluk, bahkan di luar kemampuannya berpikir.
Tak ada cara lagi. Ketika Leon menerjang, Almaris melompat—tak memberikan kesempatan bagi Dainhart untuk mengayunkan pedang. Taring tajam Leon seketika meraup pundaknya. Almaris menjerit.
Sang duke terperanjat, tidak percaya bahwa sang penyihir tiba-tiba mengorbankan diri. "Apa kau gila?!"
Napas Almaris tersengal-sengal. Ia meringis kesakitan saat berusaha menyunggingkan seringai. Bahkan di saat seperti ini, ia menolak terlihat lemah. "Tenang ... tenang saja. Ini cara terakhir."
Leon si macan menarik diri, dan kembali mencoba menggigit Almaris. Sang penyihir merintih saat taring Leon menancap pada lengannya, mencoba mengoyak sedikit dagingnya.
Dainhart menyaksikan dengan mata membulat tak percaya, tetapi ia lebih dibuat takjub kala si macan melepaskan Almaris dari gigitannya. Ekspresi si macan antara kecewa dan kesal.
"Kau sudah mengenalku sekarang, Leon ... ?" Almaris terengah-engah saat bergeser menjauh dari macan itu. "Rasa daging penyihir itu nggak enak, kan?"
Meski begitu, luka basah terlanjur menganga di lengan Almaris. Mengabaikan Leon yang masih berdiri di dekat mereka, Dainhart merangsek kala sang penyihir ambruk. Setidaknya, ia sedikit yakin bahwa macan itu takkan menyerangnya selama ia bersama Almaris.
"Kau benar-benar sinting." Dainhart mengumpat saat mengangkut Almaris di kedua tangannya. Hatinya mencelus menyadari betapa ringan tubuh sang penyihir, seolah hanya berisi tulang dan kulit. "Bagaimana kalau kau mati?" bentaknya, dan menambahkan lagi, "Aku tidak mau jadi penyihir yang menggantikanmu menjaga hutan ini, kau tahu!"
Almaris terkekeh lemah. "Kau harus prima, karena kau yang menghadapi Erine nanti."
Tujuannya terdengar praktis dan dingin, tetapi Dainhart tak bisa mengabaikan sesuatu yang bergumul di hatinya. Sial. Ia tak paham bagaimana cara kerja otak dan hati penyihir. Dengan gusar, ia melepas jubah dan membebatnya pada Almaris, berharap itu cukup untuk menghentikan pendarahan sementara waktu.
Almaris mengerang kesakitan sewaktu Dainhart menariknya ke pangkuan, setelah mereka menunggang kuda sekali lagi. "Sakit, Dain!"
"Apa kau mau jatuh?" Dainhart menyentak sekali lagi. "Kita ke sungai sekarang!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro