Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab II | Duke yang Dikandang


Semenjak dibuang ke Hutan Terakhir, Dainhart tak tahu kapan siang dan malam tiba. Kabut senantiasa menyelimuti rendah, hanya merenggang kala rembulan memancarkan cahaya merah, dan menjalin erat tiap mentari menyorot. Sepertinya rumor tentang hutan angker ini memang benar: jika terkena sinar matahari, bisa-bisa lumut dan abu bangkai di sekujur tanah hutan melebur, Almaris si Pengisap Jiwa mungkin hancur, dan hutan angker jadi subur. Meski, ya, percuma saja memikirkan waktu jika Dainhart telah terperangkap di dalam kandang.

Ini sebuah penghinaan, tetapi Almaris jelas menikmati.

Sang penyihir tak henti-hentinya bersenandung di pondok. Dalam ruangan bundar dengan atap rendah, sangkar burung raksasa tempat Dainhart diperangkap memakan sebagian besar ruang. Namun Almaris tidak keberatan. Hidungnya digelayuti aroma lezat memabukkan tiap kali Dainhart menunjukkan sikap defensif atau ketakutan yang terselip. Matanya dimanjakan dengan wajah rupawan si duke. Tidak setiap waktu Almaris kedapatan korban yang sempurna begini, biasanya pejabat tua penuh lemak atau wanita penggosip dengan masalah pencernaan.

"Apa kau alergi rempah-rempah tertentu? Ah, tapi untuk apa aku bertanya, jika kau baru kubumbui setelah mati?"

Dainhart bergidik, kali ini bukan karena hawa dingin membeku hutan. Ia melipat tangan sembari bersandar pada jeruji kandang, tak sedikit pun berhenti mengawasi Almaris yang tengah bertandang di dapur.

"Kau tak bisa membunuhku, penyihir," ujarnya lagi untuk keseratus kali dalam tiga hari terakhir. Sudah selama itu pula ia ditahan di sini.

Cara Almaris mengabaikan gertakan Dainhart membuatnya jengkel. Ia berkata lagi. "Kau tahu, kukira penyihir penjaga Hutan Terakhir bakal lebih ... menakutkan." Sorot matanya penuh penilaian ketika mengamati Almaris dari kepala sampai kaki. Ada sedikit senyum yang hampir tak terlihat, seperti sedang menguji reaksi lawan bicaranya.

Almaris tetap tidak goyah. "Ini akan menjadi pengalaman pertamaku menyantap jiwa seorang duke yang dahulunya kesatria," ujarnya riang, mengingatkan Dainhart kembali akan nasibnya. Gaun hitamnya berkibar saat Almaris berputar mengambil botol-botol kaca berisi rempah. "Kau pasti sangat berjasa bagi Raja, sampai-sampai diangkat menjadi duke. Tapi dosa macam apa yang kau perbuat, wahai manusia yang tidak tahu berterima kasih?"

Ekspresi Dainhart mengeruh. Sempat sang bangsawan menimbang-nimbang apakah sebaiknya menjawab atau tidak, tapi sejujurnya sudah banyak pertanyaan yang ia jawab selama tiga hari terakhir. Rasa frustrasi untuk bertahan hidup mendorong Dainhart untuk menuruti segala keinginan Almaris. Lagi pula, jika benar ia akan mati, tak ada gunanya tetap mempertahankan rahasia-rahasia, bukan?

"Karena aku ingin membunuhnya."

Almaris tertawa.

"Ini tidak lucu, penyihir!" Pria itu meninju jeruji yang dekat posisi Almaris, mendencangkan besi dengan nyaring. Amarah yang menggelegak di kepala Dainhart ditujukan untuk seseorang nun jauh di sana, bukan kepada sang penyihir lagi. "Terserah jika kau menganggapku tidak tahu cara berterima kasih, tetapi aku memiliki prinsip."

Almaris meletakkan botol kaca berisi oregano kering. Jawaban tersebut membuatnya tertarik, maka dihampirinya sang duke. Jarinya yang kurus melewati jeruji dingin, menarik dagu Dainhart agar menatapnya.

"Walau sudah menjabat, semangatmu masih seperti kesatria." Kekaguman berkelebat di mata Almaris saat mengusap dagu pria itu. Ia menyukai manusia-manusia yang masih garang menjelang ajal. "Dan aku tidak menertawakanmu, Tampan. Aku suka bagaimana ada seseorang yang akhirnya mencoba membunuh Raja. Penguasa yang baru itu terlalu gila harta."

Dainhart terhenyak sesaat. "Kau tahu?"

"Tentu saja. Mendiang raja sebelumnya selalu rutin mengirim terdakwa mati kemari. Namun, semenjak tahtanya digantikan, tak pernah ada yang mampir lagi. Para pendosa dibela oleh raja baru."

Dainhart menelan ludah. Ia tak menduga bahwa ada seseorang yang setuju dengannya, sementara para pengawal berbalik melawannya atas titah Raja.

"Katakan, Duke Dainhart, apa dosa dua ratus penyihir yang kau bunuh?" tanya Almaris lagi.

Dainhart bergidik sekali lagi usai perempuan itu mengusapnya. Hampir saja ia melangkah mundur, tetapi itu bukan sikap kesatria. Sentuhan Almaris begitu dingin bak tangan mayat.

"Karena mereka mengancam." Dainhart membuang jauh-jauh perasaan familiar hangat yang nyaris direngkuhnya. Pertanyaan Almaris telah mengembalikannya berpijak pada kenyataan, bahwa penyihir di hadapannya ini berniat menyantap jiwa Dainhart.

Cukup dengan mengingat ini, kilatan bengis muncul di kedua mata kelabunya. "Karena mereka—kalian—semena-mena, terlampau kuat, dan merusak aturan manusia."

Dainhart mengangkat tangan, menunjukkan posisinya yang dikandang. "Apalagi penyihir penghisap jiwa sepertimu, yang bisa menghina seorang duke dengan memenjaranya di sangkar burung, dan bertanya mau diracik dengan bumbu apa setelah kematiannya. Penyihir-penyihir lain bahkan tidak seberdosa dirimu."

Binar yang menari-nari di mata Almaris meredup. Tidak ada yang tahu apa yang melintas di benak sang penyihir. Bibirnya membentuk seutas senyum, tetapi pandangannya kosong, bertaut pada sesuatu yang sama sekali tidak dipahami Dainhart.

"Oh, Duke Dainhart." Senyum Almaris melebar. "Bukankah dunia akan membosankan tanpa sosok sepertiku? Siapa yang menghukum para pendosa jika bukan diriku?"

Almaris menarik diri. Sejujurnya, nafsu makannya menurun, entah mengapa. Padahal hari ini ia berencana mulai memasak untuk macan-macan kumbang di luar sana. Apakah karena ucapan Dainhart? Ha! Hinaan dan fitnah adalah sapaan para manusia acap kali bertemu dirinya, satu-satunya penyihir yang menjaga Hutan Terakhir, yang letaknya di sisi terluar kerajaan. Ketika penyihir-penyihir lain biasanya bersatu dalam persaudaraan mereka yang suci dan eksklusif, Almaris berdamai dengan ular-ular berbisa, macan kumbang, dan kelelawar vampir.

Namun, tampaknya surut semangat Almaris memang bukan karena omongan Dainhart.

Sebab, ketika Almaris membuka pintu pondok, ia melihat seberkas sinar matahari, begitu asing dan hangat, menembus kabut tebal yang bergetar hebat.

Matanya membeliak. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro