Bab I | Pengisap Jiwa
Sang penyihir penjaga Hutan Terakhir kelaparan, dan rasa lapar adalah hukum paling dasar yang mengatur tingkah seorang makhluk.
Karena itu, Almaris akhirnya mengendap keluar bayang-bayang kabut hutan, mumpung cuaca mendung. Kaki telanjangnya seperti terbakar saat menginjak rerumputan hijau. Secepat kilat, ia menyambar manusia pendosa pertama yang dilihatnya di tepi desa, dan menyeretnya naik ke bukit tak tersentuh penuh oleh pohon-pohon pemangsa dan bangkai manusia.
"Tolong!"
Tangisan si pemuda pecah di sela-sela pepohonan beringin dan Weeping Willow. Gema jeritannya sama sekali tidak menggetarkan kabut yang menggantung rendah, dan bisik-bisik yang melingkupi hutan mencemoohnya. Ia panik. Kabut tebal mengaburkan batas antara tanah basah dan langit, mempersempit dunianya sebatas celah-celah antara akar ara pencekik dan tawa para roh penghuni hutan.
Jarinya mencakar tanah kala kakinya diseret sang penyihir. "Aku memetik buah karena kelaparan, tolong jangan makan aku!"
Almaris tidak mendengarkan. Ia melangkah tanpa ragu, gaunnya yang gelap melayang macam bayangan hantu di tengah kabut. Tangan pucatnya mencengkeram kuat tungkai kurus si pemuda, kuku-kuku tajam menancap dalam hingga membuat dagingnya berdenyut perih. Almaris menyeret melintasi akar-akar ara pencekik yang gendut, membuat tubuh malang si manusia tersentak-sentak.
Di dalam kegelapan, sepasang mata kelam Almaris menemukan cahaya melalui rasa lapar, seperti macan-macan kumbang yang menunggu sang penyihir untuk membuang bangkai manusia.
"Tolong!" ulang pemuda itu putus asa, suaranya kini terbenam oleh gumpalan tanah berlumpur yang memenuhi mulut. "Aku hanya—"
"Ssh."
Almaris berhenti melangkah. Sayup-sayup terdengar sesuatu. Beruntun, dingin, dan mendebarkan. Di hutan yang nyaris tanpa suara selain tangisan, raungan, dan desisan hewan-hewan buas, mudah bagi Almaris untuk menangkap suara lain. Ia mengedarkan pandangan.
Segera, terdengar derap kuda-kuda. Bukan kuda biasa. Almaris pernah mendengarnya—itu ringkihan kuda-kuda para pembunuh, yang datang jauh-jauh dari ibu kota kerajaan dan hanya mampir atas titah penguasa.
Kabut menyibak ke arah yang dituju sang penyihir. Dari puncak bukit, Almaris menyaksikan para penunggang kuda menjatuhkan seonggok manusia sekeras debum tong anggur di dermaga. Tubuhnya berguling-guling di tanah penuh duri dan lumpur, sementara kuda-kuda hitam itu terus berlari, enggan menetap di wilayah penuh jebakan mematikan.
Harapan menggeliat di hati Almaris. Pemuda malang yang ia seret pun terlupakan, tersebab adanya janji santapan yang lebih menggiurkan. Ia bergegas turun, langkahnya ringan seperti gadis yang tak sabar membuka kado dari ayah terkasih. Ia ingin memastikan bahwa pria yang dibuang itu masih mengenakan jubah bangsawan.
"Ah! Apakah akhirnya Raja tobat, Duke ... Dainhart?"
Suara Almaris bak bisikan ular. Kalau tidak salah pria itu memang bernama Dainhart, yang ia tahu sejak berita penobatannya setahun lalu. Almaris memang selalu tertarik dengan calon-calon pendosa kerajaan. Segera terbayang sensasi mereguk habis jiwa-jiwa manusia yang kotor. Ia menjilat bibir. Ah, pasti selezat anggur.
Di tanah, Dainhart terperanjat berdiri. Seluruh tubuhnya memprotes dalam nyeri, terutama lengan-lengannya yang tertancap duri-duri dan kepala yang berdenyut keras. Namun, insting bertahan hidupnya terbakar tatkala melihat siluet anggun mendekat dari balik kabut. Terlalu anggun untuk menjadi algojo ... tak salah lagi, itu pasti Almaris, satu-satunya penyihir yang bersahabat dengan tukang jagal nyawa.
"Pergi kau, penyihir. Aku tidak berniat mati di hutan ini!" Pria itu meraba-raba sabuk. Sepertinya ia masih terbiasa dengan kehidupannya sebagai mantan kesatria. Sayang, tak ada pedang maupun pisau di sana, hanya ekspresi putus asa dan rahang yang mengetat.
Almaris tersenyum geli melihat tingkah sang bangsawan yang tak berdaya. "Betapa menyedihkan," bisiknya, "Duke Dainhart. Baru dinobatkan tahun lalu, tetapi sudah dibuang bagai tulang yang sumsumnya habis diisap majikannya."
Kilatan amarah melesat di mata sang bangsawan. Dalam sekejap, Dainhart bergerak. Tangannya mencengkeram rambut Almaris, menariknya mendongak dengan kasar.
Almaris terperangah. Kedua mata kelamnya membeliak marah, dan daun-daun pepohonan berdesir kuat di sekeliling mereka.
"Kau—"
"Jangan menertawaiku, penyihir." Dainhart mendesis di depan wajahnya, seolah akan meludahi Almaris. "Aku telah membunuh dua ratus penyihir dan dua ribu pemberontak. Jangan kira kau bisa melahapku."
"Ah, begitu?" senyum Almaris lenyap. Tantangan sang duke diterima dengan senang hati. Jarinya menyusuri leher dan rahang Dainhart, merasakan detak jantung yang menjalar ke seluruh nadi. "Dan aku telah menyantap dua juta jiwa."
Almaris puas mendapati mata Dainhart memelotot. Kengerian yang sempat terbersit di wajah angkuh itu membuat ujung bibir Almaris berkedut licik. Angka dua ribu bagi seorang manusia memang mencengangkan, tetapi ia adalah penyihir.
Dan, Almaris bukan sembarang penyihir.
Sebelum pria itu mampu bergerak lagi, Almaris mencengkeram lehernya, menancapkan kuku dalam-dalam. Asap hitam menjulur dan membebat leher Dainhart.
Dalamsekejap, sang bangsawan kehabisan napas dan terkapar lemas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro