Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6

A Lover

Alec & Alea

###

Part 7

###

Kayaknya part ini berantakan abis. Pikiran author lagi kaco. Jadi, ga perlu sungkan buat koreksi, ya. Wokeyyy??? 😘😘😘

Enjoy it...

###

Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.

Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.

Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar dengan pengkhianatan memalukan seperti ini. Alea perlu diberi pelajaran untuk menghargai kemurahan hatinya.

"Amankan cctv dan periksa kamarnya dengan teliti," perintah Alec pada tiga pengawal lainnya yang datang menghampiri ketika menyeberangin lorong. "Jaga ketat jalan keluar dan pastikan kalian menelusuri semua tempat di rumah ini. Panggil yang lainnya untuk bersiap jika dia berada di luar rumah. Berjaga di jalur yang kemungkinan dia gunakan untuk melarikan diri ."

Dengan teratur dan cekatan, ketiga pengawal itu berpencar. Satu ke gerbang rumah, satu ke lantai dua, dan satunya ke ruang keamanan. Hanya tertinggal kepala pengawalnya yang masih berdiri di belakang Alec menunggu perintah selanjutnya.

Akan tetapi, sebelum Alec sempat membuka perintah tersebut, ia melihat Arsen yang tampak kesal memaki para pengawal-pengawal pria itu yang terlihat tolol. Alec mendengus dalam hati. Pria itu memang handal memegang kendali perusahaan dengan otak cerdasnya, tapi untuk hal keamanan jelas nol besar. Melihat tampang pengawal-pengawal yang dipekerjakan Arsen, yang semuanya berwajah tolol dan bertubuh kurus kering. Apa yang bisa diandalkan selain memotong rumput di halaman belakang. Sungguh menyedihkan.

Tatapan dingin Alec bertemu dengan manik Arsen yang sepertinya lebih mampu memedam kemarahan dibanding dirinya.

"Di antara ratusan wanita yang bersediah telanjang di ranjangku, adik kesayanganmu meninggalkanku di hari pernikahan kami?" Alec berdecak mencemooh. "Kali ini, kuyakinkan padamu bahwa kau tak akan bisa menyelamatkannya dari genggamanku, Arsen."

Alec menatap jam tangan di pergelangan tangannya yang menunjukkan jam sembilan pagi lebih sepuluh menit. "Roy, kerahkan semua bawahanmu untuk menemukan Alea Mahendra dalam satu jam. Aku tak peduli dalam keadaan mati atau hidup. Karena aku tak tahu mana yang lebih baik dari keduanya." Alec mengakhiri kalimatnya dan memutus kontak mata dengan Arsen dan melewati ruangan itu.

Arsen menggeram sambil menendang meja kaca di sampingnya hingga terbelah dan jatuh ke lantai menjadi pecahan-pecahan tajam. Kali ini, bukan hanya Alea yang berada dalam bahaya, melainkan posisinya juga.

"Pergi kalian!" bentak Arsen pada ketiga pengawalnya. Sialan, seharusnya ia tak meremehkan penolakan-penolakan Alea yang ia pikir tak berarti. Alea memang gadis penurut dan lemah yang rapuh. Tak pernah membayangkan jika adik kecilnya itu akan bertindak senekat ini di saat terjepit.

Setelah butuh lebih dari lima menit untuk meredakan kekesalannya, Arsen berjalan keluar mengikuti Alec ke ruang tengah. Bersamaan dengan salah satu pengawal Alec yang baru saja turun dari tangga lantai dua dengan sesuatu di tangan.

Dahi Arsen berkerut ketika pengawal itu mengulurkan tangan pada Alec yang duduk di kepala kursi ruang tamunya. Bersikap berkuasa hanya untuk membuktikan bahwa Arsen hanyalah seorang bawahan. Arsen mengenali benda itu adalah ponsel Alea ketika langkahnya semakin mendekati Alec.

Alea melihat panggilan terakhir di ponsel Alea. Nama Arza sebagai satu-satunya orang yang berbicara dengan Alea sebelum wanita itu melarikan diri. "Arza?"

Arsen membelalak. Wajahnya kaku dan kepucatan melintasi wajahnya dengan tatapan tajam Alec yang kini sudah terangkat ke matanya dan terasa menusuk. Menyuruh Arsen menjelaskan tanpa harus diminta. Tetapi, Arsen tak bersuara. Tampak berpikir keras sebelum membuka suara.

Dan keheningan itu terpecah dengan kemunculan Arza di ruangan tersebut. Setengah berlari mendekati Arsen dan terengah ketika berhenti. "Pengawal baru saja memberitahu ..."

"Apa kau membantunya melarikan diri?" tanya Alec memotong kalimat Arza.

Arza tampak terkejut kaget dengan pertanyaan bernada tuduhan yang dilontarkan Alec begitu saja. Ia menggeleng keras sambil menarik napas panjang dan menjawab, "Aku ... dia begitu gugup dengan pernikahan ini. Dia menelponku dan aku hanya menenangkannya."

Alec mendengus keras sambil melempar ponsel Alea ke karpet tepat di kaki Arza. "Omong kosong!"

Arza membungkuk mengambil ponsel Alea. Menatap Arsen lalu beralih pada Alec. Kemarahan di balik wajah dingin Alec tampak mengerikan. Pantas saja Alea begitu takut pada pria itu hingga melarikan diri seperti ini. Mendadak ia jadi tak yakin dengan keputusan Arsen dengan kesepatakan kakak angkatnya dengan Alec.

"Di mana kau ketika Alea menelpon?" Arsen bertanya dengan ketenangan yang dipaksakan. Sesaat ia mencurigai Arzalah yang membantu Alea kabur, tapi keterkejutan di wajah Arza ketika Alec melemparkan tuduhan bukanlah kebohongan. Kali ini Alea melakukan tindakan gegabah ini tanpa sepengatahuan Arza.

"Aku di halaman belakang menyambut kerabat yang datang dan tamu undanganmu dari pihak Alec. Menunjukkan kursi mereka. Bukankah aku melakukannya denganmu?" Arza lalu menoleh ke arah Alec. "Kau melihatnya."

Arsen terdiam sebagai penerimaan akan alibi Arza.

Alec yang seakan tak percaya jawaban Arza memaksa diri menerima jawaban Arza. Ia memang melihat Arza sibuk dengan para undangan. Begitupun dirinya.

"Cctv?" tanya Arza kemudian dengan keterdiaman Arsen dan Alec.

"Aku sudah memeriksanya. Tidak ada yang melihatnya melewati pintu gerbang," jawab Arsen. Tepat setelah Arsen menutup mulut, Roy pengawal Alec muncul. Memberitahu bahwa Alea menyelinap ke mobil box catering untuk mengelabui penjaga. Selesai sudah. Harapannya jika Alea masih berada di sekitar rumah yang membuatnya lebih mudah membujuk Alec, hancur begitu saja. Kali ini ia tak yakin pernikahan ini bisa diselamatkan atau tidak. Ia bahkan tak yakin adik kecilnya itu bisa selamat atau tidak dari genggaman Alec. Melihat kemurkaan sangat besar yang membayang di manik Alea, menungg saat yang tepat untuk diluapkan pada Alea.

"Kau tahu apa yang harus dilakukan, Roy." Bibir Alec menipis ketika memberita perintah tersebut. Tatapannya mengunci mata Arsen dengan kemenangan yang arogan.

Roy mengangguk patuh, lalu berpamit dan melakukan panggilan di ponsel untuk mengerahkan anak buahnya yang ada di luar dengan langkah cepat keluar dari ruangan tersebut.

Alec mendorong punggungnya menempel di sandaran sofa kulit coklat tua tersebut, meyilangkan kaki dan duduk dengan sangat nyaman di antara ketegangan kedua adik kakak yang ada di hadapanny saat ini. "Jadi, sambil menunggu bungsu Mahendra bermain-main, sepertinya kita perlu membahas ulang tentang pernikahan ini."

Untuk kedua kalinya Arsen kehilangan kepercayaan diri di hadapan Alec Cage. Di acara pesta malam itu ketika Arsen secara sembrono mengumumkan bahwa pria itu kembali sebagai pewaris sah MH di hadapan para tamu undangan, dan sekarang di saat Alea yang seharusnya menjadi penyelesaian masalah pertamanya malah membuat masalah baru yang bukan hanya sekedar membahayakan posisinya. Melainkan membahayakan nyawa mereka berdua.

"Kali ini keputusan ada di tanganku. Terserah aku memilikinya dengan cara apa. Karena sudah jelas adik kesayanganmu itu tidak tahu cara berterima kasih," lanjut Alec.

Mata Arza melebar marah, bibirnya sudah terbuka dan protesnya sudah di ujung lidah. Namun, tatapan dan gelengan samar kakak angkatnya membuat Arza terbungkam. Hanya mampu mengepalkan kedua tangan sebagai ungkapan kemarahan terhadap kearogansian Alec.

Seringai di bibir Alec semakin meninggi ketika kedua kakak beradik itu kini tak berdaya di bawah kakinya. "Atau kauingin menukar posisimu kembali, Arsen? Meskipun tak mudah menganggap semua penghinaan ini sebagai niat dari ketulusan hatimu, aku akan melupakannya. Setidaknya aku sudah sedikit membayar rasa penasaranku pada tubuh adikmu. Yang sekarang menjadi tak semenarik kemarin ..."

Arza yang tak mampu mengendalikan amarahnya, melompat ke arah Alec. Melayangkan satu tinju ke arah wajah Alec. "Berengsek kau!"

Mata Arsen terpejam. Membahayakan nyawa mereka bertiga, ia memperbaiki. Meski sesungguhnya dirinyalah yang berniat melompat dan menghancurkan wajah Alec beberapa detik yang lalu. Setidaknya kearogansian Alec perlu ditegur.

Alec sudah memperkirakan reaksi tersebut dari Arsen atau Arza. Tetapi bukan Alec namanya jika semudah itu seseorang menggoreskan lecet di kulit wajahnya. Hanya butuh satu tangkisan untuk menghindari tinju Arza dan membanting pria tinggi dan kurus itu ke lantai. Arza bangkit dengan cepat dan hendak melemparkan tinjunya yang lain ke arah Alec lagi.

"Hentikan, Arza!" Suara Arsen menggelegar.

Tinju Arza membeku di udara cukup lama di udara. Dengan wajah merah padam dan ketidakrelaannya untuk memberi pelajaran mulut kurang ajar Alec, Arza tahu harus mundur. Kemarahan Alec padanya bisa berdampak lebih mengerikan lagi pada Alea, karena sudah jelas di mana pun Alea berada saat ini. Alec akan memiliki kuasa untuk membalas semua rasa malu yang ditanggung pria itu hari ini saat Alea ditemukan.

"Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan."

Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.

Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. "Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ..."

"Atau?" Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. "Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita."

"Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupikir Banyu Dirgantara bukan pilihan yang buruk."

Wajah Alec memias dan keterpakuan melintas di wajahnya meski hanya sedetik. Sialan, ia tak bisa meremehkan Arsen begitu saja.

"Aku tahu tidak akan mudah melawanmu, tapi bukan berarti aku tak bisa melakukannya. Jika kau menyentuh adikku sedikit saja, kupastikan ancamanku bukan sekedar omong kosong."

"Apa kau ingin menghitung dan membandingkan kekuatanku denganmu, Arsen? Aku tak akan membuang waktuku untuk hal semacam itu. Kau salah besar di detik ketika berpikir aku akan terpengaruh dengan ancamanmu."

Arsen terdiam. Merasa marah karena tak mampu berkutik meski dengan ancamannya yang ia pikir akan dengan mudah membujuk Alec untuk memberinya kesempatan.

Di dalam ketenangan itu, mendadak ponsel di saku jas Alec bergetar. Seringai tersungging tinggi-tinggi di kedua sudut bibir Alec ketika ia melihat Roylah yang menghubunginya. Ketika Alec mengangkat wajah sambil menempelkan ponsel di telinga, Arsen yang duduk di seberang meja mulai terlihat tegang.

"Secepat ini?" Alec terkekeh. Tak bisa memercayai keberuntungannya, ia tertawa keras hingga kepalanya terdongak dan hingga gigi gerahamnya yang rapi dan putih terlihat jelas karena saking lebarnya ia tergelak.

Tubuh Arsen yang sudah tegang semakin menegang. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menjaga ekspresi wajah yang semakin sulit ia kendalikan. Berharap keselamatan Alea satu-satunya hal yang bisa ia lakukan meski itu tak akan memberinya harapan apa pun selain menyayangkan kebodohan adiknya itu.

Tawa Alec mereda, masih dengan senyum yang bertengger manis di bibir Alec, pria itu berkata datar pada Roy. "Bawa ke hotel terdekat, aku akan ke sana dalam setengah jam."

"Di mana Alea?" Arsen tahu tak akan semudah itu mendapatkan jawaban dari Alec.

"Aku tak mengira akan menemukannya secepat ini." Alec mengedikkan bahu. "Karena aku begitu senang, kuberi sepuluh menit untuk meyakinkanku bahwa pernikahan ini begitu penting untuk terlaksana." Alec berhenti sejenak. "Untuk mengulur waktu dan membuat adikmu menunggu dengan gugup mungkin. Aku selalu suka saat mempermainkan ketakutannya."

***

Alea tahu ketika mobil itu berhenti secara mendadak hingga membuat kepalanya terbentur dinding besi mobil dengan keras hingga mengaduh, sesuatu yang buruk tengah menunggunya. Benturan itu sangat keras dan pandangan Alea berkunang ketika rasa sakit yang sangat tajam membuat kepalanya pusing.

Alea menyentuh bagian belakang kepalanya, mengusap dan berharap rasa sakit itu mereda. Ketika rasa pusing di kepalanya sudah tak begitu terasa, firasat buruk yang menggelayuti hatinya terasa begitu kuat hingga menghentikan detak jantungnya. Suara seseorang mengancam si sopir dan menyuruhnya turun dari mobil. Jelas itu bukan perampok yang cukup tolol melakukan kejahatan di siang hari dan di tempat umum seperti ini. Lebih dari itu.

Napas Alea tertahan, suara pengait yang diputar dan ditarik membuat tubuhnya beringsut merapatkan punggung ke dinding mobil meski ia sadar itu tindakan konyol. Gaun besarnya tentu tak membuatnya bersembunyi semudah itu dan warnanya yang putih terang tampak sangat mencolok di antara dinding bercat hitam dan kotak-kotak makanan yang berwarna gelap.

"Apa Nona perlu bantuan untuk turun?" Pertanyaan pengawal yang berwajah datar itu sama sekali tak mengurangi gemetar di seluruh tubuhnya begitu tatapan mereka saling beradu.

Alea membeku, itu bukan pengawal Arsen, jadi sudah tentu pengawal Alec dan bekerja di bawah perintah sialan itu.

Antara pasrah dan takut akan kemungkinan ia telah membuat Alec murka, Alea berusaha turun dari mobil dengan bantuan pengawal itu yang mengangkat ekor gaunnya. Tak jauh dari tempat mereka, ada satu pengawal lainnya yang menunggu dan membukakan pintu mobil sedan hitam untuknya. Alea mengernyit ketika jalanan beraspal yang panas bersentuhan dengan telapak kaki Alea yang telanjang. Alea menahannya sekuat tenaga sambil menatap ragu pada pintu mobil yang terbuka itu. Ia tahu apa yang tengah menunggunya jika ia masuk ke mobil itu.

Alea berhenti. "Aku ... aku ingin menelpon kakakku." Suara Alea bergetar. Sialan, ini tak bisa membayangkan berhadapan dengan Alec jika berhadapan dengan pengawal pria itu saja bisa membuatnya setakut ini.

"Silahkan masuk, Nona." Pengawal itu mengabaikan permintaan Alea.

Alea berjinjit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Jalanan memang ramai tapi sama sekali tak ada pejalan kaki yang tampak dan bisa ia harapkan untuk menolongnya.

"Tuan Alec tak suka menunggu, Nona. Sebaiknya kita segera bergegas." Pengawal itu menyela niatan yang tampak jelas di mata Alea dan segera memadamkannya sebelum Alea bergerak melakukannya. Karena jelas itu tidak baik untuk diri wanita itu sendiri.

Alea pun masuk ke mobil dan menunggu dalam kegugupan yang terasa mencekik lehernya. Tak cukup sampai di situ penyiksaan batinnya, Alea semakin panik ketika menyadari pengawal itu bukan membawanya kembali ke rumah. Melainkan ke salah satu hotel milik MH yang kebetulan berada dekat di tempatnya ditemukan. Sedikit harapan bahwa pernikahannya dengan Alec dibatalkan membuat hatinya dipenuhi kelegaan. Karena, ia pun masih tak bisa bernapas dengan lega akan akibat dari pembatalan pernikahan tersebut.

Alea diserahkan pada pengawal lainnya yang menunggu di halaman parkir, membimbingnya memasuki lobi hotel. Wajah Alea tertunduk mengabaikan tatapan terheran dan penuh tanya beberapa tamu hotel ketika tatapan mereka terarah pada kaki telanjangnya. Mereka naik lift khusus yang hanya disediakan untuk menuju kamar-kamar tertentu di gedung hotel ini.

"Apa kakakku yang menyuruh membawamu ke sini?"

Pengawal itu sama seperti temannya yang lain. Yang hanya bisa berwajah datar dan bungkam pada pertanyaannya tentang Arsen. Apakah Arsen benar-benar tak ada di sini untuk membantunya? Meskipun ia telah membahayakan jabatan Arsen, kakaknya pasti masih punya sedikit nurani sebagai seorang kakak yang melindungi adiknya, kan? Di balik sikap tak punya hati, kata-kata kasar, dan keputusan egois yang ditetapkan Arsen, Alea tahu Arsen tak pernah membiarkan keluarga mereka dalam bahaya.

Kegugupan Alea semakin bertambah setiap lift menaiki lantai per lantai dan berhenti di lantai tertinggi. Lalu suara denting menandakan pintu lift terbuka, pengawal itu mengarahkannya untuk keluar dan berbelok ke arah kanan. Menuju salah satu pintu terjauh dan membuka pintunya lebar-lebar sebelum kemudian mempersilahkan Alea yang berdiri membeku untuk segera masuk.

"Silahkan, Nona." Pengawal itu mengulang untuk kedua kalinya karena Alea masih mematung terlihat berpikir dalam ketakutan.

Alea melangkah perlahan dengan kaki telanjangnya yang bergetar hebat. Keremangan suasana kamar jelas mengalirkan kengerian yang membuat seluruh tubuh Alea bergidik.

Di sana, di kursi yang terletak di tengah kamar, Alea melihat Alec dengan dasi kupu-kupu yang sudah terurai dan masih menggantung di kerah kemeja yang dua kancing teratasnya sudah terbuka. Pria itu duduk dengan kaki bersilang dan satu tangan menggenggam gelas anggur yang masih terisi seperempat gelas.

"Alec?" Alea mundur ke belakang dan hampir terjatuh karena kakinya terlilit ekor gaunnya. Tapi, pengawal di belakangnya menahan pundaknya. Pandangan Alea memutari seluruh ruangan hotel yang lengang. Sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaan Arsen. "Di ... di mana Arsen?"

"Menurutmu?" Mata tajam pria itu tampak dingin dan tak satu pun ekspresi yang bisa Alea temukan di ketenangan ekspresi Alec. Akan tetapi, aura panas membakar yang melingkupi seluruh tubuh Alec dan menyebar memenuhi seluruh ruangan semakin memperparah gemetar di kaki Alea.

Kemudian, ketika Alea mendengar bunyi klik dari arah belakang. Alea menoleh dan melihat pengawal yang tadi di belakangnya menutup pintu. Meninggalkannya sendirian dalam ruangan itu dengan Alec. Kali ini, Alea benar-benar tak sanggup memendam ketakutan itu lebih lama lagi. Alec benar-benar mimpi buruk yang mencekik lehernya di siang hari sekalipun.

Tatapannya kembali kepada Alec, seringai yang melebar di sudut bibir Alec seketika membuat jantung Alea berdegup kencang. Kepanikan menguasai Alea begitu kuat, dan menggerakkan seluruh tubuh Alea untuk berlari menjauh. Alea berbalik, berhasil meraih gagang pintu dan membukanya tanpa sempat mengambil langkah pertamanya keluar dari kamar itu.

"Lepaskan aku!!" Alea memukul tangan Alec yang melingkar di pinggang dan menariknya mundur lalu membanting tubuh Alea ke ranjang menggunakan kekuatan hanya dari satu tangan.

"Kau benar-benar membuatku bosan, Alea." Alec menyusul naik ke ranjang. Mendorong tubuh Alea yang melenting berusaha bangkit untuk kembali berbaring dan menindih tubuh mungil itu dengan setengah badannya. Satu tangannya menggenggam kedua pergelangan tangan Alea dan menguncinya di atas kepala wanita itu.

"Pernikahan?" kekeh Alec mencibir "Aku tahu seharusnya tak terlalu bodoh menyetujui satu-satunya syarat tolol yang diajukan kakakmu. Penolakanmu benar-benar menyinggung perasaanku, Alea. Kaupikir dirimu begitu berharga hingga mengolokku sedemikian rupa, huh? Mempermalukanku di depan para tamu undangan?"

Setelah Alec menyelesaikan kalimatnya, tangan kiri Alec meraih pinggiran kain di bawah lehernya dan menariknya sekuat tenaga hingga gaun pengantin itu robek membelah bagian depan dan menampakkan bra tanpa tali Alea. Alea menggeleng dan menjerit keras.

Alec menimbang untuk menyumpal mulut Alea dengan kain atau membuat mulut itu sibuk mendesah nantinya. "Semua kerumitan ini kulakukan untuk mengklaim tubuhmu, sekarang kau mempermudah semuanya bagi kita berdua, Alea. Aku tak perlu menikahimu untuk mengklaim dan mencicipi tubuhmu dan kau tak perlu tertekan dengan pernikahan kita. Bagaimana? Tidak setiap hari aku berbuat baik pada orang."

***

Hmmm, cocoknya Alec yang bawah atau yang atas, yak???




Saturday, 27 June 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro