Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5


A Lover

Alec & Alea

###

Part 5

###


Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.

Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.

Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.

Mamanya memang begitu mencintai papanya. Rasa kehilangan yang amat sangat besarlah yang membuat mamanya berada dalam kondisi lemah dan tak berdaya seperti ini. Setelah kepergian papanya, mamanya lebih sering menyendiri, mengabaikan anak-anaknya. Di situlah titik terendah keluarga mereka. Satu persatu cobaan meruntuhkan kebahagiaan keluarga mereka. Dan penyebab papanya pergi adalah karena dirinya.

Seketika Alea menepis ingatan masa lalu yang timbul di sudut pikirannya ketika perutnya mulai terasa tak nyaman. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Ia selalu butuh pertahanan diri yang lebih kuat dari kenangan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam saat datang ke rumah sakit. Semuanya sudah terjadi dan menyalahkan dirinya sendiri tak akan mengembalikan satu detik pun dari semua waktu yang sudah terlewat. Tak akan mengurangi sedikit pun kepedihan keluarganya. Arsen sudah mengembalikan semuanya seperti semula, meski beberapa hal tak bisa kembali seutuhnya. Seperti kepergian papa dan keadaan mamanya saat ini.

"Apa Mama baik-baik saja hari ini?" Alea mengusap tangan lalu memasang senyum. "Putri Mama akan menikah, apa Mama tidak ingin melihat pernikahanku?"

Alea mengerjap, mencegah rasa panas yang mulai muncul di sudut mata. Hampir empat tahun melihat mamanya yang lemah dan tak berdaya, ternyata tak membuat Alea terbiasa dengan kepedihan.

Terkadang keputus-asaan mendera, tak tertahankan melihat kondisi mamanya yang tidak berkembang sedikit pun. Tetapi, ia percaya, ia tak pernah berhenti berharap, bahwa suatu saat nanti mamanya akan bangun dan kembali melengkapi kehidupan mereka. Melihat bahwa keluarga mereka masih hidup, masih berjuang, dan hidup dengan baik-baik saja. Sebagai penyemangat bahwa mamanya juga pasti bisa melewati cobaan ini juga.

Lama Alea termenung, menatap wajah mamanya yang tak pernah bosan ia nikmati. Seolah dengan melihat mamanya yang bernapas, ia masih memiliki cinta dan kasih orang tua. Menyerap semua kasih sayang dari wajah pucat itu sebagai kekuatan untuk bertahan hidup.

Tak lama, keheningan ruangan itu terpecah oleh suara pintu yang dibuka. Alea memutar kepala dan melihat kakak sulungnya muncul.

"Kau di sini?" Sekilas keterkejutan muncul di manik Arsen melihat Alea yang duduk di samping ranjang mamanya. Memasang ketenangan di wajah, ia pun menutup pintu dan berjalan mendekati Alea.

Alea mengerutkan kening. Arsen tak pernah datang ke rumah sakit di waktu jam kerja seperti saat ini. Kakaknya itu selalu menyempatkan diri untuk melihat mamanya sebelum berangkat atau sepulang kerja. Kecuali ...

"Apa dokter memanggilmu?" tanya Alea dengan kekhawatiran yang mulai muncul di matanya.

Arsen menggeleng. Berhenti tepat di samping Alea dan menjawab dengan sikap santainya. "Aku sedang ada pertemuan di dekat sini," bohongnya.

Dokter memanggilnya secara mendadak beberapa hari yang lalu. Keadaan mamanya tiba-tiba kritis karena serangan jantung dan beruntung berhasil melewati masa kritis setelah dipindahkan di ruang ICU selama tiga hari. Itulah sebabnya Arsen menyempatkan waktu untuk mengecek keadaan mamanya lebih sering daripada biasanya. Alea tak tahu menahu tentang hal itu dan Arsen tak berniat memberitahu tentang keadaan mamanya yang semakin menurun.

Semua kerja keras Arsen dan harapan yang dimiliki Alea tak sedikit pun menggerakkan hati Natasya Mahendra untuk membuka mata. Seolah mamanya sudah terlalu bosan dan enggan untuk hidup lebih lama lagi. Tersesat dalam harapan yang mati. Menyerah pada pahitnya kehidupan. Tak sabar meninggalkan buah cinta yang pernah mewarnai kehidupan mamanya untuk bergabung dengan sang kekasih di keabadian.

Ck, mamanya memang seegois itu.

Dari mamanya, Arsen tak pernah tahu dan tak berniat mencari tahu dengan yang namanya cinta. Hidupnya sudah terlalu berat tanpa ada kata sialan itu. Sudah cukup apa yang terjadi pada mamanya dijadikan sebagai contoh menyedihkan sebuah kehidupan. Baginya, cinta adalah kekosongan, kehampaan, dan satu-satunya alasan orang bersikap bodoh. Semua itu adalah gambaran yang gamblang menjelaskan tentang keadaan mamanya. Atau seperti itulah cinta yang mamanya kenal. Karena bagi seorang, cinta yang ia ketahui bukanlah sebuah rasa atau sebentuk emosi. Melainkan hanya salah satu bentuk dari materi. Yang bisa disentuh dengan tangan dan dilihat dengan mata. Seberapa banyak kau bisa memberikan kemewahan, maka cinta akan membalasnya dengan cara yang seimbang.

Nyatanya, Karen baik-baik saja setelah perjodohan yang ia atur. Adik perempuannya itu bahagia dengan semua kemewahan yang diberikan sang suami. Dan Alea, awal kali mungkin adik bungsunya itu bersikeras menolak rencana ini. Arsen bisa memaklumi itu.

Karena Alea tipe orang yang tak bisa dengan mudah akrab dengan orang asing. Alea selalu bermasalah dan menjaga jarak dengan orang asing. Bahkan adiknya itu selalu mengeluh saat ada salah satu pelayan baru menggantikan pelayan lama yang berhenti lalu mulai menjaga jarak dan merasa tak nyaman.

Akan tetapi, Arsen yakin adiknya itu juga akan berakhir sama seperti Karen. Akan bahagia dengan segala kemewahan yang dimanjakan Cage untuk Alea.

"Apa mama baik-baik saja?"

"Ya, dia baik-baik saja." Arsen menyentuh pundak Alea, meremasnya sedikit dan Alea mendesah dengan lega. Kemudian, tatapan Arsen kembali pada mata sang mama yang terpejam. Berharap dalam hatinya, 'Setidaknya Mama harus bertahan sampai Alea menyelesaikan pernikahannya, kan? Aku akan membuatnya menjadi wanita tercantik di hari pernikahannya.'

***

Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.

Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.

Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.

"Keributan apalagi ini, Karen?" Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Karen bernapas terengah di depan wajahnya karena kepanikan. Kakaknya itu sudah menyelesaikan riasan di wajah dengan roll rambut yang masih memenuhi seluruh kepala. Ia bahkan belum

"Kenapa kau lama sekali di kamar mandi?!" sergah Karen.

"Ya, aku harus benar-benar membersihkan diriku di hari penting ini, bukan?" dusta Alea. Mengikat tali jubah mandinya dan berjalan keluar kamar mandi.

Karen mengekor di belakang Alea menuju meja rias. "Periasmu sudah menunggu di depan kamar, aku berharap mereka sangat ahli dan menutupi kantung matamu dengan sangat baik. Bersiaplah, aku akan menyuruh mereka masuk. Arsen juga menyuruhku memeriksa bungamu. Dia bilang akan datang sebentar lagi karena baru dipetik pagi-pagi sekali. Aku tak tahu calon suamimu orang yang begitu pemilih. Ia mengatur acara ini sebaik dan sesempurna mungkin. Bolehkah aku merasa sedikit iri padamu, Alea?" canda Karen.

Alea tak menanggapi ocehan Karen. Semua orang sibuk mempersiapkan hari pernikahannya tanpa memedulikan pergolakan batin yang menekan dan membuatnya tak bisa tidur selama seminggu penuh. Merasa iri padanya? Apakah ia boleh mengajukan pertanyaan yang sama pada Karen? Meski pernikahan kakak perempuannya itu juga salah satu kesepakatan bisnis Arsen, setidaknya Karen dan Kiano saling mencintai. Kiano dengan mudahnya membuat Karen jatuh cinta setelah mereka bertunangan. Sesuatu yang tak mungkin akan ia dapatkan. Karena satu-satunya pria yang Alea cintai adalah Arza. Dan Alea tak melihat kemungkinan perasaannya akan berubah. Apalagi berpikir untuk mencintai pria lain selain Arza.

Alea mengusap wajah yang masih basah dengan handuk yang menggantung di bahu. Menatap kantong mata yang terlihat seperti lebam di kedua matanya dan mendesah keras. Ia benar-benar terlihat kacau. Meski tak sungguh-sungguh menyesalkan hal tersebut.

"Tenanglah." Karen menyentuh kedua pundak Alea, menyalurkan ketenangan untuk meredakan kegugupan yang disalahartikan oleh Karen. "Mulai malam ini aku yakin kau akan tidur dengan nyenyak. Kantung mata itu akan menghilang dalam beberapa hari. Atau akan menjadi lebih parah," kikik Karen dengan maksud tersembunyi.

Alea menggoyangkan bahu menepis tangan Karen dari sana. "Diamlah, Karen. Kau membuatku semakin kacau. Kau bisa pergi sekarang."

Tawa Karen nyaring hingga menutup mulut dengan telapak tangannya. "Baiklah. Aku akan keluar."

Alea merasa lega. Keceriaan di wajah Karen membuat Alea semakin tertekan dan tak nyaman berhadap-hadapan secara langsung dengan Karen. Karena Alea pun enggan harus memasang senyum khas pengantin wanita secara terus-terusan untuk kakaknya itu. Kebahagian dalam pernikahan ini memang bukan miliknya.

Perias dan ketiga kaki tangan yang membantu menyempurnakan penampilan Alea, melakukan tugasnya dengan sangat baik. Riasan di wajah membuat kecantikan Alea yang sudah sempurna semakin sempurna. Gaun pengantin pun melekat di tubuh Alea dengan ukuran yang pas. Dan memikirkan bagaimana Alec melakukan ketepatan ukuran itu lagi-lagi membuat kesal Alea. Hatinya memanas, begitu pun seluruh wajahnya.

"Sudah selesai, Nona. Apakah ada yang membuat Nona tak nyaman? Kami akan memperbaikinya."

Alea menggeleng. "Kalian bisa keluar sekarang."

Keempat orang itu pun mulai membereskan peralatan-peralatannya dan bergegas keluar. Alea mengembuskan napas keras penuh kelegaan. Ia butuh sendiri. Butuh waktu untuk dirinya sendiri sebelum kehidupannya benar-benar menjadi milik Alec Cage.

'Haruskah pernikahan ini terjadi?'

Lagi, pertanyaan itu muncul di kepala. Otaknya berputar mencari alasan yang tepat kenapa ia harus menikah dengan Alec. Karena Arza? Karena Arsen? Kenapa bukan untuk dirinya sendiri?

Alea melirik jam di dinding. Jam delapan pagi lebih dua puluh lima menit. Kuku Alea tak berhenti mengetuk permukaan meja riasnya karena kegugupan yang menguasainya terus menerus. Tiga puluh menit lagi, hidupnya akan menjadi milik Alec Cage. Seluruh tubuhnya bergidik ngeri membayangkan detik-detik yang terasa mencekam.

'Ini bukan pernikahan yang kuinginkan!' Alea menggelengkan kepala dengan keras. Menyerap kata-kata itu sekali lagi di hati dan pikirannya. Meyakinkan dirinya bahwa ia akan menentang keputusan Arsen ini.

Alea mengangkat ponselnya di meja. Menekan panggilan cepat nomor satu lalu menempelkannya di telinga. Ia harus berbicara dengan Arza.

"Alea?" Suara Arza menyahut dari seberang di deringan ketiga. Sepertinya Arza sibuk dengan para tamu mendengar keramaian di belakang suara kakak angkatnya tersebut. "Apa kau membutuhkan sesuatu?"

"Tidak." Alea menggeleng.

"Apa semuanya berjalan dengan lancar?"

"Aku ... aku tidak ingin menikah!"

Arza terdiam. Cukup lama hingga akhirnya berkata, "Tunggu sebentar."

Alea menunggu. Alea pikir Arza akan menutup telepon dan bergegas mendatangi kamarnya untuk menenangkan dirinya. Tetapi, Arza tak memutus panggilannya dan memanggil namanya tak lama kemudian.

"Alea?"

"Aku benar-benar tidak bisa melakukan ini." Suara Alea yang bergetar berlumu kekalutan. Sudut matanya bahkan sudah mulai memanas.

"Tenanglah, Alea."

"Aku tidak bisa tenang, Arza!" Suara Alea meninggi. Bisakah kau membawaku pergi saja. Lakukan sesuatu untuk membantuku pergi dari sini. Kumohon."

"Semua akan baik-baik saja. Inilah yang terbaik untuk kita. Percaya padaku."

"Aku tidak mencintainya. Aku hanya mencintaimu. Tolong aku, Arza."

"Alea, kita tahu bahwa apa pun yang ada di antara kita sudah berakhir. Aku tak bisa memilikimu seperti aku tak bisa menghancurkan keluarga yang sudah menyelamatkan hidupku."

"Arza ..."

"Pernikahan ini jauh lebih baik dari cintamu padaku."

"Arza ..."

"Alea, Arsen memanggilku. Aku harus pergi." Arza memutus panggilan sebelum Alea sempat berkata lagi.

Genggaman Alea melemah dan ponsel di telinganya jatuh ke lantai. Air mata jatuh ketika kalimat-kalimat Arza yang diniatkan untuk menenangkan hatinya, tanpa pria itu sadari telah menghancurkan dunianya. Pernikahan ini jauh lebih baik dari cintamu padaku? Alea mengulang dalam hati dengan pedih. Apakah itu berarti Arza menganggap perasaan yang mereka miliki adalah sebuah permainan. Yang akan berakhir begitu saja saat mereka berdua kembali ke jalan masing-masing?

Tidak bisakah jalan mereka menjadi satu?

Jika Arza tidak berani mendatangi jalannya, maka dirinyalah yang akan berlari ke jalan pria itu. Alea berdiri, mengangkat bagian bawah gaunnya dan berjalan ke arah pintu. Membuka sedikit dan mengintip ke luar. Tidak ada siapa pun di sekitar sini. Sepertinya semua orang sibuk di halaman belakang dan dapur. Alea bergegas menuju tangga, menuruni anak tangga dengan cepat sebelum ada seseorang memergoki dirinya.

Pintu utama jelas bukan pilihan yang tepat untuk melarikan diri. Alea pun berbelok ke pintu halaman samping. Tempat kendaraan para tamu terparkir.

"Apa semua makanan sudah dikeluarkan?" Suara seorang pria membuat Alea segera merapat ke dinding. Mengintip dari jendela kaca di samping pintu dan melihat dua pria berpakaian hijau gelap dengan logo salah satu nama perusahaan catering paling terkenal di kota.

"Iya," jawab temannya yang lain.

"Dapatkan tanda tangan kepala dapur, setelah itu kita pulang," perintah pria yang lebih tinggi pada temannya. Alea bersembunyi di balik pintu besar ketika teman pria itu membawa buku dan masuk kembali ke rumah menuju ke area dapur.

Setelah pria itu menghilang di ujung lorong, Alea mengintip pria lainnya yang sudah masuk ke mobil. Tak menunggu lama, Alea menyelinap keluar menuju bagian belakang mobil box itu. Sambil mengamati di sekitarnya, Alea meraih pengait besi besar yang menghubungkan kedua pintu. Lalu membuka pintu mobil itu tanpa menimbulkan suara sekecil apa pun.

Semua makanan sudah dikeluarkan tapi Alea perlu menyingkirkan kotak-kotak besar yang sudah kosong untuk memberinya jalan. Untuk memanjat naik dengan gaun besar yang cukup mengganggu, Alea mengerahkan seluruh tenaganya. Dan berhasil melakukannya dengan lancar.

Tak lama, pria yang diutus temannya untuk mendapatkan tanda tangan kepala dapur muncul. Berjalan memutari bagian belakang mobil untuk bergabung dengan temannya. Dan langkahnya terhenti ketika melihat pintu mobil yang tidak tertutup dengan rapat.

Sesaat pria itu mengerutkan kening dengan pengait pintu yang tidak terkait ke penguncinya. Karena seingatnya, ia sudah menutup rapat kedua pintu itu ketika pelayan membawa makanan di boks terakhir. Tak ambil pusing, pria itu segera menutupnya kembali dan ikut bergabung dengan temannya untuk kembali dapur pusat melakukan pengiriman selanjutnya.

***

Kasian amat bang Alec ditinggal kabur di hari nikahannya? Kuy, siapa yang mau gantiin pengantin wanitanya???

Wkkwkwkkwk



Friday, 19 June 2020



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro