Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 39

A Lover

Alec & Alea

###

Part 39

###

"P-perutku," tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.

Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. "Apakah sakit?"

"Sedikit." Alea mengangguk pelan. "Lakukan dengan pelan-pelan."

"Katakan jika aku membuatmu tak nyaman."

Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.

Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.

Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Mengecup kening wanita itu penuh ucapan terima kasih yang hanya terucap lewat pandangannya. Alea membalas tatapannya dengan wajah yang penuh dengan peluh, tapi terlihat puas. Pemadangan yang belum pernah Alec lihat sebelumnya setiap kali ia menikmati tubuh wanita itu.

Alec menjatuhkan tubuhnya ke samping Alea. Menyelipkan lengan di leher Alea dan membawa wajah wanita itu ke dadanya. Satu kecupan mendarat di ujung kepala Alea yang lembab. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Alea yang selalu memabukkannya. Bercampur aroma seks.

"Tidurlah," gumam Alec seraya menarik selimut menutupi tubuh telanjang mereka berdua.

Mata Alea terpejam. Tangannya terangkat melingkari pinggang Alec sebelum rasa kantuk perlahan membiusnya.

***

Pagi itu, Naina serasa dibakar hidup-hidup ketika masuk ke kamar Alec dengan alasan membawakan nampan makanan yang hendak dibawa oleh pelayan. Darahnya serasa mendidih hingga mencapai titik didih tertinggi melihat Alea masih berbaring di ranjang, memunggunginya. Yang justru menampilkan kulit punggung wanita itu yang dipenuhi kissmark, dan tak perlu tanya siapa yang meninggalkan bekas sialan itu di sana.

Semalam, ia yakin Alec murka pada Alea karena melihat wanita itu berpelukan dengan Arza. Naina juga yakin mendengar benda pecah dari arah lantai dua sebelum masuk ke kamarnya sendiri. Tetapi pemandangan ini jelas tak seperti yang Naina perkirakan akan ia temui.

Ia pikir akan melihat Alec tidur di kamar yang terpisah, atau malah Alea yang diusir dari kamar. Minimal menjumpai Alec dan Alea yang tak saling bertegur sapa. Tetapi ini, tak ada satu pun perkiraannya yang menjadi kenyataan.

"Letakkan saja di sana, Naina," ucap Alec memutus tatapan tajam Naina ke arah ranjang.

Naina menoleh, melihat Alec yang bertelanjang dada dengan handuk tersampir di pinggang berjalan keluar dari kamar mandi. Bercak-bercak air masih membasahi kulit telanjang pria itu yang maskulin. Membuat Alec terlihat semakin seksi. Ia memang tak pernah salah memuja sepupunya. Setiap jengkal tubuh pria itu adalah dambaan semua wanita. Sayangnya, hanya wanita-wanita murahan yang Alec ijinkan untuk memuaskan pria itu. Dan sekarang, si manja sialan inilah yang menguasainya.

"Kalian terlihat baru saja melewatkan malam yang panas," sinis Naina ketika melangkah maju dan meletakkan nampan di nakas. Kepalanya menunduk ketika merasakan menginjak sesuatu di lantai. Pakaian yang semalam dipakai oleh Alec dan Alea bercampur jadi satu berhamburan di lantai.

"Sangat panas," tambah Alec menatap lurus ke arah Naina. Ah, rasa iri yang sudah sangat familiar ketika Naina melihatnya memeluk wanita lain.

"Setelah dia jatuh di pelukan pria lain?"

"Itu hanya kecelakaan. Dan aku tak tahu kenapa sekarang aku merasa perlu menjelaskannya padamu."

"Kecelakaan?" cibir Naina seolah kata itu adalah kata paling tak masuk akal yang pernah didengarnya. "Dan kau memercayai ketololan itu?"

"Kenapa tidak? Dia saja memercayai alasan kecelakaan ketika kau jatuh di pangkuanku. Aku harus membalas kebaikannya, kan?"

Naina mendengus keras. Berbalik dan membanting pintu dengan keras.

***

Siangnya Alea sedang duduk-duduk di kursi santai di pinggiran kolam renang. Menikmati sore dengan camilan buah-buahan dan jus di meja. Sambil sesekali mengusap perutnya dan mencoba berbincang seperti saran-saran yang ia baca di majalah kehamilan untuk merangsang pertumbuhan janin dalam kandungannya.

Ia sedang menunggu kedatangan Alec. Siang ini mereka akan pergi ke rumah sakit untuk bersama-sama memeriksakan kandungannya. Tapi sepertinya pria itu akan sedikit terlambat karena sekarang sudah jam satu lewat sepuluh.

"Hari ini kau terlihat begitu bahagia. Apa yang membuat terlihat begitu bahagia?" Naina duduk di kursi kosong di samping Alea. Seperti biasa, tatapan wanita itu terlihat tak bersahabatan dan niat buruk tak jauh-jauh dari pandangan mengejeknya.

Alea tak menggubris. Melanjutkan menandaskan jus jeruknya dan mengunyah anggur terakhir di piring.

"Apa karena kau berhasil meredakan kemarahan Alec semalam?"

Alea masih diam.

"Apa dengan menggunakan tubuhmu kau pikir kau bisa menguasai dirinya? Kau tak mungkin beranggapan semudah itu untuk mengendalikan Alec, kan?"

Alea mengambil gelas dan piring kotornya kemudian menoleh menatap Naina. "Kau tak perlu mengkhawatirkan hubungan kami, Naina. Kami berdua bisa mengurusnya. Sebaiknya kau lakukan sesuatu yang lebih berguna. Sedikit banyak tersenyum agar kau melupakan iri hatimu pada kesenangan orang lain, mungkin."

"Aku tak tahu kau memiliki kepercayaan diri sebesar ini, Alea. Sayangnya kepercayaan dirimu tidak berada di tempat dan tujuan yang tepat."

"Apa karena Alec? Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, kan. Alec bukanlah seseorang yang bisa dihadapi oleh orang sepertimu, Alea."

"Memangnya orang seperti apa aku?"

"Seseorang yang tak punya akal sehat?" Naina terkikik.

"Lalu, apakah menurutmu Alec akan bisa dihadapi oleh orang sepertimu. Seseorang yang tak punya otak dan rasa malu?"

Wajah Naina berubah sepucat susu.

Alea berdiri, berjalan melewati Naina yang masih tercengang mencerna kata-katanya. Dan ia yakin wajah wanita itu sudah seperti kepiting rebus.

Dengan gelombang kecemburuan yang bercampur jadi satu dengan kemurkaan. Naina melangkah maju dan mendorong punggung Alea hingga wanita itu terjatuh ke kolam.

Byyuurrr ...

Alea terkaget dengan tubuhnya yang tiba-tiba melayang ke samping dan air kolam menampar wajahnya.

Kakinya menjejak dasar kolam dan kedua tangannya menggapai ke atas. Berusaha mencapai permukaan karena ia butuh udara. Ia sudah minum air terlalu banyak karena ketidaksiapannya ketika jatuh ke kolam. Wajahnya sudah menyentuh udara, tapi kembali tenggelam. Air mulai mengucur ke dalam paru-parunya, gerakan kakinya tiba-tiba melemah. Kram.

Kedua tangan Alea menggapai, meminta tolong. Tapi Naina hanya berdiri di pinggir kolam. Menertawai dan mengatakan ia hanya berpura-pura.

Alea merasakan air kolam mulai memenuhi saluran paru-parunya, kepalanya terasa pusing dan kakinya tak bisa digerakkan. Kemudian semua menjadi gelap.

***

Tersengal, Alea menyedot udara seolah ia belum pernah menghirupnya. Memenuhi udara di tenggorokannya sebanyak mungkin. Sebelum kemudian ia menyadari kekonyolannya karena dirinya tak lagi berada di dalam air. Ia sudah berbaring di atas ranjang. Hangat dan empuk. Di kamarnya.

Matanya berkeliling, tak ada seorang pun di kamarnya. Alea menyingkap selimut, pakaian basahnya sudah diganti dengan jubah mandi. Tanpa pakaian apa pun di baliknya.

Sambil bertanya-tanya dalam benaknya, Alea merangkat turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Kakinya sedikit sakit, seperti terkilir. Tapi ia masih bisa berjalan dengan baik meski pergelangannya menjerit menginginkannya kembali naik ke tempat tidur.

Saat membuka pintu, Alea melihat Alec yang baru saja muncul dari arah tangga. Terkejut sejenak melihatnya sudah sadar.

"Kau sudah sadar?" Alec berjalan mendekat.

Alea mengangguk singkat. Dan saat itu pandangannya terarah ke belakang pundak Alec. Menemukan Naina. Seketika kemarahannya muncul dan membludak begitu saja. Ia melompat ke arah Naina, menjambak dan berusaha mencakar wajah Naina.

Naina menjerit dengan serangan mendadak Alea. Lebih berusaha menghindar ketimbang membalasnya karena serangan Alea yang begitu membabi buta.

"Apa kauingin membunuhku?!" teriak Alea.

"Hentikan, Alea!" Alec menahan pinggang Alea yang masih berusaha melompat ke arah Naina. Sungguh, ia tak pernah menyangka Alea bisa seberingas ini.

"Dia yang membuatku jatuh ke kolam."

"Aku tidak sengaja melakukannya!" protes Naina penuh kebohongan. Melangkah mundur dari jangkauan Alea sambil menyingkirkan rambut wanita itu yang berantakan menutupi setengah wajahnya. "Aku sudah mengatakan padamu, Alec."

"Pembohong!!" jerit Alea tak terima. "Kau sengaja melakukannya."

"Itu hanya kecelakaan, Alea." Jean Cage tiba-tiba muncul di belakang Naina.

Alea terkejut dengan kedatangan mertuanya. Wanita paruh baya dengan rambut gelap lurus dan rapi itu menampilkan senyum keibuan. Wanita itu berhenti di samping Naina, memasang tampang penuh rasa bersalah dan berkata, "Naina sudah menjelaskan semuanya. Mama mewakilinya untuk meminta maaf padamu atas ketidaksengajaannya."

Alea hanya terdiam. Ketegangan yang memenuhi wajahnya seketika menguap dna digantikan rasa malu karena Jean Cage telah menyaksikan tindakan bar-barnya. Walaupun hatinya benar-benar tak ikhlas untuk memaafkan perbuatan Naina.

"Beruntung Alec datang tepat pada waktunya dan menyelamatkanmu."

Alea menoleh ke arah Alec. Apakah Alec yang menyelamatkannya dari kola renang? Lagi?

Alec sendiri tak berkata apa-apa. Alea dan Naina memang saling membenci satu sama lainnya. Meski ia tak percaya Alea meluncurkan tuduhan itu tanpa alasan, ia tak ingin membuat permasalahan ini menjadi rumit. Terutama dengan keberadaan Jean Cage di rumah ini.

"Jadi, apa kau akan memaafkan ketidaksengajaan Naina, Alea? Tidak baik jika saudara saling menyimpan dendam."

Alea memberikan anggukan pelan penuh keterpaksaan. Bahkan ia yakin melihat kilat licik di bola mata Naina ketika tatapan mereka bertemu. Sungguh wanita ular.

"Baguslah. Jadi permasalahan ini selesai." Jean menepukkan tangannya pelan di depan dada dan tersenyum manis. "Mama lihat sepertinya pergelangan kakimu sakit. Bolehkah Mama melihatnya?" Jean berjalan mendekati Alea. Menunduk menatap satu kaki Alea yang berjinjit.

Alea sendiri yang baru teringat hal itu, langsung meringis menahan rasa nyeri di pergelangan kakinya yang sempat terlupa begitu melihat Naina.

"Ayo, Mama bantu naik ke tempat tidurmu." Jean mengambil lengan Alea dan membopong Alea kembali ke kamar.

Ketika Alea dan Jean sudah masuk ke kamar dan yakin keduanya tak akan mendengar suaranya. Alec menatap penuh peringatan kepada Naina. "Mungkin kau bisa membohongi mama tiriku, Naina. Tapi kau tahu aku mengenal dirimu lebih baik daripadanya. Jika sekali lagi kau membuat istri dan anakku berada dalam bahaya, kau tahu tante kesayanganmu itu tak akan bisa menghentikanku."

"Apa kau tidak memercayaiku?"

"Aku tak perlu bertanya untuk menilai setiap kata yang kauucapkan itu kebohongan atau bukan. Jadi, jangan berpikir bisa membodohiku dengan otak dangkalmu itu," pungkas Alec sebelum berbalik dan masuk ke kamarnya.

***

Thursday, 6 May 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro