Part 37
A Lover
Alec & Alea
###
Part 37
###
###
Alec berpamit ketika getaran di saku celananya tak berhenti setelah ia mengabaikan sesi getar pertama. Berjalan sedikit ke sudut ruangan yang agak sepi sambil mengeluarkan ponselnya.
Alea melirik ke samping, melihat Alec menunduk menatap layar ponsel pria itu.
"Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana," bisik Alec penuh penekanan ketika pria itu tiba-tiba berhenti.
"Kau mau ke mana?"
"Aku harus menerima panggilan ini. Hanya lima menit." Alec menunjukkan ponsel di tangannya. Suara musik dan canda tawa para tamu di sekitar mereka terlalu bising. Melihat panggilan itu terus berlangsung saat ia mengabaikan panggilan kedua, ia yakin ada sesuatu yang mendadak. Sesil tak pernah menghubunginya jika tidak penting.
Alea kesal melihat nama Sesil lagi yang muncul di layar ponsel pria itu. Tak menggeleng apalagi mengangguk. Dan Alec pun tak menunggu kesetujuannya. Pria itu langsung menghilang di antara kerumunan para tamu dalam sekejap mata. Yang membuat emosinya seakan bergelora.
Alec meninggalkannya demi wanita lain. Jika tahu ia akan dicampakkan seperti ini, seharusnya tadi ia tidak merengek pada pria itu untuk ikut. Namun, mendadak Alea teringat tujuannya datang kemari. Pandangannya segera berkeliling dengan bebas, sedikit berjinjit untuk mendapatkan lebih banyak pemandangan. Mencari seseorang berjas biru gelap yang dipakai Arza.
Usahanya tak membuahkan hasil, terlalu banyak pria berjas biru gelap memenuhi ballroom dan berjalan ke sana kemari.
"Aku melihat kakakmu sendirian di balkon sebelah barat." Naina tiba-tiba muncul di samping Alea dengan gelas sampanye di tangan yang tersisa setengah.
Alea menoleh, berusaha terlihat tak menghiraukan kata-kata Naina dan mengambil segelas jus jeruk yang dibawa pelayan. Menatap Naina dari balik gelasnya dalam usahanya menahan lidah agar tidak bertanya lebih banyak. Ia tahu kakak yang dimaksud Naina adalah Arza, bukan Arsen. Wanita itu tahu hubungannya dan Arza, dan sudah pasti tahu siapa yang sedang dicarinya. Seolah-olah memang sengaja menyiapkan jebakan untuknya.
"Kami saling menyapa dan dia menanyakanmu. Kubilang kau juga datang kemari bersama Alec."
"Arza tak seramah itu pada orang asing. Apalagi dengan orang sepertimu." Alea menurunkan gelasnya dari bibir. Tentu saja ia tak akan semudah itu memercayai ucapan Naina.
"Benarkah? Kalau begitu kau bisa ke sana untuk membuktikannya sendiri. Dia bilang akan menunggumu di sana."
Sesaat Alea meragu dengan keyakinan dalam kalimat Naina. Alec bilang pria itu hanya pergi selama lima menit, dua menit yang lalu. Apakah ia harus? Ini kesempatannya untuk bertemu dengan Arza. Tapi bagaimana jika Alec marah dan hubungan mereka kembali memburuk?
"Pergilah. Sepertinya urusan Alec sedikit lebih lama. Ada masalah serius sehingga panggilannya mungkin akan sedikit lebih lama. Kau bisa beralasan ke toilet atau apa pun, gunakan otakmu, Alea."
Perintah dan bujukan Naina malah membuat Alea semakin curiga. Alea meneguk jusnya, menampilkan ketidakpedulian.
"Terserah kau. Aku hanya menyampaikan pesan kakakmu." Naina mengibaskan tangan di depan wajahnya kemudian berjalan pergi.
Alea sendiri, setelah memastikan Naina menghilang ke ballroom sebelah timur. Ia segera angkat kaki. Tak sepenuhnya berharap. Tapi ternyata Naina tidak berbohong. Di balkon itu, ia langsung mengenali sosok berjas biru gelap itu dengan cepat bahkan dari punggungnya saja.
"Arza?" Alea menghampiri seraya menepuk pundak pria itu.
Arza yang tengah memandang langit gelap yang terhampar di hadapannya dengan bersandar di pagar balkon langsung menoleh. Tersenyum manis melihat wajah Alea. "Hai, kau datang?"
Alea mengangguk. "Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja."
"Maaf aku tidak menjengukmu di rumah sakit."
"Aku tahu. Cage melarangmu ke mana-mana karena kau nyaris keguguran. Dia melakukan hal yang benar. Apa bayimu baik-baik saja?" Arza menurunkan pandangan ke arah perut Alea yang sudah sedikit menonjol.
Alea hanya mengangguk singkat. Merasa tak nyaman Arza mengetahui kehamilannya. Apalagi menatap perutnya dengan bukti bahwa sepenuhnya ia telah menjadi wanita Alec. "Apa ... Alec masih berusaha mengganggumu?" Alea berusaha mengalihkan permbicaraan mereka.
"Menggangguku?" Pandangan Arza terangkat ke wajah Alea, dengan kerutan di kening. "Untuk apa dia menggangguku?"
"Alec tahu hubungan kita."
"Ya." Arza mengangguk. Dengan penuh ketenangan yang membuat Alea terheran.
"Hanya ... ya?"
"Lalu kauingin aku mengatakan apa?"
"Nyawamu hampir melayang karena dia tahu hubungan kita." Mata Alea membulat tak percaya. "Kejadian malam itu, dialah dalangnya. Dia marah karena aku kabur dari rumah untuk menemuimu. Itu karena kau tiba-tiba menghilang. Saat itu, kupikir Alec ... Alec malah sudah membunuhmu."
Arza tersenyum. "Percayalah, Alea. Apa yang terjadi di atas hotel malam itu. Sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Alec. Dan mereka bahkan tak berani melukaimu karena kau adalah milik Cage. Satu-satunya alasan kau berada di sana adalah karena aku. Aku minta maaf dan sangat menyesalkan hal itu."
Alea melongo. Kemudian menggeleng. "Apa Alec yang menyuruhmu mengatakan itu padaku?"
Arza malah tertawa. "Untuk apa dia melakukan itu?"
"Dia pikir aku berselingkuh denganmu."
"Kau membuatnya terlihat seperti itu."
"Dia meragukan anak dalam kandunganku."
"Dan apakah menurutmu dia pria baik hati yang akan membiarkan istrinya mengandung anak pria lain?"
Alea terdiam.
"Minimal, dia akan mencekokimu dengan obat penggugur kandungan. Atau membuangmu kembali kepada Arsen. Dia bahkan nyaris menghajarku di ranjang rumah sakit karena kau hampir keguguran."
"Apa dia melakukannya?" Mata Alea membulat sempurna.
"Beruntung ada Arsen yang melindungiku."
Alea bernapas dengan lega. Kemudian hening.
"Lalu siapa mereka?" Alea kembali bersuara. "Siapa orang-orang yang berusaha melukaimu itu?"
"Hanya orang-orang dari masa laluku sebelum papamu membawaku ke keluarga kalian."
Alea termangu. Amat sangat lama. Ingin tahu lebih banyak tapi ia tahu Arza segera menampilkan ekspresi tak ingin membahas hal ini dengannya. Arza memang selalu penutup jika berhubungan dengan masa lalu pria itu sebelum menjadi kakak angkatnya.
"Lalu kenapa Alec diam saja dengan tuduhanku?"
Arza mengangkat bahunya. Merasa lega Alea tak bertanya lebih jauh. Lebih aman untuk wanita itu sendiri.
"Untuk membuatku patuh padanya," gumam Alea pada dirinya sendiri. Ya, penyerahan dirinya untuk pria itu demi Arza.
"Dan memang itulah yang terbaik. Dia sangat melindungi miliknya." Arza melirik ke arah perut Alea lagi. "Kau lebih aman bersamanya."
Alea berkerut kening. "Apa maksudmu?"
Arza menggeleng. "Aku menerima kencan buta yang diatur oleh Arsen."
Mata Alea melebar. Terkejut.
"Yang ke ... entah berapa kali."
Ada kecewa yang menggurat di hati Alea.
"Sepertinya bukan ide yang buruk. Kita perlu melangkah ke depan. Siapa yang tahu apa yang akan kita temui di depan sana, kan. Kau sudah mendapatkan kehidupanmu, sekarang giliranku." Arza meletakkan tangannya di pundak Alea. Meremasnya pelan dengan senyum terulas di kedua sudut bibirnya.
Alea merasa aneh. Ia merasa kehilangan. Namun, apa yang dirasakannya serasa tidak seperti biasanya. Kali ini ada sesuatu yang berbeda. Emosi bergelora yang seharusnya ia rasakan karena sebentar lagi Arza akan memiliki wanita lain. Yang menggantikan dirinya. Yang berarti bahwa pria itu tak lagi mencintainya.
Dadanya tak terasa panas seperti ketika ia melihat Alec bercumbu dengan wanita itu. Juga tak semarah seperti ketika melihat Naina duduk di pangkuan Alec. Bahkan tak sekesal ketika Alec meninggalkannya karena panggilan dari wanita bernama Sesil.
Kenapa?
Kenapa semua menjadi begitu membingungkan seperti ini?
Apakah ini pengaruh hormon kehamilannya?
"Kau akan selalu menjadi adik tersayangku. Dan sungguh aku berharap, kau berbahagia dengan kehidupanmu. Bersama anakmu."
Alea menggelengkan kepalanya. "Apa kau sudah tak mencintaiku lagi?"
"Untuk yang satu itu, kau tahu kita harus berhenti sejak kau menikah dengan Alec. Tapi percayalah, aku akan selalu menyayangimu, Alea."
"Bagaimana jika aku tidak bahagia dengan pernikahanku?"
"Kau pasti bisa melakukan itu. Untukku, kan? Juga untuk dirimu sendiri."
Alea merasakan panas menjalari kedua kelopak matanya.
"Kau menangis?" Tangan Arza terjulur. Menyeka air mata Alea sebelum jatuh ke pipi.
"Kenapa aku merasa akan berpisah denganmu?"
Arza menggeleng, kemudian tersenyum tipis. "Aku tidak akan ke mana-mana."
Alea menghambur dalam pelukan Arza. Menangis di dada pria itu. Menangis karena hormon kehamilannya membuatnya kehilangan rasa iri pada wanita yang akan menjadi pasangan Arza. Karena membuatnya kehilangan rasa cemburunya pada Arza yang sebentar lagi akan memiliki wanita lain. Karena kebingungan dengan perasaannya yang membingungkan seperti ini.
Apakah hormon kehamilannya juga akan melenyapkan perasaan cintanya pada Arza juga? Tidak, itu tidak boleh terjadi.
"Apa-apaan ini?" Suara dalam dan dingin yang menyentak dari arah belakang membuat Arza dan Alea segera mengurai pelukan mereka. Keduanya menoleh, melihat Alec berdiri di ambang pintu balkon dengan amarah yang meledak-ledak di raut mukanya yang merah padam.
***
Tuh, kan. Berulah lagi Alea.
Thursday, 29 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro