Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 36


A Lover

Alec & Alea

###

Part 36

###


Ketika Alea selesai memuaskan Alec di kursi kerja pria itu. Tanpa sengaja Alea melirik surat undangan yang ada di meja Alec ketika turun dari pangkuan pria itu seraya memungut pakaiannya yang di lempar ke lantai. Sambil berpakaian dan melirik ke arah pria itu, yang masih tenggelam dalam pusaran surga kecilnya.

Dengan seluruh kancing kemeja yang sudah terbuka dan memamerkan perut berpetaknya, Alec bersandar di punggung kursi dengan kepala sedikit terdongak menghadap langit-langit. Matanya terpejam, mendengkur puas setelah kenikmatan yang baru saja direguknya dari tubuh Alea. Rasanya sekali saja tak pernah cukup menjelajahi tubuh Alea, tapi ia tahu wanita itu pasti kelelahan dan entah kenapa ia menjadi begitu pengertian seperti ini. Ah, itu karena ia tak ingin darah dagingnya berada dalam bahaya, dalihnya membenarkan. Tapi ada sudut lain dalam hatinya yang mencibir.

Alea sengaja mengenakan pakaiannya dengan kecepatan yang lebih lamban, sambil berhati-hati agar Alec tak memergoki yang berusaha mengintip dari celah lipatan undangan tersebut. Dilihat dari tanggal dan waktunya, itu adalah malam ini, dan itu adalah undangan pesta. Ia yakin kakaknya akan ada di sana, juga Arza. Ia mulai memutar otak, mengatur rencana agar bisa ikut ke pesta itu juga.

"Siapkan air di bath up." Perintah Alec membuat Alea segera menarik tangannya dari meja dan melanjutkan merapikan pakaiannya. Menoleh ke arah Alec yang baru saja membuka mata memandangnya. "Untuk kita berdua."

Alea mengangguk, berharap apa yang baru saja dicurinya dari meja Alec tidak mengundang kecurigaan pria itu. Ia berhenti di depan pintu dan mendesah lega karena sepertinya Alec tak mencurigai apa pun.

Sepagian itu, Alec tampak begitu puas dengan seluruh pelayanan yang diberikan Alea. Di kursi kerja maupun bath up. Alea sendiri berusaha keras menyenangkan pria itu, dan mengalihkan seluruh insting pria itu yang tajam ketika mencium kecurigaan dari gelagatnya yang memang tak pandai berbohong. Keduanya berendam di bath up dua kali lipat lebih lama dari seharusnya, dan Alea yakin pria itu sudah terlambat untuk ke kantor. Ia bahkan mendengar umpatan pria itu ketika melihat jam di dinding ketika sedang berpakaian. Melumat bibirnya sekali lagi sebelum melangkah keluar kamar dengan secepat kilat.

Siang hari saat turun ke lantai satu untuk makan, Alea melihat seseorang membawakan gaun pesta milik Naina. Naina pasti sudah tahu mengenai pesta itu dan Alec akan melarangnya ikut. Jadi, pria itu sudah mengatur Naina untuk menggantikannya, pikir Alea dengan kesal.

Benar saja, setelah Alea menyelesaikan makan malamnya, Alec baru pulang dari kantor. Alea sendiri tidak langsung naik ke tempat tidur seperti biasanya. Sengaja duduk di sofa mengamati setiap gerakan Alec yang tengah bersiap pergi ke pesta sambil berpura sibuk di balik majalah di pangkuannya.

Mencoba peruntungannya ketika Alec selesai dan menyeberangi ruangan. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Mau ke mana kau?" tanya Alea meletakkan majalah di pangkuannya ke meja dan berdiri menghampiri Alec yang sudah sampai di tengah ruangan.

"Keluar. Apa kau sudah minum vitaminmu?"

Alea mengangguk.

"Kalau begitu tidurlah."

"Aku tidak mengantuk."

"Kau bisa melanjutkan membaca majalah kehamilanmu." Alec melirik majalah di meja melewati pundak Alea.

"Aku tidak mau."

"Suasana hatiku sedang tidak baik, Alea. Jangan menggangguku."

"Kalau begitu biarkan aku ikut."

Mata Alec menyipit curiga. "Apa yang sedang kau rencanakan di kepalamu?"

"Apa maksudmu?"

"Bagaimana aku tahu kau tidak memiliki motif tersembunyi?"

"Aku tak tahu. Tapi yang jelas aku tak ingin sendirian di rumah dan kau bersenang-senang di luar sana menikmati pesta."

"Aku tidak mengatakan akan pergi ke pesta."

Alea mengerjap. "Bukankah baju yang kau pakai baju pesta?"

Oke. Alec mengaku kalah. "Ancaman apa yang kausiapkan jika aku tidak ingin membawamu?"

"Aku tidak akan mengancammu," geleng Alea. Ia tahu Alec tak akan mempan jika ia ikut bersikap keras. Tapi, jika ia sedikit bersikap manja dan manis, mungkin itu akan lebih bekerja. Alea maju, menyentuh lengan Alec. Dengan nada merengek setengah merayu, ia berucap sedikit manja, "Aku tak ingin sendirian di rumah. Biarkan aku ikut."

Alec merasa aneh dengan sikap manja Alea yang mendadak dan tak pernah dilakukan wanita itu padanya, sekaligus tampak begitu familiar di ingatannya. Ah, Alec ingat, di foto-foto mesra Alea dan Arza. "Kenapa kau jadi aneh seperti ini?"

"Aku tak tahu, tapi mungkin ini karena hormon kehamilanku. Moodku sering naik turun dan seringkali merasa kesal sendiri tanpa alasan. Dan sekarang aku tak ingin ditingggalkan di rumah. Tidak bisakah kau melakukan itu untuk anakmu sendiri? Aku benar-benar takut sendirian di rumah."

"Kau tak sendirian di rumah ini."

Alea mengerjap sekali. "Meski aku tidak menyukaimu, tapi setidaknya kau satu-satunya orang di rumah ini yang dekat denganku. Karena kau suamiku. Itu berbeda dengan pelayan dan pengawal di rumah ini."

Alec menyeringai. "Suami? Apa kau sekarang mengakuiku sebagai suamimu?"

Alea terdiam sesaat. "Pokoknya aku ingin ikut."

Mata Alec menyipit lagi, mengelupas setiap air muka Alea yang mungkin sudah ia lewatkan tapi tak menemukan apa pun di sana.

"Lagipula kau bersamaku, aku tak mungkin macam-macam seperti yang kau pikirkan."

Alec menimbang-nimbang.

"Aku benar-benar bosan dikurung di rumah ini. Setidaknya biarkan malam ini aku menghirup udara segar dan sedikit bersenang-senang."

"Apa kau sudah memutuskan untuk menyerah pada perasaanmu?"

Alea tak langsung menjawab. "Aku masih berusaha," jawabnya lirih.

Alec mendengkus.

Alea pun melepaskan tangannya dari lengan Alec. Wajahnya tertunduk lesu dan harapan satu-satunya untuk keluar rumah melayang sudah. Entah kapan lagi kesempatan itu datang lagi.

"Bersiaplah."

Alea mendongak dan matanya membulat tak percaya.

"Cepat. Sebelum aku berubah pikiran," sergah Alec melihat Alea yang malah berdiri terbengong.

"Tunggu sebentar." Alea segera masuk ke ruang ganti. Mengganti pakaiannya dengan singkat karena ia sendiri sudah menyiapkan akan mengenakan gaun apa sejak siang tadi. Kemudian duduk di meja rias, memoles wajahnya tipis seperti biasa, membiarkan rambutnya diurai dengan hiasan jepit permata di samping, dan terakhir memilih anting serta gelang yang senada dengan gaunnya. Kemudian menyemprot parfum ke tubuhnya.

"Sudah selesai." Alea berdiri dari kursi riasnya. Tampak terlalu bersemangat hingga sulit menyembunyikannya.

Alec melirik Alea dari balik tab di tangan. Melihat gaun sutra berwarna merah yang jatuh di setiap lekuk tubuh Alea. Oke, gaun malam itu menutupi setiap jengkal kulit Alea meski body wanita itu masih membayang dalam setiap gerakan anggunnya. Dengan bagian perut yang sedikit menonjol, yang membuat Alec merasakan kebangggan atas kepemilikan diri wanita itu dari bukti yang terpampang jelas.

Kemudian pandangan Alec naik ke wajah Alea. Make up wanita itu tak terlalu menonjol, tapi memang wanita itu sudah cantik tanpa polesan apa pun. Bibirnya sudah merona alami, terutama jika sudah ia lumat habis-habisan. Dan secara keseluruhan, wanita itu sempurna cantik.

Alec terpesona, dan ia pikir gejolak pesona itu karena pada pandangan pertama. Tetapi, setelah sekian bulan Alec hidup dan melihat Alea setiap hari, tetap saja ia masih begitu terpesona. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, berkali-kali. Tetapi jelas ia tidak sedang jatuh cinta. Tidak ada jatuh cinta dalam kamus hidupnya.

Ia ingin Alea, ia memilikinya. Untuk apa harus direpotkan oleh kesentimentilan semacam itu.

"Kita berangkat sekarang." Alec menepikan pikirannya yang mulai melenceng oleh pesona Alea. Bisa-bisa ia tidak jadi berangkat dan malah berakhir menanggalkan pakaian Alea dan membawa wanita itu ke ranjang.

Alea sengaja menyelipkan tangannya di lengan Alec ketika menuruni tangga ke lantai satu dan melihat Naina yang sudah menunggu di sana. Wanita itu mengenakan gaun berwarna hitam tanpa lengan yang menampakkan setengah belahan dada. Rambut disanggul ke atas, memamerkan anting dan kalung mutiara yang serasi. Gaunnya yang menyentuh lantai, memiliki belahan di kanan dan kiri. Yang menurut Alea, berusaha terlalu keras untuk terlihat menarik di depan Alec.

Melihat penampilan Naina sekarang, mengingatkannya akan kata-kata yang dilemparkan wanita itu saat insiden pemerkosaan yang nyaris menimpanya siang itu. Lihatlah siapa yang berpakaian murahan sekarang, batin Alea.

"Kau tak bilang dia akan ikut," sengit Naina kesal melihat Alea ikut pergi.

"Dan aku juga tak bilang dia tidak akan ikut." Balasan Alec membuat Alea tersenyum penuh kemenangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa pria itu membelanya di depan Naina. Membalas perbuatan Naina tadi pagi.

Dengan muka cemberutnya, Naina berjalan di samping Alec. Bahkan tak segan-segan membanting pintu mobil belakang ketika Alec membukakan pintu mobil di depan untuk Alea sebelum duduk di kursi pengemudi.

Anniversary Minami Contruction, diselenggarakan di gedung utama MH Hotels. Tentu saja Alea tak terkejut meskipun tadi di surat undangan ia tidak sempat membaca lokasi pesta dilangsungkan. Nyaris semua acara penting, pernikahan, dan macam-macamnya di kota ini diselenggarakan di gedung yang dikelolah oleh Arsen. Meski secara penuh, semua properti ini miliki Alec Cage. Pria yang tengah berjalan di sampingnya. Suaminya.

Begitu lift terbuka di lantai 17, tempat pesta itu tengah berlangsung. Jantung Alea sudah berdegup kencang mendengar alunan musik yang terdengar dari jauh. Begitu memasuki kerumunan, Alea tak mampu menahan diri untuk tidak memutar pandangannya. Berkeliling mencari-cari di antara banyaknya para tamu undangan.

"Aku tahu siapa yang akan kau cari, tapi kau tahu kau tak akan melakukannya," bisik Alec mengikuti pandangan Alea yang berkeliling menelusuri setiap tamu undangan.

Alea segera menghentikan pencariannya. Namun, tetap saja dorongan untuk mencuri pandang ke sekelilingnya tak bisa ia tahan saat ada kesempatan. Dan kesempatan itu datang terlalu banyak karena Alec sibuk dengan sapaan-sapaan yang mencegat mereka. Alec menjabat tangan, memperkenalkan Alea sebagai istrinya, dan berbincang singkat. Beberapa mengucapkan selamat untuk kabar kehamilan Alea yang hanya dibalas senyum oleh wanita itu.

"Kauingin minum?" tawar Alec ketika si pemilik acara melambaikan tangan ke arahnya dan keduanya sedang berjalan menghampiri.

Alea menggeleng. "Aku sudah kenyang."

"Kita baru datang dan wajahmu sudah terlihat tidak mengenakkan seperti itu," komentar Alec.

"Wanita hamil memang tidak bagus berkeluyuran malam-malam begini," sela Naina ikut andil.

Alea melirik sengit ke arah Naina, hendak membalas wanita itu ketika pandangannya tanpa sengaja terarah ke kerumunan di dekat patung es. Di tengah ballroom, ia melihat Arsen, Fherlyn, juga Arza tengah berbincang dengan pasangan pria dan wanita. Arza tampak sehat dan baik-baik saja. Pria itu sudah sepenuhnya sehat. Tapi ketika Alec menangkap arah pandangannya, ia tak yakin akan menentukan apakah melihat Arza baik-baik saja adalah hal yang melegakan atau malah meresahkannya.

Seharusnya ia bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan pria itu terlalu lama, yang dengan tololnya ia lakukan di hadapan Alec secara langsung seperti ini.

"Jadi, kau sudah lihat aku menepati janjiku, kan? Sekarang giliranmu." Alec berbisik di telinga Alea. Kemudian menepuk tangan Alea yang melingkari lengannya. Sedikit meremasnya dan memastikan tangan itu akan ada di sana sepanjang acara.

Dengan tanpa kerelaan, Alea mengikuti arah Alec yang berjalan ke arah dekat podium. Menjauh dari Arza.

Naina tak langsung mengikuti Alec dan Alea. Wanita itu memutar kepala memandang ke arah yang baru saja dilihat oleh Alec dan Alea. Seringai jahat melumasi bibir merahnya yang melengkung.


***

Monday, 26 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro