Part 30
A Lover
Alec & Alea
###
Part 30
###
"Siapa saja yang tahu tentang kesepatakanmu dan Arsen?" cecar Alea begitu pintu kamar terbuka dan ia yakin bukan pelayan yang sedang membawakan camilan atau apa pun.
"Kenapa?"
"Apa semua keluargamu tahu?"
"Aku tak perlu membuka mulut dan mereka pun pasti akan tahu. Banyak gosip tersebar. Dan aku pun punya beberapa anggota keluarga berhati serigala yang berbulu domba, yang setiap saat mengincar posisiku. Memangnya apa yang tiba-tiba membuatmu khawatir? Kau tak mungkin beranggapan orang-orang akan berpikir pernikahan kita terjadi karena kita saling mencintai, bukan?"
Alea mengerjap. Kehilangan kata-kata. Ia bahkan tak tahu kenapa terlihat merajuk seperti ini.
"Cukup kita menampilkan kemesraan di depan umum, dan semua pihak akan menganggap pernikahan kita sangat baik-baik saja dan sempurna." Alec berhenti sejenak. Tatapannya berubah lebih dalam. "Meski beberapa di antara mereka berpikir kau menyelingkuhiku."
Alea terkesiap pelan.
"Tapi tenanglah. Aku tak pernah ambil pusing dengan gosip kurang kerjaan semacam itu."
"Apa Naina juga tahu tentang itu?"
Alec terdiam, menelengkan kepalanya. "Kenapa? Apa dia mengganggumu?"
Alea tak langsung menjawab. Bagaimana mungkin ia mengatakan seluruh ungkapan perasaan Naina yang sudah diketahui oleh Alec pada Alec sekarang? Hanya akan membuatnya terlihat tolol. Apalagi jika harus mengatakan bahwa Alea tidak menyukai wanita itu. Alea pun menggeleng pelan.
"Baguslah." Alec berjalan melewati Alea, menuju ke kamar mandi seraya memberitahu, "Dia akan tinggal di sini sementara waktu. Mungkin kau bisa berteman dengannya agar tak kesepian?"
Ujung bibir Alea berkedut tak suka. Menyangsikan harapan mustahil Alec. Bagaimana mungkin dirinya bisa berteman dengan seseorang yang begitu membenci dan menganggapnya sebagai saingan.
Namun, ternyata Naina lebih licik dari yang Alea bayangkan. Saat di depan Alec, Naina bersikap begitu manis padanya dengan membawakan nampan sarapan paginya keesokan harinya. Bahkan menawarkan diri untuk menyuapi Alea.
"Biarkan aku membantumu."
"Tidak perlu."
"Buka mulutmu."
"Aku bisa melakukannya sendiri."
Alea menolak lagi, Naina memaksa lagi dan Alea tetap gigih agar ia makan sendiri. Hingga akhirnya nampan itu jatuh ke lantai dan salah satu pecahan mangkuk buburnya mengenai ujung jari kaki Naina yang berdarah.
Naina menjerit pelan dan segera menampilkan wajah teraniayanya ketika mendengar suara langkah kaki Alec dari ruang ganti menghampiri mereka. "M-maafkan aku. Aku hanya berusaha membantumu."
"Ada apa ini?" Alec melihat pecahan piring dan sarapan Alea yang berhamburan di lantai. Kemudian pandangannya naik ke wajah Alea.
"Aku hanya merasa tak nyaman makan dari tangan orang lain. Aku tak terbiasa." Alea sedikit merasa bersalah melihat Naina yang tampak kesakitan.
Alec pun memanggil pelayan dan membawa Naina keluar. Meninggalkan Alea menatap dingin kepada kedua orang itu.
"Kenapa kau membiarkannya membawa makan pagiku?" bentak Alea pada dua pelayan yang membersihkan lantai. Seketika juga merasa bersalah karena kekesalan pada Naina yang ia luapkan pada kedua orang tersebut.
Kemudian suara Alea lebih melunak. "Mulai nanti siang, aku akan makan di bawah."
Kedua pelayan itu mengangguk. "Baik, Nyonya."
Alec kembali masuk dengan membawa nampan baru di tangan kiri berbarengan pelayan yang baru saja membersihkan lantai berjalan keluar. Pria itu meletakkan nampan di nakas. "Apa kau baik-baik saja?"
Alea hanya mengangguk pelan, menghindari menatap Alec.
"Makanlah."
Alea melirik menu yang sama dengan yang dibawa oleh Naina.
"Kau tak suka makan dari tangan orang lain, kan? Kalau begitu aku akan berangkat."
Tatapan Alea naik, menatap sindiran yang begitu kental dalam nada suara sekaligus tatapan Alec, dan entah kenapa ia merasa tersinggung.
Alec berjalan mengambil tas dan jas pria itu di meja, kemudian berjalan keluar kamar tanpa sedikit pun menengok ke arah Alea.
"Apa kau marah padaku?" teriak Alea sebelum Alec berhasil menyentuh gagang pintu.
Alec menoleh tanpa memutar tubuhnya. "Apa?"
"Apa kau marah padaku karena luka lecet sepupumu?"
"Aku tak tahu apa yang kaukatakan, Alea. Dan biasanya kau tak pernah peduli aku marah atau tidak, kan?"
Alea diam sebentar. "Dia yang sengaja memulai."
"Memulai apa?"
Alea tak menjawab. Alea sendiri tak tahu kenapa dia mengatakannya kata-kata konyol itu pada Alec, tapi saat Naina menawarkan untuk menyuapinya, tatapan licik wanita itu tampak begitu jelas. Yang tak bisa dijelaskannya pada Alec.
Alec menunggu selama beberapa detik, tetapi karena Alea tak juga mengucapkan sepatah kata pun, Alec pun keluar.
Alea merasa begitu kesal dan ingin menjerit sekeras-kerasnya pada Alec. Tetapi yang ia lakukan hanyalah membanting tubuhnya di kasur, menarik selimut menutupi hingga kepala dan meredam jeritannya di bantal.
***
Seolah tak hanya Alec saja yang sengaja membuatnya menjadi begitu membenci pria itu. Ia pikir, dengan hatinya yang mulai tergerak untuk berusaha menerima pernikahan mereka, tak sejalan dengan sikap yang ditunjukkan oleh Alec. Pria itu sungguh menganggap pernikahan mereka hanyalah kesepakatan di atas kertas, yang seharusnya pun tak membuatnya begitu kesal seperti ini. Seolah dengan kedatangan Naina di rumah ini pun sengaja untuk mengusik dirinya.
Siang itu, Alea yang baru saja menumpahkan seluruh makan siangnya yang tak seberapa ke lubang toilet, bersamaan rasa pusing yang berdenyut di kepalanya. Semua itu semakin diperparah dengan suara musik kencang dan teriakan serta canda tawa yang bersahut-sahutan dari arah kolam renang. Yang tepat berada langsung di bawah balkon kamar Alea.
Dengan kesal, Alea menjejakkan kakinya ke balkon, mencari tahu keributan apa yang ada di bawah sana. Ternyata Naina, dengan lima teman wanita dan tiga pria, yang kesemuanya nyaris telanjang sedang membuat pesta kecil-kecilan. Bahkan di kursi berjemur, ada sepasang kekasih yang tak segan-segan bercumbu dengan posisi sangat intim yang membuat perut Alea bergolak. Alea kembali berlari ke kamar mandi, muntah tiga kali dan benar-benar tak tahan dengan suara berisik yang semakin membuatnya kesal.
Setelah merasa muntahnya sudah selesai dan perutnya sedikit tenang, Alea berjalan keluar kamar. Mengerang lemah melihat teko kacanya sudah kosong. Ia pun berjalan keluar, menuju lantai satu.
Siulan dari arah ruang tengah membuat Alea menghentikan langkahnya. Melihat pria jangkung yang bertelanjang dada membawa sebotol bir berjalan mendekat ke arah Alea. Tatapan dan senyum menggoda pria itu terlihat begitu menjijikkan. Tak heran jika Naina orang yang menyebalkan, temannya saja sejenis dengan wanita itu.
"Apa kau sepupunya, Naina?"
Alea menepis tangan pria itu yang berusaha menyentuh lengannya. Tak perlu mengenal lebih jauh untuk mengetahui keberengsekan yang tertampil di wajah pria itu.
"Aku tak tahu Naina mempunya sepupu secantik dirimu." Senyum pria itu semakin lebar dengan penolakan Alea. Bahkan melemparkan kerlingan nakalnya.
"Menjauh dariku," sentak Alea. Kali ini memukul tangan pria itu yang mencoba menyentuh wajahnya.
Pria itu bukannya tersinggung, senyum berengsek dan mesumnya malah semakin menjadi tercetak di bibirnya.
Alea berjalan pergi, tetapi pria itu memegang lengan Alea, kemudian menariknya hingga tubuh keduanya menempel. Dengan kurang ajarnya, meremas pantat Alea.
"Lepaskan aku!" Alea mendorong sekuat tenaga dan berusaha melepaskan diri, pria itu terhuyung ke belakang dan botol bir di tangannya jatuh ke lantai di antara mereka. Saat itulah Alea melayangkan tamparannya ke wajah pria itu. "Kurang ajar!" makinya.
Wajah Alea merah padam oleh amarah dan rasa malu. Berani-beraninya pria itu melecehkannya di rumahnya sendiri -Alec adalah suaminya, sudah jelas rumah ini juga rumahnya, kan. Sangat tidak berlebihan jika ia mengakui kepemilikan rumah ini sebagai istri Alec.-
Rasa haus Alea lenyap seketika, dan sangat ingin meninggalkan kerusuhan di rumah ini. Tapi ia tahu pengawal Alec tak akan mengijinkannya keluar. Sungguh tak adil dengan Naina yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini dan membawa teman-teman wanita itu kemari untuk bersenang-senang.
Tetapi baru tiga langkah ia berhasil menjauhi pria berengsek itu, tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya dari belakang. Mengangkat pinggangnya dan membantingnya di atas sesuatu yang lembut, sofa di ruang tengah. Dan melihat pria itu setengah membungkuk di atasnya, menahan kedua tangannya.
"Naina bilang kau memang sedikit arogan. Tapi aku tahu kau menginginkannya."
Alea meludahi wajah pria itu, hanya untuk mendapatkan tamparan di pipi yang membuat kepalanya pening luar biasa.
Pria itu menatap ke arah belahan dada Alea, seakan air liur tumpah dari mulutnya.
Air mata merebak di kelopak mata Alea karena rasa panas di pipi. Kedua kaki Alea menendang-nendang, tubuhnya menggeliat berusaha lepas dari tindihan pria itu. Merasa putus asa karena pemberontakannya tak memberinya sedikit pun kebebasan. Pria itu mulai mendekatkan wajahnya, tersenyum berengsek. Menempelkan bibirnya di bibir Alea.
"Akhh ..." erang pria itu mengangkat wajahnya dengan tiba-tiba ketika gigi Alea menggigit bibirnya dengan keras. Hanya sejenak, sebelum kemudian seringai pria itu semakin tinggi saat menjilat darah di sudut bibirnya. "Kau suka cara yang keras, ya?"
Tenggorokannya menjerit kesakitan sekaligus menjerit meminta tolong. Pada siapa pun. Tetapi yang keluar dari mulutnya hanya rintih keputus-asaan. Pria itu semakin memaku tubuhnya di sofa, membuat tubuhnya tak bisa bergerak pun menggerakkan mulutnya. Air matanya tumpah, memohon dalam hati siapa pun untuk menolongnya dari tindakan bejat pria ini.
Tepat ketika pria itu menurunkan wajah menyentuhkan bibirnya di leher Alea, tubuhnya melayang ke samping. Punggung membentur meja kaca yang langsung pecah sebelum kemudian menghantam lantai dengan keras.
Tak ada lagi tekanan di tubuhnya, dan udara serasa menghantam paru-paru Alea ketika ia membuka matanya yang basah dan menyadari pria itu tak ada di atasnya lagi. Dadanya naik turun dengan gerakan keras dan terengah hebat. Saat itulah ia melihat sosok yang berdiri di samping sofa, melompat ke arah pria di lantai.
Alec duduk di perut pria itu, menyarangkan tinju-tinjunya ke wajah pria itu yang dalam sekejap sudah dipenuhi oleh darah. Dan semenit kemudian pria itu terkulai tak sadarkan diri.
***
Thursday, 1 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro