Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3


A Lover

Alec & Alea

###

Part 3

###


"Memastikan tunanganku baik-baik saja? Atau menunggu pujian tunanganku karena sudah bersikap sebagai superhero yang telah menyelamatkan nyawanya?"

"Apa?!" Mata Alea mengerjap beberapa kali. Menyelamatkan nyawanya? Apa Alec yang membantunya keluar dari kolam renang? "Tidak mungkin!" sangkalnya.

"Aku tak akan memaksamu memercayaiku."

Mata Alea memicing. Mencari kebohongan di mata Alec yang tak ia temukan. Namun, ketika ia melihat kaos berkerah dan celana pendek milik Arsen yang membalut tubuh Alec. Alea tahu apa pun yang dikatakan oleh Alec adalah kebenaran.

Kepala Alea mulai berputar memikirkan mengingat detik-detik ketika air mulai menutup jalur pernapasannya, dan kesadarannya mulai menurun hingga ia tidak sadarkan diri. Setelahnya, Alea tak bisa mengingat apa pun. Tetapi, pikirannya langsung tertuju pada bagaimana Alec menyelamatkannya dengan membawanya keluar dari kolam renang dan memberikan pertolongan pernapasan. Pria itu pasti menyentuh bagian tengah dadanya. Membuat Alea memeluk dirinya sendiri dengan gerakan melindungi diri. Dan bukan hanya menyentuh dadanya, Alec pasti menempelkan kedua bibir mereka demi meniupkan udara ke mulutnya. Sialan!!! Pria itu benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Jangan mendekat!" teriak Alea ketika Alec mulai bangkit dari sofa dan berjalan mendekati ranjang. Pria itu tak terpengaruh pada peringatannya. Dengan gerakan yang ringan dan perlahan yang membuat tulang punggung Alea membeku. Tatapan mata pria itu sangat dalam dan mengunci mata Alea. Seperti predator kelaparan yang sudah menemukan mangsa dan berpikir tak akan melepaskan mangsanya apa pun yang terjadi.

Alec menyeringai. Tertawa dalam hati dengan ketakutan yang begitu jelas di wajah Alea. Bahkan wanita itu melompat dari ranjang hanya demi menjaga jarak sejauh mungkin dengannya. Alec mendengkus, memangnya sejauh apa wnaita itu bisamelarikan diri darinya dan di dalam ruangan tertutup seperti saat ini.

Alea langsung merintih ketika ujung kakinya menyentuh lantai, lalu tubuhnya terhuyung ke belakang dan hampir jatuh di lantai jika tangannya tidak menangkap pinggiran ranjang dengan cepat. Sial, karena kegelisahan yang begitu besar pada Alec, ia lupa kakinya yang kram masih terasa sakit hingga langsung melompat turun.

Alec bergegas mendekat dan membantu Alea benar-benar naik ke ranjang.

Wajah Alea meiringis. Pangkal kaki bagian belakangnya berdenyut mmeberinya rasa nyeri yang amat sangat sehingga membuat Alea tanpa sadar membiarkan Alec menyentuh punggung dan menyisipkan salah satu tangan pria itu di lutut bagian belakang. Membawa Alea kembali terduduk dengan bersandar di kepala ranjang dengan kaki berselonjor di kasur.

"Apa kakimu masih sakit?" Alec menyentuh kaki Alea dengan lembut.

"Lepaskan aku!" Alea menepis tangan Alec menjauh dari kakinya. Saat itulah ia baru menyadari bahwa tubuh bagian bawahnya telanjang dan memamerkan kulit putih mulusnya di hadapan mata mesum Alec dengan sangat bebas. Seketika Alea kembali panik, matanya mencari-cari benda apa pun yang bisa digunakan untuk menutupi kakinya dan sedikit bernapas lega dengan bantal di samping tubuhnya.

"Tadi aku sudah mengompresnya dengan air panas sebelum dengan air dingin. Tetapi, aku sudah menghubungi dokter untuk berjaga-jaga jika nyerinya masih berlanjut."

Alea tak terlalu mendengarkan kalimat-kalimat Alec dan ia sudah tak peduli pada nyeri di kaki. Karena sekarang fokus Alea teralih pada kaos longgar milik Arsen yang ia kenakan. Kembali napasnya tersekat dan dengan bibir bergetar, Alea mendongak. Pembantunya tak mungkin cukup bodoh tak bisa membedakan pakaian miliknya dan Arsen. Menatap wajah Alec dan bertanya, "Siapa yang mengganti pakaianku?"

Bibir Alec menyunggingkan seringai dengan pertanyaan Alea. Sungguh, ia ingin melihat wajah menggemaskan Alea ketika tahu bahwa dirinyalah yang mengganti pakaian wanita itu. Tetapi, sepertinya hal itu akan membuat Alea semakin syok. "Sejujurnya, aku ingin mengganti pakaianmu dengan tanganku sendiri. Tapi sayang aku hanya bisa mengamati."

Mata Alea membelalak tak percaya. Jadi, Alec mengamati ketika salah satu pelayan melepas pakaiannya yang basah dan mengganti dengan pakaian kering yang saat ini ia kenakan. Bahkan ia bisa merasakan di balik kaos longgar yang ia kenakan sama sekali tak ada bra yang melingkari dadanya. Apa pelayannya juga melepas pakaian dalamnya di hadapan Alec? Pria itu sungguh memiliki kemesuman yang membuat Alea geram bukan main dan bertekad membenci Alec seumur hidup.

"Karena jika aku yang menggantinya, tentu hingga detik ini tak ada pakaian yang akan menutupi kulitmu yang putih ... mulus ... dan ... kencang itu, Alea." Kalimat Alec ditarik-tarik dengan nada menggoda yang nakal. Punggung pria itu semakin membungkuk dan wajahnya semakin mendekati wajah Alea. "Apa kau tahu bagaimana aku menahan diri untuk tidak bertindak lebih jauh dari hanya sekedar melihat dan menyentuh."

Mulut Alea sudah bersiap untuk menjerit sekencang mungkin untuk meminta tolong. Tetapi, kejadian di ruang kerja Alec membuatnya menahan diri. Pria itu mengunci ruang kerjanya, bukan tak mungkin selama Alea belum sadar, Alec sudah mengunci kamarnya juga. Arsen pasti mengijinkannya masuk ke rumah ini, dan Alea tak tahu akses sebanyak apa yang diberikan kakaknya pada Alec. Jika Alec bisa duduk dengan santai di ruang tidurnya, yang adalah tempat sangat pribadi miliknya. Ia bahkan bisa berkata bahwa ruang tidurnya juga masuk sebagai kesepakatan Arsen dengan iblis sialan ini.

"Ya, aku sudah mengunci kamarmu. Berteriak pun hanya akan menyakiti tenggorokanmu. Kamarmu terletak di ujung lorong. Dan aku bahkan bertanya-tanya, kenapa kalian meletakkan dua pengawal untuk rumah sebesar ini dan hanya di gerbang saja. Pelayan-pelayanmu bahkan tak tahu si Nona rumah meregang nyawa di kolam renang. Apa mereka memang seteledor ini?"

"Menjauh dariku, Cage." Alea mulai panik ketika belakang kepalanya menyentuh kepala ranjang sedangkan wajah Alec tak berhenti untuk mendekat. Alea pun memejamkan mata dan miring ke samping dengan kegelisahan yang semakin meningkat ketika napas panas Alec menyembur di wajahnya. "Kumohon."

Alec tertawa pelan. Suara permohonan yang membelai telinga Alec membuatnya menyesal telah menentukan hari pernikahan yang sangat lama. Ia bahkan bisa membayangkan permohonan itu akan membuatnya semakin terpacu ketika ia berkeringat di atas tubuh Alea dan ...

"Cukup, Cage!"

Alea membuka matanya. Dan meskipun ia begitu kesal pada Arsen, ia sangat lega melihat kakaknya tersebut muncul di saat ia benar-benar merasa terancam seperti saat ini.

Alec berdecak pelan. Wajahnya berputar dan mendongak ke arah Arsen yang berdiri di ambang pintu dan berjalan masuk. "Kau benar-benar perusak suasana, Arsen. Aku hanya ingin mendapatkan sedikit hadiahku setelah menyelamatkan nyawanya," gerutunya pelan sambil menegakkan punggung menjauh.

"Kau hanya beruntung berada di tempat dan waktu yang tepat. Apa kau memang begitu pamrih?" sindir Arsen.

Alec mengangkat bahu sekali. Menunduk mengamati ujung kepala Alea yang tertunduk dalam dan bahu bergetar hebat meski tampak begitu lega dengan kedatangan sang penyelamat dari tindakan kurang ajarnya. "Aku memberinya sedikit hadiah sebagai ucapan terima kasih karena telah bertahan hidup untukku." Alec mengangkat tangan kiri Alea, menunjukkan cincin berlian yang berkilau di antara jemari Alea. "Kau tahu aku tak bisa hidup tanpanya, kan."

Alea mengangkat wajahnya. Baru menyadari keberadaan cincin tersebut yang entah sejak kapan terpasang di sana. Dengan cepat, ia menarik tangannya dari genggaman Alec. "Aku tak butuh cincin ini."

Alec menahan pergelangan tangan kanan Alea yang hendak melepaskan cincin tersebut dari jari manis. Sambil memasang ekpresi muram tapi tetap dengan mata tajam penuh ancaman. Ia berkata, "Tak baik menolak niat baik seseorang, Alea."

Alea membeku. Cengkeraman tangan Alec di pergelangan tangannya sangat kuat dan ia menyerah untuk memberontak di usahanya yang kedua karena cekalan Alec yang mulai menyakiti.

"Pergilah, Cage." Arsen memecah kecekaman yang mulai menguar di antara adiknya dan Alec. "Aku akan mengurusnya," lanjutnya kemudian.

Alec melepas tangan Alea dan bangkit berdiri.

"Sepertinya aku yang akan mewakili pengukuran baju pengantinnya." Alec berucap penuh makna ketika berpapasan dengan Arsen. Pengalamannya dengan wanita-wanita yang pernah ia telanjangi, sangat membantu ukuran baju yang tepat untuk tubuh Alea. Ditambah, ia sendirilah yang mengganti pakaian Alea, tentu lebih dari cukup dipakai sebagai referensi. "Aku akan mengirim kembali pakaianmu."

"Kau bisa memilikinya jika suka dan bisa membuangnya jika tak suka," sahut Arsen datar.

"Hmm, baiklah." Alec mengedikkan bahu sekali. "Terima kasih."

"Bagaimana caramu masuk?" tanya Alea begitu Alec sudah keluar dari kamar tidurnya.

Arsen mengerutkan dahi tak mengerti.

"Alec mengunci pintunya," jelas Alea dengan kebingungan sempat melintasi wajah Arsen.

"Dan untuk apa dia mengunci kamar tidurmu?"

Wajah Alea memerah dengan pertanyaan Arsen. "Kau membiarkannya masuk ke rumah ini."

"Well, aku sudah menghubungi ponsel berkali-kali untuk memberitahu bahwa Cage akan datang menjemputmu ke butik untuk mengukur gaun perngantin. Bukan salahku kau tak mengangkat ponselmu, kan."

Alea menghela napasnya dengan panjang, Alec benar-benar penipu ulung. Alea tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya jika ia benar-benar akan menikah dengan seorang Alec Cage.

"Lalu, ke mana saja pengawal dan pelayan rumah ini saat aku hampir mati di kolam renang," desis Alea ketika Arsen membungkuk dan memeriksa ujung kakinya

"Mereka melakukan tugasnya dengan baik, Alea. Hanya sedikit lebih lambat dari Alec." Arsen menekan pergelangan kaki kanan Alea lalu berpindah ke kiri dan Alea meringis kesakitan. "Masih nyeri? Cage sudah memanggil dokter, apa belum datang?"

"Aku bahkan berpikir lebih baik mati daripada berhutang nyawa pada pria sialan itu," sengit Alea pada Arsen. Sudah tentu yang dikhawatirkan Arsen hanya kerugian besar yang akan pria itu dapatkan jika ia mati dan kesepakatan dengan Alec Cage berakhir memilikan.

"Kerugian yang kudapat tentu akan memengaruhi keuangan keluarga kita, Alea. Dan kau tentu tahu ke mana lagi kerugian itu mengarah jika bukan ...."

"Hentikan, Arsen," potong Alea cepat. "Aku tahu apa yang kupikirkan."

"Baguslah."

Alea membuang wajahnya ke sambil mengepalkan kedua tangan di atas paha. Rasa dingin besi di antara jemari tangan kembali mengalihkan perhatian Alea. Ia pun bergegas melepaskan cincin Alec dari jari manisnya dan hendak melemparnya.

"Lakukan apa pun yang kauinginkan pada cincin itu, Alea. Tapi jangan sampai Cage tahu kau merendahkan ketulusannya. Aku tak bisa selalu mengajarimu seperti anak kecil," tegur Arsen sebelum Alea benar-benar melempar cincin itu yang ke depannya akan membuat Alec Cage marah.

Mata Alea beradu dengan tatapan penuh peringatan milik Arsen yang tak kalam tajamnya dengan milik Alec. Dengan terpaksa, Alea pun menurunkan tangannya. Menarik laci teratas nakas dan melemparnya ke sana.

"Pastikan kau mengenakannya saat bertemu dengan Cage," tambah Arsen.

Pintu diketuk, Arsen mengijinkan masuk dan muncullah satu pelayan.

"Tuan, dokternya sudah datang."

Arsen mengangguk singkat. Pelayan itu minggir dan sesosok pria itu bertubuh sedang dan tinggi pas-pasan dengan jas putih selutut tas hitam di tangan kanan muncul. Dokter itu langsung memeriksa kaki Alea. Mengintruksi untuk tetap berbaring sambil memijat lembut daerah sakit sambil menggerakkannya dengan perlahan. Lalu meresepkan obat pereda nyeri dan berpamit.

"Apa kau sudah makan siang?"

Alea menggeleng pelan.

Arsen membungkuk dan menarik selimut untuk menutupi kaki Alea. Keningnya berkerut sedikit saat mengenali kaos yang dikenakan Alea adalah miliknya. Sebaiknya ia harus mulai membatasi pertemuan Alea dan Alec sebelum hari pernikahan.

***

Alea mengutuk dirinya sendiri ketika memeriksa cctv yang dipasang di area kolam renang. Semua terjadi persis seperti yang ada di pikirannya. Saat ia kesusahan berteriak meminta tolong karena air yang memenuhi mulut dan tenggorokan, tangannya menggapai-gapai beberapa kali sebelum tubuhnya mulai berhenti meronta. Tak lebih dari tiga detik, Alec muncul dari pintu belakang dan berlari ke pinggiran kolam lalu melompat dan membawa tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri naik ke tepi kolam. Pria itu keluar dari air, berjongkok dengan punggung membungkuk dan menepuk-nepuk pipinya. Tubuhnya masih tak bergerak, Alec pun mendekatkan telinga di hidungnya. Seperti tak puas, Alec menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi. Kemudian, tanpa Alea duga, Alec merobek kaos merah muda yang ia kenakan dalam sekali sentakan kuat. Alec meletakkan kedua tangan pria itu yang saling tumpah tindih tepat di tengah dadanya. Menekan dadanya beberapa kali. Entah berapa kali usaha yang sudah Alec kerahkan tak memberikan hasil sedikit pun. Alec pun mengangkat dagu Alea hingga terdongak, memencet hidung, lalu meniupkan udara di mulutnya.

Alea bernapa dengan keras sambil berpaling, tak bisa melanjutkan menonton tayangan cctv itu lebih lama lagi. Ia beranjak dan keluar dari ruang keamanan. Berjalan dengan gelisah melintasi lorong dan berhenti di pintu dapur. Mendekati beberapa pelayan yang tengah sibuk "Siapa yang membantuku mengganti pakaian kemarin?" tanya Alea dengan napas terburu.

Kata-kata Alec terbukti tak bisa dipercaya. Dan sungguh, saat Alea berharap kata-kata Alec tentang pelayan yang mengganti pakaian dan pria itu hanya mengamati dari jauh adalah suatu kebenaran. Entah kenapa harapan tersebut membuat Alea merasa begitu menyedihkan. Ia tak bisa membayangkan fakta yang sebaliknya. Dan mungkin berpikir bahwa apa yang dikatakan Alec adalah kebenaran akan membuat Alea lebih lega. Tetapi membiarkan begitu saja keraguan yang bercokol di kepala, semakin lama semakin menggelisahkan.

Ketiga pelayan yang tengah terpaku dengan pertanyaan ketus dari tuannya, segera menghentikan aktifitas mereka yang sibuk pada kompor, sayuran, dan entah apa. Tidak ada yang bersuara, lalu keheningan itu terpecah ketika mendadak muncul satu pelayan dari pintu di belakang dapur. Tengah memegang keranjang bersisi pakaian yang sudah disetrika.

Satu pelayan yang berdiri di depan kompor menunjuk pelayan yang baru muncul tersebut, sedangkan pelayan yang memegang keranjang tersebut bergantian menatap Alea serta teman-temannya penuh tanda tanya dengan wajah yang mulai memucat. Bertanya-tanya kesalahan apa yang telah diperbuat hingga nona Alea yang terkenal penuh kesabaran, kini menatapnya dengan rahang mengeras, mata melotot tajam, dan wajah memerah penuh amarah.

"Apa benar kau yang mengganti pakaianku kemarin?"

Pelayan itu menggeleng dengan takut-takut. "Saya ... saya hanya membawakan handuk dan pakaian ganti yang diminta tuan Cage. Dan ... dan kebetulan saat itu saya sedang membawa keranjang pakaian bersih tuan Arsen. Jadi ... jadi ...."

Alea memejamkan mata tak ingin mendengar lebih jauh lagi. Menyumpahi kekurang-ajaran Alec. Pria itu bukan hanya menipunya mentah-mentah, tapi juga melecehkannya.

"Kami ... kami snagat panik. Dan sepertinya tuan Cage lebih berpengalaman sehingga kami memercayakan Nona padanya."

Alea menggeram. Dengan gerakan kasar, ia berbalik keluar dari dapur. Melangkah cepat-cepat menaiki anak tangga dan berbelok ke kiri. Menuju pintu kamar Arsen.

Tanpa mengetuk pintu, Alea menerobos masuk. Mengedarkan pandangan dan menemukan Arsen tengah mematut diri di depan kaca besar.

"Aku tidak akan menikah dengan Alec Cage." Suara Alea hampir menjerit ketika tepat berdiri di belakang Arsen.

Arsen berhenti menyimpul dasi sejenak lalu melanjutkan lagi sambil menjawab dengan tenang. "Kau tahu aku tak butuh ijinmu, Alea. Semua akan berjalan seperti yang kami rencanakan."

"Kauingin aku mengemis?"

Arsen menyelesaikan simpul dasinya, menatap pantulan wajah Alea di cermin sejenak lalu menghela napas pendek. Kemudian ia berbalik, maju dua langkah untuk mendekati Alea dan menyentuh kedua pundak Alea dan meremasnya dengan lembut. "Tidak. Aku bersumpah tak akan pernah meletakkanmu pada posisi rendah seperti itu, Alea."

"Kau paham apa yang kumaksud."

"Ya, aku sangat paham apa yang kaumaksud."

"Lalu, apa yang harus kulakukan agar kau membatalkan pernikahan sialan ini?"

"Tidak ada."

Alea menepis tangan Arsen di pundaknya dengan keras. "Kalau begitu aku tak punya pilihan. Apa pun itu, aku akan melakukannya selain berakhir di ranjang Alec."

Sekali lagi Arsen menghela napas, tapi kali dengan keras dan mulai terlihat tak sabaran. "Apa pun yang kau pikirkan, sebaiknya pikirkan lagi, Alea. Atau aku terpaksa akan menjadikan Arza sebagai jaminanku."

Alea tercekat. "Apa maksudmu?"

"Cage sudah memberikan apa yang kuinginkan, jika aku tak bisa memberikan apa yang Cage inginkan. Kupikir aku akan menyodorkan Arza sebagai penggantimu."

"Kau benar-benar berengsek, Arsen!" raung Alea.

Arsen hanya mengedikkan bahu, berjalan menuju lemari di samping kanannya dan mengeluarkan jas yang senada dengan celana sebelum mengenakannya sambil kembali mendekati Alea yang masih berdiri di tengah ruangan.

"Kita tak akan membahas masalah ini lagi kapan pun."

"Cage sudah berbaik hati menangani gaun pengantin dan mengatur konsep pernikahan kalian. Dia bahkan mengirim beberapa orang yang akan melakukan perawatan untuk wajah dan tubuhmu siang nanti. Jadi, tetaplah bersantai di rumah. Bersikap manis sebagai calon pengantinnya."

"Dia telah melecehkanku, apa kau benar-benar akan menyerahkanku pada pria seperti dia?"

"Ciuman itu sudah biasa, Alea. Apalagi dia tunanganmu."

Alea menggeram keras ketika mulutnya tak bisa berkata-kata.

"Manfaatkan dia dengan rendah hati dan kau akan memiliki akses sangat besar di kehidupan Cage sebagai seorang istri. Aku yakin kau akan sangat bahagia menjadi nyonya Cage."

"Kau tahu apa yang paling kuinginkan," desis Alea.

"Ya, aku tahu." Arsen menutup perdebatan tersebut dengan tatapan tajam yang membuat Alea tak berkutik lagi. Kemudian berjalan keluar kamarnya meninggalkan Alea yang masih tercenung menatap kepergiannya.

Tepat ketika Alea keluar dari kamar Arsen, ia berpapasan dengan Arza yang sudah rapi dan siap berangkat ke kantor, keluar dari kamar pria itu.

"Kauingin turun untuk makan pagi?" tawar Arza dengan senyum simpul yang lembut dan hangat.

Alea menggeleng penuh keengganan. "Aku yakin akan memuntahkan sarapanku karena melihat wajah Arsen," sengit Alea sambil melirik ke arah tangga tempat Arsen menghilang.

Arza tertawa ringan. "Dia memang segigih itu jika menyangkut orang terpenting di hidupnya."

"Jangan membual, Arza!" peringat Alea dengan nada rendah. "Aku tahu dia dengan sangat baik. Dia tak berbeda dengan Cage."

"Jadi?"

Alea diam. Menghindari pernikahan ini tentu akan membuat posisi Arza tak aman. Jadi, satu-satunya jalan adalah bersikap rendah hati untuk memanfaatkan Alec Cage. "Katakan padanya aku akan melakukan perawatan di luar."

Arza mengangguk. "Oke. Ada lagi?"

Alea berjinjit, hendak mendaratkan bibirnya di pipi Arza. Namun, pria itu tiba-tiba tampak kaku dan mundur sedikit sebelum bibir Alea benar-benar menyentuh kulitnya. Berdehem sekali dan berucap penuh kehati-hatian agar tak menyinggung Alea. "Sepertinya kita harus membiasakan hubungan baru ini, Alea. Maafkan aku."

Alea menggeleng. "Tidak. Akulah yang seharusnya tak melewati batasku. Maaf." Alea bergegas melewati Arza. Wajahnya merah padam oleh penolakan Arza yang membuat Alea merasa sangat buruk. Tak sabar segera menjauhi Arza, Alea memilih berlari menuju kamarnya di lorong paling ujung. Ingin menenggelamkan wajahnya di balik selimut demi meredakan rasa malu luar biasa tersbeut.


***


Saturday, 6 June 2020



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro