Part 29
A Lover
Alec & Alea
###
Part 29
###
"Apa yang kaulakukan di sini, Naina?" Alec melirik tiga koper besar yang berjajar di samping Naina. Sore itu, Naina tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya tepat ketika Alec hendak keluar untuk urusan mendadak.
"Tante sedang pergi ke Kanada."
"Lalu?"
"Dan aku sendirian di apartemen."
"Dan kau butuh teman, begitu?"
Naina menampilkan senyum lebarnya. "Kau tahu aku tidak berani sendirian tinggal di apartemen."
"Ke mana perginya teman-teman yang biasa kau aja bersenang-senang?"
"Mereka ..." Naina berkedip, "punya urusan sendiri, Alec."
Alec diam. Meneliti raut muka Naina tapi enggan mencari tahu lebih banyak. "Jika kau datang ke rumah ini dengan niat yang lain ..."
"Aku bersumpah tidak memiliki niat buruk apa pun pada kalian."
Mata Alec menyipit curiga. "Aku tidak mengatakan niat buruk," jelasnya.
Naina mengerjap, tertangkap basah. Tetapi dengan segera mendapatkan jawaban untuk membalas tuduhan Alec. "Pandanganmu cukup menjabarkan apa yang kau pikirkan tentang niatku. Aku kecewa, tapi aku baik-baik saja."
Tatapan Alec semakin menajam.
"Aku sudah menghubungi tante Jean. Aku sudah mendapatkan ijin untuk tinggal di sini selama dia di Kanada."
"Dan apa yang membuatmu begitu yakin ijinnya lebih berarti dari kata setujuku?"
"Tidak ada. Tapi aku akan tetap tinggal di rumah ini. Lagi pula ... aku orang asing di kota ini. Hanya kau yang kukenal selain tante Jean. Jika sesuatu terjadi padaku, kedua orang tuaku pasti akan menyalahkanmu."
Alec menghela napas pendek. Walaupun sejujurnya ia tak pernah peduli jika disalahkan oleh tante dan omnya dengan luka lecet di ujung kuku Naina, ia tahu Naina akan tetap bertahan dengan keinginannya. Dan ia tak punya waktu untuk berdebat dengan wanita itu ketika ponsel di sakunya sekali lagi berdering.
"Lakukan apa pun sesukamu," pungkas Alec seraya mengibaskan tangan di samping wajahnya dan berjalan melewati Naina sembari merogoh ponselnya. Ia bisa merasakan tawa kegirangan Naina di belakangnya yang langsung menyuruh anak buahnya untuk membawa koper wanita itu ke dalam.
***
Alea terbangun ketika pelayan mengetuk pintu kamar dan membawakannya makan malam. Seperti biasa, tak banyak yang bisa masuk ke mulutnya karena selera makannya yang menurun drastis.
"Alec benar-benar memperlakukanmu seperti seorang putri, ya?" Suara bernada cibiran yang berasal dari arah pintu membuat Alea menoleh. Meletakkan tisu kotor yang baru saja ia gunakan untuk menyeka mulut ke nampan dan membiarkan pelayan membawa pergi nampan tersebut.
Alea menatap wanita asing, yang sepertinya pernah ia lihat tersebut. Rambut merah bergelombang yang diurai dan tatapan sinis itu. Alea menoleh ke arah pelayan lain yang kini meletakkan gelas air putih dan menyiapkan obat di laci nakas.
"Sepupun tuan Alec. Nona Naina," jelas pelayan itu menjawab pertanyaan dalam manik Alea.
Alea sedikit mengerutkan kening untuk memgingat-ingat. Ah, sepupu Alec yang datang di pesta pernikahannya dan Alec. Yang memecahkan balok es dan berdiri di atas meja meracau tak jelas.
"Ya, itu aku." Naina berjalan masuk. Berdiri di ujung ranjang dengan kedua tangan bersilang di dada dan dagu sedikit terangkat penuh kearogansian. "Jangan salahkan aku yang terlalu mabuk malam itu. Kau merebut priaku, kuharap kau memaklumiku meski pengertianmu pun tak membuatku merasa lebih baik." Naina memberi jeda sejenak. Pandangan lurusnya ke arah manik Alea semakin intens dipenuhi kebencian yang terang-terangan. "Sedikit pun."
Alea termangu. Mulutnya setengah terbuka ketika mengulang kembali kalimat Naina di benaknya dan mencernanya sedikit lebih lamban.
'Merebut pria wanita itu?'
Kemudian matanya membelalak tak percaya ketika menyadari pria yang dimaksud Naina adalah Alec. Dan dengan tololnya ia malah bertanya balik, "Alec?"
Naina mencibir.
"B-bukankah ... kalian sepupu?"
"Ck, jangan berpikiran sesempit itu, Alea. Kaupikir kau bisa jatuh cinta pada siapa pun yang kauinginkan."
Kata-kata Alea mau tak mau menohok dada Alea secara langsung. Hanya memgingatkannya akan perasaan cinta yang dimilikinya untuk Arza. Tetapi, apa tujuan Naina memberitahu perasaan tersebut padanya? Apakah Alec tahu?
"Ya, Alec sudah tahu. Bahkan sejak kita masih duduk di bangku SD. Tapi dia tak pernah mengganggap serius perasaanku."
Alea tak berkomentar apa pun. Mulai merasa tak nyaman dengan curahan hati Naina. Yang mengemis cinta pada suaminya. Kenapa Alec repot-repot menikahinya jika ada seseorang yang begitu setia jiwa dan raga.
"Dan sekarang dia malah menikahimu." Naina menatap remeh pada Alea. Dari ujung kepala turun ke bawah penuh kecemburuan yang sinis. "Tuan putri yang manja dan ..." Pandangan Naina beralih ke arah obat di nakas. "Pesakitan?"
Wajah Alea memias. Sepertinya mulut Naina tak punya filter seperti sepupunya, Alec.
Naina tersenyum lebar. Tak ada penyesalan sama sekali ketika mengucapkan, "Maaf. Jangan tersinggung. Aku memang tak pandai bersosialisasi."
Alea tak menggubris. Memilih tak berkata apa pun lagi, dan kalaupun ia membuka mulutnya, ia hanya ingin menyuruh Naina keluar dari kamarnya. Naina jelas tak ingin berteman dengannya, dan ia pun merasa tak perlu mengubah pemikiran wanita itu. Hubungan mereka jelas tak akan nyaman untuk satu sama lainnya. Naina memandangnya sebagai wanita perebut kekasih orang lain dan dia sendiri, bagaimana mungkin bisa berpura nyaman dengan wanita lain yang menyimpan hati pada suaminya. Pun dengan hubungan mereka yang seharusnya cukup dekat karena pernikahnnya dan Alec.
Cukup ketika ia tidak mampu mengontrol perasaannya ketika tadi siang memergoki seorang wanita keluar dari kamarnya Seharusnya Alea tidak bersikap sekonyol itu. Mengingat kejadian siang tadi, membuat Alea menyentuh lehernya dengan sikap tak nyaman. Mengingatkan diri untuk jangan sampai kehilangan kendali untuk kedua kalinya terhadap Naina.
"Apa kau tahu berapa banyak wanita yang datang silih berganti di hidup Alec?"
Alea mendongak, melihat Naina yang duduk di ujung ranjang. menandakan bahwa wanita itu tidak akan segera pergi dengan cepat. Berapa banyak wanita yang datang silih berganti di hidup Alec? Alea menimbang-nimbang, antara ingin tahu dan itu bukan urusannya. Tetapi ketika ia mengingat nama Sesil, wanita yang datang ke pernikahannya dalam keadaan hamil, juga yang membuat Alec meninggalkannya di malam setelah pemakanan mamanya. Mendadak keingintahuan Alea merayap naik, tapi sama sekali tak berminat menunjukkannya di depan Naina. Ekspresi yang terpampang di wajah Naina sangat sulit ditebak, seperti yang selalu terjadi ketika ia berusaha membaca Alec meski tak menutupi kilat di bola mata hitam wanita yang jernih.
Lagi-lagi, terlalu banyak kesamaan yang dimiliki Naina dan Alec, yang terasa begitu cocok jika keduanya bersanding. Sama-sama licik, berterus terang, dan arogan.
"Apakah menurutmu pernikahan kalian akan membuatnya berhenti menjadi pria yang bebas?" Naina menampilkan jajaran giginya yang putih dan rapi. Kilatan di mata hitam itu semakin terang-terangan dengan motif tersembunyi yang sengaja dibuka tabirnya.
"Aku tak tahu. Dan aku sama sekali tak merasa perlu ingin tahu." Alea berharap suaranya keluar setenang dan sedatar seperti yang ia inginkan walaupun dalam hati pertanyaan tersebut berhasil menggoyahkan sesuatu di hatinya.
Ia tahu Alec pria yang kejam dan berengsek. Selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Arsen jelas mengetahui latar belakang pria itu sebelum menikahkannya dengan Alec. Arsen juga pasti tahu keinginan pria itu dengan jelas sebelum memutuskan kesepakatan di antara mereka. Tetapi, tentang isi rumah tangganya dengan Alec, dan apa saja yang dilakukan oleh Alec di belakangnya, apakah Arsen juga tahu? Apakah Alec masih bermain wanita di belakangnya?
Pria tampan dan kaya, dan terutama jika sangat menyadari kelebihan yang dimiliki. Harta, tahta, dan wanita. Alec memiliki semuanya, hanya saja ... apakah pria itu cukup memilikinya sebagai istri? Apakah Alec akan menginginkan wanita yang lain dalam hidup pria itu?
Alec bahkan tak segan-segan mengatakan akan membuangnya jika ia mulai membuatnya bosan? Dan pria itu tak pernah mengunjunginya di rumah sakit. Sepertinya Arsen benar, selain tindakannya yang membahayakan Arza, ia pun juga membahayakan dirinya sendiri.
Apa yang akan terjadi jika Alec benar-benar membuangnya?
"Wajahmu mengatakan yang sebaliknya," terka Naina menilai reaksi yang ditunjukkan oleh Alea. Pandangan wanita itu tampak gugup, dengan kening berkerut seolah berpikir panjang dan dalam.
Alea menatap wajah Naina, pertanyaannya melayang di atas kepala. Kekhawatiran ini jelas bukan karena ia peduli apakah pria itu akan menduakannya, melainkan karena ia memikirkan masa depannya dan anaknya.
Suatu saat, jika Alec membuangnya. Apakah pria itu akan mengambil anaknya?
"Apa kau mencintai Alec, Alea? Aku melihat keterpaksaan di matamu di pesta pernikahan kalian malam itu." Naina sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Alea. Menilai lebih dekat air muka Alea.
"Sepertinya itu bukan urusanmu, kan?"
Naina mengedikkan bahunya. "Ya, dan jangan coba-coba jatuh cinta padanya. Alec bukanlah seseorang yang sanggup kau tanggung. Pernikahan kalian adalah pernikahan bisnis. Kau cukup jadi penghangat ranjangnya dan istri yang cantik untuk dipamerkan di depan umum. Seperti itulah peranmu dalam kesepakatan bisnis kalian."
Mata Alea melebar. Cukup terkejut dengan sejauh apa Naina mengetahui tentang perjanjian putih di atas hitam yang disepakati oleh Arsen dan Alec.
Naina beranjak. Menatap penuh kepuasan akan kepucatan yang menyelimuti air muka Alea tampaknya sudah tak tertolong lagi. Ia hanya ingin memberi Alea sedikit pengertian tentang peran wanita itu yang sebenarnya di hidup Alec, dan sebaiknya berhati-hati dengan harapan wanita itu.
***
Monday, 29 March 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro