Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 27


A Lover

Alec & Alea

###

Part 27

###


"Dirga?" Alec mengulang penuh tanda tanya. Gerakan tangannya yang mengetuk-ngetuk pahanya terhenti dan matanya melirik ke arah Arza yang duduk setengah berbaring di ranjang pasien. Dengan perban mengeliling kepala dan beberapa luka yang sudah hampir mengering di pipi, dagu, dan bibir.

Ia bisa memahami bagaimana histerisnya istrinya hingga nyaris membuat anak mereka terbunuh, tapi tak cukup memaklumi ketololan istrinya yang jelas-jelas lebih mementingkan keselamatan Arza dibandingkan keselamatan anaknya.

Menahan kemurkaan pada pria yang duduk di atas ranjang itu jelas suatu keajaiban yang pernah terjadi seumur hidupnya. Bagaimana begitu tenangnya dia menghadapi adik ipar angkat sekaligus selingkuhan istrinya. Juga jika bukan karena informasi penting yang dikatakan oleh Arza. Alasan inilah yang membawanya datang ke ruangan ini. Arsen menelponnya dan mengatakan Arza sudah sadar dan ingin segera berbicara dengannya. Yang tadinya ia pikir tentang Alea.

"Jangan bilang kita memikirkan Dirga yang sama?"

"Banyu Dirgantara. Aku adalah kaki tangannya."

Kali ini pengakuan Arza membuat Alec sepenuhnya menghadap pria itu. Terkejut sekaligus tidak ketika mengingat Saga yang pernah mengatakan bahwa wajah Arza tampak familier. Dan firasat pria itu memang tak pernah meleset. Tentu saja Saga sangat mengenal seluk beluk Banyu Dirgantara. Bahkan pria itu bisa menyelidiki celana dalam istrinya yang tengah berada dalam pelukan Dirga.

"Aku tahu kau sudah menyelidiki siapa sebenarnya aku. Aku adalah anak angkat keluarga Mahendra. Saat itu umurku masih belasan tahun ketika Jimi mencoba menghabisiku dan Papa angkatku menemukanku yang nyaris sekarat di jalanan."

"Aku tak pernah tahu cerita itu," aku Alec. Sepertinya bawahannya terlalu puas dengan hasil yang dangkal.

"Ya, Arsen menutupi asal usulku serapi mungkin meski tetap tak mampu mengundang kecurigaanmu."

"Dan Jimi?"

"Kupikir kau mengenalnya dengan sangat baik sebagai tangan kanan Ganuo."

Alec bangkit berdiri. "Jadi itu sebabnya Sesil memintaku tidak membawa Dirga ke rumah sakit?"

Arza membelalak. "Dirga masih hidup?"

"Masih bernapas? Ya." Alec berhenti di dekat ranjang. "Terakhir kali aku melihatnya dia masih koma, dan sepertinya tidak ada peningkatan hingga detik ini."

Arza tampak bernapas dengan lega.

"Jadi, apa yang membuat Jimi begitu ingin menghabisimu? Juga Dirga?"

Arza diam sejenak. Maniknya bertemu dengan Alec dan berkata, "Tentang Rega Ganuo."

Alec terdiam.

"Dia tidak bunuh diri."

***

Alec tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi sejak siang itu. Sudah tiga hari Alea dirawat di rumah sakit dan hari ini wanita itu diijinkan untuk melakukan rawat jalan. Dua pelayan baru yang selalu siap siaga memenuhi kebutuhannya sudah selesai mempersiapkan kepulangannya. Tidak ada Alec.

Alea merasa lebih baik. Sangat lebih baik meski ada yang terasa mengganjal. Apakah Alec melakukan sesuatu pada Arza di belakangnya? Entah kenapa ia mendadak merindukan melihat pria itu. Setidaknya dengan melihat Alec dengan mata kepalanya sendiri, Arza aman. Walaupun ia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan pria itu sekarang.

Pintu dibuka, Arsen muncul. Mengisyaratkan pada kedua pelayan Alea untuk keluar. "Aku akan mengantar adikku ke mobil."

Kedua pelayan itu keluar setelah mendapatkan isyarat yang sama pada pengawal yang berjaga di depan pintu.

"Bagaimana keadaanmu?" Arsen melihat baju pasien Alea yang sudah diganti dengan dres berwarna biru langit. Wajah adiknya masih sedikit pucat yang tak ada hubungannya dengan kesehatan.

"Jangan tanyakan apa pun," cegah Arsen sebelum Alea bertanya keadaan

Mata Alea berkaca. "Alec tak akan memberitahuku, apa kau juga akan membuatku mati penasaran memikirkan keadaan Arza?"

"Aku sudah cukup jelas mengatakan padamu, Alea. Tidak hanya satu dua kali."

"Aku benar-benar membencimu, Arsen."

"Dia baik-baik saja selama kau bisa menyenangkan Cage. Tidak bisakah kau berkorban sedikit untuk pria yang memang kaucintai?"

Tangis Alea pecah. Air mata merembes di antara celah kelopak matanya dan mengaliri pipinya jatuh ke pangkuannya.

"Jika Cage benar-benar membuangmu, apa kaupikir hanya hidupnya yang akan hancur?"

"Hentikan, Arsen. Aku tak ingin mendengarnya lagi. Kau bersikap egois!" jerit Alea.

"Dan kaupikir hanya diriku yang bersikap egois?" desis Arsen. Mencekal lengan Alea memaksa adiknya menatap wajahnya. "Lihat dirimu!"

Air mata Alea tumpah tanpa isakan.

"Aku tahu Cage bukan pria yang kaucintai, tapi aku tahu dialah yang terbaik untukmu. Dia menyukaimu. Amat sangat menyukaimu dan bisa kupastikan dia bukan pria berengsek seperti yang banyak kita kenal yang hanya akan menjadikanmu pajangan di rumah."

"Dia melecehkanku."

"Dia suamimu," tandas Arsen. "Dia berhak menikmati tubuhmu karena kau adalah miliknya. Lakukan itu selagi dia tertarik dengan tubuhmu."

"Kau tak tahu bagaimana rasanya ..."

"Dan aku tak merasa perlu tahu," sela Arsen. "Sedikitlah bersikap dewasa, Alea. Tidakkah kau mendapatkan pelajaran yang keras atas kejadian ini?"

Mulut Alea terbungkam.

"Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Alec kepadamu setelah ini, tapi bersyukurlah kau sedang mengandung anaknya. Setidaknya Cage cukup bersabar dan tak akan menyakiti anak dalam kandunganmu."

Arsen melepas cengkeramannya pada lengan Alea. Menatap wajah basah Alea yang bersimbah air mata dan terlihat lebih pucat dari sebelumnya.

"Dan kau? Apa sedikit pun kau tidak merasa terikat dengan anak dalan kandunganmu?"

Alea tercengang.

"Bagaimana pun kau membenci Cage, anak itu adalah anakmu. Darah dagingmu. Jika kau tidak bisa sepenuh hati melakukan tugasmu sebagai seorang istri, kau tak mungkin melampiaskan kebencianmu pada anak kandungmu sendiri, kan?"

Kata-kata Arsen membuat hati Alea mencelos. Tangannya yang ada di pangkuan membeku ketika keinginan untuk menyentuh perutnya tertahan oleh egonya.

"Jangan buat anakmu bernasib sama seperti kita bertiga, Alea. Kau tahu benar penderitaan apa yang pernah kita alami. Setelah kau tahu apa yang terjadi padaku, Karen, dan kau sendiri."

Jantung Alea serasa diperas.

"Kau tahu apa yang terjadi saat seorang ibu berpaling dari anak-anaknya. Apapun yang kulakukan untukmu selama ini bukan untuk menurunkan luka yang sama pada anakmu."

"Jika memang sangat sulit menerima Cage sebagai suamimu, lakukan itu sebagai ayah dari anakmu. Darah selalu lebih kental dari air, Alea. Apapun penyangkalanmu, anak itu pasti akan lebih berarti daripada Arza."

***

Sepanjang perjalanan kembali ke rumah Alec, Alea terus memikirkan kata-kata Arsen yang terus berputar di benaknya. Tangannya masih tertahan di atas pangkuannya. Menahan dorongan yang semakin intens untuk menyentuh perutnya dan mencoba menyisipi kehangatan yang mungkin masih ada di sana. Terus bergulat dalam dilemanya hingga mobil berhenti di pelataran rumah Alec dan tangannya masih tetap bergeming kaku di pangkuan.

Alea menatap pintu rumah yang terbuka. Terngiang kata-kata Arsen yang masih tak menemukan titik temu di hatinya.

'Jika memang sangat sulit menerima Cage sebagai suamimu, lakukan itu sebagai ayah dari anakmu. Darah selalu lebih kental dari air, Alea. Apapun penyangkalanmu, anak itu pasti akan lebih berarti daripada Arza.'

Bayangan-bayangan kehidupannya yang haus kasih sayang oleh orang tua mulai merayapi hatinya.

Haruskah ia memberi kesempatan untuk pernikahannya dan Alec?

"Nyonya, kita sudah sampai."

Alea tersadar mendengarkan pemberitahuan kedua sopirnya yang dengan penuh kesopanan. Alea turun dan langsung melangkah masuk.

"Tuan ada di atas," beritahu salah satu pelayan yang menyambutnya di dekat pintu. "Apa Anda membutuhkan sesuatu untuk diantarkan ke kamar?"

Alea menggeleng, terus melangkah ke arah tangga. Namun, langkah Alea terhenti di ujung anak tangga. Melihat seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang yang diurai memenuhi seluruh punggung, berjalan keluar dari pintu kamarnya dan Alec. Wanita itu berhenti di depan pintu, memperbaiki rok pensil dan kancing kemeja putih yang dikenakan sebelum melanjutkan langkahnya menuju ke tempat Alea tengah berdiri terpaku dalam ketercengangan.

Jantung Alea rasanya seperti ditikam oleh belati. Tidak, ia sudah kehilangan kewarasannya saat memikirkan kembali kata-kata Arsen. Semua dilema yang menggelayuti benaknya seketika lenyap tak berbekas, digantikan oleh kemarahan yang menerjang dadanya dengan keras.

Apakah seperti ini rasanya dikhianati?

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro