Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 26


A Lover

Alec & Alea

###

Part 26

###

Yang pengen peluk bang Alec secara fisik, sekarang udah bisa dipesan. Bisa chat admin karos atau check out di sophee, ya. Kontak wa dan tokonya udah tertera di banner. Dan ... untuk 3 pembeli pertama dan tercepat bisa dapat bonus bukunya bang Saga. GRATIS!!! Hayoooo.... siapa yang ga pengen???

###

Suara langkah kaki yang bergema dari arah ujung lorong rumah sakit membuat Arsen menoleh. Melihat Alec Cage, adik iparnya dengan satu bodyguard yang berjalan di belakang, mendekat ke arahnya. Dengan kemarahan yang siap meledak kapan pun.

Walaupun ia tahu kemarahan Cage kali ini pun tampak tak terelakkan, setidaknya Arza dan anak Cage masih hidup. Kebebalan adiknya benar-benar sudah berada di batas ambang kesabaran Cage. Dan ia pun sudah kehilangan akal untuk membersihkan otak adiknya itu.

Bagaimana tidak? Alea mengelabui pengawal pria itu demi mencari Arza dan membuat adiknya itu nyaris mati karena pendarahan. Apakah Alec dalang di balik peringatan keras ini? Arsen menggeleng. Alec bahkan sibuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menemukan Alea lengkap dengan nyawa dan kebebalan adiknya. Tetapi siapa yang tahu kelicikan pria itu?

Jika saja Arza tidak menghubunginya dan mengatakan Alea dalam bahaya. Dan ia terlambat semenit saja untuk menyelamatkan Arza dan nyawa anak dalam kandungan Alea. Entah apa yang akan dilakukannya. Ia tak akan menanggung kehilangan lainnya. Pemadangan tubuh Arza dan Alea yang berbaring dalam genangan darah, sekali lagi memberikan hentakan kuat di punggungnya. Ia benci merasa kehilangan.

"Apa yang kaulakukan di sini, Cage?" Arsen menjaga ekspresi wajahnya sedatar dan sedingin yang ia harapkan. "Kupikir kau tahu di mana kamar Alea dirawat tanpa kuberitahu, kan?"

"Aku tahu siapa yang ada di balik pintu itu, Arsen," desis Alec dengan lirikan tajam mengarah ke pintu ruang operasi. "Apa dia masih hidup?"

"Apa ini semua perbuatanmu?" tanya Arsen tak bisa mencegah tatapan menuduhnya untuk Alec. Ancaman yang berkali-kali diucapkan Alec serta ketakutan Alea yang selalu mengkhawatirkan Arza, membuatnya tak bisa menahan tuduhan itu keluar dari ujung lidahnya meski tuduhan itu tak bersungguh-sungguh.

Alec menyeringai. "Aku memang tertarik ingin melakukannya. Tapi sepertinya dia punya musuh lain selain aku, ya?"

"Jangan membuat semuanya rumit, Cage. Hubungannya dengan istrimu sama sekali tak seperti yang kaubayangkan."

"Kau masih ingin menyembunyikan kebusukan istriku dengannya?"

"Aku punya alasan membiarkan mereka bersama, dan semua hasilnya sudah kau dapatkan. Apakah keperawanan Alea masih belum cukup membuktikan kesetiaan Alea terhadapmu? Dia bahkan tengah mengandung anakmu."

Alec mendengus. "Oke, kita lupakan."

Hening yang cukup lama.

"Ganuo," lirih Arsen memecah kesunyian itu, sambil mengingat-ingat pembicaraannya dengan Arza kemarin malam. "Dia mengatakan sesuatu tentang Ganuo dan berpamitan seolah memang ada seseorang yang berniat melukainya. Jika bukan kau yang melakukan ini, itu pasti seseorang yang mengancamnya."

"Ganuo?" Alec berpikir keras. "Apa hubungannya dengan Saga?"

Arsen menggeleng.

Kemudian getaran dari dalam saku celananya membuatnya menunduk. Merogoh ponsel dan mengangkat panggilan dari kepala pengawalnya.

"Apa?!" Seketika wajah Arsen dipenuhi ketegangan dan terkejut luar biasa. "Ke mana mereka sekarang?"

"Wanita sialan!" umpat Arsen dengan bibir yang menipis tajam. Tangannya terkepal dan menahan diri agar kemurkaanya tak meledak di tempat dan waktu yang salah.

"Lakukan segala cara untuk mengikutinya, dan pastikan jangan sampai kalian kehilangan istriku. Aku akan segera pulang. Informasikan padaku setiap sepuluh menit keberadaan mereka. Apa kau mengerti?" Arsen menutup telponnya dan masih menggeram marah sambil meremas ponselnya.

"Kenapa? Sepertinya kau ada urusan mendadak," sinis Alec dengan seringai puas di salah satu sudut bibirnya.

Arsen membuang napas dengan kasar. Lalu tangannya menunjuk ke arah pintu tempat Arza sedang dioperasi. "Dia adalah salah satu orang terpenting di hidup Alea. Jika kau menyentuhnya seujung kuku pun, kupastikan kau akan kehilangan Alea dan anak dalam kandungannya, Cage."

"Apa kau mengancamku?" dengus Alec.

"Aku hanya mencegahmu berbuat konyol."

"Apa pedulimu, Arsen? Dia bukan adik kandungmu. Kau bahkan menjual adik kandungmu padaku demi mempertahankan posisimu saat ini."

Wajah Arsen berubah pias. "Aku hanya memberikan yang terbaik untuk mereka. Apa pun itu dan bagaimana caraku melakukannya, sepertinya bukan urusanmu. Aku sama sekali tak mengusik kesepakatan kita."

"Aku butuh lebih dari sekedar kesepakatan."

Mulut Arsen terkatup rapat.

"Aku berharap kejadiaan ini benar-benar menjadi pelajaran yang keras untuk adikmu. Karena jika tidak, aku benar-benar akan membuangnya seperti sampah."

***

Pusing teramat menusuk menyambut Alea ketika kesadaran perlahan menggerakkan kelopak matanya yang sulit dibuka. Seluruh tubuhnya lemah, tanpa daya, tapi dadanya masih bergerak naik turun meskipun dengan lemah.

Berusaha menelaah keadaan sekitar dengan inderanya yang enggan bekerja, pemandangan serba putih dan bau antiseptik yang sangat familiar. Ia tahu di mana sekarang tubuhnya berbaring. Di ranjang pasien rumah sakit.

Apakah itu berarti ia masih hidup? Lalu Arza?

Pertanyaan yang menerjang benaknya, membuat mata Alea terbuka sempurna. Kepalanya berputar menatap sekeliling. Tak ada siapa pun di ruangan ini. Siapa yang membawanya ke rumah sakit?

Alea nyaris menjerit merasakan sakit yang berpusat dari perutnya ketika bangkit terduduk dengan keras. Tangannya bergerak menyentuh perut dan membungkuk menahan ringisan.

Kenapa perutnya terasa sakit?

Apakah anaknya baik-baik saja?

"Kau sudah sadar?" Pintu ruang perawatannya terbuka dan wajah Alec muncul.

"Apa yang terjadi?" Alea bertanya lirih.

Alec berjalan mendekati ranjang. "Kau pendarahan dan kita nyaris kehilangan anak di perutmu."

Alea terkejut, menunduk menatap telapak tangan yang menyentuh perutnya. Keanehan menjalari dadanya tapi ia tahu anaknya masih hidup. Tetapi kemudian kepalanya mendongak, kembali menatap Alec dengan wajah yang mengeras. "Dan kau sudah membunuh Arza!" tuduh Alea sengit. Air matanya mengalir deras.

Alec mendengus. Entah apa yang membuat wanita itu berpikir ialah yang membunuh Arza. Adik kakan sama saja, batin Alec sebal. Tapi rasanya menjelaskan juga tak akan membuat kekesalannya mereda. "Kau lebih mengkhawatirkan keadaan selingkuhanmu daripada anakmu sendiri?"

"Pembunuh!" Alea melempar bantal di belakangnya ke arah Alec. Tak cukup, ia melihat nakas dan mengambil vas bunga, remote, serta benda apa pun yang ada di sana ke arah Alec.

"Cukup Alea!" bentak Alec. Maju ke depan dan melompat ke ranjang menangkap kedua tangan Alea dalam sekali sentakan. Kemudian mendorong wanita itu hingga berbaring dan menindis setengah tubuhnya.

Tangisan menjerit, tersedak oleh tangisannya. Tubuhnya sudah cukup lemah, menghadapi kekuatan Alec jelas pilihan yang tolol. Hatinya sudah remuk redam, hidupnya sudah tak berarti lagi.

"Kau ... kau ... membunuhnya." Suara Alea terputus-putus karena isakannya yang semakin keras.

"Kaulah yang membunuhnya. Kau yang membuatnya terbunuh," desis Alec di depan wajah Alea yang basah kuyup oleh air mata. Ia tak akan menyangkal tuduhan Alea. Biarlah wanita itu berpikir sesukanya. "Dan jika kau tidak menghentikan tangisanmu, aku akan membuatmu menjadi satu-satunya penyebab kematian selingkuhan kesayanganmu itu."

Alea mencerna ancaman dalam kalimat Alec. Alec akan membuatnya menjadi ... Apakah itu berarti Arza belum mati? Alea berhenti dari tangisannya. Menatap wajah Alec dengan matanya yang masih dipenuhi air mata dengan isakan tertahan.

Gemuruh di dada Alec benar-benar mengoyaknya dari dalam akan keampuhan ancamannya tentang Arza untuk menenangkan Alea. "Aku akan membunuhnya dan membuatmu merasakan penyesalan yang sangat dalam karena kematiannya."

"A-apa Arza masih hidup?"

"Setidaknya ia masih bernapas." Alec menyentakkan tangan Alea dan menarik tubuhnya turun dari ranjang. tangannya gatal sekali ingin menghancurkan sesuatu. Dan rasanya akan sangat jauh lebih baik jika digunakan untuk meremukkan leher Arza.

Alea bangkit terduduk. Kelegaan menjalari tenggorokan Alea meski tak cukup menghentikan isakannya.

"Lihatlah bagaimana menyedihkannya dirimu, Alea," decak Alec dengan tatapan mencemoohnya.

"Aku ingin melihatnya." Suara Alea penuh permohonan.

Alec menggeleng-gelengkan kepalanya, masih dengan tatapan menghina.

Alea menelan bulat-bulat rasa malunya. "Aku ingin memastikan apa yang kau katakan benar."

"Kau hanya perlu merendahkan dirimu untuk keselamatannya. Lakukan itu selagi masih bersikap baik. Jangan mengemis sesuatu yang akan membuatku berubah pikiran. Dan memberinya kematian yang sangat mengerikan yang tak pernah kau bayangkan, Alea," pungkas Alec sebelum berjalan keluar dari ruang perawatan Alea. 

***

Thursday, 18 March 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro