Part 25
A Lover
Alec & Alea
###
Part 25
###
"Siapa kau?" cicit Alea, beringsut menjauh dan memberi jarak sejauh mungkin dengan pria yang dipanggil bos. Pria itu hanya menjawab dengan seringai lalu berpaling.
"Apa Alec yang menyuruhmu membawaku pulang?"
Pria itu tak mengiyakan ataupun menyangkal. Entah apa yang membuat wanita itu menuduh suami sendiri atas dalang penculikan ini, semua bukan urusannya. Ia menggunakan Mahendra satu ini hanya untuk memancing kawan lamanya keluar dari persembunyian. Tanpa mengusik Cage, apalagi Ganuo.
"Aku tak ingin pulang ke rumah!" teriak Alea.
Pria yang duduk di jok depan mendengus sambil menoleh ke belakang. "Tenang saja, cantik. Kami tak akan membawamu pulang."
Ujung kelopak mata Alea berkerut. Tetap bertanya dengan putus asa ke mana mereka akan membawanya jika bukan ke rumah? Apakah ini salah satu trik Alec untuk menghukumnya karena melarikan diri dari rumah? Apakah penculikan ini ditujukan untuk membuatnya takut?
Alec benar-benar licik dan manipulatif.
Lalu Arza? Apakah Arza akan terlibat?
Mobil masih mengitari pusat kota. Melewati jalanan beraspal yang masih familiar dalam ingatannya dan berputar-putar dua sampai tiga kali ke jalanan yang sama. Kemudian berhenti di lampu merah perempatan, sekitar dua kilo dari gedung perhotelan Arsen. Pria yang duduk di jok depan turun dan berpindah ke belakang. Mendorong tubuh Alea.
"Apa yang kaulakukan?!" jerit Alea, yang tak banyak bisa bergerak karena sisi kanan dan kiri diapit tubuh besar dan tinggi yang jelas tak akan sepadan dengan pemberontakannya.
Si bos mengurai dasi hitam dan langsung menangkap kedua pergelangan tangan Alea. Mengikatnya dengan dasi. Sedangkan pria yang baru saja bergabung di jok belakang, melakukan hal yang sama, tapi menggunakan dasi hitamnya untuk menutup mata Alea.
"Baumu harum sekali," endus pria itu dengan bibir yang nyaris menyentuh telinga Alea. Alea menarik kepalanya mundur dan membentur dada si bos.
"Hentikan, Jack," sergah si bos.
Pria bernama Jack langsung menjauhkan kepalanya dari Alea.
Tubuh Alea gemetar begitu keras. Mobil melaju dan Alea tak tahu ke mana mereka akan mengarah. Hingga tak lama kemudian kecepatan mobil berkurang, berhenti dan mesih dimatikan. Suara pintu mobil terbuka dan lengan Alea ditarik keluar. Lalu ia diseret, menaiki beberapa anak tangga, kemudian berhenti. Suara denting lift, menunggu beberapa saat kemudian denting lift lagi. Mereka keluar dan menaiki anak tangga, suara pintu besi yang didorong dan angin kencang menerpa wajah Alea.
Alea bisa merasakan tubuhnya dihempas angin yang dingin dan dresnya berkibar. Penutup matanya dilepas dan ia melihat langit sudah mulai menggelap. Matahari sudah benar-benar terbenam sejak matanya ditutup. Mereka berada di atap gedung, yang tingginya pasti tak jauh berbeda dengan hotel Arsen.
"Duduk." Si bos mendorongnya terduduk, kemudian menyuruh Jack mengikat tangan Alea yang sudah terikat ke kursi. Membuat Alea benar-benar tak bisa bergerak bebas.
Alea melihat si bos mengambil kursi dan duduk tak jauh dari tempatnya. Mengeluarkan kotak rokok dan pemantik dari saku jasnya.
"Jadi kau wanitanya Cage?" Jack berdiri menjulang di depan Alea, padangannya turun hanya untuk mengintip belahan dada Alea dari atas.
"Tersempurna dari yang sempurna." Tangan pria itu menyentuh dengan tak sopan di kulit lengan Alea, bahkan tak sungkan-sungkan melemparkan tatapan kurang ajarnya.
Alea berjengit, hanya mampu menggigit bibirnya dengan mata berkaca. Alec selalu memperlakukannya dengan cara paling kurang ajar yang pernah Alea ingat, tapi perlakuan pria itu lebih menjijikkan. Dan pria itu sangat jauh dari kata bersih. Napasnya bau, rambutnya
"Jangan sentuh dia, Jack," peringat si Bos. "Aku tak ingin mengusik Cage ataupun Ganuo. Kita hanya butuh membereskan dia."
"Baik, Bos!" Si Jack mundur dengan seringai yang masih melekat tanpa melepas tatapan kurang ajarnya dari Alea.
Alea benar-benar merasa lega mesti godaan ingin menangis sejadi-jadinya menggumpal di tenggorokan.
"Hubungi Ben. Apakah ada kabar terbaru," perintah si Bos dengan mulut dipenuhi asap rokok.
Jack mengeluarkan ponselnya. Berbicara singkat dan mengakhiri panggilan. "Ben sedang di bawah. Sebentar lagi akan datang," beritahu Jack.
Pintu besi terbuka, dan pria bersetelan serba hitam yang sama muncul. Yang Alea duga bernama Ben, dengan tubuh lebih pendek dari yang lain dan lebih kurus. Sejenak menatap Alea dan kemudian langsung menghampiri si bos.
"Semua sudah beres, Bos. Dia akan segera menghubungi."
Tepat ketika Ben menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara ponsel berdering. Si bos merogoh saku jasnya dan menyeringai penuh kemenangan ketika menatap layar ponselnya.
"Lama tak bertemu," sapa si bos mengawali pembicaraan. Matanya berkilat.
"..."
"Seorang kakak harus melakukan apa yang mesti dilakukan."
"..."
Si bos bangkit, mendekati kursi Alea dan menempelkan ponsel di telinga Alea. "Bicaralah."
Alea tak bicara.
"Alea?"
Alea membelalak mengenali suara di seberang adalah milik Arza
"Arza?"
"Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu." Air mata Alea bercucuran. "Aku mencarimu dan tiba-tiba mereka membawaku ke ..."
Ponsel ditarik dari telinga Alea.
"..."
"Kau tahu apa yang kuinginkan."
"..."
"Hanya kau. Tidak ada polisi atau senjata. Hanya kau. Di tempat semuanya bermula. Waktumu tiga puluh menit." Si bos mengakhiri dan kembali duduk di kursinya.
Alea menunggu, berdoa apa pun yang diinginkan keempat pria itu dari Arza bukanlah nyawa.
Hingga akhirnya kesunyian itu terpecah oleh suara pintu besi yang didorong terbuka dan Alea melihat Arza muncul.
Pandangan mereka langsung bertemu dan air mata Alea kembali menderas. Ia tak bisa memanggil karena mulutnya sudah dibekap dengan dasi.
"Well, well, well. Akhirnya kau keluar dari persembunyianmu, Sena. Ataukah aku harus memanggilmu Arza Mahendra? Tampaknya nama itu lebih berarti."
Arza maju dan berhenti beberapa meter di depan si bos. "Aku sudah di sini, Jimi. Lepaskan dia."
Ben, Jack, dan pria satunya yang entah bernama siapa berjalan mengelilingi Arza. Dengan balok panjang di tangan masing-masing. Jeritan Alea teredam, menatap ngeri kepada ketiga pria itu. Jantungnya berdegup kencang, Arza dalam bahaya.
"Kau tak akan berani menyentuhnya. Dia milik Cage," desis Arza. Sama sekali tak terlihat terdominasi dengan ketiga pria yang mengelilinginya seperti mangsa. Ia tahu inilah akhirnya. Apa pun yang akan terjadi, setidaknya ia sudah memastikan Alea aman, meski menyayangkan keamanan wanita itu bukan karenanya. Melainkan pernikahan yang yang dibenci oleh Alea.
Jimi terbahak, melempar putung rokoknya sembarangan seraya melirik ke arah Alea sejenak. "Ya, ya, ya. Aku tahu. Kami tak akan cari gara-gara dengan mereka. Dirga sudah mati dan satu-satunya alasan kita bertemu di sini hanya karena dirimu."
"Apa?" Arza membelalak terkejut.
"Yeah, dia tahu terlalu banyak. Diam-diam menyelidiki kami di belakang. Aku menyayangkan ketiadaannya dan turut menyesal jika saja dia tidak sepenasaran itu. Seharusnya dia sudah melupakan wanita itu dan memulai hidup baru dengan wanita yang baru. Tapi, wanita barunya pun dicuri oleh Ganuo." Nada mengejek Jimi lebih kental di kalimat terakhirnya. "Dia tidak ditakdirkan memiliki pasangan."
Arza membuang keterkejutannya. Pengalihan perusahaan Dirga yang ia dengar, tak pernah membuatnya berpikir tindakan Jimi sejauh itu.
"Ya, perusahaan sudah berada di tanganku. Sedikit masalah dengan peralihan tapi aku akan mengatasinya dengan baik. Sepenuhnya." Jimi bersandar, memberi isyarat lewat mata kepada salah satu bawahannya. "Sepertinya tak perlu ucapan selamat tinggal," gumamnya pelan.
Alea sama sekali tak memahami perbincangan antara Arza dan si bos. Hanya dalam kedipan mata, jeritan keras Alea teredam dasi di mulutnya. menyakiti tenggorokannya dan air mata meluap tak terkendali memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Pria paling depan melayangkan tinju tepat ke muka Arza. Tubuh Arza tersungkur di lantai semen. Mencoba bangkit hanya untuk mendapatkan pukulan dari balok sepanjang satu meter di punggung. Arza tak melawan, membuat Alea semakin frustasi pria itu menjadi samsak hidup dengan sukarela. Tubuh Arza tertelungkup. Ketiga pria bengis itu mengelilingi Arza. Menghujani pria itu dengan tendangan di seluruh tubuh, perut, kaki, kepala, dan lengan. Melumpuhkannya.
Semua terjadi dengan kecepatan detik yang sangat lambat sekaligus cepat. Tubuh Arza tertelungkul, babak belur, dan tak bergerak.
Dan terakhir, Jimi menghentikan tindakan ketiga anak buahnya. Merasa sudah lebih dari cukup membuat Arza tak berkutik. Duduk berjongkok di depan tubuh Arza. Mengeluarkan benda berkilai dari saku jasnya.
Jeritan Alea keluar dengan sia-sia. Terpuruk dalam keputus-asaan. Keempat orang itu seolah sudah melupakan keberadaannya. Membiarkannya menjadi penonton yang baik.
"Tujuh tahun lalu, seharusnya aku melakukan ini dan memastikanmu bungkam untuk selamanya. Sekarang aku akan melakukan keputusan yang tepat." Si bos menusukkan pisau di tangannya tepat ke perut Arza.
Darah merembes, membasahi perut Arza dan turun ke lantai semen. Menggenangi tubuh Arza tak bergerak lagi. Alea tak sanggup lagi melihat hal mengerikan. Arza sudah mati, ia akan ikut mati bersama pria itu. Kegelapan ini adalah kematian yang menyambutnya penuh sukacita.
***
Tuesday, 16 March 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro