Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 21


A Lover

Alec & Alea

### 

Part 21

###


Setelah melihat mobil Alec keluar dari gerbang, Alea bergegas ke lantai satu. Meminjam ponsel salah satu pelayan untuk menghubungi Arza. Dan sepertinya Arza memang sengaja menghindari panggilannya. Nomor asing pelayan Alec diangkat di deringan kedua. 

"Arza?"

Mengenali suara Alea yang langsung mendesak telinganya, Arza terdiam.

"Jangan ditutup! Kau tahu aku tak akan berhenti sebelum kita bicara," larang Alea sekaligus mengancam. Merengek dan memaksa.

Arza terdengar menghela napas.

"Panggilan ini aman. Setelah melihat mobil Alec keluar dari gerbang, Alea bergegas ke lantai satu. Meminjam ponsel salah satu pelayan untuk menghubungi Arza. Dan sepertinya Arza memang Aku meminjam salah satu ponsel pelayan. Alec tak mungkin menyadapnya seperti yang dilakukannya pada ponselku."

"Ada apa, Alea? Kau tahu ini tidak benar." Suara Arza melirih. Tak henti-hentinya mendesah pelan dengan kekeras kepalaan Alea. Sejujurnya hatinya masih saja tersentuh dengan perasaan Alea yang masih bertahan meski keadaan tak pernah memihak mereka.

"Aku hanya ingin memastikanmu baik-baik saja. Apa Alec berusaha menyakitimu?"

"Dia akan menyakitimu jika tahu apa yang kaulakukan sekarang, Alea."

"Aku baik-baik saja."

"Aku berharap kau akan tetap baik-baik saja."

"Aku akan baik-baik selama kau baik-baik saja."

"Kalau begitu jangan pernah menghubunginya lagi, Alea!" Suara Arza tiba-tiba digantikan oleh Arsen.

"Arsen?" Suara Alea tersekat di tenggorokan. Ponsel di telinganya nyaris meluncur saking kagetnya.

"Aku tak tahu kau benar-benar bodoh atau kau memang tak takut pada Cage. Dan keduanya jelas bukan pada tempatnya."

"Itu bukan urusanmu, Arsen."

"Ya, jelas bukan urusanku. Selama kau tidak merugikan kesepakatanku dan Cage." Arsen mengakhiri panggilan tersebut.

Alea memanggil-manggil nama Arsen dengan sia-sia. Panggilan berikutnya, nomor Arza sudah tidak aktif lagi.

***

"Aku akan memegang ponselmu untuk berjaga-jaga." Arsen mematikan ponsel Arza. Menatap tas bepergian yang sudah siap di samping Arza. "Kauyakin ingin pergi?"

Arza tak menolak. Selain untuk menghindari Alea, ia yakin orang itu juga akan berusaha melacak dirinya menggunakan nomornya. "Tampaknya mereka sudah mengetahui siapa aku. Aku tak ingin membahayakan keluarga ini."

"Kau mengenali wajahnya?"

Arza mengangguk. Ia tak mungkin bisa melupakan wajah orang itu. "Sangat yakin. Mereka bukan orang Cage dan aku tak ingin melibatkan polisi."

Arsen diam sejenak, kemudian mengeluarkan lembaran kertas bertuliskan deretan sebuah nomor. "Hubungi nomor ini atau nomorku jika kau butuh sesuatu. Dia akan membantumu kapan pun kau membutuhkannya. Aku akan menganggap tidak ada kabar berarti kabar baik."

Arza mengambil lembaran tersebut. Memasukkannya ke dalam saku jaket denimnya kemudian mengangguk sekali untuk pamit dan berjalan ke arah pintu.

Arsen tertegun, menatap adik angkatnya masuk ke mobil dan meninggalkan halaman rumah. Berharap keselamatan selalu menyertai Arza Mahendra. Karena jelas nama Sena Ryanzyah masih terendam kubangan lumpur masa lalu.

***

Alea pikir, Alec pun akan tahu jika ia mencoba menghubungi Arza menggunakan ponsel salah satu pelayan di rumah itu. Tetapi sepertinya pelayan itu pun tak ingin mencari masalah dan memilih bungkam.

Alea yang tak menyerah, masih meminjam ponsel pelayan itu keesokan harinya dan kembali berakhir dengan kecewa. Nomor Arza masih tidak aktif dan ia sama sekali tak bisa keluar rumah untuk mencari tahu apa yang membuat ponsel itu tidak aktif. Menolak percaya ponsel itu sengaja tidak aktifkan.

"Aku ingin ke rumah," ujar Alea tiba-tiba malam itu ketika keduanya duduk di meja makan. Menyantap hidangan makan malam yang jarang terjadi karena hari itu Alec pulang lebih sore.

Alec berhenti mengunyah. Matanya naik menemukan wajah Alea yang berusaha menyembunyikan niat konyol wanita itu dibalik matanya yang sudah seperti buku terbuka baginya.

"Ijinkan aku berkunjung ke rumahku selama beberapa hari." Nada suara Alea mulai terdengar setengah mendesak.

"Aku sedang sibuk," jawab Alec melanjutkan menyuapkan nasi ke mulut. Mengunyahkan dengan cepat karena mendadak rasanya jadi hambar.

"Aku bisa pergi sendiri."

Alec terkekeh setelah menelan habis bongkahan nasi melewati tenggorokannya. Dengan nada mesra yang penuh penekanan dan disengaja untuk membuat Alea sadar diri, ia menjawab, "Kau tahu jawabannya, istriku."

Alea sudah membuka mulutnya, tapi kemudian Alec yang tiba-tiba membanting sendok ke piring membuat Alea tersentak dan segera mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

"Kau benar-benar membuatku tak berselera makan, Alea." Alec mendorong piringnya ke depan dengan kasar. Membuat beberapa sisa makanan Alec tumpah ke meja. Kemudian pria itu berdiri dan berjalan pergi.

"Kau tidak bisa mengurungku seperti ini, Alec!" teriak Alea dengan seluruh keberanian yang mengembang dan kembali menciut seketika. Serta didorong kefrustrasian yang menjumbali kepalanya, Alea sedikit mengangkat dagunya ke arah Alec.

Langkah Alec yang sudah setengah meninggalkan meja makan menuju pintu ruang makan, terhenti seketika. Berani-beraninya wanita itu berteriak dan membantah dirinya. Apa yang membuat istrinya itu berpikir akan mampu membantah peraturan yang sudah ia titahkan, di rumahnya sendiri? Sepertinya tidak ada apa pun yang tersisa di kepala istrinya yang bebal selain ketololan.

Pria itu mendengus sekali kemudian memutar tubuhnya menghadap Alea yang berdiri di samping meja makan.

"Keluar kalian semua dan tutup pintunya!" perintah Alec mengusir seluruh pelayan yang ada di ruang makan, tanpa melepas tatapan menusuknya ke arah Alea.

Alea merasakan ketakutan mulai merambati bulu kuduknya ketika pelayan yang melayani di sekitar meja langsung lari terbirit-birit dan menghilang di balik pintu yang tertutup rapat. Mengurungnya di ruangan tertutup ini bersama Alec. Tangannya berpegangan pada sisi meja demi menahan tubuhnya yang mendadak meluruh. Reaksi yang selalu muncul ketika Alec menatapnya dengan penuh kegelapan seperti saat ini.

"Di rumah ini, akulah peraturannya, Alea." Alec maju satu langkah dengan gerakan perlahan yang mengancam. Seperti singa yang menemukan mangsanya, menemukan mangsa yang terpojok dan menikmati ketakutan yang merebak di wajah si mangsa penuh kepuasan. "Apa kau masih tidak mengingat hal dasar di rumah ini meski aku tahu dengan pasti ketidak ingintahuanmu tentangku sedikit pun."

Alea menahan keinginannya untuk mencicit meski bibirnya sudah bergetar hebat oleh ketakutan yang semakin tak terkendali. Menerjangnya seperti ombak di tengah lautan, dan terus menerus tiada henti membuat jantungnya bertalu. Setiap langkah yang Alec ambil untuk memangkas jarak di antara mereka, udara di paru-parunya terkuras habis.

"Aku memerintahmu karena aku bisa dan kau harus melakukannya karena aku memerintahmu. Kemampuan apa yang kaumiliki sehingga berani mendongakkan kepalamu di depanku, istriku?"

"A-apa yang akan kaulakukan?" Suara Alea berhasil keluar melewati tenggorokannya yang terjepit.

Seringai naik di salah satu ujung bibir Alec. Seharusnya wanita itu tak bertanya, karena tentu saja jawabannya akan melipat gandakan ketakutan yang menguasai jiwa Alea. Dan istrinya itu terlambat untuk menyesali.

Alea hanya punya dua detik, yang ia pikir adalah miliknya sendiri. Satu detik membaca niat di manik Alec dan detik lainnya untuk melompat menghindari terjangan Alec. Tapi ia terlambat, Alec berhasil menyambar pinggangnya dengan tangan kanan, tangan lainnya menggeser seluruh piring dan segala macam keramik di meja berhamburan di lantai. Kemudian dalam sekali gerakan yang ringan, Alec membanting punggungnya di meja makan. Bobot tubuh mungilnya jelas tak lebih dari sekantung kapas di tangan Alec.

Alea merasa tolol dengan kekuatan besar yang dimiliki Alec, ia masih merasa perlu melawan dan menggeliatkan tubuh mungilnya dibawah tindihan tubuh Alec yang membungkuk untuk memaku setengah tubuhnya di meja. Setidaknya ia sudah mencoba meski hasilnya memang patut ditertawakan.

"Bahkan seharusnya kau tidak berpikir untuk menghindar, Alea." Satu tangan Alec mengunci kedua tangan Alea di atas kepala. "Kau tahu apa yang akan kulakukan dan jangan bermain petak umpet denganku. Aku tak memiliki cukup banyak kesabaran akhir-akhir ini."

Ketakutan Alea meluap memenuhi seluruh ekspresi di wajahnya. Cengiran mengerikan yang tersungging, kini Alea tahu kenapa Alec mengusir para pelayan dari ruangan ini. Karena pria itu akan menyetubuhinya di sini. Pria itu tak pernah segan memperlihatkan pertengkaran mereka di hadapan para pelayan, termasuk bersikap kasar dan kejam kepadanya.

Alec menarik bagian depan lembaran kain yang menutup tubuh Alea. Tak pernah semudah ini dengan seluruh gairah dan kemarahan yang meletup dan mengaliri setiap aliran darahnya. Tubuh pasrah di bawahnya memberinya rangsangan paling ampuh. Alec sedikit menarik tubuhnya, membuka kedua kaki Alea dan memenuhi wanita itu dalam satu kali sentakan yang mulus.

Air mata Alea tumpah bersamaan ketika Alec menyatukan tubuh mereka. Pria itu menyakitinya. Melecehkannya. Menjadikannya samsak nafsu pria itu. Ia bernapas, tapi udara yang ia hirup bahkan bukan miliknya.

Setelah Alec selesai, pria itu meninggalkannya meringkuk setengah telanjang seperti bola di atas meja makan. Dengan seluruh tubuh basah oleh peluh Alec dan wajah yang basah oleh air mata. Air mata yang masih mengalir deras dan menganak sungai di meja makan. Ia kedinginan, dan nelangsa.

***


Monday, 22 February 2021


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro