Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19


A Lover

Alec & Alea

###

Part 19

###


Alea merasakan keheningan yang mencekam ketika tatapannya dikunci oleh Alec. Ia sama sekali tak bisa membaca kedalaman mata pria itu, dan ia memang tak pernah bisa membaca apa yang tengah dipikirkan ataupun menilai reaksi Alec. Pria itu hanya diam, tatapannya datar. Tidak dingin ataupun terlihat senang dengan kabar ini. Tetapi ia bisa melihat, bahwa tidak ada kepedihan seperti yang ia rasakan ketika mengetahui dirinya mengandung. Mengandung anak dari pria itu dengan hati yang masih dikuasai oleh pria lain.

Baginya kehamilan ini juga bukan hal yang diduga ataupun diinginkan Alea akan datang secepat ini dalam pernikahan mereka. Ia bahkan berharap tak pernah ada manusia lain yang bisa mengikatnya lebih erat dalam pernikahan mereka. Cukup pria itu memiliki tubuhnya dan sumpah pernikahan yang mengikatnya dengan Alec.

Alea tak tahan ditatap setajam itu lebih lama lagi. Ia mengambil tasnya yang kebetulan tergeletak di meja, di samping botol anggur. Mengeluarkan foto hasil usg dan menunjukkannya pada Alec. "Dokter bilang usianya sekitar lima minggu."

Alec mengambil lembaran panjang dengan gambar hitam putih yang begitu jelas. Ia hanya membaca beberapa rincian di samping lembaran yang sama sekali tak dipahaminya. Kemudian matanya kembali ke wajah Alea dan membalas, "Tak mungkin lebih dari itu, kan?"

Wajah Alea memucat lagi. Rasanya wajahnya tak henti-hentinya memucat sejak kemarin malam. "A-apa maksudmu?" Bibir Alea benar-benar bergetar hebat.

"Apa karena itu kau memastikan aku mengetahui bahwa dirimu tak mengkhianatiku?" Mata Alec menyipit sambil meletakkan lembaran di tangannya ke meja. Mengamati lekat-lekat setiap senti kulit wajah Alea yang semakin memucat. Sepertinya tak bisa lebih memucat lagi, batin Alec puas.

Alea menggeleng, dengan panik. "Tidak, Alec. Aku ... aku benar-benar tak pernah mengkhianatimu."

Kepanikan Alea malah membuat Alec terbahak. "Jangan setegang itu, Alea. Semakin kau menegaskan kesetiaanmu, hanya membuatku semakin mencurigaimu."

Wajah Alea memucat, matanya mulai memanas. "Ini anakmu." Alea merasa suaranya terdengar menyedihkan.

"Seharusnya memang seperti itu, kan?"

Alea menggigit bibir bagian dalamnya. Matanya sudah berkaca dan seluruh tubuhnya semakin meluruh ke sofa.

"Kemarilah." Alec membuka kedua lengannya. Satu tangannya yang tak memegang gelas menepuk pangkuan pria itu.

Alea berdiri, duduk di pangkuan Alec dengan patuh. Tubuhnya semakin menegang ketika satu tangan pria itu menyentuh perutnya. Mata Alec terpejam seakan menimbang-nimbang dengan perhitungan yang saksama. Menunggu kesenyapan yang membuat Alea semakin dirundung oleh ketegangan. Apa yang dilakukan Alec? Apa yang dipikirkan Alec? Alea tak pernah benar-benar memahami pria itu selain ketakutan yang langsung menyergap dirinya saat berhadapan dengan Alec.

"Ya, sepertinya ini anakku." Suara Alec yang memecah kesenyapan di antara mereka membuat Alea mengendurkan seluruh otot di tubuhnya.

"Apa kau takut anak ini bukan anakku?"

Alea kembali dibuat tegang oleh pertanyaan Alec. Ia menjilat bibirnya yang mendadak kering karena pertanyaan Alec dan bertanya dengan suara tercekik. "Aa ... apa maksudmu, Alec?"

"Apa kau pernah membiarkan pria lain menyentuhmu?"

Alea menggeleng dengan keras.

"Lalu apa yang membuatmua begitu lega bahwa ini adalah anakku."

"Itu tidak seperti yang kaupikirkan, Alec."

"Apa yang kupikirkan?"

"Rumor itu."

"Kau memang sering menemui kakak angkatmu, kan?"

Kali ini Alea benar-benar tak mampu menahan rasa panas dan basah di kedua sudut matanya. "Kami tidak pernah melakukan apa pun yang kaupikirkan."

"Tapi kau berkencan dengannya di belakangku."

"Aku ... Maafkan aku."

"Apa kau mengakui kesalahanmu, Alea?"

"Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Akulah yang belum terbiasa jauh darinya. Dan kami hanya bertemu, bukan berkencan seperti yang kaukatakan."

"Apa kau bisa membuktikan pernyataanmu, Alea."

Alea tiba-tiba merasa putus asa. "Aku mengatakan yang sebenarnya, Alec."

"Apa arti dia bagimu?"

"Dia seorang kakak."

"Hanya kakak?"

"Kauingin aku menjawab apa?"

"Hingga detik ini, tidak ada pengkhianat yang berhasil selamat dari cengkeramanku, Alea. Hati-hati dengan jawabanmu. Kauingin aku melakukan apa untukmu?"

"Kami tak pernah mengkhianatimu. Aku mohon percayalah padaku."

"Kau memohon untuk keselamatan nyawanya."

Alea menangis.

"Kau menangisi dirinya."

Marah, putus asa, dan frustrasi membuat Alea melompat dari pangkuan Alec. Pria itu menyudutkannya hingga ia merasa malu dan gugup.

Alec menangkap pergelangan tangan Alea. Keras dan sengaja menyakiti wanita itu. Menarik dengan kasar hingga tubuh Alea membungkuk menghadapnya. Lalu tatapannya yang sedingin es tanpa belas kasihan mengunci mata basah Alea. Tak ada lagi humor gelap seperti sebelum-sebelumnya. Pria itu terlihat serius dan mengerikan. Dan bahkan bersikap kasar. "Kau benar-benar menyedihkan, Alea," ejeknya.

Air mata mengucur deras di antara ringisan Alea. Semakin ketat cengkeraman Alec di tangannya, semakin gelap pula ekspresi yang membayangi wajah pria itu. Ketakutan Alea semakin merebak tak terkendali. Entah apa yang dilakukan pria itu. Ia tahu permohonan maafannya tak akan berarti apa pun bagi pria itu.

"Pernikahan ini bukan atas kehendakku." Alea tak tahu kenapa ia mengatakan hal itu. Alec semakin dibuat meradang. Kali ini pria itu menyentakan tangan Alea hingga bersimpuh di lantai dengan kepala di antara kedua kaki Alec.

Alec membungkuk, tangannya yang lain menangkap dan mendongakkan wajah Alea. "Apa kau berpikir akan menimpakan kesalahan ini pada Arsen? Atau padaku?"

Arsen dan Aleclah yang menyebabkan dirinya terjebak dalam pernikahan ini. Jawaban ya sudah di ujung lidah Alea, tapi ia tahu satu kata itu akan memperburuk keadaannya.

"Meskipun ya, itu tak akan membuat keadaanmu lebih baik, Alea. Kami melakukan apa pun yang kami ingin. Kau harusnya bersyukur berakhir di ranjangku. Hanya perlu membuka kedua kakimu untukku dan apa pun bisa kaudapatkan sebagai gantinya. Dengan satu syarat, kau tak mengkhianati kepercayaanku."

Tangisan Alea semakin tersedu.

"Hapus air matamu dan jalani hidupmu sebagai istriku dengan baik dan patuh. Itu satu-satunya pilihan agar kau bisa bernapas dengan tenang di rumah ini. Apa kau mengerti?"

Alea hanya mampu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Tak ingin membantah, dan itu juga tak akan berhasil untuk melawan Alec.

Alec menarik tubuh Alea berdiri dan kembali ke pangkuannya. Kemudian kepala pria itu bersandar di punggung sofa dan memerintah, "Cium aku, persis seperti yang biasa kulakukan padamu."

Alea menempelkan bibirnya di bibir Alec. Dan dengan ciuman yang tak terhitung dalam pernikahan mereka, ciumannya sangat kaku dan hambar. Hanya bergerak-gerak di bibir Alec dengan tanpa teknik yang memadai.Sangat jauh berbeda ketika Alec menciumnya.

Alec menggeram tak puas. Beruntung Alea memiliki tubuh sempurna yang selalu puas untuk dipandang dan dinikmati. Tetapi keahlian wanita itu untuk melayani seorang pria jelas tidak berpengalaman dan nol besar. Tidakkah wanita itu pernah belajar sekali saja bagaimana cara berciuman di antara sekian banyaknya permainan panas mereka di ranjang?

Ya, meski ia tahu Alea memang selalu pasrah ketika di bawah tubuhnya, tetap saja ia tak mengira bahwa wanita itu sungguh tak berpengalaman seperti ini. Dibandingkan ketika awal-awal permainan panas mereka yang seperti menyetubuhi boneka, setidaknya Alea ikut mengerang nikmat. Alec mendorong dada Alea, kepalanya terangkat dengan dengusan mengejek.

"Ma-maafkan aku," cicit Alea. "Jika kau mengajariku, a-aku akan berusaha ..."

"Jika kau punya niat untuk belajar, jelas kemampuanmu tak akan sepayah ini, Alea. Tapi setidaknya kau meminta maaf, dan aku selalu pemurah pada istriku." Alec langsung menarik tali jubah tidur Alea, menanggalkan kain tipis itu dan segera menjelajahi kulit mulus Alea dengan bibirnya. Beranjak dari sofa dengan membawa tubuh Alea dan sampai di ranjang sudah tanpa sehelai pakaian pun.

***

"Apa hari ini kau ada kegiatan yang ingin kaulakukan?" tanya Alec pagi itu di meja makan sebelum berangkat ke kantor.

Alea berhenti mengunyah, wajahnya terangkat sedikit ke arah Alec lalu menggeleng dengan ragu. Sebelum ini, ia selalu punya kegiatan tak penting di luar rumah sebagai dalihnya untuk bertemu dengan Arza. Tetapi setelah tahu Alec mengawasinya dan Arza, tentu saja itu bukan pilihan yang bijak. Mungkin ia hanya bisa menghubungi Arza lewat sambungan telpon, untuk memperingatkan pria itu agar berhati-hati.

Alec mengangkat salah satu alisnya, dengan seringai di ujung bibir. "Apa karena kau tahu aku mengawasimu dan kakak angkatmu itu?"

Alea tak menjawab, wanita itu hanya menunduk menatap makanan di piringnya yang masih tersisa setengah.

"Pilihan yang bagus, Alea." Alec menandaskan kopinya kemudian berdiri dan membungkuk untuk mencium bibir Alea. "Kau masih bebas bersenang-senang di luar sana. Jangan buat aku menjadi suami yang buruk karena mengurungmu di rumah ini," ucapnya sambil menegakkan punggung dan mengambil tasnya di kursi kemudian berjalan keluar ruang makan.

Alea hanya termangu memandang kepergian Alec. Tanpa menghabiskan sisa makanannya, ia ikut keluar dan berjalan menuju lantai dua. Mengambil ponselnya dan langsung menghubungi nomor Arza.

Tiga panggilannya tidak diangkat oleh Arza, Alea pun menghubungi Arsen.

"Jadi, apa benar kau hamil?" Arsen menjawabnya dengan pertanyaan menyebalkan itu sebagai sambutan.

"Darimana kau tahu?"

"Aku punya mata dan telinga di mana-mana, Alea. Jangan menanyakan pertanyaan menggelikan itu lagi."

"Di mana Arza? Apa dia bersamamu?"

"Ck, ck, ck."

"Aku hanya ingin memastikan Alec tidak menyentuhnya."

"Kekhawatiranmulah yang akan mengundang Cage untuk menyentuhnya."

Alea diam.

"Aku akan menutupnya ..."

"Jawab dulu pertanyaanku, Arsen," buru Alea dengan nada lebih tinggi dan mendesak.

Arsen terdengar menghela napas panjang sebelum menjawab, "Kalau begitu, pikirkan ini baik-baik, Alea. Jika kau tahu selama ini Cage mengawasimu, pikirmu apa dia tidak menyadap ponselmu juga?"

Pertanyaan Arsen segera melenyapkan darah dari wajah Alea. Wanita itu terpaku kemudian segera menurunkan ponsel dari tangannya. Menatap benda pipih di tangannya itu dengan pandangan kosong.

***


Monday, 15 February 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro