Part 18
A Lover
Alec & Alea
###
Part 18
###
Alec terkekeh. Lebih keras. "Kenapa tubuhmu tiba-tiba menjadi kaku, Alea?"
"A-aku tidak tahu apa yang pikirkan, Alec." Alea berharap suaranya tak terdengar seperti sebuah cicitan.
"Aku tidak memikirkan apa pun? Kenapa kau harus takut apa yang kupikirkan?"
"Dari mana kau mendengar kabar itu?"
"Bukan itu yang terpenting. Dan gosip itu juga tidak penting. Jangan membuang pikiranmu untuk hal semacam itu. Kau tahu aku memercayaimu, kan?"
Alea tak tahu harus merasa lega atau tidak dengan kepercayaan yang diberikan Alec. Nyatanya ia mengkhianati kepercayaan itu dan masih memberikan hatinya untuk Arza.
"Aku memberikanmu segalanya. Pernikahan, perasaanku, dan memenuhi semua kebutuhanmu. Bahkan aku menanggung beban keluargamu. Aku tahu kau bukan istri yang tidak tahu terima kasih. Jadi kau tidak mungkin mengkhianatiku."
"K-kenapa?" Alea benar-benar kehilangan suaranya. Bongkahan berat menyumpal tenggorokannya.
"Kenapa apa?" Alec bukannya tak menangkap ketakutan yang menggetarkan tubuh Alea. Tubuh mereka menempel, tak ada pembatas sehelai rambut pun di balik selimut. Air mata yang nyaris tumpah dan bibir yang memucat pasi. Hati Alec bersorak dengan ketakutan yang mendera istrinya. Menikmati setiap ketakutan itu seringai yang tersamar di kedua ujung bibirnya.
"Kenapa kau begitu memercayaiku?"
Alec tergelak. Tangannya menyantuh dagu Alea dan melumat bibir wanita itu dengan lumatan yang dalam sebelum menjawab, "Karena kau istriku."
'Karena aku memegang rahasiamu?'
Jawaban yang keluar dan jawaban yang ada di dalam hati Alec berbeda. Kemudian, tiba-tiba pria itu mengangkat tubuhnya, setengah menindih Alea dan melanjutkan permainan panas mereka yang tertunda.
***
Mungkin karena terlalu memikirkan ketakutannya terhadap Alec sepanjang pagi. Siang itu Alea pergi ke kantor Arsen untuk menanyakan tentang kabar tersebut.
"Brother complex? Gosip apalagi ini, Arsen?" sembur Alea begitu menerobos masuk ke ruangan Arsen.
Arsen yang sedang mendengarkan laporan dari sekretarisnya seketika menyuruh wanita muda itu keluar lebih dulu. Menatap adik cantiknya yang terlihat murka di depan meja. "Ada apa, Alea?" tanyanya tak mengerti.
Alea mengusap wajahnya yang tanpa polesan make up sama sekali. Mendesah keras dan menjawab, "Alec mendengar gosip tentangku dan Arza."
Salah satu alis Arsen terangkat.
"Dia bilang aku mengidap brother complex. Apa dia tahu tentang aku dan Arza?"
Arsen hanya diam. Tapi kerutan di antara alis pria itu menunjukkan bahwa pria itu berpikir keras.
"Dia menyembunyikan sesuatu."
"Lalu kau menjawab apa?"
"Dia bilang dia memercayaiku."
Kerutan di kening Arsen semakin dalam. Sepertinya Alec memang tahu sesuatu. "Tidak ada gosip semacam itu, Alea. Kau tahu itu sudah menjadi salah satu tugasku untuk melindungi keluarga kita, kan. Alec pasti membohongimu."
Alea tak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Kau tahu apa yang kumaksud, Alea."
Pupil mata Alea melebar. Terkejut. "A-apa dia tahu sesuatu tentangku dan Arza."
"Mungkin."
Tubuh Alea terhuyung ke belakang, tangannya menyentuh dada. Tak bisa bernapas.
"Pulanglah, Alea. Kau tampak tidak sehat. Apa kau sudah makan?"
Alea menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Dia tidak mungkin tahu."
"Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, kan."
Alea berbalik. Setengah berlari melangkah keluar ruangan Arsen. Menuju toilet dan muntah dengan keras. Tubuhnya benar-benar melemah, seluruh tenaganya terkuras habis. Satu detik yang terlewat terasa begitu panjang.
"Alea?" Arza muncul dan menahan tubuh Alea yang hendak limbung ke samping. Ia baru saja akan ke ruangan Arsen ketika melihat Alea yang keluar dari toilet, tapi merasa ada yang aneh dengan langkah wanita itu yang berjalan terseok-seok sambil berpegangan pada dinding dan segera menghampiri adik angkatnya tersebut.
Alea menoleh.
"Kenapa? Apa kau sakit?"
Alea hanya menggeleng.
"Wajahmu pucat sekali."
"Kepalaku sedikit pusing." Alea menyentuh keningnya.
"Aku akan mengantarmu ke klinik di lantai dua." Arza membopong tubuh Alea menuju lift.
Alea yang memang butuh bantuan pun tak menolak bantuan Arza meski tahu seharusnya ia tidak terlihat berduaan dengan pria itu lagi. Tapi sekarang mereka sedang ada di hotel Arsen, dan pegawai di hotel ini bekerja untuk Arsen.
***
Dokter wanita itu tampak mengerutkan kening ketika memeriksa denyut nadi Alea. Sekali lagi mengecek kembali dan bertanya, "Apa haid Anda bulan ini belum datang?"
Alea terkejut dengan pertanyaan dokter wanita itu. Darah lenyap dari wajahnya dalam sedetik.
"Ada kemungkinan Anda tengah mengandung. Tetapi karena keterbatasan alat di klinik ini, sepertinya Anda perlu memeriksanya ke rumah sakit."
Alea masih membeku. Merasakan keterkejutan yang juga menyambar Arza yang duduk di sampingnya.
"Atau Anda ingin memastikannya lebih dulu dengan testpack?" tanya Dokter itu lagi.
Alea menggeleng dengan cepat. Kemudian berdiri dan berlari keluar menuju lantai satu dengan menggunakan tangga saat melihat lift juga sedang mengantre. Sesampainya di halaman hotel, ia menemukan sopirnya yang sudah Menyuruh sopirnya langsung ke rumah sakit.
Dengan testpack dan hasil USG di tangan, Alea keluar dari ruang obgyn dengan wajah yang semakin merana. Ia tak punya tenaga lagi untuk melangkah, tapi entah bagaimana akhirnya ia berhasil keluar rumah sakit dan kembali masuk ke mobil.
Hal bodoh apalagi ini yang menimpa hidupnya. Seolah semua deritanya belum juga usai hanya dengan menikahi Alec. Sekarang ia harus mengandung anak dari pria yang tidak dicintainya.
'Apa yang harus kulakukan?' Ribuan pertanyaan yang sama itu tak pernah menemukan jawabannya. Semua jawabannya tertutup oleh kebimbangan.
Sepulang di rumah, Alea langsung menyelinap masuk ke ruang kerja Alec. Ia benar-benar menangis oleh keterkejutan yang menyambarnya saat menemukan foto-foto dirinya dan Arza dari berbagai sudut di jalan, di restoran, di cafe, bahkan di taman kota. Fotonya di club ketika mencari Arza pun ada di salah satu tumpukan foto-foto tersebut. Begitu pun pria besar dan mengerikan itu ketika mencoba untuk melecehkan dirinya. Apakah sejak awal Alec memang telah menyelidiki dirinya diam-diam?
Alec benar-benar tahu hubungannya dengan Arza.
Tubuh Alea benar-benar jatuh ke lantai melihat lembaran foto terakhir di tangannya. Menampilkan gambar pria besar yang berbaring dengan wajah hancur. Alea tidak bisa mengenali wajah pria itu lagi jika bukan dari pakaian yang dikenakan dan tubuhnya yang besar. Apakah pria itu masih hidup?
Pikiran bahwa apa yang menimpa pria itu akan menimpa Arza membuat Alea benar-benar tak bisa bernapas. Alea segera mengambil ponselnya dan menghubungi Arsen.
"Arsen, kau benar." Alea tak bisa menangis tangisannya lagi.
"Ada apa, Alea."
Alea mengusap air matanya. "Aku menemukan foto-fotoku dan Arza di meja kerja Alec."
Arsen diam.
"Apa yang harus kulakukan, Arsen."
"Apa kau masih sering bertemu dengan Arza?"
Alea tak menjawab. Sejak Arsen menyeretnya keluar dari rumah, ia memang masih sering bertemu Arza tanpa sepengetahuan Arsen.
"Kau bermain api, Alea. Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya."
"Siapa yang mengirimkan foto ini padanya?"
Arsen terkekeh. Tak perlu menjawab pertanyaan tolol adiknya.
"Alec tahu Arza kakakku, untuk apa dia menyuruh seseorang melakukan hal semacam ini padaku?"
"Kupikir Alec sendiri yang sengaja membuatmu menemukan foto-foto itu di meja kerjanya."
"Jati diri Arza yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, Alea. Meski ia harus menggali info itu dengan susah payah. Kedekatanmu dengan Arza tentu saja mengundang kecurigaan untuknya sebagai seorang suami. Dia sangat menyukaimu. Tentu saja dia tak suka siapa pun menyentuh miliknya. Aku pun begitu."
"Lalu apa yang terjadi dengan Arza?" tanya Alea panik. "Apa mungkin Alec akan melukai Arza."
"Sekarang tidak, tapi aku tak yakin nanti. Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati, bukan?"
"Selamatkan dia, Arsen. Setidaknya dia adikmu."
"Cage sangat menyukaimu, Alea. Kenapa kau tidak memanfaatkan hal itu?"
"Cage tidak akan suka aku membela pria lain. Kau tahu itu," desis Alea. Menggigiti jemari-jemari tangannya dengan resah.
"Dan kaupikir dia akan suka mengetahui kau memohon padaku untuk menyelamatkan kekasih gelapmu."
"Ini tidak akan baik untuk bisnismu."
"MH tidak ada hubungannya dengan kisah cinta kalian."
"Brengsek kau, Arsen!" Alea memaki dan menjerit keras. Arsen memutus panggilannya. Alea benar-benar putus asa.
***
Malamnya, Alea menyambut Alec yang muncul di pintu kamar dengan gugup. Berharap wajahnya tidak terlihat janggal meski berkali-kali ia sudah memastikannya di depan cermin. Raut lelah dan letih pria itu menunjukkan seberapa banyak urusan kantor yang menyita perhatian Alec. Ia sedikit bersyukur, kesibukan Alec membuatnya memiliki waktu lebih banyak untuk dirinya sendiri.
Alec terhenti sejenak. Matanya menyipit sedikit penuh selidik ke arah Alea. Wanita itu berdiri di tengah kamar, dengan jubah tidur yang dibelikannya kemarin. Rambut tersisir rapi dan wajah yang dipoles tipis. Membuatnya ingin segera membawa wanita itu ke ranjang.
Tapi ia tak akan melakukannya, sekarang. Ia tahu tujuan wanita itu menyambut kedatangannya dengan penampilan menggoda tersebut. Ia tahu Alea sudah tahu bahwa ia tahu rahasia istrinya. Tak menduga Alea akan menggunakan cara ini untuk mencairkan kemarahannya.
Alea berjalan mendekat, mengambil jas dan tas dari Alec dan bertanya apakah ia harus menyiapkan air hangat atau tidak?
Alec mendengus dalam hati, kemudian menggeleng dan langsung bertanya, "Apa yang kaupikirkan?"
Alea menggeleng pelan.
"Apa kau bersenang-senang hari ini?"
Alea tak tahu harus mengangguk atau menggeleng.
"Sepertinya harimu sangat kacau, Alea. Apa karena kata-kataku kemarin malam?"
Alea mendongak terkejut.
"Lalu untuk apa kau pergi ke tempat Arsen?"
Alea menelan ludahnya. Tersadar bahwa setiap gerak-geriknya seharian ini pasti diketahui oleh Alec dan ia tak bisa menyangkalnya.
"Apa kau memohon untuk menyelamatkan kakak angkatmu itu dari kemarahanku?"
Alea terkesiap kaget, gelombang ketakutan yang menyerangnya benar-benar membuat tubuhnya melumpuh.
Alec terkekeh. "Kendalikan dirimu, Alea. Sejak semalam, ketakutanmu itulah yang meyakinkanku bahwa apa pun yang ada di antara kalian adalah sesuatu yang tidak kusukai."
Alea ingin membuka mulutnya, tapi ketegangan yang menyerang tubuhnya ikut membekukan kedua bibirnya.
"Jadi kabar burung itu benar, ya?" Seringai Alec tampak lebih mengerikan dengan matanya dinginnya yang memerah oleh amarah.
Tubuh Alea bergetar, ketakutan pada Alec dan kekhawatirannya terhadap Arza bergelut di dalam kepalanya.
"Aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Aku juga tak pernah mengkhianatimu."
"Baguslah." Alec mendengkus mengejek.
Alea tahu kata pujian itu adalah ancaman. Ia tak merasa lega sedikit pun, bahkan satu kata dengan nada mengejek itu membuat bulu kuduk Alea meremang.
"Hatimu yang berkhianat." Alec mengoreksi dengan sinis kemudian.
Alea menggeleng tanpa kata. "Aku ..."
"Diamlah, Alea. Aku tak suka membahas pria lain di kamarku."
Bibir Alea terkatup rapat. Isakan tertahan di tenggorokannya.
"Berikan aku minum. Sesuatu untuk meredakan kecemburuanku."
Alea mengamati raut muka Alec. Pria itu tidak terlihat marah. Malah sebaliknya, terlihat lebih tenang yang membuat Alea bertanya-tanya.
"Apa yang kautunggu?" Alec menyadarkan Alea dari ketertegunan wanita itu.
Alea pun bergegas keluar kamar. Menuju tempat penyimpanan wine di lantai satu. Saat ia kembali, Alec baru selesai mandi dan hanya mengenakan celana tidur panjang berjalan menuju sofa sembari menyuruh wanita itu ikut duduk bersamanya.
"Tuangkan untukku," perintah Alec. Memperhatikan kepatuhan wanita itu ketika langsung mengangkat botol anggur tersebut dan menuangkannya dengan perlahan di gelas.
"Apa kau tidak ingin menemaniku?"
Alea tak langsung menjawab. Sejenak ia berpikir untuk ikut minum, tetapi mendadak ia ingat bahwa ia tengah hamil. "A-aku tidak terbiasa minum minuman beralkohol."
Alec mengerutkan kening mengetahui hal itu untuk pertama kalinya setelah hampir dua bulan pernikahan mereka. "Apa ada sesuatu yang ingin kaukatakan padaku?" tanyanya kemudian melihat Alea yang tampak kalut oleh pikirannya sendiri meski sejak tadi wanita itu memang terlihat kacau.
Alea memandang wajah Alec sejenak, kemudian mengangguk. "T-tadi aku ke rumah sakit."
"Dan?" Alec sedikit mengulur suaranya.
"Aku hamil."
***
Thursday, 11 Febryary 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro