Part 14
A Lover
Alec & Alea
###
Part 14
###
Setelah sekian hari, minggu, dan bulan lapak ini terabaikan. Akhirnya Author memiliki semangat untuk melanjutkan kisah ini. Yang masih setia menunggu kisah ini berlanjut, tunjukkan dong semangat kalian. Biar Author pun ikuta semangat nulisnya. Jangan lupa kasih vote dan komentarnya, ya.
Selamat membaca....
###
Suara gelak tawa anak kecil yang tertangkap telinga Alec membuat pria itu mengerutkan kening. Langkahnya yang tengah menyeberangi ruang tamu terhenti, pandangannya berputar ke sekitar, sekali lagi mendengarkan dengan lebih jelas samar-samar suara di telinganya. Setahu Alec, di rumahnya tidak ada anak kecil. Pelayan-pelayannya pun tidak ada yang memiliki anak kecil.
Suara itu berpusat dari arah ruang tengah, Alec berjalan lebih dekat. Benar saja, Alea sedang sibuk berbicara dengan seorang anak kecil yang rambutnya dikuncir dua. Terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Kecuali wajah menyebalkan kakak iparnya yang terjiplak di wajah mungil itulah yang membuatnya mendengus sebal. Merasa iri Arsen bisa memiliki malaikat mungil secantik itu.
Mendadak pikiran tentang memiliki anak muncul di benaknya. Meskipun ia tidak memiliki tujuan yang jelas saat menikahi Alea. Ditambah di usianya yang sudah menginjak umur tiga puluh tiga tahun, mungkin sudah waktunya ia memiliki istri yang tetap sebagai penghangat ranjang. Ia menikahi Alea, karena sepertinya wanita itu bersih, tak banyak memiliki isi kepala selain kepolosan yang membuatnya gemas. Dan yang pasti tak akan banyak merepotkannya seperti kebanyakan wanita-wanita yang tidur dan yang berkencan pendek dengannya. Kriteria paling masuk akal untuk jangka waktu yang panjang dengan resiko paling minim membuat kepalanya pusing. Setidaknya ia tak akan memiliki istri pembangkang seperti Saga.
Tubuh seksi dan wajah cantik wanita itu sebagai bonus utama yang paling menggiurkan. Untuk kesenangannya di atas ranjang.
Alec masuk lebih dalam ke ruang tengah sambil melepas jasnya. Melihat Alea dengan lembut bermain-main boneka barbie dengan anak Arsen dan mendekati keduanya. Tampaknya anak itu lebih periang dari anak Saga, suaranya begitu merdu dan aktif.
"Apa tujuanmu membawa anak Arsen ke sini?" Alec berhenti di ujung karpet tebal tempat anak Arsen dan Alea bersimpuh di antara mainan yang berjajar di karpet. Tangannya menyilang di depan dada dan menelengkan kepalanya ke arah Alea yang langsung menengadahkan wajah dengan kedatangan pria itu. Yang tenggelam dalam permainannya dan Adara sehingga tidak menyadari langkah kaki Alec. Dan saat itulah ia menyadari bahwa hari sudah menjelang malam dan matahari sudah nyaris tenggelam dari balik dinding kaca yang menghadap langsung ke arah halaman belakang.
Adara menoleh, dengan mata bulatnya bertanya lugas akan keberadaan orang asing tersebut. Ia memiliki seorang Papa, tante, dan sepertinya ada lagi orang lain yang akan melengkapi dunianya. Sejak kecil terbiasa hidup dengan mamanya dan pengasuh, membuatnya selalu bertanya-tanya tentang kedatangan orang baru yang muncul. "Siapa dia, Tante?"
Alea menoleh ke arah keponakannya.
"Aku?" Kepala Alec menunduk menatap wajah bulat yang berkedip menunggu jawaban entah darinya atau dari tante Aleanya. Dan melihat Alea yang masih diam tanpa kata-kata, ia tahu wanita itu memang sepenuhnya belum menganggap dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang paman bagi keponakan istrinya. Tatapannya bertemu dengan Alea dan ia pun melepas sepatunya kemudian ikut bersimpuh di karpet bersama keduanya.
"Aku paman Alec." Alec memperkenalkan dirinya sendiri. "Papamu sangat beruntung memiliki anak secantikmu. Siapa namamu?"
"Adara." Senyum di bibir Adara semakin lebar dan bola matanya berbinar bahagia. Kemudian memutar seluruh tubuhnya menghadap Alec dan lebih tertarik dengan pamannya. "Apa Paman mengenal papaku?"
Sekali lagi Alec tersenyum. Menyentuh pipi gembul Adara sambil menganggukkan kepala. "Tentu saja."
"Apa Paman boleh bergabung?" Tawaran yang diajukan Alec, membuat Alea terkejut pelan. Ia pikir Alec duduk bersama mereka hanya untuk menyapa. Bukan untuk bergabung.
Adara mengangguk-angguk penuh semangat. Kemudian mengenalkan boneka Ken. Keduanya langsung akrab dan bermain dengan Alea yang mendadak menjadi lebih pendiam. Tanpa terasa waktu berlalu begitu saja, dan permainan berhenti ketika pelayan mengatakan makan malam hendak disiapkan dan jikalau ada sesuatu yang Tuan dan Nyonya rumah inginkan selain menu makan yang sudah disiapkan.
Permainan berhenti, Alea dan Adara membereskan mainan sedangkan Alec naik ke lantai atas untuk membersihkan diri dan turun lima belas menit kemudian dengan kaos polo berwarna navy dan celana pendek putih. Langsung ke ruang makan dan melihat Alea serta Adara sudah duduk di meja makan. Alea tampak telaten menawarkan Adara ini dan itu, tapi Adara terlihat begitu mandiri dan menolak Alea yang hendak menyuapi anak kecil itu.
Well, Alec mau tak mau merasakan aura kehangatan yang menyelubungi dadanya akan keberadaan Adara di ruang makan ini. Rasanya mereka seperti sebuah keluarga yang lengkah dan bahagia. Walaupun Alec sendiri tak sungguh-sungguh tahu arti kebahagiaan itu apa.
Setelah makan malam dan mengantar Adara ke kamar. Alec menunggu di pinggiran pintu mengamati Alea yang menyelimuti dan menceritakan dongeng pendek untuk Adara. Adara tampaknya kelelahan bermain sehingga lebih cepat tidur. Alea beranjak dan membungkuk untuk sekali lagi merapikan selimut Adara. Saat memutar tubuh hendak menekan saklar, Alea tersentak kaget menemukan Alec yang menyandarkan salah satu pundak di pinggiran pintu dengan tangan masuk ke saku celana. "K-kau masih di sini?"
Alec hanya mengedikkan bahu, menunggu Alea mematikan lampu dan menutup pintu kamar Adara. Kemudian keduanya berjalan beriringan menuju kamar mereka yang tak jauh dari kamar Adara.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," ingat Alec ketika pria itu baru saja menutup pintu kamar sedangkan Alea hendak berjalan ke kamar mandi.
Alea berhenti. Bertanya kembali. "Pertanyaan yang mana?"
Sambil melangkah mendekati Alea, pria itu mengulang pertanyaannya. "Apa tujuanmu membawa anak Arsen kemari? Apa kau ingin segera memiliki anak? Mengundang Adara ke rumah ini untuk memancing tubuhnya untuk siap kubuahi?"
Manik Alea melebar terkejut, lalu menggeleng. Wajahnya memerah, campuran antara rasa malu akan kata-kata vulgar Alec yang langsung menyudutkannya, dan ketidak percayaan akan perkiraan prasangka Alec tentang keberadaan Adara hingga sejauh itu.
Dengan cepat, Alea menggelengkan kepala keras menyangkal prasangka tersebut.
"Lalu?" Alec berhenti tepat di hadapan Alea. Tangannya langsung menyentuh perut Alea yang rata dan merasakan ketegangan yang langsung menyergap seluruh tubuh Alea. Tetapi wanita itu tetap berdiri terpaku di tempat, tak berani menolak elusan lembut yang ia berikan.
Meskipun mereka baru dua minggu yang lalu menikah, melihat bagaimana panasnya ia di ranjang dan tak pernah sekali pun mengenakan pengaman saat memenuhi tubuh Alea. Kemungkinan salah satu spermanya berhasil membuahi sel telur Alea pasti ada. Dan mungkin saja keajaiban itu tengah terjadi di perut Alea saat ini.
"A-aku hanya butuh teman." Suara Alea semakin tertelan di dalam tenggorokannya.
'Karena sudah tidak ada Arza di rumah ini?' dengkus Alec dalam hati. "Benarkah?" Tangan Alec beralih menyentuh lengan Alea, merambat ke atas dengan sangat pelan dan berhenti di pundak. Pandangannya melekat di wajah Alea, yang berdiri kaku dan berusaha menghindari matanya. Tangan Alec yang lainnya terangkat menyentuh dagu Alea, membawa wajah itu kembali ke pandangannya. "Sayangnya, itu akan menjadi salah satu tujuanku menikahimu?"
Mata Alea mengerjap dua kali. Dengan cekalan di wajah dan tangan Alec di pundak, ditambah kedalaman tatapan Alec yang memaku wajahnya. Tubuhnya tak punya pilihan untuk mengambil satu langkah mundur pun menghindari pria itu.
"Memiliki anak." Alec menjelaskan dengan gamblang. Yang membuat Alea sekali lagi tersentak kaget. Dengan hasrat yang sudah mengental di kedua bola matanya. Tangannya yang di pundak Alea mulai turun, menyentuh kancing teratas dres istrinya dan mulai menanggalkannya. Satu persatu hingga tak ada satu pun kancing yang tersisa.
Alea sendiri yang sudah bisa membaca ke mana dirinya akan berakhir pun hanya bisa pasrah. Tampaknya selain sebagai pemuas nafsu Alec, kini beban yang pria itu berikan padanya bertambah satu lagi. Sebagai mesin pembuat anak.
Arza benar dengan membawa Adara ke rumah ini bisa membuatnya melupakan traumanya, tetapi pria itu tidak tahu bahwa Adara ternyata juga bisa membawa masalah yang lain baginya di kemudian hari. Alea tak bisa membayangkan dirinya akan mengandung anak dari Alec. Seorang pria yang menyentuh tubuhnya dengan sukacita yang tidak ia cintai.
'Sanggupkah ia mengandung anak dari beni pria yang tidak ia cintai?'
Di saat cintanya pada Arza masih begitu memenuhi hatinya.
"Dan kali ini kau tidak akan kesepian lagi. Kita harus giat berusaha untuk hasil yang sempurna, kan?" Alec mengakhiri kalimatnya dan membawa bibirnya di bibir Alea. Menempelkan dada Alea di dadanya dan selanjutnya keduanya berbaring di ranjang beberapa menit kemudian dengan pakaian yang berserakan di lantai.
***
Lagi, Alea terbangun dengan badan remuk dan bekas-bekas merah yang nyaris memenuhi seluruh kulit dadanya. Dengan sangat berhati-hati, ia menyingkap selimut. Jika beruntung, Alec tak akan terbangun dan ia tak perlu melayani pria itu untuk seks pagi. Pangkal pahanya terasa sakit, setelah semalaman berusaha menyamai gairah Alec yang seolah tiada habisnya. Gairah pria itu memang tidak pernah habis.
Alea berhasil mencapai pintu kamar mandi tanpa membangunkan Alec. Membuatnya mendesah lega dan mengunci pintu kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Ia ingin berendam, tapi jika tiba-tiba Alec terbangun dan ikut bergabung di bak mandi. Itu jelas tidak akan menjadi sebuah aktifitas yang tepat untuk menenangkan tulang-tulang tubuhnya yang pegal.
Alea menyambar jubah mandi dan melilitkan handuk di rambutnya yang basah. Kemudian berjalan meraih pegangan pintu.
"Kau mengunci pintu kamar mandi," tegur Alec tepat ketika Alea memutar kunci dan membuka pintu, dengan tangan pria itu yang melayang hendak menyentuh handle pintu.
Alea tersentak kaget dan pandangannya langsung menangkap bibir Alec yang menipis tajam.
"Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak pernah mengunci pintu kamar mandi di kamarku, Alea," tegas Alec sekali lagi. "Privasi atau alasan apa pun itu tak akan kuterima."
"Maafkan aku," ucap Alea segera. "A-aku hanya terbiasa melakukan hal itu di rumahku. A-aku tidak akan mengulanginya lagi."
Perlahan wajah Alec melunak. Kakinya maju satu langkah dan langsung meraih wajah Alea. Mengambil lumatan panjang dan dalam di bibir ranum tersebut. Yang seketika memberikan kesegaran untuk Alec.
Namun, sebelum lumatan tersebut memanas dan hanya butuh satu langkah lagi untuk membawa dirinya memenuhi tubuh Alea. Deringan nyaring dari nakas menyela keduanya.
Alea mendorong dada Alec menjauh dan langsung disambut geraman kesal pria itu karena kesenangan yang diganggu.
"M-maaf. Aku harus mengangkatnya." Alea bergegas menyelipkan tubuhnya di antara sela pintu yang nyaris ditutupi tubuh besar Alec. Melangkah ke arah nakas dengan menyembunyikan kelegaannya dari Alec.
"Ya, Arsen?" Alea duduk di pinggiran ranjang dengan ponsel tertempel di telinga. Tak lama ia mendengar pintu kamar mandi yang tertutup dan sekali lagi mendesah lega.
"Pagi, Alea."
"Kau tak pernah menyapaku dengan suara seriang ini. Apa ada sesuatu yang menyenangkan pagimu?"
"Tidak juga."
"Jadi?"
"Bagaimana dengan Adara?"
"Dia baik. Sebentar lagi aku ke kamarnya untuk menemuinya."
"Apa dia merepotkanmu?"
"Tidak. Aku suka dengannya dan tampaknya dia juga menyukaiku."
"Dan apa pendapat Cage ketika melihatnya?"
Alea terdiam. Matanya menyipit curiga meski tahu Arsen tak akan melihatnya. "Apa kau memiliki niat tersendiri dengan membawanya ke rumah ini?"
Arsen terkekeh, dan tak menyangkal tuduhan yang dilemparkan oleh adiknya. "Bukankah itu akan menjadi batu loncatan yang bagus dan paling ampuh untuk kita berdua?"
"Sialan kau, Arsen. Aku tak sudi mengandung anaknya."
"Sshhhh, kuharap Cage tak mendengarnya, Alea."
Alea menutup mulutnya dengan segera dan kepalanya berputar ke arah pintu kamar mandi. Suara air mengalir yang terdengar sekali lagi menyalurkan kelegaan di tenggorokannya. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan Alec jika mendengar kata-katanya baru saja.
"Aku masih ingin hidup. Begitupun denganmu." Sekali lagi Arsen mengingatkan Alea. "Hati-hati dengan sikap dan mulutmu."
Alea tak ingin mendengar bualan Arsen lebih banyak lagi. Setiap kakaknya menelpon, pria itu selalu membuatnya kesal. "Aku akan menutupnya."
"Tunggu dulu. Masih ada satu hal yang harus kuberitahukan padamu."
Alea menggumam dengan enggan. "Katakan dengan cepat."
"Mungkin aku akan menitipkan Adara selama beberapa hari lagi di tempatmu."
"Kenapa?"
"Kau tak perlu tahu lebih banyak."
Alea pun tak merasa perlu tahu lebih banyak tentang urusan pribadi Arsen. "Sampai kapan?"
"Mungkin satu, dua, atau bahkan tiga hari setelah hari pernikahanku."
"Apa kau tidak akan membiarkannya datang ke pesta pernikahanmu?" tanya Alea tak percaya.
"Aku perlu memberi pelajaran pada calon istriku."
"Setelah aku, apa kau akan menggunakan anakmu sebagai alat balas dendam, Arsen," desis Alea yang tak habis pikir di mana nurani kakaknya tersebut. Tak hanya adiknya, Arsen pun bahkan menggunakan putrinya sendiri untuk tujuan pria itu sendiri.
Arsen hanya mendesah singkat. "Aku tahu apa yang terbaik untuk putriku sendiri, Alea. Juga untuk mamanya. Jadi kau tak perlu meragukan keputusanku."
Alea hendak membuka mulut untuk membantah kalimat Arsen, tapi kakaknya itu malah memutus panggilan sebelum satu kata pun keluar. Alea hanya bisa mengembuskan napas sambil menurunkan ponsel dari telinganya. Berharap apa pun yang dikatakan Arsen benar-benar yang terbaik untuk Adara meski apa yang dilakukan Arsen kepadanya jelas bukan pilihan terbaik untuk dirinya.
***
Thursday, 28 January 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro