Part 13
A Lover
Alec & Alea
###
Part 13
###
Seberapa kangen kalian ama Alec & Alea? Apa masih mau dilanjut???
###
Tetapi semua efek yang didapatkan dari Alec hanya mampu bertahan malam itu. Mimpi buruk itu masih menghantui Alea selama beberapa malam berikutnya. Berapa kali pun Alea berusaha menyembunyikannya dari Alec, keterdiaman pria itu ternyata bukanlah ketidaktahuan.
"Kau masih tak ingin membuka mulut?" Alec yakin bisa memecahkan gelas dalam genggamannya dan meleburkannya menjadi serpihan kaca hanya demi menekan dalam-dalam kesabarannya untuk Alea. Ini keempat kalinya Alea berhasil menggores harga dirinya karena membiarkan ia menikmati tubuh indah wanita itu tapi membuatnya uring-uringan karena apa yang diinginkannya masih jauh dari kata puas. Secara fisik, ia mendapatkan kepuasan dari tubuh molek Alea. Tapi wanita itu diam seperti patung, seolah merasa tak terpuaskan oleh tubuh Alec.
Dari sekian banyak wanita yang berhasil menarik perhatiannya untuk naik ke ranjangnya, tak ada satu pun wanita yang tidak mengerang nikmat oleh sentuhannya. Mereka semua selalu berakhir terpuaskan dan selalu mengemis mendapatkan yang kedua. Yang sayangnya, tak pernah berhasil karena seorang Alec Cage tak pernah memakai barang yang sama untuk kedua kali.
Dan saat seorang Alea mendapatkan semua hal yang diinginkan dan idam-idamkan semua wanita dengan begitu mudah, cukup dengan menjentikkan jemari. Wanita itu malah menolak mentah-mentah sentuhannya, meski secara fisik Alea tak mampu berkutik, manik wanita itu menolaknya mentah-mentah. Menghina semua pemberian dan perhatiannya tanpa perlu membuka mulut. Seolah mengatakan kebencian tersebut lewat mulut akan mengotori bibir Alea. Hingga Alec menyadari bahwa itu karena pengaruh mimpi buruk yang selama empat hari berturut-turut membuat Alea terbangun.
Alec dibuat frustrasi nyaris gila. Harga dirinya terkoyak. Satu tangannya mencengkeram rahang Alea, yang meringkuk seperti bola di balik selimut tebal. Beberapa bekas merah masih membekas sangat jelas di kulit putih Alea, karena perbuatannya beberapa menit yang lalu. Setelah wanita itu berhasil memuaskan dirinya dan terlelap tidur karena kelelahan dalam pelukannya. Alec yang belum tidur karena satu email masuk ke ponsel dan berhasil mengalihkan perhatiannya, tetapi kemudian konsentrasinya pecah karena isak tangis dan racauan Alea yang membuat tubuh wanita itu gemetar hebat. Tenggelam dalam dimensi waktu yang tak sama dengannya.
Alec membangunkan Alea, hanya untuk mendapatkan sikap jauhi aku! yang diberikan Alea sebagai balasan atas niat baiknya yang menarik wanita itu dari mimpi buruk. Dengan sekali sentakan, Alec melempar gelas air putih di tangannya ke lantai, lalu menangkap lengan atas Alea dan memojokkan wanita itu. Kali ini ia akan membuka mulut Alea meski harus merobek mulut wanita itu.
Air mata membanjiri pipi Alea, wajah wanita itu semakin tertunduk dalam dan meringis oleh rasa sakit di lengan atasnya yang dicengkeram Alec.
"Kau memaksaku menggunakan cara yang kasar, huh?"
Tangisan Alea semakin tersedu, kata-kata yang sama terdengar nyaring di kepalanya. Bergema dengan sangat mengerikan memenuhi setiap sudut kepalanya. Silet itu mengelus kulit perutnya, lalu menggores dan rasanya sangat menyakitkan. Perih. Sangat perih hingga pakaian putih yang ia kenakan berubah menjadi merah dalam sekejap.
"Kumohon jangan lakukan itu," isakan Alea bercampur keputus-asaan dan rasa takut yang teramat besar. Kepala wanita itu tenggelam di kedua lututnya yang tertekuk. Satu tangannya memeluk kedua kakinya sedangkan tangan lainnya tertarik ke arah Alec, yang tak berniat melepaskan lengannya sama sekali. "Jangan sakiti aku. Aku tidak mau mati."
Alec tertegun. "Aku tidak akan menyakitimu. Aku bahkan tak pernah menyakitimu, Alea!" sentak Alec tak sabar. Tubuh Alea masih bergetar hebat, tak ada jawaban dari Alea. Atau apakah wanita itu mendengarkan suaranya?
Alec melepas cengkeramannya di lengan Alea. Tercengang, benar saja. Wanita itu masih tenggelam dalam mimpi buruk, yang entah sekelam apa. Dan entah apa yang mendorong Alec untuk menarik wanita itu dalam pelukannya. Lalu menggosok punggung istrinya dengan lembut. "Sshhh .... itu hanya mimpi, Alea."
Gemetar di tubuh Alea perlahan mereda. Begitupun tangisannya.
Ini bukan pelukan Arza, tapi membuatnya merasa nyaman, hangat, dan terlindungi. Alea seharusnya tidak merasakan hal itu terhadap Alec. Alec adalah pria yang telah merenggut cintanya. Merenggut kebahagiaan hidupnya bersama Arza.
Menyadari Alea yang mulai tenang dalam pelukannya, Alec pun memutuskan akan mencari tahu sendiri hal itu. Lewat mulut lainnya.
Tangisan Alea sudah berhenti, tetapi wanita itu masih bergeming dalam ringkukannya meskipun Alec sudah mengurai pelukannya. Alec bangkit, berniat mengambilkan sesuatu untuk Alea sekaligus memberi waktu bagi wanita itu sejenak.
Alea akhirnya berani mendongakkan kepalanya setelah mendengar suara pintu kamar yang terutup. Alec tak akan berhenti sampai di sini untuk melucuti setiap lapis kehidupannya. Dan Alea sendiri masih terlalu takut membuka diri untuk siapa pun. Satu-satunya cara adalah berhenti membuat mimpi buruk itu berhenti. Apa yang harus dilakukannya agar mimpi buruk itu tak kembali muncul?
Satu –satunya orang yang ada di pikirannya adalah Arza. Alea pun bergegas mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas dan menghubungi Arza. Panggilannya tak langsung dijawab, tapi kemudian jam di dinding menyadarkan Alea. Ini sudah tengah malam, Arza pasti sudah tidur.
Alea sempat merasa putus asa, tetapi ketika hendak menurunkan ponsel dari telinga, terdengar jawaban dari seberang.
"Ya, Alea?"
"Arza, kau harus menolongku. Kumohon."
***
Kedatangan mendadak Alec membuat Arsen sedikit terkejut. Seminggu sejak kematian mamanya, pria itu tak lagi menunjukkan batang hidungnya dan ia pun juga merasa tak perlu membentuk hubungan mereka menjadi lebih dekat. Alea bisa menjaga diri dengan baik, sesekali ia memang perlu menghubungi Alea, hanya sekedar basa-basi memastikan adiknya sehat dan tanpa luka lecet seujung kuku pun. Itu sudah lebih dari cukup.
"Aku tahu kau ke sini tak mungkin hendak mengucapkan selamat untukku."
Alec mengambil tempat duduk di kepala sofa.
Ujung bibir Arsen hanya berkedut tidak senang dengan ketidaksopanan Alec, tapi tak berkata apa pun dan duduk di sofa panjang. Mengangkat tangan pada sekretarisnya untuk menyiapkan minum.
"Wine," pesan Alec.
"Sepertinya kau sedang mengalami hari yang berat." Arsen hanya berharap bukan Alea penyebabnya.
Alec hanya melirikkan mata, mengamati Arsen yang mencabut bolpoin di saku pria itu dan memutar-mutarnya di tangan. Menyalurkan kegugupan pada benda mati. Ya, pernikahan memang mampu membuat seorang pria diserang kegugupan. Siapa pun wanita yang akan menjadi istri Arsen jelas memiliki arti yang khusus bagi pria itu. Tapi ia datang bukan untuk mencari tahu kehidupan pribadi Arsen. "Alea bermimpi buruk," ucapnya kemudian. Langsung pada pokok masalah.
Gerakan Arsen yang tengah memainkan bolpoin terhenti sejenak, wajahnya memias sekilas, lalu menguasai diri dengan baik dan berkata setenang air danau. "Setiap orang punya mimpi buruk tersendiri, kan."
Alec mencibir. Hari pertama Alea bermimpi buruk, ia berhasil menenangkan wanita itu, hari kedua, ketiga, dan keempat, wanita itu masih tak membuka mulut. Dan sungguh itu mengganggu tidurnya. Juga mengganggu kehidupan ranjang mereka, tambah Alec dalam hati. "Kaupikir aku akan percaya bualanmu, Arsen? Semakin cepat kau membuka mulut akan semakin baik."
Arsen hanya diam. Jelas Alec bukan pria tipe penyabar seperti Arza yang selalu berhasil menenangkan Alea.
"Aku melihat isi ponsel Alea," tambah Alec. Mata tajamnya menangkap sekilas kerjapan di manik Arsen dan tak membiarkan pria itu menghindar.
Arsen menyilangkan kaki, memasukkan kembali bolpoinnya ke saku dan mendapatkan sandaran di punggung kursi. Aura mengintimidasi Alec sengaja ditujukan agar ia membuka mulut. Melihat isi ponsel Alea, cukup menarik kecurigaan akan hubungan Alea dan Arza. Sudah jelas adiknya menyimpan terlalu banyak kenangan di sana. "Apa yang ingin kau ketahui?"
"Semuanya."
"Mereka hanya kakak beradik yang sangat dekat. Arza lebih memiliki hati yang hangat untuk kedua adik perempuanku. Itu tugasnya, dan tugasku menjamin kehidupan finansial kami. Hanya itu."
Well, jadi Arsen sudah tahu. Semuanya. Alec pikir hubungan Alea dan Arza adalah hubungan terlarang yang berusaha disembunyikan pada siapa pun. Tapi bukan itu yang ingin ia ketahui sekarang. Ia bisa mengurusnya sendiri.
"Apa yang terjadi dengan mimpi buruk Alea."
Mata Arsen mengerjap sekali, membuka mulut dan menarik napas penuh kelegaan tanpa menimbulkan suara atau terlihat di mata Alec. "Hanya sebuah trauma."
Alec menyeringai tipis. "Yang jelas bukan kejadian kecil, kan?"
Arsen menyentuh lehernya. Masih tak yakin harus membuka mulutnya atau tidak. Satu-satunya pilihan yang diberikan oleh Alec adalah membuka mulut, ia pun menuruti keinginan pria itu.
"Kisah itu terjadi saat Alea berumur enam belas tahun, aku tak tahu itu masih memengaruhinya hingga sekarang, karena sudah lama ia tak menemui psikolognya. Jadi kupikir mimpi buruknya tak pernah kambuh. Tapi mungkin kematian mama seperti membuka sedikit celah untuk menarik kembali sesuatu yang seharusnya tersimpan rapat di dasar lautan."
Alec menempelkan tangannya di dagu, mendengarkan dengan saksama.
"Kau tahu MH memiliki banyak musuh, kan. Apalagi saat ayahku yang memegang posisi CEO. Kau tahu ayahku tak memiliki background bagus dibanding para eksekutif yang disodorkan para pemegang saham untuk menjabat posisi itu. Saat itu Alea diculik beberapa orang yang ingin melengserkan ayahku. Meminta tebusan yang tak masuk akal. MH bukan milik ayahku, ia hanya punya beberapa kekuasaan dan itu membuatnya tak berdaya."
"Salah satu penculik yang menyimpan dendam dan mencoba ingin menghancurkan putri kesayangan ayahku. Apa pun yang dilakukan penculik itu pada Alea, Alea sama sekali tak mau membuka mulutnya."
"Hanya itu?"
"Yup, Alea tak pernah membuka mulutnya, pada siapa pun. Hingga sekarang."
Mata Alec menyipit.
"Arza pun tak tahu."
Alec sedikit terkejut, bahkan Arza tak lebih tahu dari Arsen. "Penculik itu?"
"Kami berhasil menangkapnya. Tapi dia begitu gembira seolah hukuman pidana yang hakim pidanakan padanya adalah sebuah kemenangan."
"Apa penculik itu memperkosanya?"
"Hasil visum tidak menunjukkan adanya kekerasan. Kau tahu benar untuk jawaban yang satu itu. Tapi, kupikir penculik itu melecehkannya sebelum nyaris berhasil memperkosanya."
Alec terdiam. Ya, dialah pria pertama Alea. Lalu, apa yang dilakukan penculik itu pada Alea hingga menyisakan trauma yang begitu membekas di ingatan Alea? Pelecehan seperti apa yang dilakukan penculik itu?
"Hanya Alea dan Tuhan yang tahu. Karena Tyo sudah mati di penjara. Kurasa bukan ayahku satu-satunya musuhnya. Seorang pembunuh bayaran berhasil melakukan itu."
Alec menarik punggungnya ke belakang. Menggaruk dagunya yang tak gatal. "Dia punya bekas luka di perut. Tak terlalu kentara, tapi aku bisa melihat itu luka yang cukup dalam dan membekas selama tahunan."
"Saat kami menemukannya, tubuhnya bermandikan darah dari luka tusuk di perutnya. Dan kupikir aku juga mendengar tentang sayatan-sayatan. Yang kutahu, sejak kejadian itu Alea tak pernah mengenakan bikini-bikininya atau pakaian apa pun yang menampakkan bagian perut. Sepertinya sampai sekarang."
"Apakah itu sebabnya dia begitu dekat dengan Arza?"
Arsen terbahak. "Arza mampu memberikan kasih sayang yang tidak bisa kuberikan. Selama Alea baik-baik saja dan nyaman, aku tak pernah mempermasalahkannya."
"Apakah itu juga sebabnya dia lebih sering menemui Arza daripada kau?"
Arsen hanya mengangkat bahunya dengan tawa yang mereda. Menyimpan kekakuan di sudut bibir. "Kurasa, ya."
***
"Bawa aku pergi," tangis Alea menghambur dalam pelukan Arza begitu menemukan sosok Arza sudah duduk di salah satu kursi cafe tempat mereka janji bertemu.
Arza membalas pelukan Alea, menenangkan emosi yang memenuhi Alea. Dengan sabar, ia menuntun Alea untuk duduk. Menyuruh wanita itu untuk menarik dan membuang napas dengan perlahan. Penampilan Alea benar-benar kacau. Rambut yang terurai, tanpa polesan make up, dan pakaian yang sepertinya diambil secara acak di lemari. Hanya blesser sepanjang lutut yang menutupi piyama tidur.
"Tenanglah. Minum ini dulu." Arza menyodorkan secangkir jasmine tea untuk Alea. Alea menyesapnya dengan perlahan. Setelah melihat Alea yang sudah terlihat lebih terkendali. Ia memulai bicara. "Jadi, ada apa?"
"Aku masih bermimpi buruk. Dan ... Alec, kupikir dia akan mencari tahu lebih dalam tentang masa laluku."
Alea berhenti sejenak, tapi mendadak perhatian Arza tertuju pada salah satu meja tak jauh dari tempat mereka berdua duduk. Kedua pria dengan wajah garang dan satu lagi wajah yang tak pernah bisa ia lupakan karena pernah hampir menghabisi nyawanya. Bagaimana ia bisa lupa.
Kedua pria itu tidak mengikuti Alea, tapi memastikan bahwa ia masih hidup dan sewaktu-waktu bisa mengancam kehidupan mereka. Sudah sepatutnya mereka takut kuasa Ganuo, bahkan Alec Cage saja mampu membuat mereka menundukkan kepala. Walaupun tidak dengan kelicikan yang mengakar dalam naluri mereka.
Ia tidak boleh membua Alea berada dalam bahaya karena masa lalunya.
"Alec tahu tentang mimpi burukku. Dia menyadari sesuatu dan tak berhenti mencoba menyudutkanku. Semalam aku bisa menangani hal itu, kali kedua aku tak yakin. Mimpi burukku semakin parah. Aku butuh psikologku. Sepertinya aku butuh obat penenang yang lebih keras."
Arza berusaha mengembalikan perhatiannya untuk Alea. Bersikap seolah tak menyadari keberadaan dua pria tersebut. "Kau terlalu banyak berpikir, Alea. Itulah yang membuatmu kembali jatuh. Ingat apa yang kukatakan. Semua sudah berlalu. Kau berhasil bebas dan tidak ada siapa pun yang akan menyakitimu lagi."
Alea menggeleng. Hampir menangis lagi, tapi ketika kedua telapak tangan Arza membingkai wajah dan mengelus pipinya dengan lembut, tangisan itu kembali menguap. "Tidak bisakah kau membawaku pergi?"
Arza ingin menjawab ya, dan jawaban itu sudah diujung lidahnya. Tetapi ketika ia merasakan keberadaan dua orang yang ada di sekitar mereka, ia tahu itu adalah pilihan paling buruk yang ia miliki. Alea juga akan berada dalam bahaya melebihi dirinya.
"Sepertinya aku punya ide. Arsen sedang kebingungan hendak menyembunyikan anaknya, apa kauingin merawatnya untuk sementara?"
Mata Alea melebar. "Anak?"
"Ya, beberapa hari lagi dia akan menikahi wanita yang ternyata menyembunyikan anaknya."
"Apa?"
"Ya, ada beberapa hal rumit di antara mereka tapi mereka sudah setuju akan melangsungkan pernikahan."
"Lalu kenapa Arsen ingin menyembunyikan anaknya? Dari siapa?"
"Sedikit rumit untuk menjelaskan. Tapi ... mungkin berinteraksi dengan anak kecil akan membuatmu lebih tenang."
Alea masih kebingungan mencerna berita tak terduga yang dibawa Arza. Tetapi pada akhirnya ia pun setuju.
***
Thursday, 19 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro