Part 11
A Lover
Alec & Alea
###
Part 11
###
"Minumlah, ini akan membuatmu nyaman." Alec meletakkan cangkir berisi teh hijau yang masih mengepulkan asap di nakas.
Alea memejamkan matanya. Menarik selimut menutupi wajah. Air matanya sudah mengering, tapi tubuhnya masih lemah dan tak punya tenaga untuk bangkit terduduk meminum minuman yang dibawa Alec. Ia bahkan tak lapar ataupun haus.
Alec menarik selimut Alea, mendudukkan wanita itu dan menyuapi Alea menandaskan isi cangkir dalam keheningan. Alea sendiri yang tak menolak perlakuan Alec. Dalam keadaan normal saja ia tak sanggup membantah Alec, apalagi saat hatinya berduka seperti saat ini.
Tepat ketika Alea menandaskan minumannya, ponsel Alec bergetar. Alea sempat melirik nama Sesil tertera di layar ponsel pria itu yang berkedip.
'Sesil?' Sepertinya nama itu terasa familiar.
"Ada apa, Sesil?" Alec menjawab panggilan tersebut di depan Alea.
Mata Alea melebar, teringat akan wanita cantik yang ia temui sedang muntah-muntah di kamar mandi rumahnya di hari pernikahannya dengan Alec. Wanita itu bilang mual muntahnya karena hormon kehamilanyang tak bisa dihindari.
Apa wanita itu kekasih Alec yang tengah hamil? Mengandung anak Alec? Pertanyaan berselimut kecurigaan itu muncul. Untuk apa wanita hamil menghubungi pria malam-malam seperti ini jika mereka tidak memiliki hubungan spesial?
Setelah mendengarkan cukup lama, Alec tiba-tiba berdiri. Wajahnya berubah pucat dan panik. "Apa kau keguguran?"
Alec mengembuskan napas lega setelah mendengarkan jawaban dari seberang. "Syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Lalu apa yang terjadi?"
"..."
"Aku tak bisa mendengar suaramu, Sesil. Tenanglah. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan." Instruksi Alec dengan sabar dan lembut. Membuat kerutan di kening Alea semakin dalam. Mengenal Alec selama beberapa minggu membuat Alea cukup tahu bahwa Alec bukanlah pria yang penyabar dan lembut, pun pada wanita. Meskipun pria itu selalu mencium dan menyentuh tubuhnya dengan sikap lembut, semua tak menutupi kebengisan dan kekejaman di mata pria itu.
Jika Alec bisa berucap begitu lembut dan sabar pada siapa pun, hingga terlihat panik dan khawatir karena orang tersebut. Bukankah itu berarti bahwa orang tersebut memiliki arti yang sangat istimewa di hati Alec.
"Apa kau sudah tenang?"
"..."
"Katakan. Di mana kau sekarang dan apa yang harus kulakukan?"
"..."
"Kalau begitu kirim lokasimu lewat pesan."
"..."
Alec menurunkan ponselnya dan menekan tombol speaker. Lalu meletakkan ponsel tersebut di kasur dan berdiri sambil berkata dengan sedikit keras agar Sesil tetap mendengarkan suaranya. "Oke. Aku akan ke sana sekarang dan mengirim ambulans."
"Jangan!" teriak Sesil. "Tidak. Jangan bawa ambulans. Aku hanya butuh kau."
Alea terpaku. Tidakkah Alec bertindak keterlaluan dengan membiarkanya mendengarkan kemesraan romantis mereka di kamar mereka?
"Baiklah." Alec menyambar pakaian teratas di lemarinya. Sambil berjalan menghampiri ranjang dan mengganti pakaian tidurnya.
"Cepatlah, Alec. Kumohon." Permohonan bercampur isak tangis memilukan itu terasa menusuk hati Alea. Membuat Alea merasa menjdi orang paling jahat jika ia memanfaatkan haknya sebagai istri sah Alec untuk menahan pria itu tetap di rumah. Ia juga membutuhkan Alec, jerit Alea dalam hati tanpa sadar. Ia baru saja kehilangan mamanya dan masih sangat berduka.
Tanpa pamit, Alec menyambar ponsel di ranjang dan berlari keluar dari kamar tidur. Meninggalkan pintu kamar mereka yang terjemblak terbuka.
Alea tercenung. Menatap pakaian tidur Alec yang berserakan di lantai dengan nanar. Hatinya terasa dicubit. Meskipun ia tak mengharapkan pernikahan mereka dan menjalani pernikahan ini dengan berat hati dan keterpaksaan, tetaplah ia seorang istri yang baru saja berduka dan butuh seseorang untuk bersandar.
Lamunan Alea terpecah oleh suara deringan ponsel miliknya. Alea tak berniat mengangkatnya dan berbicara dengan siapa pun, tapi nama Arza yang tertangkap matanya membuatnya menjawab panggilan itu. Hanya Arza yang ia butuhkan saat ini, dan kepergian Alec membuatnya semakin lega.
"Arza?"
"Hai, apa kau baik-baik saja?"
Alea menggeleng. "Aku ingin bertemu denganmu."
"Sudah malam, Alea. Bagaimana kalau besok?"
"Alec ada urusan dan aku sendirian di rumah."
Arza diam.
"Dia ... dia belum pulang."
"Ke mana dia?"
"Tidak tahu. Dia ada urusan mendadak dan langsung pergi begitu saja. Sepertinya urusannya akan lama."
Arza diam sejenak. "Baiklah, aku akan menjemputmu. Aku akan mengantarmu pulang tepat jam sepuluh. Bagaimana?"
"Ya." Alea menjawab ya sebelum Arza benar-benar menyelesaikan pertanyaannya. Alea langsung turun dari ranjang menuju lemari pakaian untuk mengganti baju hitamnya dengan dres berwarna hitam lainnya.
***
"Alea?"
"Hm?" Alea menoleh ke arah Arza yang tak langsung turun begitu mobil sudah berhenti dan mendapatkan tempat parkir yang cukup bagus di halaman depan cafe. Melihat kakak angkatnya yang tengah sibuk menatap ke pinggiran jalanan di seberang. Alea mengikuti arah pandangan Arza, tapi tak bisa menebak atau menemukan apa pun yang mencuri perhatian Arza begitu banyak.
"Apa Alec menyewa seseorang untuk menjagamu?"
"Apa ada yang mengikuti kita?" Alea mendadak teringat percakapannya dengan Arsen kemarin pagi.
"Selama kau mempertahankan hubungan baik kalian. Ya, posisi kita sama tingginya. Kecuali ..."
Alea menunggu.
"Kecuali suamimu tahu hubunganmu dengan Arza. Itu tidak akan baik untuk bisnisku dan posisimu. Aku mendengar Cage lebih kejam dari yang terlihat di balik ketenangannya yang seperti air danau. Entah itu hanya rumor atau tidak, aku sama sekali tak berniat mencari tahunya. Kau pun tidak. Tapi, kau tahu Saga Ganuo, bukan?"
'Apa Alec mencurigainya dengan Arza? Itu tidak mungkin. Pernikahannya dengan Alec bahkan belum berumur dua hari. Dan hubungan romantis yang pernah mereka jalin tak mungkin sampai keluar hingga ke telinga Alec. Arsen tak mungkin membocorkan masalah ini.'
Mata Arza menyipit. Menatap lekat-lekat mobil hitam yang sengaja berhenti di pinggir jalan. Ia berharap itu adalah salah satu pengawal yang disewa Alec untuk mengawasi Alea. Setelah menyelidiki latar belakang Alec Cage yang ternyata cukup mengejutkannya. Pria itu salah satu benar merah yang menghubungkannya dengan masa lalunya. Bagaimana bisa terjadi kebetulan semacam ini. Terutama menyangkut Alea.
Apakah pernikahan Alec dan Alea benar-benar tujuan utama Arsen untuk memberikan yang terbaik untuk adiknya itu?
Tidak, Arsen pun terkejut ketika ia memberikan laporan tentang latar belakang Alec Cage.
Apa sebenarnya tujuan Alec menikahi Alea?
Apakah pria itu memang benar-benar hanya tertarik pada fisik Alea?
Ataukah ada maksud tersembunyi di balik niat Alec menikahi Alea?
Di pesta pernikahan Alea pun, ia tak mungkin tak mengenali wajah Saga Ganuo yang datang sebagai tamu undangan tersembunyi Alec. Meski wajah itu tampak sedikit lebih tua, ia tak mungkin melupakan wajah pria itu.
Alec Cage dan Saga Ganuo. Dua orang ini tak mungkin datang di hidupnya secara kebetulan seperti ini. Lalu ...
"Arza? Arza!" Suara Alea sedikit meninggi.
Arza tersentak lalu menoleh ke samping.
"Ada apa?"
Arza menggeleng. Melepas kunci mobil dan berkata pada Alea. "Kita turun."
Alea mengangguk.
***
Tak ada pembahasan penting yang Alea ataupun Arza bicarakan. Alea lebih pendiam dari biasanya dan Arza memahami dengan sangat perubahan sikap tersebut. Adiknya itu baru saja kehilangan ibu kandung, begitupun dengannya. Meski tak cukup lama mengenal Natasya Mahendra, tapi wanita paruh baya itu memberinya kasih sayang yang tak bisa ia dapatkan sebagai anak yatim piatu. Yang tak pernah bisa ia lupakan meski sosok itu sudah pergi ke tempat yang sangat jauh.
Arza kembali mengantarkan Alea tepat jam sepuluh malam. Menurunkan Alea di depan gerbang rumah Alec yang tinggi.
"Alea?" Arza menahan pergelangan tangan Alea sebelum wanita itu membuka pintu mobil.
Alea menoleh. Kembali bersandar ke punggung jok dengan kerutan di kening.
"Malam ini, jangan lupa minum obat tidurmu. Apa kau menyimpan obatmu?"
"Ya." Alea mengangguk. Tadinya niat Alea membawa obat tidurnya adalah untuk meredakan kepanikannya karena harus berada satu ranjang dengan Alec. Tak pernah menyangka ia membutuhkan obat tersebut karena kematian mamanya.
"Cukup satu butir. Okey? Itu sudah lebih dari cukup membantumu melewati malam ini."
Lagi Alea mengangguk. Pengawal membuka pintu untuknya, tapi ia menunggu mobil Arza menghilang di ujung jalan yang gelap.
"Apa Alec sudah datang?"
"Belum, Nyonya. Tampaknya tuan akan pulang lebih terlambat."
"Apa kau tahu ke mana dia pergi?"
Pengawal itu menggeleng dengan ekspresinya yang sedatar permukaan es.
Alea pun berjalan masuk ke rumah, naik ke lantai dua. Di kamar, ia segera mengganti bajunya dengan baju tidur, ke kamar mandi untuk membersihkan wajah dan menggosok gigi. Kemudian mengambil obat tidurnya yang ia simpan di lemari atas wastafel. Mengambil satu butir seperti yang diperintahkan Arza. Pria itu ingin ia sedikit tenang dan menghadapi kenyataan lebih kuat dari sebelumnya.
Arsen benar, sekarang mamanya tidak akan menderita lagi. Mamanya sudah beristirahat dengan tenang dan bersama dengan papanya di atas sana. Sekarang tugasnya hanya bahagia untuk dirinya sendiri. Menunjukkan pada kedua orang tuanya bahwa ia bahagia dengan kehidupannya saat ini. Agar mereka di atas sana punya alasan untuk tersenyum menyaksikan kebahagiannya.
Sebelum naik ke ranjang, sejenak ia menatap ranjang kosong. Alea bisa merasakan rasa dingin yang menyambut dan akan memeluknya sepanjang malam bahkan sebelum ia naik ke sana.
Mungkin karena Alec suaminya, mungkin karena mamanya hari ini sudah pergi meninggalkannya, atau mungkin karena butuh bahu seseorang untuk bersandar. Atau mungkin karena telpon yang diterima Alec tadi sore. Mendadak ketiadaan Alec di ranjang mereka membuat Alea merasakan sebuah perasaanya yang ...
Di namakan ... kesepian?
Alea menggelengkan kepalanya dengan keras. Ia tidak mungkin mengharapkan keberadaan Alec di sisinya. Ia tak mungkin merasa kesepian hanya karena suami berengseknya itu.
Alea bergegas melompat ke ranjang, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal dan mencoba memejamkan mata.
***
"Kauyakin ini dia?"
"Ya, Bos."
"Apa pernikahan Alec dan wanita itu ada hubungannya dengan Ganuo?"
"Saya melihat Ganuo datang ke rumah wanita itu di hari pernikahan Cage, tapi sepertinya semua rencana pernikahan dan kesepakatan di antara Cage dan Mahendra junior terjadi secara kebetulan. Hanya untuk keuntungan kedua belah pihak. Untuk sejauh ini, saya tidak melihat keterlibatan Ganuo."
"Awasi terus diam-diam dari jauh. Jangan memancing Cage atau Ganuo. Jika terjadi sesuatu yang mencurigakan, kita harus mendapatkannya sebelum Ganuo. Atau nyawamulah yang akan kuserahkan pada Ganuo sebagai makanan pembuka."
"Baik, Bos."
Kemudian pria yang dipanggil bos itu mengeluarkan amplop coklat yang tebal pada pria. "Kau akan mendapatkan sisanya minggu depan. Setelah aku memastikan semua aman terkendali."
Pria itu menerima amplop coklat tersebut dengan senyum serakahnya. Mengintip sekilas isinya lalu memasukkannya ke dalam saku jas hitamnya yang sudah lusuh. Kemudian berpamit turun dari dalam mobil.
Si bos masih diam di tempatnya. Tak menyangka saksi sialan itu masih hidup. Tak bisa tak mengakui keberuntungan anak sialan itu karena bersembunyi dengan baik dalam keluarga terpandang itu.
Ia sudah menyingkirkan Banyu Dirgantara, kuasa pria itu juga sudah jatuh ke dalam genggamannya. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyingkirkan anak sialan itu.
***
Tuesday, 25 August 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro