Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1

A Lover

Alec & Alea

###

Part 1

###

"Arsen dari MH ada di sini." Suara sekretaris Alec membuyarkan lamunan Alec. Sungguh hari yang buruk untuk memulai pekerjaan barunya. Ia tahu Arsen Mahendra akan mendatanginya, meski ia cukup dikecewakan dengan pertemuan yang lebih lama dari yang ia perhitungkan. Seminggu sejak ia mengacaukan pesta itu dan melemparkan ancaman lewat mulut yang tak digubris oleh Arsen. Akhirnya sekarang Alec berhasil menarik perhatian Arsen.

"Masuk," perintah Alec singkat.

Tak menunggu lama pintu terbuka. Arsen masuk dengan wajah kusut dan bersungut-sungut melangkah mendekati mejanya. Alec tak merasa perlu tahu apa penyebab kekusutan itu dan bukan urusannya. Tetapi, mengejek pria itu akan menjadi sedikit hiburan untuk pagi harinya.

"Dilihat dari tampangmu, sepertinya ada beban yang tak bisa kaukatakan. Tapi aku tak tertarik untuk mencari tahu," ejek Alec.

"Apa kau yang mengadakan rapat pemegang saham untuk penunjukan CEO baru?"

"Itu agenda perlima tahun."

"Agenda tahunan yang tak pernah dan tak seharusnya diadakan lagi mengingat ayahmu yang sudah menunjukku untuk menduduki jabatan ini. Selama sepuluh tahun kinerjaku sama sekali tak goyah dan semakin menunjukkan perkembangan yang semakin baik setiap tahunnya. Bahkan jajaran dewan direksi tak mampu mengeluhkan pekerjaanku."

"Ayahku sudah mati dan akulah pemegang saham utama MH. Ah, sepertinya aku harus mulai menggantinya dengan CGH. MH sedikit membosankan di telingaku." Alec menggaruk-garuk telinganya yang tak gatal.

"Nama MH adalah kesepakatanku dan ayahmu kenapa aku bisa duduk di kursi CEO. Kau tak bisa mengusir kami seenaknya. Selama kau pergi, kamilah yang memegang kendali Mahendra Hotels hingga manajemen perusahaan tertangani dengan sangat baik."

"Apa aku harus berterima kasih untuk itu? Kau dibayar lebih dari cukup untuk melakukan tugasmu."

"Cage Group berada dalam kendalimu, tapi Mahendra Hotels akan tetap bernaung dibawah Cage Group. Kami tak akan mengusik Cage Group dan tetap menjalankan MH di bawah kendalimu. Dengan syarat jabatan CEO akan tetap di bawah keluarga kami."

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan membiarkan kalian menduduki jabatan yang bukan hakmu?"

"Aku hanya butuh kompensasi untuk kerja keras yang kulakukan demi menyelamatkan perusahaan ini. Saat kau bersikap pengecut dengan urusanmu sendiri."

Rahang Alec mengencang. Berteriak marah hanya akan memperjelas sikap pengecut yang pernah ia ambil. "Aku hanya memiliki sedikit hobi. Apa kau tidak penasaran bagaimana aku bersenang-senang dengan hobiku?"

Arsen menyeringai sinis. "Bukan urusanku."

Baguslah, batin Alec. Memecahkan kepala Arsen akan sedikit merepotkan untuk membersihkan mayat pria itu. Dan Saga tak akan menyukai hobi gelapnya disangkutpautkan dengan kematian Arsen.

"Yang aku tahu, aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan, kau tak kehilangan apa pun, dan bahkan ..." Arsen berhenti. Merogoh saku jasnya dan mengeluarkan selembar foto ke hadapan Alec. "... aku akan memberimu sedikit hadiah."

Alec melirik lembaran yang diseret Arsen dengan jari telunjuk ke hadapannya. Membalik foto itu dan matanya menyipit mengamati foto itu lekat-lekat. Wanita ini, dengan wajahnya yang tanpa polesan make up mampu membuat mata pria mana pun terpusat pada wajah cantik itu. Ingatan Alec kembali berputar mencari detik-detik ketika wanita itu melintas di depannya. Seolah tak menyadari keterpakuan para makhluk liar di sekitar yang sibuk menjadikan wanita itu obyek busuk dan liar di kepala mereka.

Alec masih bergeming. Tak akan berpura-pura tidak mengetahui wanita dalam foto tersebut atau merasa begitu penasaran di hadapan Arsen.

"Dia adalah bungsu keluarga kami," jelas Arsen.

Gen keluarga Mahendra tentu tak bisa Alec remehkan. Ketampanan yang dimiliki Arsen pun lebih dari cukup dibilang sempurna. Ia sebagai seorang pria pun mengakui keunggulan wajah yang dimiliki pria satu ini.

"Apakah sekarang kesepatakan ini tampak adil?"

Alec tampak menimbang-nimbang jawabannya sambil mengibas-ngibaskan foto itu di samping tubuhnya. Ya, wanita itu lebih dari cukup menarik perhatiannya. Kecantikan, keanggunan, keseksian sekaligus kepolosannya benar-benar membuat Alec terpana pada pandangan pertama. Ia pikir, mungkin karena efek dirinya yang sudah lama tak bersenang-senang dengan wanita-wanitanya. Namun, saat ia mencoba menggaet sembarang wanita di pesta malam itu demi sekedar meredakan gairahnya, bayangan wanita itu membuat wanita telanjang di kasurnya tak lagi menarik. Saat itulah Alec memutuskan, akan membawa wanita itu ke ranjangnya.

"Aku tahu kau tertarik dengan bungsu kami."

"Tertarik?" Alis Alec terangkat sala satunya, lalu berdecak mencemooh. "Kata itu terlalu berlebihan mengekspresikan perasaanku? Aku hanya ... sedikit penasaran."

"Jadi, kau menyuruh anak buahmu mencari tahu tentang Alea hanya demi rasa penasaranmu itu?" dengkus Arsen tak kalah sinisnya. "Data keluarga kami tersimpan dengan sangat baik. Tak akan mudah mendapatkannya hanya karena kau ingin mencari tahu."

"Aku memang belum benar-benar ingin mencari tahu."

Arsen menyeringai. "Dan sekarang, infoku tentu lebih cepat dan lebih dalam dari yang didapat anak buahmu, kan."

Alec meletakkan kembali foto itu di mejanya. "Umpan yang cukup manis untuk seekor kucing. Sayangnya aku seekor singa," komentarnya.

Arsen menggeleng. "Ini bukan perangkap. Aku tak sengaja memperhatikanmu yang tertarik pada adikku dan hanya memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Aku tahu dia mendapat perhatianmu sebanyak yang tak kauharapkan."

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa adikmu begitu berharga di mataku? Ada ribuan wanita yang jatuh di kakiku yang kuyakin lebih baik dibandingkan adikmu."

Arsen menyeringai. "Kau yakin?"

Alec tak yakin, tapi ia tak akan membiarkan Arsen mengetahui itu. Tak akan pernah membiarkan Arsen tahu bahwa tekadnya untuk membawa wanita bernama Alea itu semakin menguat.

"Kami tak pernah mengkhianati keluarga."

Alec menarik punggungnya menempel di punggung kursi. Kedua siku bersandar di sisi kursi dengan jemari yang saling terjalin dan kakinya menggerakkan kursi bergoyang ke kanan dan kiri. Wajahnya mendongak menatap mata Arsen penuh pertimbangan. "Bolehkah aku menimbang-nimbang sebentar? Apakah yang kudapat akan sepadan dengan apa yang kuberikan padamu?"

Arsen meluruskan punggungnya dengan senyum simpul melengkung di kedua sudut bibirnya. "Besok aku akan mengirimnya ke sini. Kau bisa memberiku jawaban setelah melihatnya lebih dekat."

Alec mengangkat bahunya.

"Dia sangat manis dan penurut. Lebih dari sempurna untuk dibawa ke pesta."

Alec berdecak. Ya, ia suka wanita yang manis dan penurut. Berjengit ketakutan ketika ia menyentuhnya, Alec sangat menikmati ketakutan yang merebak di mata dan wajah seseorang ketika hendak menerkam seseorang tersebut. Bukannya wanita yang begitu mudahnya melebur dalam arus gairahnya. Bersikap murahan di balik riasan dan pakaiannya yang mahal.

"Aku menjaganya dengan sangat baik, itulah sebabnya kau akan jadi pria pertamanya."

Alec terbahak. Perawan tak akan tahu cara menyenangkan dirinya, tapi ia tak keberatan untuk mengajari perawan yang satu ini bagaimana cara bersenang-senang.

***

"Kenapa aku?"

Arsen hanya mengangkat bahunya tak peduli pada sang adik yang berdiri di seberang mejanya. "Kenapa? Apa aku tak boleh menyuruhmu? Apa kau tak ingin sedikit membantuku setelah semua fasilitas yang kuberikan untukmu? Sedikit berterimakasih tak akan merendahkan dirimu, Alea."

Alea mengabaikan kecurigaannya. Tak biasanya Arsen menyuruhnya membawa berkas penting pada seseorang. Bahkan pria itu tak pernah membiarkan ia ikut campur urusan MH sedikit pun. Hidupnya hanya untuk dirinya sendiri, melakukan apa pun yang ia sukai, membeli apa yang ia inginkan, dengan catatan ia tak membuat masalah yang membuat Arsen terlibat untuk membereskan kekacauannya. Atau melewati batasannya sebagai seorang wanita yang belum menikah. Garis keras yang selalu ditegaskan oleh Arsen.

Selama ini hidupnya begitu teratur. Berkencan dengan pria yang ia cintai. Menikmati setiap momen kebahagiaan mereka. Dan bersenang-senang dengan kehidupannya yang sempurna. Tidak ada lagi yang Alea inginkan selain berakhir sebagai seorang istri dari pria yang ia cintai untuk saat ini.

"Arza akan mengantarmu."

Kecurigaan Alea menguap. Apa pun niat yang disembunyikan Arsen, jika ada Arza di sisinya semua akan baik-baik saja. Perlahan penolakan yang hendak keluar kembali tertelan di tenggorokannya. "Baiklah. Apa aku hanya perlu menyerahkan berkas ini pada ...." Alea menggantung kalimatnya. Ia tak terlalu memperhatikan ketika Arsen menyebutkan nama seseorang untuk pertama kalinya yang mengikuti perintah sang kakak tadi.

"Alec Cage. Kau bisa mengkonfirmasinya di lobi. Mereka akan langsung mengarahkanmu ke ruangannya."

Alea tertegun. Merasa nama itu tak terlalu asing di telinganya.

"Kenapa? Apa kau mengenalnya?"

Alea mengambil berkas di meja dan menggeleng. "Aku hanya tahu keluarga Cage."

Arsen mengiyakan. Alea memang tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu tentang urusan bisnis keluarga mereka. "Keluarlah. Aku harus bicara dengan Arza. Dia akan menyusulnya dalam lima menit."

Alea mengangguk dan memutar tubuhnya. Berhenti sejenak memberikan kecupan kecil di pipi Arza sebelum melewati pintu ruangan Arsen.

"Kau harus membiasakan diri menjaga jarak dengan Alea mulai sekarang. Jauhi dia. Cage tak akan suka seseorang menyentuh miliknya."

Arza mengangguk dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Mengendalikan reaksi wajahnya dari jejak kecupan di pipi yang ditinggalkan oleh Alea.

"Pastikan dia masuk ke ruangan Cage seorang diri."

Sekali lagi Arza mengangguk dengan patuh.

"Dan, kau bisa memperkenalkan seseorang sebagai pacarmu pada Alea."

Arza tertegun sesaat. Kali ini tak mengangguk. "Aku akan mengurus hubungan kami."

Arsen mengangkat sedikit wajahnya, menangkap ekspresi datar Arza.

"Hubungan kami dimulai dengan baik-baik, sudah seharusnya hubungan kami berakhir tanpa saling menghancurkan perasaan satu sama lain."

Arsen menyeringai puas dengan jawaban Arza. "Ya, kau melakukan tugasmu sebagai kakak dengan sangat baik. Satu-satunya hal yang tak bisa kuberikan pada Alea dan Karen. Mungkin itu alasan ayah membawamu ke rumah."

Arza memaklumi. Jika sikap Arsen selemah dirinya, tentu pria itu tak akan cukup andal mengendalikan krisis perusahaan. Mendapatkan kepercayaan pemegang saham untuk bertanggung jawab penuh atas jabatan yang diduduki oleh Arsen. Lagi pula, tidak ada darah Mahendra di nadinya. Membawa nama Mahendra di belakang namanya sudah lebih dari cukup dari segala-galanya. Seumur hidupnya tak akan cukup untuk membalas kebaikan yang diberikan keluarga ini padanya. Dan memiliki Alea tentu hanyalah angan-angan yang tak akan mungkin menjadi kenyataan. Alea Mahendra pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dari dirinya.

"Kau boleh keluar sekarang."

"Terima kasih, Kak." Arza menundukkan kepala dan berputar.

Arsen tertegun selama beberapa saat setelah tubuh Arza menghilang di balik pintu. Satu-satunya alasan utama ia membiarkan Arza berkencan dengan Alea adalah karena tahu pria itu tak akan berani menyentuh Alea. Ia tahu pria itu akan menjaga mahkota Alea hingga waktunya tiba untuk diberikan pada orang yang tepat.

***

"Kenapa Arsen tidak menyuruhmu?" tanya Alea ketika mobil yang mereka tumpangi mulai meninggalkan halaman hotel.

"Karena kau Alea Mahendra."

"Kau juga seorang Mahendra."

Arza hanya tersenyum simpul. Alea selalu tahu cara membangkitkan ketidakpercayaan dirinya ketika dihadapkan nama keluarga mereka yang sangat besar.

Setengah jam kemudian, ketika memasuki gedung Cage Group berlantai tiga puluh dengan kaca hitam mengeliling seluruh sisi gedung itu, Alea mengamati dengan takjub seluruh desain penuh keindahan dan kemegahan gedung ini. Lantai marmer berwarna putih dan meja resepsionis tak jauh dari pintu putar berwarna hitam. Gedung Arsen sama sekali bukan tandingannya meski MH tak kalah mewah dan megahnya.

"Atas nama?" tanya resepsionis ketika Arza mengutarakan niat kedatangan mereka berdua.

"Alea Mahendra," jawab Arza mendahului Alea.

Alea memutar wajah dengan kernyitan di dahi.

Arza hanya mengangkat bahu menangkap tanda tanya dalam tatapan Alea. "Arsen terlanjur memakai namamu sebagai jadwal janji temu ini."

Salah satu wanita itu mengkonfirmasi sesaat lewat telepon lalu mengarahkan mereka pada lift khusus yang harus mereka naiki untuk sampai di lantai tempat Alec Cage berada.

Alea dan Arza berjalan bersamaan ketika lift berdenting dan pintunya terbuka. Seorang pria paruh baya keluar dan tanpa sengaja menabrak bahu Arza dan menumpahkan kopi yang dipegang. Pria itu membungkuk meminta maaf dan Arza butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan pria paruh baya itu bahwa dia baik-baik saja tanpa perlu merasa bersalah.

"Kemejamu," tukas Alea melihat noda kopi tampak mengotori bagian depan kemeja Arza setelah pria paruh baya itu berlalu.

"Aku akan ke toilet, kau naiklah lebih dulu. Aku akan menyusulmu setelah selesai dan hubungi aku jika butuh sesuatu." Arza mengarahkan Alea masuk ke dalam lift. Memastikan pintu lift tertutup dan ia berdiri tertegun selama beberapa saat sebelum benar-benar berjalan ke arah toilet. Merelakan satu-satunya hal yang harus ia lakukan. Sangat berat, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukannya. Saat ini, Alea adalah adiknya. Tidak ada lagi posisi lain yang merangkap selain dirinya yang sebagai kakak kedua Alea.

***

"Apa yang kauinginkan?" Alec menjawab panggilan telpon Arsen dengan enggan sejak pertama mengangkat. Sedikit basa-basa Arsen mulai membuatnya semakin malas dan meladeni pembicaraan pria itu lebih jauh.

"Pernikahan."

Alec mendengus sinis dan bosan. "Sepengetahuanku, tidak ada apa pun dalam pernikahan kecuali membuat kepalamu yang pusing semakin berdenyut. Dua temanku melakukan kesalahan yang cukup fatal dan aku tak ingin dibuat pening oleh makhluk bernama wanita." Alec tersenyum mengingat keriuhan rumah tangga Saga dan Arga.

"Tidak ada yang bisa memiliki adikku kecuali dengan ikatan sah yang menguntungkan untuk bisnisku."

"Bolehkah aku mencicipinya?"

"Jangan menyentuh apa yang bukan milikmu, Cage. Atau kau akan menyesal telah melewati batasanmu. Kau tahu aku lebih dari sekedar mampu memporak-porandakan MH dan akan memberimu sakit kepala yang luar biasa."

"Ck, kau mengancamku?"

"Anggap saja begitu."

"Tuan, Nona Alea Mahendra ada di sini." Suara sekretaris Alec dari arah speaker telepon mengalihkan pembicaraanya dengan Arsen.

"Masuk," serunya setelah menekan salah satu tombol di telepon. Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Tubuh ramping dengan celana jeans tiga seperempat dan atasan berwarna putih tulang yang ujung bagian depannya terselip di ujung celana jeans, mengambil satu langkah masuk di ruangannya. Mata Alec terpaku takjub mengamati tubuh mungil itu dari atas ke bawah dengan saksama. Tampilan casual yang dipilih Alea sama sekali tak mengurangi ketertarikan Alec pada sosok menawan itu. Rambut terurai yang bahkan harumnya sudah mencapai hidung Alec dan membuat produksi air liurnya meningkat drastis. Alec benar-benar tak sabar memiliki kecantikan sempurna itu dalam genggamannya. Tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan sesempurna ini.

"Jadi?" Arsen berhenti sesaat. Ada kemenangan dalam suaranya yang ditarik-tarik. "Apa dia menjadi milikmu?"

"Aku akan memutuskan hari baik kami. Segera." Alec mengakhiri perbincangannya dengan Arsen. Apa pun yang ada di pernikahan mereka, rasanya gairah saja sudah cukup melengkapi pernikahannya nanti. Alec menekan tombol di bawah meja dan mengunci pintu ruangannya. Ia tak butuh gangguan-gangguan kecil lainnya.

Alea masuk lebih dalam. Berjalan melintasi ruangan besar itu dengan langkahnya yang ringan dan polos. Tanpa sadar ia telah masuk dalam perangkap sang kakak yang menjalin kesepatakan dengan iblis. "Ehm, kakakku mengutusku untuk membawa berkas ini langsung padamu. Maaf jika mengganggu acaramu," jelas Alea dengan suaranya

Alec menggeleng sedikit. Seperti sebelumnya, Alea tak pernah menyadari kecantikan yang menarik perhatian para makhluk di sekitar wanita itu. Beruntung kali ini hanya dirinya seorang di ruangan tertutup ini yang jatuh terlalu jauh dalam pesona Alea. "Aku sudah menunggumu sejak tadi pagi, dan kau datang tepat waktu. Tak ada yang perlu disesalkan."

Alec hampir tak bernapas ketika wangi Alea yang semakin merangsek ke dalam hidungnya membuat Alec tak bisa menahan diri. Wangi wanita itu masih sama seperti yang ia ingat dan tertanam di benaknya.

Tulang punggung Alea membeku sejenak. Mencerna dengan teliti setiap kata yang menyiratkan makna sangat dalam dari Alec Cage. Masih tak memahami meski ia sudah memutar kembali kata-kata itu di kepalanya untuk kedua kalinya.

Alec membuka berkas yang dibawa Alea. Menjawab pertanyaan di mata Alea yang masih belum menemukan jawaban.

Alea terkejut, menatap map yang isinya hanya lembaran kosong. Arsen sialan! Pria itu menjebaknya. Bukan map itu yang ia antar kemari, melainkan dirinya sendiri. Alea mengangkat sedikit wajahnya, seringai di wajah Alec Cage meyakinkan tuduhannya pada Arsen. Sialan!! Alea menyesal mengabaikan kecurigaannya akan sikap aneh Arsen. Pria itu tak pernah melibatkan dirinya dengan urusan bisnis apa pun. Jika sudah seperti ini, keputusan Arsen tak akan bisa diganggu gugat. Arsen sudah memutuskan masa depannya dan bayangan mengerikan tentang sosok di depannya sama sekali tak bisa ia terima dengan sukarela.

Alea melirik ke arah pintu dan menghitung berapa langkah yang ia butuhkan untuk sampai ke pintu dan berteriak meminta tolong pada Arza.

"Hanya membuang waktu jika kau berlari ke pintu. Pintu itu terkunci tepat setelah kau mengambil langkah pertama memasuki ruangan ini."

"Apa yang kauinginkan?" Alea mengendalikan ketakutan yang merebak hampir ke seluruh tubuhnya. Kakinya mulai goyah, tapi ia berusaha keras agar ketakutan itu tak muncul ke permukaan. Alec Cage bukan pria sembarangan. Pria itu tahu apa yang dilakukan dan apa yang akan dilakukan dengan penuh perhitungan melihat manik mata Alec yang bersinar cemerlang tanpa suatu ekspresi pun yang mengganjal.

Alec bediri, menyelipkan kedua tangannya di saku dan berjalan mengelilingi meja mendekati Alea. Gurat ketakutan yang berusaha keras wanita itu sembunyikan membuat Alec tertawa geli. "Aku tak akan menyakitimu."

"Jangan mendekat!" teriak Alea ketika merasa ketakutan di dalam dirinya tak terbendung lagi. Dan langkah pria itu yang sama sekali tak mengurangi kecepatannya membuat Alea semakin panik. Alea

Alec menangkap lengan Alea, menarik

"Kumohon, jangan lakukan ini." Tangisan menyelimuti rintihan Alea. Tubuhnya yang lemah di

"Aku ingin menahannya sampai kau benar-benar menjadi milikku, tapi lagi-lagi kau membuatku hilang kendali."

"Aku ... aku akan membayar apapun yang diambil Arsen darimu." Suara Alea bergetar. Kekuatannya yang sama sekali tak memengaruhi tekanan Alec di tubuhnya tak membuatnya putus asa.

"Ya, memang harus." Sedetik Alec menyelesaikan kalimatnya, detik berikutnya Alec memiringkna kepala dan bibirnya menyapu bibir ranum Alea.

Teriakan Alea terbungkam lumatan Alec yang mengunci bibirnya. Gerakan pria itu di bibirnya sangat kasar tapi tak cukup menyakiti Alea. Penuh keagresifan saat memancing mulutnya membuka dengan satu gigitan di ujung bibir. Alea masih berusaha menolak sentuhan Alec meski lidah pria itu sudah menari-nari di dalam mulutnya. Cengkeraman tangan pria itu di rahang Alea membuatnya kesulitan untuk menggigit dan menyakiti pria itu atas tindakan kurang ajar yang dipaksakan padanya. Meski ia tahu itu bukan tindakan yang akan membuatnya tak menyesal. Akal sehatnya tahu bahwa nama Cage di belakang kekurang ajaran ini memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kali ini Arsen benar-benar menjalin kesepatakan dengan iblis.

Alea meraup udara sebanyak mungkin ketika Alec memisahkan bibir mereka. Dadanya naik turun dengan terengah-engah mengisi udara di paru-parunya.

Alec mengusap bibir bagian bawa Alea dengan ibu jarinya. "Ternyata lebih manis dari yang kubayangkan selama ini," gumam Alec dengan suara beratnya yang dalam. Masih tak berminat memisahkan jarak di antara mereka.

Alea mendorong dada Alec, bangkit dan bergegas turun dari meja. Merapikan bajunya sambil mengambil jarak sejauh mungkin dari Alec. "Aku ingin keluar," paksa Alea sedikit memohon.

Alec menyandarkan pantatnya di meja. Memperhatikan kepala Alea yang tertunduk dan rambut yang lembut jatuh menutupi setengah wajah cantik itu. Seulas senyum melengkung melihat gemetar di kedua kaki jenjang itu. "Aku hanya menciummu, Alea."

Alea benar-benar akan menangis dan merasa sangat tolol jika ia menangis di hadapan pria itu. Memohon adalah satu-satunya jalan baginya untuk keluar. "Aku mohon."

"Jadi, kurasa kau sudah tahu apa yang ada di depanmu."

Alea menggeleng pelan. Ia tahu, tapi ia memilih menolak. "Kumohon, aku ingin keluar." Kali ini suara Alea hampir bercampur tangisan dan ketakutan.

Alec diam sejenak. Sepertinya cukup untuk pertemuan pertamanya dengan Alea. Ia tak mungkin membuat kesan sebagai pria menakutkan untuk acara kencan pertamanya, bukan. Jadi, ia mengulurkan tangannya ke balik meja dan menyentuh tombol untuk membuka pintu ruangannya. "Pergilah."

Alea langsung berlari ke arah pintu. Meski ada sedikit keraguan bahwa Alec mempermainkannya, ia bisa bernapas dengan lega ketika pintu bisa terbuka seperti yang diinginkan. Tanpa menutupnya, Alea berlari melintasi lorong dan tepat ketika ia berbelok di ujung, ia melihat Arza yang baru saja keluar dari lift. Seakan menemukan napasnya, Alea berlari lebih cepat dan menghambur ke dalam pelukan Arza.

Arza sedikit terhuyung ketika menyambut tubuh Alea yang langsung menabrak dan memeluknya sangat erat begitu ia mengambil beberapa langkah keluar dari lift.

Arza menjauhkan sedikit tubuhnya dari Alea. Mata Alea sedikit basah dan bibirnya yang merah lebih merah dari biasanya dengan bengkak yang ia tahu kenapa bisa ada di sana. "Apa yang terjadi?"

Alea menggeleng tak ingin diingatkan pada adegan menjijikkan yang baru saja ia dapatkan di dalam ruangan Alec Cage.

Arza memahami kebungkaman Alea. Wanita itu masih syok dengan apa yang telah terjadi. "Kauingin minum?"

"Aku ingin ke toilet," lirih Alea hampir tak terdengar dengan jelas. Membasuh seluruh jejak Alec Cage adalah satu-satunya hal yang ingin ia lakukan saat ini. Secepat mungkin.

Arza mengangguk. Mencari penunjuk arah di sekitar mereka. Beruntung ada toilet tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mereka hanya butuh berjalan beberapa meter. "Masuklah, aku akan menunggu di sini."

Arza merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi panggilan cepat nomor duanya dan langsung tersambung di deringan kedua.

"Bagaimana?" Suara Arsen menyahut dari seberang.

"Dia menyentuh Alea," desisan Arza hampir menyerupai bentakan jika ia tak ingat dengan siapa ia berbicara.

"Tenanglah, Arza. Alec hanya menciumnya. Hari pernikahan pun baru saja ditentukan. Tidak ada yang salah mencumbu tunangan di ruang kerja."

Pertunangan? Secepat ini? Arza hampir tak memercayai pendengarannya meski ia tahu saat seperti ini akan terjadi. "Apa kau sudah membicarakannya dengan Alea?"

"Aku yakin setelah ini ia akan bergegas menemuiku."

"Dia adikmu, Arsen. Hormati sedikit perasaannya."

"Aku memberikan adik kesayanganku terbaik dari yang terbaik." Arsen menekan suaranya dengan jelas.

Arza tak akan membantah meskipun hatinya meronta ingin menyumpahi keputusan Arsen. Ia tak punya hak atau pun kewenangan untuk melakukan hal itu. "Kami akan sampai dalam satu jam."

Tak lama Alea muncul dari pintu toilet.

"Apa kau baik-baik saja?"

Alea mengangguk. Merasa tak sanggup bersuara walaupun hanya untuk menjawab ya.

Arza merangkulkan lengannya di bahu Alea, membawa wanita itu bersandar di lengan dan membawanya keluar dari gedung sialan ini. "Kita kembali ke kantor Arsen."

Alea mengiyakan dalam diam. Ia harus bicara dengan Arsen.

***

Alec mengernyitkan keningnya melihat kedua kakak beradik itu saling berpelukan di lorong. Hatinya mulai terusik melihat kerapuhan Alea yang ditampilkan sangat bebas di depan pria itu. Meski Arsen sudah mengkonfirmasi pria itu sebagai kakak lelaki Alea, rasa cemburu tetap menjalari hatinya. Mendadak Alec diingatkan, kapan ia bersikap begitu posesif terhadap miliknya? Tidak pernah.

***

Lanjuttt???

Sunday, 31 May 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro