5 || Permintaan
Kaffa mengulum senyum, semangatnya terbakar melihat betapa piawai Abizar memainkan si kulit bundar. Saat ini mereka tengah bermain bersama dengan cukup sengit, tak ada yang mau mengalah baik ia maupun Abizar.
Keduanya saling beradu merebut bola dan berkejar-kejaran mencetak angka memamerkan kemampuan masing-masing. Kaffa merasa benar-benar tertantang saat ini, awalnya ia sempat enggan untuk meladeni ajakan pelatihnya tersebut. Namun, melihat kemampuan Zibran membuat Kaffa tak dapat menahan diri dan langsung ingin bermain dengannya.
"Yess!" seru Zibran penuh semangat saat bola yang berada di genggamannya tadi berhasil masuk ke dalam ring membuat kemenangan menjadi miliknya.
Pria tersebut tersenyum senang, bukan hanya puas akan kemenangannya yang unggul dua poin dari Kaffa, ia merasa sangat bahagia dapat sedekat ini dengan Kaffa.
"Permainan, Bapak, bagus." Menyusul Zibran, Kaffa ikut duduk di lapangan basket. Ia tersenyum, bermain bersama Zibran cukup menyenangkan.
"Benarkah?" tanya Zibran menatap Kaffa dengan semangat, senyumnya merekah melihat reaksi Kaffa. Putranya mulai berbicara, memuji permainan Zibran dengan penuh semangat.
Zibran tersenyum lebar mendengar pujian Kaffa. Untuk pertama kalinnya mereka dapat sedekat ini dan berbincang dengan akrab, ia tak menyangka akan mendapat pujian dari Kaffa seperti ini padahal ia masih sangat kaku saat bermain.
Baru beberapa bulan Zibran kembali menyentuh bola oranye setelah sempat ia tanggalkan bertahun-tahun silam. Ia tidak lagi sepiawai dulu, begitu kaku dan berlari seperti tadi rasanya melelahkan. Berbeda dengan lima belas tahun lalu, saat di mana ia bermain dengan penuh semangat tanpa kenal lelah dan menjadi kebanggaan sekolah dan idola para siswi sekolahnya. Sama seperti Kaffa saat ini, tapi semuanya hancur akan kesalahannya.
Zibran menghela napas berat, mencoba menguarkan sesak yang menghimpit dadanya. Mengenang hal indah tersebut membuatnya juga mengingat segala hal pahit itu, saat di mana ia menodai sahabatnya sendiri, ketika segalanya rusak karena dirinya sendiri.
"Ah, sudah hampir bel. Aku ganti baju dulu yah, Pak." Zibran hanya dapat mengangguk, membiarkan Kaffa bejalan menjauh darinya dengan tergesa untuk segera mengganti jerseynya dengan seragam sekolahnya, tak ada kata yang dapat ia ucapkan pada Kaffa saat itu. Ia butuh waktu untuk tenang.
Tidak butuh waktu lama Kaffa akhirnya kembali dengan seragam lengkapnya. aturan di sekolah tersebut cukup ketat bila menyangkut kerapian dan disiplin, melanggar akan dikenakan sanksi.
"Maaf membuatmu bermain di pagi hari seperti ini," ucap Zibran sambil merapikan dasi Kaffa, lalu menyeka jejak keringat di wajah Kaffa.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Kaffa, "nanti main lagi yah. Nanti saya yang yang akan menang."
Zibran tersenyum, diusapnya puncak kepala Kaffa dengan lembut. "Berjuanglah, melawan Bapak itu tidak mudah."
"Dasar sombong," ucap Kaffa menatap Zibran dengan sambil tersenyum, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu dengan tergesa saat bel telah berbunyi nyaring.
***
Perhatian Kaffa teralih sepanjang pelajaran. Sentuhan Zibran tadi membuat pikiran dan hatinya mendadak tak menentu, ada rasa nyaman menjalar saat tangan lebar Zibran mengusap puncak kepalanya tadi. Entah mengapa perlakuan Zibran tadi membuatnya terdiam.
"Kaf!" Kaffa tersentak, ia sontak berbalik pada teman sebangkunya yang menatap.
"Bagi contekan, Kaf," pinta Dito yang masih belum menjawab satu soal pun. Kaffa hanya dapat menghela napas akan kelakuan Dito, selalu saja ia dimanfaatkan seperti ini. Benar-benar teman yang luar biasa.
"Coba pikir dulu, kak, jawabannya apa. Nyontek mulu enggak bikin pinter-"
"Bacot, sini bukumu!" Kaffa hanya dapat pasrah saat bukunya diambil alih oleh Dito. Ia tak dapat membantah akan kelakuan teman yang berselisih dua tahun darinya.
Statusnya sebagai murid termuda dan berprestasi di HSBC tidak sepenuhnya membuat Kaffa dielu-elukan, tak semua orang memanjakannya seperti anggota tim basket. Ada segelintir siswa maupun siswi kerap mem-bully dirinya, termasuk Dito yang selalu mengganggunya sejak mereka sekelas.
"Thanks."
Kaffa mengangguk, mengulum senyum menanggapi Dito yang telah selesai menyalin jawaban yang ada.
"Kenapa, tumben gak fokus? Biasanya liatin buku serius banget kayak apaan aja."
"Eh?" tanya Kaffa bingung akan pertanyaan Dito. Benarkah? Kaffa jadi bingung sendiri setelahnya, apakah benar terlihat seperti itu?
"Udah jangan bengong, lanjutin!" seru Dito dengan nada ketusnya membuat Kaffa kembali tersadar dari lamunan dan lanjut mengerjakan tugasnya.
***
Zibran langsung bersorak, memekik heboh bahkan melompat kegirangan begitu memasuki rumahnya. Semua berjalan sangat baik hari ini, dimulai dari keberaniannya mengajak Kaffa bermain basket, makan bersama saat jam istirahat di kantin dengan anak-anak tim basket, perbincangan mereka yang tidak lagi kaku dan mengalir apa adanya.
Hari yang sangat menyenangkan bagi Zibran setelah bertahun-tahun ia dapat akrab dengan putranya seperti tadi, saling bersenda gurau membahas berbagai hal yang menarik bagi putranya.
Anaknya ternyata cukup unik, ia pikir Kaffa ingin menjadi pemain basket karena termotivasi dengan Michael Jordan atau atlit basket dunia lainnya. Namun, ia salah. Kaffa jatuh cinta pada salah satu karakter dalam anime, termotivasi ingin menjadi pemain basket yang handal seperti tokoh favoritnya.
Zibran tersenyum bahkan tertawa, saat mengingat betapa semangat Kaffa menceritakan tokoh anime kesayangannya dengan semangat menggebu di hadapannya dan anggota tim basket lainnya. "Kuroko," gumamnya mencoba mengingat kembali nama yang disebutkan Kaffa tadi.
Ia pun memainkan ponselnya mengetik nama itu di laman pencarian pada ponsel pintarnya. Zibran cukup penasaran seperti apa idola putranya tersebut hingga berhasil membuat Kaffa tergila-gila pada basket.
"Astaga!" seru Zibran yang kemudian bangkit dari sofa tempatnya duduk. Bukan hasil dari pencarian tentang Kuroko yang membuat jantungnya berpacu dengan cepat. Melainkan notifikasi dari chat Bayu.
Dengan cepat Zibran bangkit dari posisinya, bergegas menemui Bayu secepat mungkin. Namun, langkahnya mendadak terhenti. Ia terpaku di ambang pintu saat pandangannya beradu dengan wanita yang telah ia lukai beberapa tahun lalu.
"De-" Belum sempat Zibran berucap, kalimatnya terpenggal begitu saja. Tangan wanita tersebut berhasil mendarat dengan kasar dan keras di wajahnya.
"Untuk apa Kau kembali? Kenapa Kau muncul di hadapan Kaffa? Apa yang Kau inginkan? Kenapa kau mengusik kami?" tanya Denia dengan penuh emosi, ia menatap nyalang pada pria yang telah menghacurkan hidupnya dengan begitu parah.
Diam-diam mengikuti Kaffa ke sekolah pagi tadi setelah Kaffa berangkat. Ia tadi bermaksud mencari tahu kebenaran perkataan Bayu bahwa Zibran yang bersama Kaffa adalah orang berbeda.
Namun, apa yang dilihatnya saat tiba di sana membuat Denia terluka.
Ia melihat Zibran yang menarik tangan Kaffa dengan akrab, membawa putranya ke gedung olahraga di sekolah tersebut dan bermain bersama dengan akrab. Denia tak kuasa menahan air matanya saat itu melihat Kaffa bersama, tapi ia juga tidak dapat menyela dan hadir dengan penuh emosi.
Kaffa tidak tahu apa pun tentang mereka. Kesalahan apa yang ia dan Zibran lakukan di masa lalu tidak harus Kaffa ketahui dengan gamblang, cukup melukai Kaffa dengan cerita bila ayahnya pergi meniggalkan mereka di saat Kaffa masih kecil. Anaknya tidak harus tahu betapa kotor orang tuanya dulu.
"Kita masuk dulu, hm," ujar Zibran mencoba menenangkan Denia yang begitu kacau di hadapannya.
"Jangan menyentuhku!" bentak Denia menepis kasar tangan Zibran yang akan menyentuhnya. Ia menghela napas mencoba menguarkan sesak yang menyiksa sebelum melangkah masuk ke dalam rumah Zibran, agar tak menarik perhatian warga sekitar.
Tidak cukup jauh Denia masuk ke dalam tempat Zibran. Hanya selangkah, ia tak lagi bergerak setelah Zibran menutup pintu, lagi ia menampar Zibran dengan kasar hingga melukai sudut bibir pria yang pernah ia puja dalam hidupnya.
"Apa maumu?" tanya Denia menatap tajam pada Zibran yang tidak mengatakan apa pun. "Setelah pergi begitu saja meniggalkan Aku dan Kaffa, kenapa Kau kembali dan mendekati anakku?" tanya Denia.
"Denia, Aku ... Aku ...." Zibran tergagu, ia kehilangan kata. Tak sanggup menatap wajah Denia.
"Semuanya sudah berakhir, Kau yang mengatakan itu bukan? Kau bilang akan pergi tak ingin terusik olehku dan Kaffa, tapi mengapa kau kembali, mengapa mengusik aku dan Kaffa? Apa yang Kau inginkan Zibran?" Denia berteriak, ia menatap tajam pria yang telah meninggalkan ribuan luka dalam hatinya. Tersangka utama akan sakit yang dideritanya bertahun-tahun.
"Aku ingin putraku, aku-"
"Berengsek!" maki Denia yang lagi-lagi menampar Zibran, ia tidak peduli akan memar di wajah pria tersebut, mengabaikan tangannya kebas kemudian. "Bagaimana bisa Kau mengatakannya setelah apa yang Kau lakukan padaku dan Kaffa?"
Zibran diam, tak menjawab sepatah kata pun akan pertanyaan Denia. Ia hanya dapat terdiam di posisinya tanpa mampu menyangkal sekali pun untuk menjelaskan dan membela diri. Lidahnya keluh dan hanya dapat terdiam, kembali menjadi pengecut di hadapan Denia.
"Dasar pecundang berengsek!" maki Denia pada Zibran yang hanya diam.
Denia mendengkus kasar, banyak hal yang ingin ia dengar pria berengsek yang bertahun-tahun menghilang setelah menceraikannya di saat usia pernikahan mereka baru berumur beberapa hari setelah Kaffa lahir. Pria bejat yang telah merenggut hal berharga dalam dirinya, bajingan yang memberikan harapan palsu padanya. Namun, pria itu hanya diam layaknya orang bodoh.
"Jangan berharap Kau dapat mendekati putraku, takkan kubiarkan Kau menyentuhnya!"
"Dia anakku juga, Denia!" teriak Zibran saat Denia keluar dari rumahnya. Zibran menggeram frustrasi setelah Denia pergi. Ia takut bila ia tidak dapat lagi bertemu Kaffa setelah ini.
____________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro