25 || Berakhir
Zibran memandang bingung pada layar ponselnya. Dito yang baru saja menghubunginya berhasil membuat ia dirundung cemas. Getar suara yang tak biasa serta kalimat Dito tidak jelas di telinganya, hingga sambungan telepon yang diputus sepihak tanpa menunggu ia mengerti.
Ia mencoba kembali menghubungi Dito, tapi sama sekali tak ada jawaban. Teman-teman Kaffa yang lain pun demikian. Zibran berdecak kesal saat nomor telpon Kaffa sama sekali tidak aktif.
Khawatir, tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan pekerjaannya begitu saja, memacu kendaraannya dengan ugal-ugalan untuk segera sampai ke tempat di mana putranya berada.
Masa bodoh akan ponselnya yang terus berdering dalam sakunya, risiko kehilangan pekerjaan pun tak lagi penting. Putrannya adalah hal terpenting, ia tidak peduli akan apa pun lagi sekarang.
"Dito!" Zibran berteriak lantang,
saat berhasil menemukan keberadaan Dito begitu dirinya tiba di area sekolah putranya. Langkahnya kian lebar menghampiri pemuda yang telah berhasil membuatnya cemas.
"Ada apa? Kaffa kenapa?" tanya Zibran tanpa basa-basi pada Dito di hadapannya. Raut wajah tak biasa dari anak tersebut saat pandangan mereka bertemu membuatnya semakin cemas.
"Pak Zibran ...." Dito menunduk, kedua tangannya saling bertaut begitu sadar dari keterkejutannya akan kehadiran Zibran saat ini. Ia bingung ingin menjelaskan segalanya seperti apa? Bukan takut akan kemarahan dari Zibran, tapi ia takut bila Zibran kecewa padanya karena tak dapat menepati janji menjaga Kaffa dengan baik.
"Ada apa? Kaffa baik-baik saja? Kenapa?" Zibran kembali bertanya, menunggu jawaban dari Dito yang kaku di hadapannya. Namun, hingga beberapa detik berlalu, Dito masih tetap diam membuat hening mengambil alih untuk sesaat. Sampai atensi keduanya teralihkan oleh seorang siswa yang tiba-tiba datang dengan panik.
"Dit, Kaffa ada di atas gedung!"
"Apa?" tanya Zibran tak mengerti.
Ia menatap siswa di hadapannya tak percaya akan kalimat yang baru di dengarnya. Namun, tak ada penjelasan didapatnya. Siswa tersebut segera berlari bersama Dito lebih dulu meninggalkan saat ia masih mencoba memahami, sebelum pada akhirnya Zibran menyusul langkah keduanya sampai pada akhirnya ia mendapati hal yang membuat dunianya berhenti seakan berputar.
Pijakan Zibran goyah, ia limbung dan nyaris terjatuh bila seseorang tak seorang siswa menahan tubuhnya. Pandangan Zibran terkunci sepenuhnya pada sesorang yang berada pada puncak tertinggi bangunan tersebut, tempat yang tak lazim untuk berada di sana.
"Kaffa!"
***
Semilir angin memainkan rambutnya. Kesejukan akan embusan angin di tengah teriknya matahari tak cukup mampu membuatnya merasa nyaman.
Genggaman kedua tangannya mengerat pada pegangan kursi roda, semampu mungkin ia menjaga keseimbangannya. Satu pegerakkan kecil saja ia lalukan dengan gegabah, maka semuanya benar-benar akan berakhir. Dan, bila pada akhirnya skenario terburuk dalam pikirannya benar-benar terjadi, dapat ia pastikan hidupnya pun akan berakhir saat ini.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Firza setelah berdecak keras.
Ia kembali mengeratkan genggaman,
jangtungnya berpacu tak normal, dirinya benar-benar tak paham akan hal yang terjadi. Pikirnya Kaffa hanya ingin melihat pemandangan dari tempat ini seperti biasa, ia tak pernah menduga bila Kaffa akan memilih berada di bibir atap gedung dan berkata ingin segalanya berakhir.
Firza rasanya ingin menarik Kaffa dari sana, menjauh dari jangkauan maut yang bisa saja merenggut. Namun, Firza tak dapat bertindak gegabah, tempat ia berpijak sungguh berbahaya. Risiko kehilangan nyawa adalah taruhan, ia sama sekali tak ingin Kaffa sampai terluka bila terjatuh dari atap bangunan berlantai tiga tersebut. Dirinya tak ingin kehilangan lagi, terlebih dengan cara seperti ini.
"Lepas, Kak."
"Lalu membiarkanmu jatuh begitu saja? Dasar gila, apa yang terjadi padamu mengapa kamu tiba-tiba seperti ini?"
Firza menaikkan nada suaranya, ia benar-benar kalut saat ini. Siapa yang dapat berpikir tenang saat berada dalam situasi saat ini? Kaffa bisa dengan mudah menjatuhkan diri dari kursi rodanya tanpa dapat ia cegah. Entah apa yang terjadi pada sahabatnya hingga bertindak gila, atas dasar apa Kaffa melakukan hal konyol seperti ini?
Ia benar-benar tak memahami apa yang terjadi pada Kaffa. Anak itu tampak baik-baik saja beberapa saat lalu ketika dirinya datang untuk memberikan ponsel Kaffa yang tertinggal di mobilnya.
"Aku lelah, Kak, aku ingin menyerah. Rasanya menyakitkan."
Firza terdiam untuk beberapa saat usai kalimat tersebut didengarnya. Setelah sekian lama Kaffa pada akhirnya menumpahkan keluh kesahnya. Ia menghela napas, pada akhirnya Kaffa mengeluh. Selama ini Kaffa selalu tampak baik-baik saja, anak itu tak pernah sekalipun mengeluh akan takdir yang harus ia jalani, berusaha tegar dan berjuang sendiri. Namun, mengapa begitu tiba-tiba hingga melakukan hal gila seperti ini?
"Makanya jangan sok dewasa, Bocah! Kamu selalu berpikir mampu melakukan segalanya seorang diri, pada akhirnya kamu lelah sendiri, kan?"
"Aku lelah menjadi beban untuk orang lain, Kak. Ayah, Kakak, dan teman-teman, aku benar-benar merepotkan."
Kaffa merunduk. Dadanya terasa sesak mengingat betapa ia telah menyulitkan hidup orang lain selama ini, Firza yang berjuang mati-matian untuk masuk fakultas kedokteran, ayahnya kini pontang-panting mencari pekerjaan untuk membiayainya, neneknya harus berupaya mempertahankan toko kue yang kini dalam masa sulit, serta teman-temannya yang harus ia repotkan setiap hari di sekolah.
Dirinya tak menyalahkan takdirnya saat ini, Kaffa menerima kondisinya yang tidak lagi sempurna. Selalu berjuang dan berupanya melakukan yang terbaik. Namun, tetap saja ia merasa benar-benar tak berguna dan hanya menjadi benalu untuk orang lain.
"Siapa yang kamu repotkan? Menjadi beban untuk siapa?"
Kaffa terkesiap. Suara ayahnya berhasil membuatnya menegang, detik selanjutnya ia merasakan lengan sang ayah telah melingkar di pundaknya. Dapat ia dengar deru napas ayahnya tak teratur, pipinya pun basah karena peluh dari ayahnya yang mengucur deras.
"Om-"
"Tempat ini berbahaya, Ayo kita pulang!" Zibran menyela kalimat Firza.
Masih dalam posisi yang sama perlahan ia memundurkan langkah membawa Kaffa menjauh dari bibir gedung. Setelah merasa cukup aman, dekapan itu pun dilepasnya, lalu memposisikan diri di hadapan Kaffa.
Zibran berusaha mengulum senyum pada putranya. Digenggamnya tangan Kaffa yang saling bertaut satu sama lain dengan erat, tapi berbeda dari biasanya Kaffa justeru memalingkan wajah bahkan menarik tangannya.
"Kata siapa kamu merepotkan? Apa ayah pernah bilang jika kamu adalah beban?"
Tangan Kaffa kembali diraih oleh Zibran, ia menggenggamnya dangan lembut lalu mencium jari-jemarinya. Zibran nyaris kehilangan akalnya melihat Kaffa di bibir gedung tadi, secepat mungkin ia berlari ke atap gedung untuk mencegah anaknya melakukan hal bodoh.
"Aku hanya beban, ayah harus bekerja mati-matian untukku-"
"Apa itu salah? Apa seorang ayah tidak boleh berjuang untuk anaknya?" tanya Zibran memenggal kalimat putranya. "Ayah, akan melakukan apa pun untukmu. Bahkan bila harus bertukar nyawa pun ayah akan melakukannya."
Pernyataan tersebut sontak membuat Kaffa menggeleng dengan keras. Ia tentu tak ingin hal itu terjadi, hal bodoh yang dikatakan ayahnya benar-benar gila.
"Ayah adalah orang tuamu, bertahun-tahun terlewat begitu saja. Menggendongmu, mendengar rengekanmu, bermain bersamamu dan melihatmu tumbuh tak pernah ayah lakukan bahkan hingga saat ini."
Zibran menengadah, ia pikir semuanya kini baik-baik saja. Dirinya pikir bila ia telah berhasil menjadi sosok ayah untuk putranya.
Tak pernah ada keluhan didengarnya. Putranya selalu tersenyum lebar tanpa beban, hingga membuat cemasnya tak beralasan. Vonis dokter, penyakit yang merenggut fungsi gerak kedua tungkainya tak mengusik hidup Kaffa terlalu dalam. Keterbatasan tidak menghalangi putranya, semangat dan kehidupan Kaffa tetap berjalan normal walau dengan kondisinya saat ini.
Pola pikir dan sikap dewasa Kaffa membuat Zibran berpikir putranya baik-baik saja. Senyum dan sikap anaknya selalu berhasil menepis kekhawatirannya terhadap Kaffa membuatnya harus menuai penyesalan dan rasa bersalah.
Zibran pada akhirnya tak mampu menahan air matanya. Masih pantaskah dirinya disebut sebagai ayah bila ia sama sekali tak dapat memahami putranya? Kaffa tidak baik-baik saja selama ini putranya terluka, anaknya menangis seorang diri, sedewasa apa pun Kaffa ia tetaplah anak enam belas tahun yang rapuh. Bodohnya ia yang selalu terlena hingga lupa akan kondisi putranya.
Bila saja ia dapat memahami anaknya lebih baik. Maka Kaffa tak akan berada di tempat ini dan ingin menyerah seperti ini.
"Kamu bukan beban, jangan pernah menganggap dirimu seperti itu. Ayah mohon, jangan buat ayah kembali gagal untuk kesekian kalinya."
Zibran menunduk mengecup punggung tangan putranya cukup lama lantas berkata. "Ijinkan ayah, menjadi seorang ayah yang baik untukmu. Ayah mohon."
Air mata Kaffa meluruh begitu saja. Tangisnya pecah akan penuturan Zibran yang begitu tulus.
"Ijinkan kami pula menjadi teman yang baik untukmu. Kamu tidak merepotkan sama sekali bukanlah beban."
Dito yang sejak tadi terdiam pun bersuara. Ia mengacak-acak rambut Kaffa, teman-teman yang lainnya pun mengangguk akan kalimatnya, membuat Kaffa kian terisak.
"Dasar bocah. Lihat! Orang-orang begitu menyayangimu," ujar Firza yang tersenyum melihat hal tersebut.
"Maaf ... maafkan aku."
Zibran mengangguk, ia mengulum senyum dan membawa Kaffa ke dalam dekapnya beusaha mengembalikan Kaffa seperti biasa ceria dan selalu bepikir positif.
***
"
Yosh!" serunya dengan senyum lebar terkembang. Riuh suara penonton yang menjadi saksi kemenangan timnya.
Di antara banyak penonton tersebut bersorak, perhatinya tertuju pada sang ayah yang telah membuatnya dapat berada di lapangan, bermain basket dan mengharumkan bangsa dengan prestasinya.
Senyum Kaffa kian melebar begitu behasil berada di hadapan ayah sekaligus pelatihnya yang tampak begitu bahagia. Sebuah kecupan pun didapatkannya dari sang nenek yang bereda di samping ayahnya.
"Anak ayah hebat!"
Kaffa tersenyum lantas berkata, "karena aku memiliki ayah yang hebat."
Elma dan lainnya tergelak begitu pun Firza dan teman-temannya yang lain. Mereka tak mengelak kalimat Kaffa, benar adanya bila Zibran adalah ayah yang luar biasa.
Pria tersebut tak pernah lelah berjuang untuk Kaffa. Bekerja keras demi Kaffa, membantu Kaffa menggapai mimpinya menjadi atlet basket yang mengharumkan nama bangsa. Dua tahun lalu, Zibran membawa Kaffa ke tempat para penyandang disabiliatas dapat mencapai mimpinya.
Kaffa yang telah membuang mimpinya menjadi pemain basket, kini kembali merajut asa. Latihan pun ia jalani kembali, dukungan semangat tak pernah putus didapatnya membuat Kaffa berjuang lebih keras.
"Ayo!" Zibran berseru mengusik Kaffa dan lainnya. "Kami ke sana sebentar."
Zibran pun mendorong kursi roda Kaffa pada para pemain basket lainnya yang akan menerima penghargaan. Ia benar-benar bersyukur dapat membawa Kaffa bermain lagi, meski dengan keterbatasannya.
Paraplegia memang menumpuhkan, tapi tak berhasil membunuh mimpi para pengidapnya. Seperti putranya yang luar biasa, selalu menganggap bila apa pun yang terjadi dalam hidup entah itu adalah baik dan buruk semuanya adalah anugrah
Zibran tersenyum mengacungkan jempol pada Kaffa yang tersenyum lebar padanya. Anaknya luar biasa, otomatis ayahnya harus lebih hebat. Ia akan terus berusaha menjadi ayah yang terbaik demi putranya.
Fin
____________________________________
Hai! Sorry telat buat up part akhirnya.
Terima kasih yang telah mampir dan memberi apresiasi selama ini. Maaf kalau kurang memuaskan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro