
22 || Tak Berbeda.
Kaffa menatap para teman satu timnya. Ia sengaja meminta Firza dan Zibran untuk mengumpulkan mereka. Sama seperti Zibran maupun Firza, Kaffa berpikir mereka juga perlu untuk mengetahui segala fakta tentang kondisinya.
Zibran berada di sisi kaffa, ia terus mendampingi putranya yang saat ini menjadi pusat perhatian para pemuda yang berkumpul dalam ruang rawat Kaffa.
Tak ada yang bersuara. Eril dan anggota tim basketnya kehilangan kata setelah mendengar penjelasan panjang Kaffa akan kondisinya. Semuanya terkejut melihat keadaan Kaffa sekarang, mereka tak pernah berpikir kondisi Kaffa akan separah ini.
Mereka sungguh berharap bila apa yang Kaffa katakan hanya sebuah candaan, tapi melihat raut wajah Firza membuat mereka terpaksa harus mempercayainya.
"Lalu, bagaimana dengan final nanti?" tanya Eril.
"Kalian akan bermain tanpaku. Mulai sekarang Aku tidak lagi menjadi anggota tim basket HSBC." Kaffa menjawab pertanyaan tersebut dengan tenang, keputusan yang ia ambil beberapa jam lalu terucap mantap. Ia memang telah memikirkannya cukup lama semenjak ia tahu akan dirinya akan berakhir seperti ini. "Maaf akan keputusanku, dan terima kasih untuk selama ini," lanjutnya.
Firza menengadah, berusaha untuk menahan air matanya. Ia telah berjanji pada Kaffa bahwa dirinya akan menerima keputusan tersebut, lagipula tak ada pilihan selain ini. Kaffa butuh waktu dan fokus pada rangkaian pengobatan yang harus ia jalani mulai sekarang.
"Pak Zibran." Eril menatap Zibran yang hanya diam sejak tadi. Ia ingin pelatihnya tersebut mengatakan sesuatu.
Zibran menarik napas panjang, menatap anggota timnya tersebut satu persatu. "Keputusan Kaffa adalah pilihan yang tepat, sebagai pelatih Bapak tidak akan mempertahankan Kaffa dalam tim saat ini. Dia hanya akan menjadi beban bila tetap dalam tim."
Eril dan para anggota tim basket menatap Zibran tak percaya. Bagaimana bisa dengan gamblangnya Zibran yang mereka ketahui adalah ayah Kaffa dapat berkata demikian terhadap putranya sendri.
"Kaffa," ucap Eril pelan membuat atensi Kaffa yang tertuju pada Zibran teralih padanya. Perlahan ia mendekat pada rekan satu timnya tersebut. Sekalipun selama ini ia kerap kali merasa cemburu dan tersaingi, tapi tetap saja ia tak ingin Kaffa seperti ini. Ia masih ingin bermain basket bersama Kaffa hingga mengakhiri masa SMA-nya.
"Kamu harus sembuh, aku masih ingin bermain denganmu, Kaff."
Kalimat Eril berhasil membuat Kaffa tercenung untuk beberapa saat. Eril kemudian membawanya dalam rengkuhannya membuat Kaffa terpaku untuk beberapa saat.
"Aku akan berusaha, Kak. Aku juga masih ingin bermain bersama kalian," ucap Kaffa membalas rengkuhan Eril. Air mata yang coba ia bendung akhirnya meluruh membuat teman-temannya tak sanggup untuk menahan air matanya
Firza telah terisak pilu. Ia menjadi begitu cengeng beberapa hari ini karena seorang Kaffa, hanya anak itu yang berhasil membuat hatinya luluh lantak. Begitu lemah dan rapuh.
"Sudah-sudah, kalian buat Bapak menangis," ucap Zibran yang mencoba untuk mengenyahkan pilu dalam ruangan tersebut. Ia berusaha tersenyum meski lelehan air matanya tak dapat terbendung, sebagai orang paling dewasa dalam ruangan itu saat ini ia tentu harus membuat para remaja itu lebih baik.
"Maaf, Pak," ucap Eril yang melepas rengkuhannya pada Kaffa. Ia pun dengan lembut mengusap jejak air mata Kaffa, sahabat paling muda yang ia miliki.
Sama seperti Eril para pemuda yang lainnya pun mengusap air mata mereka, memaksakan sebuah senyum guna mengenyahkan pilu. Setelahnya perbincangan mereka lebih ringan dengan goyunan yang coba Zibran bangun, walau cukup kaku tapi setidaknya lebih berwarna tidak lagi kelabu seperti tadi.
Cukup lama para pemuda itu berada di sana, meramaikan kamar rawat Kaffa dengan berbagai hal membuat Zibran merasa bersyukur putranya memiliki teman yang baik. Zibran kini tak lagi mencoba Membangun obrolan bersama para pemuda tersebut, ia hanya tersenyum melihat apa yang mereka lakukan hingga membuat Kaffa dapat tersenyum lebar dengan bermain game online bersama.
Merasa cukup aman untuk meninggalkan Kaffa bersama Firza dan teman-temanya, Zibran pun keluar dari ruang rawat Kaffa guna menemui dokter yang menangani Kaffa diruangannya.
Ia menghela napas sejenak sebelum akhirnya memasuki ruangan dokter tersebut guna membahas tindak lanjut mengenai pengobatan Kaffa kedepannya dalam menghadapi paraplegia yang masih cukup asing di telinganya.
"Pembedahan?" tanya Zibran begitu setelah dokter Alka usai mengatakan kalimatnya.
Dokter Alka mengangguk, ia pun menjelaskan. "Pembedahan dilakukan untuk mengatasi pembengkakan di lokasi cedera, menghilangkan lesi, atau mengangkat objek yang menyebabkan kerusakan sumsum tulang belakang."
"Lalu, apa Kaffa akan baik-baik saja setelahnya? Apa Kaffa dapat berjalan lagi setelahnya?" tanya Zibran kembali, membuatnya mendapat senyum ramah dari dokter tersebut.
"Maaf, Pak. Saya tidak dapat menjanjikan kesembuhan, dan mengatakan bahwa Kaffa akan kembali seperti dulu," ucap dokter Alka yang kemudian mengatakan, "pengobatan selanjutnya adalah fisioterapi yang bertujuan untuk membantu pengidap paraplegia mendapatkan kembali sebanyak mungkin fungsi dengan mengajarkan otak dan sumsum tulang belakang cara mengatasi cedera."
Zibran hanya dapat mengangguk mendengar penjelasan dokter Alka akan langkah-langkah yang akan diambil untuk pengobatan Kaffa. Ia tak dapat mengatakan apa pun, dirinya awam akan medis. Tak begitu mengetahui tentang paraplegia, tak seperti kanker dan penyakit lainnya yang lumrah ia dengar.
Dirinya hanya paham bila ia takkan dapat berharap bila Kaffa tak akan pernah dapat untuk kembali seperti dulu. Pengobatan yang akan Kaffa jalani tidak dapat membantu Kaffa seutuhnya.
"Pak Zibran." Dokter Alka tersenyum tipis begitu atensi Zibran kembali padanya. Sebuah buku ia sodorkan pada Zibran yang dengan kikuk diterima wali pasiennya itu. "Memang tidak ada kesembuhan pasti bagi mereka, seumur hidup mereka akan selamanya hidup dalam kondisi yang sama, tapi penderita paraplegia adalah orang-orang yang luar biasa, mereka jauh lebih tangguh dan kuat dari yang lainnya. Mereka hanya kehilangan fungsi kakinya, bukan ancaman nyawa seperti kanker dan yang lainnya. Itu yang harus Anda syukuri."
Zibran terhenyak mendengar penuturan dokter Alka. Ia merasa tertampar dengan kalimat dokter tersebut, tanpa sadar air matanya meluruh merutuki dirinya yang terlalu jatuh dengan masalah ini.
"Terima kasih, Dok," ujar Zibran yang kemudian keluar dari ruangan dokter Alka setelahnya.
Kalimat dokter Alka seakan kembali membawa semangatnya. Ia pun melangkah lebih mantap menuju ruang rawat putranya, cukup lama ia berada di tempat dokter Alka, ia yakin teman-teman Kaffa yang lain pasti telah pulang.
Benar saja, dalam ruangan itu kini hanya ada Firza dan Kaffa. Elma masih belum datang, dan yang lain telah pulang. Segera ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di sisi Kaffa. Mengecup kening putranya."
"Apa kata dokter Alka?" tanya Kaffa pada ayahnya.
"Kamu katanya harus menjalani operasi lebih dulu untuk mengatasi pembengkakan di lokasi cedera, menghilangkan lesi, atau mengangkat objek yang menyebabkan kerusakan sumsum tulang belakang," jelas Zibran sambil membelai rambut putranya.
"Apa tidak ada cara lain?" Pertanyaan itu langsung saja membuat Kaffa yang menikmati sentuhan ayahnya itu berbalik. Dapat ia lihat Firza yang berdiri kaku di sana dengan tangan terkepal.
"Jangan melakukannya," ucap Firza. Suaranya begetar dengan air mata yang luruh tanpa seijinnya. "Kakak mohon," lanjutnya.
"Firza, semuanya akan baik-baik saja. Kaffa harus melakukannya, Nak."
"Tidak! Apa yang menjamin hal itu? Baik-baik saja? Apa Om dapat memastikannya? Bagiamana bila Kaffa-"
"Aku baik-baik saja, Kak. Jangan cemas, aku akan keluar dari ruang operasi dengan selamat. Aku tidak akan meninggalkan Kakak."
Kaffa memotong kalimat Firza, ia paham kecemasan sahabatnya tersebut. Bayang-bayang akan kematian adiknya yang meninggal di meja operasi masih selalu membayangi Firza hingga saat ini.
"Sini peluk dulu!" Kaffa merentangkan tangannya sambil menatap Firza, dengan memasang wajah sok manisnya menunggu Firza datang padanya.
"Jijik, sumpah!" Firza bergidik, tapi tetap melangkah mendekat pada Kaffa.
"Jangan khawatir."
"Tepati ucapanmu, aku tidak akan memaafkanmu bila kamu tidak keluar dengan selamat. Cukup Azaf yang pergi," ujar Firza menatap Kaffa lekat.
"Siap, Kapten!" seru Kaffa yang memberi hormat dengan penuh semangat yang langsung dihadiahi kecupan di keningnya.
"Ih, Kak Firza apaan sih?!" Kaffa berseru mendorong Firza menjauh darinya. "Jijik tau gak! Ayah, Kak Firza mesum!"
Zibran tergelak, tawanya pecah melihat Kaffa yang langsung menggerutu dengan terus menggosok keningnya, sementara Firza yang terbahak akan ekspresi Kaffa tanpa peduli gerutuan putranya.
"Sini peluk dulu."
"Ogah!" balas Kaffa yang mencebik kesal pada Firza, membuat Zibran kembali terbahak.
_________________________________
Tiga part lagi kisah ini akan berakhir!
Kalian pengen ending seperti apa?
Gimana sih pendapat kalian akan cerita ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro