Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21|| Akibat

Ia kembali menambah kecepatan laju motornya. Zibran saat ini tengah berburu dengan waktu,  mengejar Firza yang telah berhasil membuatnya mendengar isak tangis Kaffa. Putranya tak menjelaskan apa pun, ia hanya diminta untuk menyusul Firza dan memastikan bahwa anak itu akan baik-baik saja dan membawanya kembali.  

Zibran mengerutkan keningnya dalam begitu laju kendaraannya terhenti. Mobil Firza yang ia kejar dengan susah payah kini berada di depan sebuah rumah, tanpa mematikan mesin mobilnya Firza tampak tergesa keluar begitu saja lalu membuka pintu rumah tersebut tanpa ijin.

Apa yang dilakukan Firza membuat Zibran bingung,  bergegas ia pun segera berlari menyusul sahabat putranya tersebut. Dan apa yang ia dapati di dalam sana benar-benar membuatnya terkejut melihat Firza melayangkan tinjuan pada seorang pemuda yang telah terjatuh di lantai.

"Apa yang Kau lakukan, hah!"

Zibran membelalak, matanya melebar melihat tubuh Firza terjerembab ke lantai dengan kasar setelah menerima tinjuan dari seorang pria yang berada di sana usao mengcengkram kerah baju Firza, menghalangi Firza terus menyerang pemuda yang terkapar di lantai.

Zibran dengan segera berlari menghampiri Firza, menahan pria itu sebelum kembali melayangkan tinjunya pada Firza. Ia menggenggam kepalan tangan pria tersebut dengan erat, nyaris saja wajah Firza kembali memar.

"Saya minta maaf, tapi tolong untuk kita bicarakan baik-baik," kata Zibran pada pria di hadapannya.

"Ayah."

Zibran mengalihkan pandangannya pada pemuda yang kini berada dalam rengkuhan wanita yang tadi memekik melihat aksi Firza. Pemuda tersebut menggenggam tangan pria di hadapannya dengan erat seakan meminta pria itu untuk tenang.

"Dito?"

Anggukkan pelan menjawab pertanyaan Zibran, membuat ia semakin bingung dan penasaran akan hal apa yang telah terjadi. Mengapa Firza sampai melakukan hal seperti ini?  Alasan apa hingga membuat Firza menyerang teman sekelas Kaffa?

"Dia yang telah membuat Kaffa seperti ini."

"Apa?" Zibran memekik, menatap tak percaya pada kalimat yang baru saja Firza katakan dengan penuh penekanan.

"Bisa jelaskan semuanya dengan tenang? Aku tidak mengerti apa yang terjadi sampai Kak Firza tiba-tiba datang  menyerang, lalu apa yang terjadi dengan Kaffa?"

"Kau-"

"Firza!" sentak Zibran menyela Firza yang berteriak. Ia menggenggam tangan pemuda tersebut dengan erat, "kita bicarakan baik-baik," ucapnya.

Suasana tegang sarat akan emosi pun tak terelakkan. Tatapan tajam ayah Dito tertuju pada Firza maupun Zibran, tampak jelas kemarahan dari pria tersebut.

Firza pun tak kalah tajam menatap Dito penuh amarah, tangannya terkepal erat dalam genggaman Zibran yang tak melepaskannya sejak tadi. Sementara ibu Dito tampak cemas.

"Jadi apa alasannya?" tanya ayah Dito memulai percakapan. Suaranya yang tegas dan tatapan tajamnya membuat Zibran bekerja keras untuk dapat tenang.

Zibran mengeratkan genggamannya pada Firza, ditatapnya pemuda itu lekat lalu mengangguk pelan. Menyuruh Firza untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Firza mendengkus kasar, ia menatap tajam pada Dito yang berada tepat di hadapannya. "Karenamu Kaffa harus kehilangan mimpinya, karenamu dia harus ...."

Belum sempat kalimatnya terhenti Firza telah menumpahkan tangisnya. Ia tak sanggup menahan air matanya bila mengingat Kaffa, apa yang dialami Kaffa saat ini  benar-benar membuatnya hancur. Ia terluka mendengar vonis tersebut,  hatinya sakit melihat Kaffa berpura-pura tegar menerima segalanya. Orang lain mungkin tak dapat melihat kehancuran Kaffa dengan senyum anak itu, tapi hal tersebut tidak berlaku untuknya.

Zibran kembali mengeratkan genggamannya pada Firza yang terisak di sampingnya. Ia dapat melihat betapa hancur dan terlukanya Firza saat ini. Zibran paham, ia tahu alasan tangisan itu dengan pasti, penyebab Firza sampai kehilangan kendali hingga menyerang Dito.

"Saya minta maaf, ia benar-benar terpukul akan apa yang telah terjadi hingga tak mampu mengendalikan diri."

"Lalu apa hubungannya dengan Dito? Mengapa menyerang putra saya seenaknya?" tanya ayah Dito dengan emosi.

"Apa karena waktu itu? Apa terjadi hal buruk pada Kaffa karena kejadian itu? Dia kenapa? Apa yang terjadi padanya?"

Zibran beralih menatap Dito. Ia dapat melihat kekhawatiran di mata pemuda tersebut. "Dokter mengatakan kalau saat ini ia mengidap paraplegia. Ia kehilangan kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh bagian bawah yang meliputi kedua tungkai dan organ panggul, saat ini ia tidak dapat lagi untuk berjalan seperti dulu," jelasnya.

Keterkejutan tampak jelas di wajah Dito setelah penuturannya. Zibran pun dapat mendengar tangis Firza kian parah, tangan yang selama ini dalam genggamannya pun mulai gemetar.

"Cedera tulang belakang?" tanya Dito yang dengan suara bergetar yang tak mendapat jawaban gamblang dari Zibran,  membuat air matanya meluruh. "Maaf," ucapnya penuh sesal.

Ia tak menyangka bila kejahilannya menarik kursi Kaffa saat itu akan berakhir mengerikan. Bukan maksudnya untuk mencelakai Kaffa, ia hanya iseng.

"Tidak, apa-apa. Kamu pasti tidak sengaja, bukan?"

Tangisan Dito pecah, air mata terus meluruh membasahi wajahnya. Ia terisak benar-benar menyesali akan apa yang telah ia lakukan. "Maafkan Saya, Pak. Kak Firza," ucapnya di tengah isakannya.

"Jadikan ini pelajaran saja untuk ke depannya. Dan tolong jaga Kaffa."

"Om!" sentak Firza menatap tajam pada Zibran tak terima akan kalimat pria tersebut. Bagaimana bisa bersikap Zibran begitu tenang pada penyebab kondisi Kaffa saat ini.

Seakan tak peduli akan bentakan Firza, Zibran malah tersenyum dan pamit pada Dito dan keluarganya.

"Saya benar-benar minta maaf atas apa yang telah dilakukan Dito," ucap ayah Dito yang tak lagi menunjukkan wajah tegasnya.

"Mereka masih anak-anak, tidak masalah. Cukup jadikan ini sebagai pelajaran." Zibran beralih menatap Dito yang menunduk dan bekata, "bercandanya nanti lebih hati-hati."

Dito hanya dapat mengangguk dengan air mata yang semakin meluruh. Ia tak dapat mengatakan apa pun lagi, membiarkan Zibran pergi bersama Firza meninggalkan kawasan rumahnya.

***

Pohon di pinggir jalan yang tak bersalah mejadi korban kemarahan Firza. Ia yang tak sanggup menahan emosinya akhirnya menjadikan pohon itu sebagai pelampiasannya,  tak peduli pada darah yang mulai membasahi punggung tangannya.

"Cukup, Nak."

Firza kembali menjatuhkan air matanya. Zibran yang ia hindari sejak meninggalkan rumah Dito memeluknya dari belakang, menggenggam tangannya yang berlumur darah.

"Bagaimana bisa Om bersikap seperti itu pada orang yang telah membuat Kaffa seperti ini?" tanya Zibran, ingin rasanya ia berteriak memaki Zibran.  Namun jangankan berteriak, berdiri pun rasanya  ia tak sanggup lagi.

"Kamu tahu? Apa yang Om rasakan saat ini?" Tak ada jawaban dari Firza membuat Zibran melanjutkan kalimatnya, "sama sepertimu, Om marah, tapi, Om tidak mungkin melakukan hal yang sama sepertimu."

"Pengecut."

Zibran tersenyum getir mendengar kata yang terucap penuh penekanan dari Firza. "Benar, Om pengecut. Om hanya tidak ingin Kaffa kembali terluka akan sikap kekanak-kanakan Om. Bila Kaffa saja bisa begitu dewasa memaafkan apa yang Dito lakukan, kenapa kita malah bersikap seperti ini? Lagipula, Dito tak pernah tahu segalanya akan seperti ini, kamu lihat dia juga terluka, bukan?"

Zibran memutar tubuh Firza hingga keduanya saling menatap, diusapnya pipi Firza menyingkirkan jejak air mata pemuda itu.

"Semua belum berakhir,  Kaffa masih hidup.  Lebih dari Om, kamu lebih tahu seberapa kuatnya dia."

***

"Kamu istiharat saja, Firza pasti akan baik-baik saja." Elma mengusap lembut rambut Kaffa yang tampak sangat cemas.

Kaffa terus memainkan ujung bajunya, ia benar-benar cemas akan keadaan Firza saat ini takut bila sahabatnya melakukan hal gila terhadap Dito. Entah bagaimana bisa Firza menyalahkan Dito setelah tahu apa penyebab dari penyakitnya, lagipula bila benar karena insiden tarik bangku yang dilakukan Dito adalah penyebabnya,  ia tak ingin menyalahkan.

Kaffa tahu saat tak ada niat Dito untuk mencelakainya, tak da yang tahu akan yang terjadi, bukan? Segalanya telah menjadi takdir dan manusia hanya dapat menjalani.

"Kak!" Kaffa langsung memekik begitu pintu rawatnya terbuka menampilkan Zibran yang datang bersama Firza. Cemas dan ketakutan itu seketika menguap berganti lega.

"Maaf membuatmu cemas."

Kaffa mengangguk, ia tersenyum menatap Firza yang kini berada di hadapannya. "Kakak baik-baik saja, itu lebih dari cukup," ucapnya, "terima kasih, Ayah."

Zibran mengelus puncak kepala Kaffa yang tersenyum cerah padanya. Senyum yang kini menjadi candu untuknya.

"Sekarang tidur, hmmm." Elma mengambil alih situasi, menatap Zibran dan Firza sebagai kode.

"Mau tidur sama Ayah dan Kak Firza?" tanya Zibran yang dijawab anggukan dari Kaffa.

"Ayo, Kak," Kaffa menepuk sisi ranjangnya yang kosong menyuruh Firza untuk naik.

Firza pun kini telah berbaring bersama Kaffa di atas ranjang rumah sakit tersebut. Menggantikan hal yang Zibran lakukan tadi, membelai rambut Kaffa. sementara tangan Kaffa menggeggam jemari Zibran yang berada di sampingnya, hingga perlahan Kaffa akhirnya terlelap begitupun dengan Firza.

Zibran tersenyum menatap Kaffa dan Firza yang telah terpejam, membuat ia pun dapat dengan tenang terlelap, menyisahkan Elma yang harus menjaga ketiganya.

________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro