Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 || Aneh

"Kaffa bangun, Nak."

Suara halus dan sentuhan lembut itu berhasil membuatnya tersentak membawa kembali kesadarannya. Ia menghela napas, mengusap wajah sembari berusaha mengumpulkan kembali nyawanya.

"Capek banget yah? Sampai ketiduran di sini," ujar wanita yang berada di hadapannya dengan lembut sambil mengusap puncak kepalannya.

Tak ada jawaban dari Kaffa, anak lima belas tahun tersebut malah menampilkan cengiran khasnya. Ia tak dapat menyangkal ucapan neneknya, berdalih pun percuma bila ia telah terciduk seperti ini dengan seragam yang masih lengkap.

Ia tidak tahu bila akan ketiduran seperti ini, ia hanya ingin merebahkan tubuhnya yang terasa letih sejenak. Namun, entah mengapa ia malah terlelap tanpa sempat mengganti baju dan nyaris ketinggalan waktu solat maghrib.

"Ngantuk aja tadi, Nek. Jadi enggak sengaja ketiduran," ucap Kaffa setelah berhasil menyelamatkan hidungnya dari hobi aneh neneknya itu.

"itu sama saja, sana mandi lalu solat."

Kaffa mengganguk patuh, ia segera bangkit dari sofa dan bergegas ke kamar mandi dengan tergesa, tak ingin waktu maghrib terlewat begitu saja.

Hanya butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya ia keluar dari kamar mandi lalu melaksanakan solat maghrib dan mengaji.  Rutinitasnya yang padat tak membuat Kaffa lalai akan kewajibannya, tak hanya dunia yang dikejarnya, ia pun mengumpulkan tabungan untuk akhiratnnya.

Usai menunaikan tugasnya Kaffa segera berlari keluar dari kamarnya. Dengan segera Kaffa menghampiri neneknya yang tengah berada di dapur untuk berpamitan menjemput ibunya yang masih berada di toko.

***

Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu dua puluh menit.  Kaffa akhirnya sampai di toko kue ibunya yang telah dirintis ibunya sekitar hampir sepuluh tahun.

Toko kue yang berada di tepi jalan tersebut awalnya cukup ramai dan terkenal di area sekitar, tapi kerasnya persaingan di kota tersebut tak mampu membuatnya untuk tetap bertahan dengan baik. Jatuh bangun ibunya  mempertahankan tempat tersebut selama bertahun-tahun agar tidak tutup.

"Assalamualaikum, Bu." Kaffa mengucap salam dengan bersemangat seperti biasa saat memasuki tempat tersebut.

Ia mengulum senyum melihat ibunya yang membalas salamnya dengan lembut seperti biasa. Langkah Kaffa melebar menghampiri ibunya, mengambil alih kain lap yang berada dalam genggaman ibunya.

"Biar aku aja. Ibu istiharat saja."

Kaffa membawa ibunya duduk pada sebuah kursi di yang tersedia dalam ruangan tersebut, mengambil alih kegiatan yang dilakukan ibunya membersihkan lemari kue yang telah kosong.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Nak?" 

"Seperti biasa, Bu, menyenangkan," jawab Kaffa menatap ibunya penuh semangat. Setelahnya ia mulai menceritakan segala hal yang ia alami di sekolah sepanjang hari di sekolah dengan penuh semangat dan ekpresif

"Jadi, Pak Bayu berhenti dan digantikan?" tanya Denia kembali yang dijawab anggukan oleh Kaffa.

"Dia aneh, Bu. Perkenalan aja langsung meluk-meluk. Sudah itu senyum mulu kayak orang gila."

"Hush!  Gak boleh bilang gitu, gak sopan," tegur Denia yang tak ingin putranya berkata kasar.

"He-he-he bercanda kok," ujar kaffa dengan cengiran khasnya membuat pipinya seketika ditarik oleh ibunya.

Denia gemas sendiri akan putranya,
ia tak tahan menarik pipi Kaffa saat anak itu tersenyum. Ia selalu suka saat Kaffa menceritakan tentang apa saja yang dialaminya, sebuah kebiasaan yang telah ditanamkannya dari Kaffa masih kecil.

Sejak dulu ia selalu meminta Kaffa menceritakan apa yang telah ia alami dan Kaffa dengan terbuka menceritakan segala hal padanya. Denia tak ingin putranya menyembunyikan  hal apa pun darinya, apa saja aktifitas hingga perasaan anaknya harus ia ketahui lebih dalam lagi.

Denia selalu suka jika Kaffa mulai berbicara tentang basket Kaffa benar-benar sangat bersemangat. Ketertarikan Kaffa pada olahraga tersebut memang telah terlihat sejak Kaffa SMP, tapi karena terlalu fokus belajar Kaffa tidak terlalu aktif pada kegiatan tersebut.

"Oh yah, nama pelatih barunya siapa?"  tanya Denia. Ia cukup penasaran pada orang yang Kaffa ceritakan.

Rasa ingin tahunya akan siapa pengganti Pak Bayu membuanya penasaran. Ia takut bila sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi, bayang-bayang akan munculnya  sosok itu menjadi ketakutannya. 

Bukannya egois dengan ingin mempertahankan Kaffa hanya untuknya. Denia hanya takut bila putranya akan terluka jika sosok itu tiba-tiba hadir. Ia tak ingin anaknya tersakiti akan kesalahan masa lalu yang terjadi, tak ingin Kaffa terlibat dalam masalah mereka.

"Namanya Pak Zibran, Bu."

"Zibran?" tanya Denia mengulang kembali untuk memastikan apa yang didengarnya. 

Kaffa mengiyakan pertanyaan ibunya dengan anggukan yang berhasil membuat ibunya terdiam untuk beberapa saat. Besar harapan Denia agar nama yang disebutkan Kaffa tidaklah sama dengan apa yang ia pikirkan.

"Enggak tahu,  Bu. Kenapa?" tanya Kaffa yang kini tengah memainkan ponselnya.

"Oh, tidak apa-apa. Ibu hanya penasaran," jawab Denia setenang mungkin agar tak menimbulkan kecurigaan pada putranya.

"Minggu depan kamu ada olimpiade matematika, kan?" tanya Denia berusaha mengalihkan topik pembicaraan agar tak membuat Kaffa curiga. "Bagaimana persiapannya?  Sudah siap?"

"Selalu siap, Bu." Kaffa menjawab penuh semangat dengan mengacungkan jempolnya membuat Denia kembali tersenyum melupakan rasa khawatirnya untuk sesaat.

Untuk masalah olimpiade ia memang tak pernah khawatir akan itu. Putranya  selalu masuk kelas akselerasi sejak sekolah dasar dan prestasi Kaffa pun sangat gemilang.

Anak yang saat ini berada di kelas XI di usianya lima belas tahun telah berhasil meraih begitu banyak penghargaan mulai dari masa TK. Ia selalu mengharumkan sekolahnya, menjadi kebanggaan sekolah dengan prestasinya.

Bangga tentu saja dirasakan Denia akan hal tersebut. Namun, walau Kaffa terlihat menikmati, tapi ia tak ingin anaknya terlalu memaksakan diri. Ia pernah merasakan betapa berat beban yang ditanggung bila ikut kelas akselerasi.

Maka dari itu Denia memintanya untuk tidak lagi ikut dalam kelas akselerasi, ia ingun putranya menikmati tiga tahun masa SMA dengan normal tanpa tekanan seperti ini, bebas melakukan apa pun dan menikmati masa mudanya.

Denia tidak lagi menuntut akan prestasi apa pun dari Kaffa. Ia sudah sangat bangga akan pencapaian Kaffa selama ini, kecerdasan anaknya yang di atas rata-rata, serta pribadi santun putranya benar-benar adalah anugrah terindah yang Tuhan berikan untuknya. Ia benar-benar bersyukur dapat mempertahankan Kaffa hingga saat ini.

"Mobilnya sudah ada di depan, ayo, Bu!"  Kaffa menggengam tangan ibunya yang tak lagi bersuara setelahnya. Beruntung taksi online pesanannya datang dengan cepat sehingga tak membuat ibunya harus tenggelam lebih dalam oleh lamunannya.

Diambilnya jaket sang ibu yang berada di dapur dan memakaikannya dengan lembut pada tubuh mungil ibunya. Lalu mengantar ibunya pada taksi online pesanannya

"Hati-hati yah Pak bawa mobilnya, Jangan ngebut, tolong antar ibu Saya pulang dengan selamat."

Kalimat tersebut selalu Kaffa katakan pada supir yang akan mengantar ibunya pulang. Ia tidak ingin hal yang buruk terjadi pada sang ibu yang ia tahu telah berjuang sangat keras untuknya.

"Kamu ini, ada-ada saja," ujar Denia mengacak-acak rambut anaknya gemas sebelum mobil yang dinaikinya melaju meninggalkan Kaffa.

***

"Terima kasih banyak, Kak."

Kaffa mengulas senyum, mengangguk menanggapi ucapan anak kecil yang begitu bahagia menerima kue yang diberikannya.

"Nanti besok kakak datang lagi yah, bawain kue yang banyak untuk Killa dan yang lain," ucap anak manis tersebut dengan penuh semangat.

Kaffa mengangguk mengiyakan permintaan anak itu, tanpa diminta ia pasti akan datang membawa kue untuk anak-anak  penghuni panti. Sejak mengenal mereka beberapa bulan lalu panti asuhan tersebut kini menjadi tempat langganan Kaffa memberikan kue gratis selain di kawasan kumuh tempatnya membagikan sisa kue dari toko ibunya.

Sejak dulu ibunya tak ingin menjual kembali kue hari ini untuk besok.  Kue-kue yang tersisa akan Kaffa bagikan kepada pemulung, anak jalanan dan anak panti asuhan.

"Kalau begitu Saya pamit yah, Bu," ucap Kaffa pada pemilik panti.

"Terima kasih banyak, Nak. Titip salam untuk ibumu." Kaffa mengangguk, dikecupnya punggung tangan wanita itu sebelum beranjak pergi dan bergegas untuk pulang sebelum membuat ibu dan neneknya cemas karena terlambat pulang.

_______________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro