19 || Takdir
Zibran mencoba tetap tenang, sambil terus berseru memberi arahan dan semangat pada para pemuda yang berada di lapangan.
Saat ini tim asuhannya kembali tertinggal beberapa poin, lawan yang dihadapi tim asuhannya kali ini benar-benar tangguh. Perolehan angka di antara kedua tim saling mengejar satu sama lain, seakan tak ada yang ingin mengalah dalam pertandingan.
Babak pertama baru berjalan beberapa menit lalu, tapi kedua tim telah saling beradu sengit. Selisih poin yang cukup di antara keduanya semakin menambah keseruan dalam jalannya pertandingan kali ini.
Riuh suara para penonton di tribun pun semakin menggema, berteriak menyerukan jagoan masing-masing dengan lantang guna memberikan semangat.
"Yoshhh!" Zibran tersenyum lebar, ia mengacungkan jempul begitu timnya kembali mendapatkan angka hingga berhasil mengejar ketertinggalan.
"Yo, semangat!" serunya dengan lantang pada seluruh pemainnya. Tapi di antara, kelima pemuda tersebut hanya ada seseorang yang selalu menjadi fokusnya
Bukan karena status di antara mereka, melainkan beberapa kejanggalan yang dapat ia tangkap. Kaffa tidak bermain seperti biasanya, anak itu bahkan kerap kali melakukan kesalahan dan juga langkah putranya tampak aneh.
"Kaffa!"
Baru saja Zibran memikirkannya, putranya itu kini telah tejatuh di tengah lapangan. Zibran tanpa menunggu segera berlari ke dalam lapangan, mengabaikan aturan yang ada.
Seruan dan tindakan Zibran membuat jalannya pertandingan terhenti, Firza yang memegang kendali akan bola basket itu tak lagi peduli akan sekelilingnya. Ia melangkah lebar menghampiri Kaffa dan Zibran sama seperti pemain lainnya.
"Ka- kakiku tidak bisa digerakkan, Ayah!" Firza melebarkan matanya, cukup terkejut akan kalimat yang Kaffa ucapkan pada Zibran telah berada di sampingnya.
Tak hanya Kaffa tampak menitihkan air matanya, ia menggengam tangan Zibran dengan erat yang membuat Firza terkejut dan khawatir, tapi melihat bagaiman air seni sahabatnya itu keluar dan membasahi lapangan hingga membuat orang-orang di sekitarnya memekik dengan berbagai ekspresi.
"Pak-"
"Kamu bisa mengatur jalannya pertandingan ini?" tanya Zibran menyela kalimat Firza. Ia terpaksa mengambil jarak membiarkan tim medis yang datang mengambil alih posisinya untuk memberi penanganan pada Kaffa.
Firza hanya dapat mengangguk, ia masih tenggelam akan keterkejutannya. Pandangan matanya terus memandang kepergian Zibran yang menggedong Kaffa pergi bersama tim medis. Kaffa benar-benar kacau, anak itu menolak dibawa dengan tandu dan memeluk Zibran dengan erat.
"Apa yang terjadi dengannya? Aneh sekali?"
"Dia baik-baik saja?"
"Ya ampun, jorok sekali. Bagaimana dia bisa buang air begitu saja?"
"Tapi, Sepertinya dia sakit parah-"
"Diam!" Firza berteriak, membentak dan menatap tajam orang-orang disekitarnya. "Tutup mulut kalian, atau akan kubuat kalian tidak bisa lagi untuk berbicara."
Firza meninggalkan kerumunan itu begitu saja, menghempaskan diri pada bangku panjang di sisi lapangan sambil mengacak-acak rambutnya. Bila saja Zibran tak memintanya untuk mengatur jalannya pertandingan maka ia telah meninggalkan tempat inI sekarang juga.
Ia benar-benar cemas, kalimat yang diucapkan Kaffa membuatnya benar-benar takut akan keadaan sahabatnya tersebut. Ada apa dengan kakinya? Mengapa sampai Kaffa menjadi seperti ini? Apa yang salah padanya?
Firza menunduk meremat rambutnya dengan kuat, berharap segalanya baik-baik saja. Sahabat yang telah ia anggap adiknya sendiri baru saja menata hidupnya bersama sang ayah, ia telah cukup tersiksa selama ini, jangan sampai terjadi hal buruk padanya.
Ia tak dapat menahan air matanya kali ini, sungguh ia berharap segalanya baik-baik saja. Jangan sampai kebahagiaan Kaffa rusak, jangan sampai adiknya menderita. Firza tak ingin terjadi hal yang buruk pada Kaffa, ia tak ingin kembali kehilangan adik untuk kedua kalinya.
"Za ...." Tepukan lembut Firza rasakan di pundaknya membuat ia harus menghentikan tangisannya.
"Kaffa pasti baik-baik saja, jangan cemas."
"Benar kata Eril, Kaffa mungkin lagi capek aja. Lagian Kaffa ngompol kayak gitu bukan hal baru 'kan?"
Firza mengangguk mengiyakan kalimat Leon, akhir-akhir ini Kaffa memang kerap kali pipis begitu saja, seluruh anggota tim basket tahu akan hal itu setelah Kaffa menceritakannya ketika tanpa sengaja buang air usai latihan beberapa hari lalu.
"Tapi, apa itu normal? Kayaknya enggak deh," ujar Reka salah satu dari mereka.
"Iya, sih. Kayak aneh banget gitu."
"Sudah cukup, kalian malah bikin pusing! Sana siap-siap, sudah mau mulai pertandingannya!" seru Eril mengakhiri obrolan di antara teman-temannya.
"Tenang saja, Kaffa akan baik-baik saja. Setelah ini kita jenguk dia, Kak." Firza lagi-lagi hanya dapat mengangguk pada Eril, ia tak dapat mengakatakan apa pun saat ini.
***
"Pa-para-apa?" tanya Zibran menatap dokter di hadapannya tak mengerti tentang apa yang baru saja di dengarnya.
"Paraplegia, Pak. Penyakit tersebut merupakan kondisi di mana hilangnya kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh bagian bawah yang meliputi kedua tungkai dan organ panggul," jelas dokter tersebut pada Zibran setelah melakukan beberapa pemeriksaan lengkap pada Kaffa seharian ini.
"Ah, apa? Maksud Anda putra saya mengalami kelumpuhan? Dia tidak akan dapat mengggerakkan kakinya, begitu? Hahhaha jangan bercanda, dia hanya sekadar keram, nanti juga akan membaik, Dok."
"Paraplegia dapat terjadi hanya sementara atau bahkan menjadi permanen tergantung dari penyebabnya. Berbeda dengan paraparesis yang masih dapat menggerakan kedua tungkai walaupun kekuatannya berkurang, paraplegia sama sekali tidak dapat menggerakan kedua tungkai. Kami akan melakukan yang terbaik untuk putra, Bapak, dengan melakukan pengobatan."
"Anda bercanda! Ini, tidak mungkin. Kaffa baik-baik saja dia- dia ... dia hanya ...." Zibran tak sanggup melanjutkan kalimatnya, tangisnya pecah akan vonis dokter yang baru saja diterimanya.
Rasanya Zibran ingin menyangkal dan tak mempercayai kalimat tesebut, tapi segala gejala yang dikatan dokter tersebut benar adanya. Dan bodohnya ia yang tidak pernah sadar selama ini.
Dua bulan mereka telah tinggal bersama, Kaffa selama ini selalu dalam pengawasannya, akan tetapi ia sama sekali tak menyadari bila ada yang salah terhadap putranya. Langkah anak itu yang kian melambat, seringnya Kaffa terjatuh hingga buang air begitu saja ternyata merujuk pada sebuah penyakit.
Bodohnya ia yang selama ini mengganggap segala hal itu wajar dan mempercayai kalimat baik-baik saja, serta alasan yang selama ini Kaffa katakan padanya. Zibran kian terisak, merasa gagal selama ini sebagai seorang ayah, ia pikir telah menjaga putranya selama ini.
"Pak-"
"Saya mohon lakukan yang terbaik untuk anak Saya ... Saya mohon," pinta Zibran tertunduk dengan isak tangisnya. "Ia masih sangat kecil, dia punya mimpi untuk menjadi pemain basket. Tolong bantu dia untuk tetap dapat berjalan, beralri dan meraih mimpinya."
Zibran tergugu, ia tak dapat membendung air matanya. Kenyataan yang ia terima benar-benar menjatuhkannya. Baru sebentar saja bahagia itu ia rasakan bersama putranya, kini badai duka kembali datang menerpa, memporak-porandakan kebahagiaan itu dengan seenaknya.
"Kalau begitu Saya permisi, Dok."
Zibran bangkit dari duduknya, setelah merasa lebih tenang. Dengan langkah gontai ia meninggal ruangan tersebut, berjalan pelan ke tempat di mana putranya berada.
Langkahnya terhenti di ambang pintu, gelak tawa putranya terdengar begitu merdu pada telinganya. Anaknya tampak sangat bahagia bersama Firza dan teman-teman lainnya yang datang menjenguk. Tentu, ia merasa bahagia akan kabar keberhasilan timnya yang lolos ke final, hal itu adalah harapannya.
"Tenang saja, aku pasti akan baik-baik saja dan bermain di final nanti."
Jantung Zibran seolah jatuh dari tempatnya. Kalimat penuh semangat dari putranya tersebut berhasil meremat hatinya hingga begitu perih. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia dapat menjelaskan bahwa setelah ini? Kaffa tidak akan dapat untuk berjalan seperti dulu.
_____________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro