15 || Hujan.
Terlambat. Untuk pertama kalinya Firza merasakan hal tersebut, siswa berbakat dan berprestasi selama ini tak pernah melanggar aturan kini harus berdiri di depan tiang bendera. Beruntung cuaca saat ini tengah mendung jadi cukup sejuk, bila tidak ia pasti telah bermandikan peluh.
Firza masih terus mendengkus kesal akan hal yang telah terjadi. Ia sudah tahu bila akan berakhir seperti ini, seharusnya ia tidak harus mendengar kata-kata Kaffa tadi. Masa bodoh, bila telinganya harus panas mendengar ocehan Kaffa sepanjang hari.
"Sekali-kali, Kak. Biar punya pengalaman dihukum juga dari pada harus absen sehari."
Ucapan Kaffa dengan senyum lebarnya pagi tadi saat memaksa ia pergi membuat Firza kembali mendengkus kasar.
"Firza!"
Firza sontak menoleh menatap orang yang bergegas menghampirinya. Ia dapat menangkap gurat cemas pada wajah pria tersebut.
"Bagaimana dengan Kaffa? Kamu mengantarnya pulang? Dia baik-baik saja? Neneknya tidak marah, bukan?"
"Kaffa tidak pulang, dia ada di rumahku." Firza menjawab dengan malas pertanyaan Zibran.
"Apa? Lalu kamu meniggalkannya sendiri? Bagaimana bila terjadi hal buruk padanya? Kenapa tidak mengantarnya pulang sehingga ada yang mengawasinya?" tanya Zibran membuat ia harus mendapatkan tatapan tajam dari Firza.
"Dia tidak mau, dia memaksaku untuk pergi. Jangan mengomeliku sepertinya! Bila ingin melihatnya, sana pergi. Kalian sama-sama berisik!" gerutu Firza dengan nada dingin dan tatapan tajamnya lalu berlari meninggalkan Zibran begitu saja di saat hujan mulai tumpah.
Firza pikir Zibran akan turut berlari untuk mencari tempat berteduh, tapi ternyata anggapannya salah. Sang pelatih justeru membawa motornya keluar dari area sekolah di tengah hujan yang semakin deras.
"Dasar bodoh," gumam Firza menatap Zibran yang semakin jauh darinya. Ia tersenyum tipis setelahnya, lalu memilih masuk ke area sekolahnya daripada berbasah-basahan. Lagipula, para guru tak sekejam itu bila menghukumnya berdiri saat hujan.
***
Kaffa tak banyak bergerak. Ia menunduk kaku sambil meremat kuat ponselnya, kerasnya volume musik yang ia dengar tak cukup mampu menenangkannya. Hujan deras diiringi gemuruh guntur saat ini berhasil membuat tubuhnya gemetar.
Ia tak pernah menyukai situasi seperti ini. Kaffa takut akan suara menggema tersebut, ia tak pernah menyukainya.
"Ibu." Kaffa menggumam. Biasanya saat seperti ini sang ibu selalu ada di sisinya, mendekap erat dan memberinya ketenangan. Atau sekadar bersama teman-temanya. Namun, hanya dirinya saat ini tanpa ada siapa pun. Kalau tahu seperti ini, ia tentu akan pergi ke sekolah saja bersama Firza tadi.
Cukup lama Kaffa merasa situasi mencekam tersebut, hingga peluh telah membasahi wajah dan tubuhnya yang gemetar. Langit pun masih kelam, cahaya petir sesekali menyambar lalu disusul gemuruh guntur yang menggema membuat Kaffa benar-benar ketakutan.
"Ibu," ucap Kaffa. Ia berusaha keras untuk tak menjatuhkan air matanya, tetap bertahan walau rasanya benar-benar tersiksa berada di situasi seperti ini.
"Kaffa!"
Atensi Kaffa sontak teralih mendengar namanya diserukan dengan lantang, ia berbalik guna memandang orang tersebut yang telah membuka pintu kamar dengan kasar.
"Pak-" Kalimat Kaffa terpenggal. Baru saja ia akan menghampiri, tapi orang tersebut lebih dulu mendekapnya dengan erat membuat Kaffa terpaku di tempatnya.
Zibran memeluknya dengan begitu erat. Namun, entah mengapa terasa begitu nyaman untuk Kaffa hingga ia tak dapat menolak akan hadirnya.
"Kamu baik-baik saja? Kamu tidak apa-apa?"
Kaffa tak menjawab pertanyaan tersebut, ia hanya menatap Zibran yang kini bertanya panik sambil memeriksa kondisinya, mengusap wajah hingga mengecek suhu tubuhnya dengan punggung tangan.
"Ya ampun, bajumu basah!" Zibran berseru, semakin panik melihat baju Kaffa yang basah karena memeluk Kaffa tadi, ia lupa bila dirinya tiba dengan keadaan basah kuyup akibat hujan.
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."
Kaffa akhirnya bersuara, menatap Zibran yang masih begitu panik dan berantakan. Ia pun berjalan menuju kamar mandi, mengambil handuk untuk Zibran.
"Bapak akan masuk angin. Mandilah dengan air hangat lebih dulu," ujar Kaffa sembari menyodorkan handuk, "akan kucarikan baju ganti."
Zibran tertegun, untuk beberapa saat ia terpaku akan apa yang dilakukan Kaffa saat ini. Ditatapnya punggung putranya yang saat ini sibuk mencari sesuatu di lemari.
"Kamu juga harus ganti baju," ucap Zibran sebelum memasuki kamar mandi. Ia tersenyum tipis saat Kaffa dengan pelan menganggguk.
***
Tak butuh waktu lama Zibran akhirnya keluar dari kamar mandi. Kaffa segera memberikan pakaian ganti yang ia temukan dari lemari padanya.
"Terima kasih." Kaffa tak bereaksi apa pun menanggapi kalimat Zibran sebelum pria tersebut kembali ke kamar mandi untuk memakai baju.
Setelahnya Kaffa pun beranjak dari kamar guna mengepel lantai sisa-sisa jejak kaki Zibran yang masuk dengan keadaan basa kuyup. Ia tak ingin membuat rumah Firza berantakan sampai sahabatnya itu pulang.
"Apa yang kamu lakukan?" Kaffa menghentikan aktifitas, alat pel ditangannya kini beralih ke Zibran yang telah berganti baju.
"Biar Bapak yang melanjutkannya, istiharatlah."
"Baiklah," balas Kaffa yang kemudian meninggalkan Zibran. Namun, bukan kembali ke kamarnya tadi. Ia berjalan ke dapur untuk membuat teh yang sekiranya dapat memberi kehangatan di tengah cuaca dingin saat ini.
Hujan belum juga berhenti, tapi tidak lagi sederas tadi, gemuruh guntur pun tak lagi mengusik. Sesekali Kaffa tersenyum tipis saat melirik Zibran yang masih dengan aktifitasnya, tubuh kekar pria tersebut tampak sangat jelas dengan baju Firza yang kekecilan untuknya.
"Sedang apa? Bukannya istirahat di kamar."
"Aku baik-baik saja, tidak harus beristirahat. Ah, silakan diminum, Pak."
Zibran lagi-lagi dibuat tak percaya akan sikap Kaffa menanggapinya, ia pikir anak itu akan kembali bersikap tak acuh. Namun, ternyata putranya begitu tenang sejak tadi seakan tak ada apa pun di antara mereka.
Ia pun mengambil secangkir teh yang disodorkan Kaffa padanya, lalu mengikuti langkah Kaffa hingga berakhir pada sofa di ruang tamu.
Tak ada perbincangan di antara keduanya. Zibran tak membuka topik apa pun, sama seperti biasa, ia canggung dan kikuk. Dirinya hanya dapat terdiam memerhatikan putranya sejak tadi tanpa berani berkata.
"Kenapa Bapak bisa ada di sini?" Pada akhirnya Kaffa mengalah, cukup lama ia menunggu Zibran untuk memulai. Namun, pria itu tetap diam.
"Bapak khawatir," jawab Zibran menatap Kaffa hingga pandangan keduanya beradu, tapi dengan cepat ia memutusnya dan kembali menunduk.
"Tenanglah. Aku baik-baik saja, jauh lebih baik dari semalam."
"Syukurlah kalau begitu," ucap Zibran pelan tanpa menatap Kaffa, ada lega ia rasakan mendengar kalimat putranya.
Setelahnya hening kembali mengambil alih. Zibran menunduk di tempatnya, sementara Kaffa memutar otak untuk mencari topik perbincangan di antara mereka. Zibran semakin kikuk saja, membuat ia yang berusaha tetap tenang pun dirundung canggung.
"Maafkan Ayah, Nak."
"Eh!" Kaffa spontan menutup mulutnya yang tiba-tiba berseru. Baru saja ia akan memulai, Zibran telah lebih dulu berucap.
"Ayah egois, Ayah bodoh, dan gagal menjadi Ayahmu selama ini."
Kaffa menoleh, menatap Zibran yang semakin tertunduk sambil meremat tangannya.
"Ayah pengecut. Selama ini tak pernah berani untuk memperjuangkanmu, maafkan ayah." Zibran pada akhirnya terisak, air mata perlahan luruh dari pelupuk matanya.
"Berapa lama Bapak bersikap seperti itu? Sampai kapan Bapak akan melakukannya dan menjadi pengecut? Bila Ibu tidak meninggal, apa semuanya akan tetap tertutup rapat?"
Kaffa berucap. Tak bernada datar, dingin maupun ketus. Tatapannya pada Zibran pun tak tajam, ia begitu tenang menatap Zibran yang kian terisak disampingnya dengan mengucapkan kata maaf berulang kali padanya.
"Selama ini aku selalu bertanya, seperti apa seorang ayah itu? Bagaimana rasanya memiliki ayah? Siapakah ayahku yang telah membuat ibu harus berjuang mati-mati membesarkanku seorang diri? Mengapa kami ditinggalkan? Kenapa ayah pergi? Aku ingin tahu segala jawabannya, tapi aku tak pernah dapat mengatakannya."
Kaffa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan untuk menguarkan sesak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "segala pertanyaanku, semua rasa ingin tahuku hanya dapat terpendam. Aku tidak ingin ibu menangis bila semua jawaban dari pertanyaaan itu menyakitkan. Hingga pada akhirnya aku tak ingin peduli apa pun, tapi ... pada akhirnya segalanya terungkap tanpa kuminta."
"Kaffa." Zibran pada akhirnya menatap Kaffa membuat pandangan keduanya kembali bertemu.
"Kupikir ayahku adalah orang berengsek yang telah meninggalkan aku dan ibu selama ini demi orang lain. Ternyata, ia adalah orang bodoh, pengecut yang hanya berani mengawasi diam-diam selama bertahun-tahun, tidak tahukah ia betapa aku ingin merasakan pelukannya? Betapa aku ingin bersamanya? Dan ... betapa ibu sangat merindukannya? Kenapa ia begitu bodoh dan menjadi pengecut?"
"Kaffa-"
"A-yah, aku merindukanmu."
Zibran terpaku di tempatnya, Kaffa menyela kalimatnya dan memeluknya dengan begitu erat, menumpahkan tangis dalam dekapan itu.
Seluruh kalimat Zibran seolah terpenggal, lidahnya kelu. Didekapnya tubuh Kaffa yang bergetar dalam peluknya, sambil mengecup puncak kepala anaknya untuk kali pertama setelah bertahun-tahun ia menanti.
"Jangan pergi lagi, kumohon jangan jadi pengecut lagi." Kaffa meminta, ia memeluk Zibran dengan erat. Tak ingin ayahnya menyerah terhadapnya lagi.
"Tidak, tidak akan pernah lagi. Ayah takkan melepasmu lagi." Zibran mengecup puncak kepala putranya berkali-kali, memeluk Kaffa dengan begitu erat.
___________________________________
Haii! Sweet Story Area mengadakan event yang sayang untuk kalian lewatkan loh!
Stora Writing Project adalah kompetisi menulis yang menantang penulis terpilih untuk menyelesaikan satu naskah novel dalam waktu 4 bulan. Tiga naskah yang terpilih akan dipublikasikan di wattpad Sweet Story Area setiap minggu dari bulan Februari-Juni dan akan diterbitkan oleh Penerbit Alra Media.
Bagi teman-teman yang berminat dalam event ini, ayo ikutan!
Silakan cek work Stora Projek di akun SweetStoryArea, jangan sampai melewatkannya loh!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro