14 || Ayah
Kaffa tak bergerak sedikit pun
semenjak terbangun dari beberapa saat lalu. Ia termangu, memandang sosok yang berada di sanpingnya, entah sejak kapan.
Dengkuran halus terdengar, mengisi sunyi dalam ruangan dari pria yang tengah terlelap di sisi ranjangnya. Kaffa dapat memastikan bila posisi tidur pria dengan status ayahnya itu tidak nyaman. Namun, tetap saja Zibran tampak terlelap dengan tenang.
Cukup lama. Beberapa detik hingga menit berlalu dan terbuang tanpa adanya hal yang terjadi. Kaffa diam dan tak ingin memulai apa pun, ia hanya memperhatikan tanpa suara menatap Zibran yang memejam dengan begitu tenang. Sampai pada saat ia merasakan pergerakan pelan dari orang yang sejak tadi menggenggam tangannya dengan lembut setelah kumandang adzan subuh sayup terdengar.
Kaffa sontak berbalik, seperti posisi sebelumnya, memejamkan mata guna menghindari adu pandang yang akan terjadi di antara mereka. Detik berikutnya ia dapat merasakan genggaman itu perlahan terlepas begitu saja.
Tak ada kata yang Kaffa dengar setelahnya, hening dan sepi. Entah apa yang saat ini dilakukan Zibran tanpa bersuara ataupun menyentuhnya lagi, mungkinkah pria tersebut telah pergi dan meninggalkan layaknya pengecut yang hanya berani berada diam-diam di sisinya seperti biasa?
Penasaran. Kaffa perlahan mencoba membuka mata, sedikit mengintip akan apa yang dilakukan Zibran. Namun belum sempat ia benar-benar melakukan hal tersebut, tubuhnya mendadak kaku. Sebuah kecupan mendarat di kening, bersama dengan belaian lembut pada rambutnya.
Kaffa mengepalkan tangan, meremat erat seprai. Degup jantungnya berpacu tak normal karena hal yang telah dilakukan Zibran hingga membuatnya tak dapat bergerak bahkan untuk menolak perlakuan Zibran saat ini. Ia hanya dapat terdiam kaku dengan perasaan yang membuncah di dadanya, campur aduk ia rasakan.
***
Cukup lama hingga pada akhirnya Zibran mengakhiri apa yang telah dilakukannya. Ia tersenyum tipis, samar bahkan nyaris tak terlihat setelah melakukan hal yang cukup lancang pada Kaffa untuk pertama kalinya.
Bila ayah lain di luar sana bisa bebas memeluk sang buah hati, tidak dengan dirinya yang harus menunggu bertahun-tahun untuk dapat melakukan hal ini, itu pun dengan cara diam-diam.
Usai mendaratkan kecupan pada Kaffa, Zibran dengan lembut mengelus rambut putra semata wayangnya. Ia tak dapat meninggalkan Kaffa begitu saja, meskipun dirinya adalah seorang pecundang. Keberanian untuk mendekati Kaffa memang sampai saat ini masih menjadi kelemahannya, ia terlalu takut menatap iris serupa milik Denia pada putranya.
Terlalu dalam rasa bersalah menenggelamkannya, hingga ia tak tahu bagaimana caranya bersikap pada Kaffa dan seperti apa ia harus menjadi seorang ayah yang baik untuk anaknya.
Selama ini Zibran selalu membaca buku, memerhatikan sekitar tentang bagaimana caranya menjadi ayah. Namun, tetap saja, segalanya menguap. Teori dan hal yang dipelajari seakan lenyap ketika berada di dekat Kaffa menjadikannya bodoh dan pengecut di saat yang sama.
"Maafkan Ayah, Nak." Zibran bergumam pelan, sebelum pada akhirnya meninggalkan Kaffa yang masih terpejam dengan suhu tubuh yang berangsur normal setelah sempat kembali demam tinggi beberapa saat lalu. Memaksa Zibran untuk tak beranjak dari sisi putranya sepanjang malam.
Ia memang tak pernah berniat meninggalkan Kaffa, ia yang keluar saat itu hanya tak ingin putranya terusik dan tertekan akan hadirnya. Zibran sadar bila dirinya telah menorehkan luka teramat dalam pada Kaffa hingga anaknya terluka cukup parah saat. Dan, Zibran tak tahu bagaimana cara untuk mengobatinya, entah apa yang harus ia lakukan? Bagaimana dirinya dapat menjaga dan melindungi anaknya?
Zibran mengusap wajah kasar, menghela napas panjang guna mengurai sesak akan segala penat. Ia tertunduk, duduk pada lantai selasar yang dingin begitu pintu ruang rawat putranya.
Denia. Nama itu terucap bersama dengan luruhnya bulir air mata yang tertahan selama ini semenjak kepergian satu-satunya wanita terindah dalam hidupnya. Kini kesempatan untuk menebus kesalahan selama bertahun-tahun pada Denia tak dapat lagi ia lakukan, dan ia pun tak tahu apa yang akan ia perbuat pada Kaffa.
"Pak Zibran!"
Pemilik nama itu tersentak akan seruan dan guncangan tiba-tiba pada pundaknya, membuat lamunan Zibran buyar.
"Kaffa kenapa? Apa yang terjadi? Dia baik-baik saja? Mengapa dia jadi seperti ini? Bapak apakan dia?"
Firza langsung melayangkan rentetan pertanyaan pada Zibran. Ia panik begitu mendapati puluhan panggilan tak terjawab dan banyaknya chat dari nenek Kaffa bangun dari tidurnya, serta pesan singkat dari Zibran menjelaskan soal keadaan Kaffa dan di mana anak itu berada saat ini. Tanpa membuang waktu ia pun langsung ke rumah sakit tempat Kaffa dirawat.
"Pak Zibran, Kaffa apa yang terjadi dengannya?" tanya Firza kembali dengan nada suara lebih tinggi, sarat akan emosi, setelah melihat Zibran hanya diam saja dan tampak bodoh di hadapannya.
"Pak!"
"Kak Firza, berisik!"
Zibran yang baru saja akan menjawab langsung berbalik menatap seseorang di ambang pintu dengan tiang infus yang diseretnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya lembut, mencoba tenang melihat Kaffa yang pucat. "Ayo kembali ke ranjangmu, kamu masih harus istirahat."
"Saya baik-baik saja, Pak." Kaffa berucap pelan, sambil mejauh dari Zibran yang menyentuhnya. Ia beralih ke samping Firza, sahabatnya itu hanya diam saja sejak dirinya keluar.
"Kak, pulang." Kaffa menggenggam tangan Firza mengerling manja begitu Firza langsung menatapnya.
"Kamu masih demam, Kaf." Zibran bersuara, ia tentu tak mengijinkan Kaffa untuk pulang. Walau suhu tubuh Kaffa sudah berangsur normal, tetap saja Kaffa masih butuh perawatan.
"Sudah tidak kok, Kak," ucap Kaffa pada Firza yang menyentuh kening dan tengkuknya untuk beberapa saat.
"Kaffa pulang sama saya, Pak."
Zibran dengan cepat menolak kalimat Firza dengan tegas, menyuruh Kaffa untuk kembali ke ranjangnya, serta membujuk Firza agar tak menuruti kalimat Kaffa.
"Saya sudah baik-baik saja, Pak," ucap Kaffa menatap Zibran. Cukup lama keduanya beradu pandang hingga Zibran memutuskannya secara sepihak.
"Bapak akan memanggil perawat." Zibran yang bergerak cepat, berlalu meninggalkan kedua pemuda tersebut hingga beberapa saat kemudian ia datang bersama seorang perawat yang kemudian melepaskan jarum infus dari punggung tangan Kaffa.
"Terima kasih, Sus," ujar Zibran pada perawat tersebut setelah melakukan tugasnya.
"Dia masih harus beristirahat, Pak. Tolong jaga kondisinya dan bila ada apa-apa cepat bawa dia kembali."
Zibran mengangguk, dan membiarkan perawat tersebut pergi. Selanjutnya ia menatap Kaffa yang duduk di atas ranjangnya, dengan lembut ia menggenggam tangan Kaffa.
"Dengar apa yang dikatakan perawat tadi?" tanya Zibran yang tak mendapat jawaban apa pun dari Kaffa. "Beristrihatlah di rumah Firza, jangan memaksa untuk sekolah hari ini."
Kaffa tak bereaksi sama sekali, bahkan di saat Zibran memakaikan jaket pada tubuh kecilnya, ia hanya memasang wajah datar.
"Tolong jaga Kaffa," ucap Zibran pada Firza selanjutnya sebelum membiarkan Kaffa pergi bersama Firza. Ia tak ingin membuat Kaffa tertekan untuk memaksakan kehendaknya, lagipula ia tahu bila Firza akan menjaga Kaffa dengan baik.
***
"Kaffa sama saya kok, Nek. Dia baik-baik saja. Maaf baru kasih kabar, baru bangun."
Firza dapat mendengar helaan napas lega dari lawan bicaranya di seberang telpon akan kabar yang ia berikan. Wejangan dan kalimat lembut dari Elma pun terdengar sebelum ia memutus sambungan teleponnya.
Ia pun beralih menatap Kaffa yang sejak tadi hanya diam sambil menggenggam jaket di pangkuannya. "Kaf," panggil Firza yang kini duduk di sampingnya, "apa yang kamu pikirkan? Kamu harus istirahat, hmm."
"Seorang ayah itu harusnya seperti apa, Kak?" Kaffa bertanya pelan, menatap Firza lekat seakan menuntut jawaban. Sedari tadi pertanyaan tersebut terus memenuhi benaknya.
"Seperti apa yah?" Firza balik bertanya, menatap Kaffa tak kalah lekat. "Yang pasti tidak seperti ayahku."
"Lalu apa harus seperti ayahku?" tanya Kaffa kembali memutus saling pandang di antara mereka. Ia tahu pembahasan mereka kali ini cukup sensitif untuk naik ke permukaan, baik untuk dirinya maupun Firza.
"Setidaknya ayahmu masih bertanggung jawab, meski bertindak pengecut, tidak seperti ayahku yang benar-benar pergi setelah membuangku dan ibu. Entah dia berada di mana, seperti apa dan bagaimana kehidupannya saat ini aku sama sekali tak tahu dan tak ingin peduli apa pun tentangnya. Aku bahkan berharap ia-"
"Kak!" Kaffa menyela dengan cepat tak ingin Firza melanjutkan kalimatnya. Dengan lembut ditariknya Firza ke dalam dekapnya, meminta maaf akan kelancangannya mengungkit kembali luka sahabatnya.
Kaffa memejam sambil merengkuh tubuh Firza yang bergetar. Dirinya tahu betapa dalam luka Firza selama ini karena sosok sang ayah. Dan, kini ia paham bila masalah yang dia hadapi tidak lebih pelik dari beratnya beban yang tanggung Firza sejak dulu.
"Kak." Kaffa melepaskan rengkuhannya dari Firza, lalu tanpa tedeng aling mengejek wajah Firza yang kacau.
"Bocah kurang ajar, ini semua karenamu!" sungut Firza tak terima akan ejekan Kaffa yang telah membuatnya menangis, lagi-lagi ia lemah bila di hadapan Kaffa.
Gelak tawa keduanya pun menggema pagi itu, Firza yang gemas akan Kaffa mengacak-acak rambut sahabatnya itu
___________________________________
Maaf lama banget baru up lagi.
Aku gak dapat waktu yang tepat buat nulis setelah masuk kerja lagi.
Makasih banyak buat yang sudah sabar menunggu cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro