Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 || Jarak

Hening tercipta di antara keduanya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka. Kaffa sibuk dengan makanannya, sementara Firza yang datang bergabung hanya fokus menatap Kaffa sejak tadi memperhatikan Kaffa yang beberapa hari lalu membuatnya benar-benar khawatir.

Firza tak membuka suara, sampai saat ini masih belum memulai pembicaraan apa pun dengan Kaffa sejak tadi, tapi melihat Kaffa makan dengan lahap membuatnya mengurungkan niat meski hanya sekadar ingin menyapa.

Kaffa sendiri bukannya tak ingin menyapa Firza. Namun, ia tidak ingin membahas apa pun saat ini terlebih bila tentang masalah yang terjadi, Kaffa tak ingin mengungkit soal itu.

"Minum!" Firza dengan segera menyodorkan air minum pada Kaffa begitu anak tersebut selesai makan, saat yang tepat pula untuk memecah hening di antara mereka. Namun, ia sama sekali tak tahu cara memulai pembicaraan yang tepat saat ini. Takut bila akan membuat Kaffa tak nyaman.

"Aku duluan, Kak." Kaffa beranjak lebih dulu tanpa menunggu reaksi dari Firza ia segera berlalu dari tempat tersebut, dengan tergesa sebelum pada akhirnya terjebak dalam topik pembicaraan yang dihindarinya.

"Duduklah, aku tidak akan mengatakan hal yang tak kamu inginkan." Firza menggenggam erat tangan Kaffa, menahan gerak anak itu untuk menghindar darinya dan membawanya kembali ke tempat duduk yang tadi mereka tempati.

"Jadi mau bilang apa?" tanya Kaffa setelah hening dan canggung terasa di antara mereka yang sama-sama tidak memulai obrolan, terasa sulit karena setiap pembicaraan yang terjadi pasti akan berakhir pada pembahasan tersebut.

Firza tak menjawab, ia tak tahu akan apa yang ia katakan pada Kaffa saat ini. Lidahnya keluh meski hanya untuk bertanya, ia bilang bahwa ia tidak akan bertanya apa pun. Namun, semuanya terasa sulit, karena segala yang terjadi telah saling berhubungan. Pertanyaan apa pun tetap saja akan berakhir pada topik tersebut, hingga pada akhirnya dering bel mengakhiri kesempatan mereka untuk saling bercengkerama.

Kaffa bangkit lebih dulu dan melangkah terburu menjauh dari Firza dengan cepat sebelum Firza memanggil dan menahannya. Ia hanya tidak ingin terusik akan hal apa pun saat ini, terlebih bila itu berkaitan dengan masalah yang terjadi.

***

Ditinggal oleh Kaffa begitu saja membuat Firza kesal sendiri, tapi ia tidak dapat melakukan apa pun. Untuk menyusulnya saja Firza tak bisa, ia  tidak ingin Kaffa kian menjauh bila ia memaksa.

"Anda puas? Lihat apa yang telah Anda lakukan? Seharusnya anda tidak pernah datang mengusik Kaffa."

Firza menatap tajam pada Zibran yang sejak tadi mengawasi Kaffa dari jauh,  membuat Firza rasanya semakin geram pada pria tersebut.

"Bukan ini yang saya harapkan, kamu tahu bila saya mendekati Kaffa karena apa. Berada di posisi ini, kamu pikir saya mau?"

Zibran menatap Firza sendu. Ada rasa bersalah telah melibatkan anak itu ke dalam masalahnya hingga Kaffa turut menjauh darinya. Sungguh, tak ada keinginan Zibran untuk melukai Kaffa atau siapa pun. Semua di luar kendalinya, jika ia bisa, tentu ia akan memilih memendam rahasia itu hingga akhir hayatnya.

"Aish! Mengapa jadi serumit ini?" tanya Firza menggerutu dan meninggalkan Zibran. Bila saja ia tahu akan seperti ini,  tentu ia memilih tidak akan berada di sana dan tahu segala tentang mereka, ia lebih memilih tidak mengetahui apa pun, dibanding dijauhi oleh Kaffa seperti ini.

Zibran hanya dapat diam di tempatnya, memandang punggug Firza yang kian menjauh darinya.  Tatapan Zibran kosong, pikirannya kacau begitu pun dengan hatinya.

Kian hari segalanya kian rumit, tak hanya dirinya saja yang Kaffa hindari. Namun,  seluruh orang. Kaffa seakan membentangkan jarak pada orang-orang di sekitarnya, tidak lagi akrab pada anggota tim basket hingga Firza pun dihindarinya. 

Kaffa tidak lagi pernah mengikuti latihan bersama teman-temannya, anak itu menghabiskan waktu di toko Denia hingga sore dan bermain basket sendiri di lapangan area kompleksnya setiap malam hingga pulang cukup larut.

Sebagai seorang ayah tentu apa yang terjadi pada Kaffa saat ini benar-benar membuatnya cemas melihat putranya. Senyum yang Kaffa tampilkan semenjak kepergian Denia tidak lagi sama, keceriaan anak itu sangatlah berbeda sekarang, segalanya terlihat palsu.

Namun, apa yang harus ia lakukan?  Bagaimana caranya untuk kembali mendapatkan Kaffa seperti dulu? Jangankan bertegur sapa, memandangnya saja Kaffa enggan, anak itu kian menjauh darinnya. Lantas haruskah ia menghilang agar Kaffa tidak lagi terusik akan hadirnya? 

Tidak! Zibran menggeleng, mengenyahkan pikiran bodohnya. Bagaimana mungkin ia berpikir demikian?  Kini hanya ia orang tua yang Kaffa miliki, bagaimana mungkin ia menyerah seperti ini? Tapi apa yang harus dilakukannya? Seperti apa ia harus membawa Kaffa padanya?

***

"Hai!" Firza melambaikan tangannya pada Kaffa yang baru saja tiba di lapangan area kompleks yang belakangan ini Kaffa tempati menghabiskan waktu setiap malamnya.

Firza bangkit dari posisinya duduk sejak tadi sambil melempar bola basket pada Kaffa. "Kalau kamu menang kakak menyerah untuk ganggu kamu. Kalau kamu kalah,  jangan pernah menghindar lagi," ucap Firza menantang

Kaffa tersenyum, dilemparnya bola yang berada dalam genggamannya pada ring basket tanpa ragu. "Aku menang," ucapnya berhasil memasukkan bola tersebut dengan tepat.

"Yak, itu curang! Aku belum siap!" Firza mencebik tak terima akan kemenangan yang dimaksud Kaffa.

Setelahnya keduanya pun bermain, tak ada yang ingin mengalah satu sama lain, saling berebut bola guna mencetak angka. Gesit, Firza sampai hampir tak dapat mengimbangi permainan Kaffa yang semakin lihai bermain.

"Puas?" tanya Kaffa mengakhiri permainan  mereka. Ia tersenyum kala berhasil melawan Firza yang merupakan kapten tim basket tersebut.

"Makin jago kamu, Kaf!" seru Firza mengacungkan jempolnya dengan bangga akan perkembangan Kaffa.

"Lebay, Kak." Kaffa melemparkan bola dalam genggamannya pada Firza dengan kasar yang diterima baik oleh pemuda itu.

Ia pun mendudukkan diri di sisi lapangan  guna melepas kelad lelah akan permainan mereka tadi. Kaffa mengulum senyum tipis menatap Firza yang ikut duduk di sampingnya.

"Jadi kakak harus menyerah?" tanya Firza menatap Kaffa.

"Itu aturan yang kakak buatkan?"

"Kaf ...." Firza rasanya ingin menangis saat ini, menyesali aturan bodohnya tadi. Ia tidak pernah menyangka bila Kaffa akan berhasil mengalahkannya. "Jangan seperti ini."

"Aku kenapa? Tidak ada apa-apa yang terjadi."

"Kamu pikir aku percaya? Kita kenal bukan sehari, Kaf, aku mengenalmu lebih dari yang kamu tahu, Kaf."

"Justru karena kita saling mengenal, itu membuatku tak nyaman." Kaffa mengalihkan pandangannya dari Firza beralih menatap hamparan bintang di atas sana.

"Apa salahnya?" Firza menghela napas sejenak lalu kembali berkata, "Kamu tau segalanya tentangku, tapi mengapa tidak ingin aku tau tentangmu?"

Kaffa terdiam, menunduk meresapi apa yang dikatakan Firza. Ia tak menampik tentang apa yang dikatakan Firza saat ini, bahkan ia paham bila dirinya telah berlaku egois dengan cara menghindari Firza selama ini.

"Maaf,  Kak, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

"kalau kamu tidak tahu, bertanyalah pada kakak, bodoh! Jangan menghindar."

"Ck,  kakak saja bingung."

"Karena kamu membuat kakak bingung," balas Firza yang berhasil membuat Kaffa tersenyum seperti dulu. "Ya ampun, berapa lama aku tidak melihatnya."

Firza meraih tubuh Kaffa yang berada di sampingnya. Membawa Kaffa ke dalam  rengkuhannya, ia berhasil mendapatkan Kaffa setelah berhari-hari terabaikan oleh anak tersebut.

"Ayo pulang, sudah makin larut, Kaf!" seru Firza setelah merasakan hawa dingin semakin menusuk.

Kaffa mengangguk, menyusul Firza berdiri dari posisinya untuk beranjak. Namun, entah apa yang salah? Baru beberapa langkah kakinya kehilangan kendali. Pijakannya goyah, hingga membuatnya nyaris jatuh bila tak ada Firza yang menahannya.

"Kamu kenapa?" Firza panik, Kaffa hampir saja terjatuh bila ia tidak memegangnya.

Kaffa menggeleng, ia melepaskan tangan Firza darinya setelah dapat berdiri seperti biasa. "Enggak apa-apa, kak. Oleng saja tadi," ucapnya yang kemudian berjalan lebih dulu menuju sepedanya meninggalkan Firza begitu saja dengan tampang bingungnya.

______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro