A Letter is Never Enough
Bandung, 12 Oktober 2019
Teruntuk kamu, yang kemarin mengenakan kaus hitam.
Aku tahu, kamu baik-baik saja. Bahkan, kemarin sore aku masih melihatmu tertawa-tawa di warung kopi dekat gerbang Utara kampus. Tapi … bolehkah aku bertanya lagi, bagaimana kabarmu? Kuharap, bahagia takkan mau memusuhimu lama-lama, ya.
Bagaimana rasanya jadi mahasiswa? Menyenangkan, tapi sedikit melelahkan, ya? Aku tahu, bukan karena aku juga seorang mahasiswi. Tapi, setiap garis di wajahmu mengutarakan semua, dan aku sedikit sok tahu tentang apa yang kau rasakan ketika berkegiatan di kampus.
Terkadang aku iri pada mereka yang berada di satu organisasi denganmu. Mereka bisa berlama-lama di sekelilingmu, melakukan kegiatan seru, atau sekadar duduk bersama untuk mengeluhkan perihal apa-apa yang berjalan tak sesuai rencana.
Sedangkan aku … aku terlalu malu untuk bergabung dengan lingkunganmu. Kita memang satu jurusan di fakultas dan kampus yang sama. Tapi, aku bukan tipe orang sepertimu. Kamu aktif, senang berinteraksi, dan easy going kata orang-orang. Berbeda denganku, yang lebih senang menyendiri di bangku pojok atau di sudut rak perpustakaan.
Aku hanya ingin bilang … aku mengagumi setiap apa yang kau lakukan.
Mungkin, bukan hanya aku yang mengangumimu. Atau mungkin, diantara mereka ada yang mempercayakan cintanya untukmu. Tapi aku tak peduli. Bahkan aku lebih tidak peduli, apakah engkau tengah mencintai gadis lain sekarang ini.
Yang kutahu, pikiran dan hatiku sama-sama tertuju padamu. Dalam setiap heningku, dalam setiap waktu rehatku, bahkan dalam doa setiap sujudku, namamu seperti sudah melanggam untuk terbesit di pikiranku.
Lucu ya, hanya sekadar melihat dirimu, aku bisa jatuh cinta seperti ini.
Berminggu-minggu aku hanya bisa mengamatimu, kalau kita tak sengaja berada di ruang waktu yang sama. Hingga kemarin, aku baru tahu, kau memiliki tiga kata yang terkukuh sebagai namamu.
Kemarin juga, kita bertukar sapa. Dan kau … sempat melempar senyum padaku. Seandainya kau tahu, hal sederhana itu berhasil mencipta semburat merah jambu di pipiku. Untungnya, dirimu segera berpaling usai membuat wajahku memanas. Bisa semakin malu aku, kalau kau melihat pipiku yang bersemu.
Benar kata orang-orang. Jatuh cinta bisa membuat hal sederhana menjadi luar biasa. Kau percaya tidak? Ini kali pertama aku merasakannya. Jadi … tolong maafkan kalau aku terlihat hiperbola.
Oh ya, aku pertama kali melihatmu di ujung koridor dekat tangga. Saat itu lantai masih basah, dan alas sepatumu yang kotor menginjaknya. Kukira kau sedang kebingungan karena kehilangan sesuatu, ternyata kau mencari alat pel. Dan membersihkan lantai yang tak sengaja kau kotori. Sejak saat itu, aku menjatuhkan seluruh rasa penasaranku padamu. Tidak, aku tidak menguntit. Hanya saja, setiap kali netraku menangkap sosokmu, maka seluruh atensiku adalah milikmu.
Sejak saat itu juga, aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, tidak di bangku pojok. Bersahabat dengan sunyi sambil membaca dan mengutip puisi-puisi cinta milik Sapardi; atau roman-roman fiksi milik Boy Candra.
Jadi … kau paham, kan, mengapa surat yang kutulis ini diksinya terlalu manis?
Baiklah. Kurasa cukup sampai disini dulu. Sebetulnya masih banyak yang ingin aku sampaikan, tapi, kalau surat ini sampai padamu, bisa-bisa matamu meledak karena terlalu banyak menelan kata-kata aneh dariku yang berlagak puitis ini.
Semoga, semesta memberikan restunya untuk kita bertemu lagi. Syukur-syukur kita boleh saling bicara.
Tertanda,
Pengagummu, yang enggan menjadi rahasia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro