chp 2. gadis yang melihat mekarnya bunga sakura bersamaku
spring
april 2014
SMP Morizawa
"Tumben kau ke sini, Kei."
"Ibu kan yang menyuruh Kei ke sini." Aku menyimpan kotak bekal yang ibu tinggalkan di meja makan ke meja di hadapanku.
"Biasanya Kei tidak pernah mau."
"Bukannya tidak mau, Bu. Tapi Ibu selalu menyuruh Kei di saat Kei lagi kerja kelompok di sekolah. Atau sedang latihan klub. Gimana Kei mau nganterin ke rumah sakit kalau Kei-nya lagi di sekolah."
"Ah, alasan saja kamu."
Aku dan ibu sekarang sedang berada di kantin rumah sakit. Rumah Sakit Morizawa. Tempat ayah dan ibuku bekerja.
Ibu bekerja sebagai apoteker di sini. Sedangkan ayah, dokter spesialis jantung. Mereka bertemu di tempat ini lalu akhirnya menikah.
"Kei tidak mau jadi dokter?" Ibu membuka kotak bekal yang dibawa olehku.
"Ibu mau Kei jadi dokter? Atau ayah?"
Ibu melirikku. "Ibu tidak menyuruhmu, Nak. Itukan masa depanmu. Kei sendiri yang harus menentukannya."
Aku sendiri yang harus menentukannya?
Ah, iya.
"Bu, besok Ibu atau ayah masih sibuk di rumah sakit?
"Kenapa memangnya, Nak?" Ibu menjawab sambil makan.
"Ah, tidak jadi."
Di depanku, Ibu memandangku dengan sendu. Seharusnya aku tidak menanyakannya saja. Mereka pasti tidak bisa datang ke perlombaan lariku besok. Rumah sakit biasanya akan lebih ramai saat hari Sabtu.
Padahal, aku hanya ingin ada yang datang menontonku berlomba.
Apa-apaan kau, Kei?
Aku kembali memperhatikan rumah sakit. Terakhir kali aku ke sini, saat musim semi kelas 4 dulu, ya?
Saat aku dan seorang gadis sedang bersama di jendela depan Ruang Sakura dengan bunga lavender di tengah kami.
Apa kabar gadis itu?
****
"Kei, orang tuamu nanti tidak datang lagi?"
"Mereka biasanya tidak datang, kan."
"Yah. Sabar ya, Kei. Memangnya tidak ada lagi yang bisa kau ajak ke perlombaan?"
"Hah. Siapa lagi memangnya yang bisa saya ajak? Saya anak tunggal."
"Ya. Pacarmu gitu."
"Mana ada."
"Itu. Di pergelangan tanganmu. Seperti ikat rambut perempuan."
Mendengar ucapan salah satu dari mereka, aku kembali melihat ke pergelangan tanganku. Di sana memang ada sebuah ikat rambut perempuan. Warnanya putih perak bercorak polkadot magenta.
"Cie. Punya siapa itu?"
"Kau selalu mengenakan itu di tanganmu? Kau benar-benar laki-laki imut, Keiji."
///
"Berisik."
Sialan. Mereka menertawakanku. Kami sedang berlatih untuk terakhir kalinya sebelum perlombaan besok.
Perlombaan Lari Antar Prefektur.
"Kei, lihat nih Tarou. Orang tuanya juga sibuk. Tapi dia membawa teman-teman perempuannya besok. Ya kan, Tarou?"
"Iyalah. Miyuki, Rena, dan Yumi akan datang besok untuk menontonku berlomba. Biasalah. Kami selalu karaokean saat pulang sekolah. Jadi, besok mereka rela datang ke tempat lomba hanya untuk menyemangatiku."
Cih. Apa-apaan. Begitu saja dibanggakan. Bukannya berusaha meraih posisi pertama, perlobaan antar prefektur malah selalu dijadikan ajang pamer, siapa yang paling banyak membawa orang untuk menontonmu berlomba.
Jelaslah aku selalu kalah. Dua tahun ajang ini diadakan, tidak ada satu pun orang yang datang ke tempat perlombaan untuk menontonku berlomba lari. Memang selain ibu dan ayah, siapa lagi yang bisa aku ajak?
"Kau mau ke mana, Keiji?"
"Beli minuman."
"Nitip."
"Tidak mau."
Aku berjalan memasuki gedung. Menaiki tangga menuju lantai dua. Di depan tangga sana, ada mesin penjual otomatis.
Saat sudah membeli kaleng minum, aku meminumnya di tempat. Saat itu juga, aku melihat seorang gadis yang tak jauh dariku, terlihat sedang menyapu bagian depan kelasnya. Sendirian.
Hmph.
Aihara?
Aihara terlihat sedang kerepotan mengatur rambut panjangnya yang selalu menghalangi pandangannya ke sapunya.
"Kau butuh ini?" Aku melepas ikat rambut itu dari pergelangan tanganku. Memperlihatkannya pada Aihara yang sudah menengok tanpa berpindah dari tempatnya berdiri.
Aihara tersenyum. "Boleh," jawabnya sambil berlari pelan ke arahku.
Saat sudah sampai di depanku, aku memberikan ikat rambut itu (yang memang itu punyanya) (ingat saat aku melepas ikat rambut Aihara saat di rumah sakit? Aku masih mengenakannya di pergelangan tanganku setiap hari. Berharap dia akan mengingat ikat rambut itu, lalu akhirnya bicara padaku lagi)
"Kenapa kau punya benda ini?" Aihara menguncir rambutnya ke samping.
"Itu. Dari-"
"Aku boleh pinjam?"
"Iya, ambil saja."
Aihara selesai mengikat. Lalu berbalik padaku sambil tersenyum, lagi. "Terimakasih."
///
"Aku akan mengembalikan ini besok."
"Eh. Besok saya tidak ada di sekolah. Ada perlombaan lari." Hari Sabtu biasanya suka dijadikan hari kegiatan klub.
"Di mana?"
"Lumayan jauh dari sini."
"Kau ikut klub lari, ya?"
"Iya."
"Wah, keren sekali. Aku boleh menontonmu berlomba?"
Sebentar?
"Sekalian mengembalikan ikat rambut ini."
"Kau beneran mau menonton saya?"
"Iya. Besok aku tidak ada kerjaan. Bosan di rumah. Mending, main ke luar."
Tanpa sadar, aku tersenyum. "Ya sudah. Datang, ya. Saya tunggu."
"O-oke. Namamu siapa?"
"Keiji."
"Aku Aihara."
Iya, sudah tahu.
****
Sudah bisa diduga. Aihara ternyata benar-benar melupakanku.
****
"Kei, kau datang sendirian lagi?"
Hari itu sudah hari Sabtu. Hari perlombaan lari antar prefektur. Dan temanku ini sudah mengajakku bertengkar di hari sepagi ini.
"Tidak. Nanti akan ada yang datang ke sini."
"Siapa? Orang tuamu kan sibuk di rumah sakit."
"Pokoknya ada. Kalian tunggu saja."
"Siapa? Perempuan atau laki-laki?"
"Y-ya, tunggu saja."
Aihara akan datang pukul 8, sementara perlombaan dimulai pukul 9. Masih ada waktu untuk mengobrol dengannya.
Orang-orang yang diundang teman-temanku ke perlombaan sudah pada datang. Mereka langsung menyemangati teman-temanku.
Aku? Tidak ada yang menyemangati.
"Keiji-kun!"
Set.
"Sudah dimulai lombanya?"
Aihara datang dengan mengikat rambutnya ke samping, menggunakan ikat rambut yang aku kasih padanya kemarin.
"Wah. Siapa ini, Kei? Manis sekali."
"Adik perempuanmu?"
"Aku Aihara. Temannya Keiji-kun."
"Oh, temannya. Teman, ya."
"Ahahahaha. Sudah, yuk. Kita pergi ke sana, Aihara."
Aku dan Aihara memisahkan diri dari teman-teman kampret-ku itu. Berjalan di belakang Aihara, lagi.
Tanpa sadar, aku memandangi bagian belakang rambut gadis itu. Dan tanpa bisa aku cegah, tanganku tiba-tiba bergerak menyentuh ikat rambutnya. Sedetik kemudian, aku melepas ikatannya.
Rambut Aihara terurai di depanku. Dia menoleh. "Kenapa?"
"Bisa kau begitukan saja rambutmu? Kau, terlihat, lebih, c-"
"Lebih apa?"
"Sudah, begitukan saja, ya," senyumku.
Aihara kembali menoleh ke depan. Sempat kulihat wajahnya yang memerah.
Aku dan Aihara duduk di salah satu anak tangga. "Kenapa kau selalu memakai ikat rambut itu di pergelangan tanganmu?"
"Saya mengambilnya dari teman kecil saya. Berharap dia akan menyadarinya lalu mengobrol lagi dengan saya."
"Memangnya kalian sudah berjauhan?"
"Em, tidak ada alasan lagi kami untuk mengobrol."
"Kenapa tidak Keiji-kun yang mengajak mengobrol duluan?"
"Ah. Tidak. Saya. Malu."
"Malu? Ah. Keiji-kun lucu sekali."
///
"Keiji-kun!"
"Hm?"
"Semangat, ya!"
"O-oke!"
"Nanti kalau Keiji-kun berhasil meraih posisi pertama, aku boleh mengajak Keiji-kun pergi melihat bunga sakura bareng? Aku ingin melihatnya. Tapi, tidak ada teman."
Hah?
"O-oke. Serahkan saja pada saya."
Aku kembali ke teman-temanku. Mereka sudah menatapku dari kejauhan dengan ekspresi yang sangat menyebalkan.
"Uh, siapa tuh?"
"Kei sudah besar."
"Lihat saja nanti, saya akan memenangkan perlombaan."
"Biasanya juga kau selalu menang, Kei."
"Apa jangan-jangan, gara-gara ada gadis itu, kau jadi tambah bersemangat? Wah."
///
Aku mengabaikan mereka. Memang mereka sangat menyebalkan. Rajin sekali mengejekku.
Saat perlombaan akan dimulai, aku melihat Aihara masih duduk di tempatnya dan di tempatku tadi mengobrol. Gadis itu melambaikan tangannya padaku.
SAYA AKAN MEMENANGKANNYA, AIHARA
Satu, dua, tiga. Pistol dibunyikan.
Semua peserta perlombaan lari, serentak meninggalkan garis start. Tapi laju mereka tidak sama. Ada yang lebih cepat, ada yang lebih lambat. Aku termasuk ke mereka-mereka yang berlari lebih cepat itu. Posisiku berada di urutan pertama.
Sepanjang berlari, jantungku terus berdetak dengan cepat. Rasa takut akan kalah, tiba-tiba menghampiri diri ini. Teringat Aihara sedang menontonku. Dan, aku takut mengecewakannya. Sehingga tidak jadi pergi melihat bunga sakura bareng.
Ah, aku harus menang!
Sebenarnya, aku tidak mau menceritakan ini. Ini kejadian yang memalukan.
Di ending perlombaan, yang keluar sebagai pemenang adalah Tarou, salah satu teman yang mengejekku tadi. Aku hampir melepas pita pembatas garis finish itu sebelum, aku terjatuh tersungkur ke tanah.
Aku tidak terdiam lama di posisi itu. Aku segera berdiri, melanjutkan larian. Tapi saat itu, pita pembatas garis finish sudah terputus. Dan aku keluar sebagai juara 3.
ARGH!
"WKWKWKWKWKKKK."
"'Lihit siji ninti, siyi ikin miminingkin pirlimbiinnyi'."
"Diam kalian!"
Aku memandangi luka di lututku, karena terjatuh tadi. Ada banyak darah yang keluar dari sana.
Sial. Aku gugup sekali tadi.
"Keiji-kun!"
"Cie."
"Pergi!"
"Iya-iya, yang mau pacaran."
Kedua temanku yang terus mengejekku tadi pergi dengan sisa tertawaannya. Sialan. Sialan. Sialan.
"Maaf."
"Kenapa?"
"Gara-gara ada aku, Keiji-kun jadi gak fokus, ya?"
"Hah? Siapa yang bilang begitu?"
"Tadi. Teman-teman Keiji-kun tadi."
"Oh. Mmm. M-maaf juga." Aku menggaruk bagian belakang kepala.
"Maaf kenapa, Keiji-kun?"
"Saya gagal memenangkan perlombaannya."
"Wah. Tidak apa-apa, Keiji-kun. Keiji-kun tadi keren. Larinya cepat sekali."
///
"Biasa aja."
"Eh. Itu lukanya biar aku obati."
Aku baru menyadari di tangan Aihara ada sekotak peralatan P3K. Aku yang sedang duduk di kursi pun diobati lukanya oleh gadis itu.
Aku terus memperhatikan Aihara dari atas. Aihara tampak kelimpungan mengobatiku karena rambut panjangnya terus menghalangi pandangannya. Aku tertawa. "Ini. Pakai."
Aihara hanya memandangi ikat rambut yang aku sodorkan padanya. "Ah, tidak perlu, Keiji-kun. Bukannya Keiji-kun lebih suka melihat aku yang seperti ini?"
"Ta-tapi, kau terlihat kerepotan."
"Tidak apa-apa, Keiji-kun. Aku sudah biasa."
Aihara pun selesai mengobati luka di lututku. Dia menutup lukanya dengan kapas dan plester.
"Yah. Kita gak jadi pergi melihat bunga sakura bareng berarti?"
"Kenapa?"
"Kakimu kan terluka. Dan, aku tadi bilang, aku akan mengajakmu pergi melihat bunga sakura kalau kau memenangkan perlombaan. Jadi-"
"Biar saya yang mengajakmu pergi."
"Eh?"
"Mmm. Saya boleh mengajakmu pergi melihat bunga sakura bareng?"
Aihara terkaget tapi juga tersenyum. "Ayo."
****
Biarpun lututku terluka, tapi aku masih bisa berjalan. Ya walau dengan agak sempoyongan.
Di hari Sabtu jam 12 siang itu, aku dan Aihara pergi melihat mekarnya bunga sakura di daerah sekitar perlombaan. Aku sudah izin pada pelatih dan teman-temanku untuk pulang sendiri menggunakan kereta. Untung mereka mengizinkan. Ya meski aku diejek lagi sama Tarou dan temanku yang lain.
Sampailah kami di tempat Hanami. Ada banyak pohon sakura yang siap bermekaran dengan cantik di hadapan kami. Di bawahnya, ada banyak keluarga yang menggelar tikar dengan banyak makanan dan teh di atasnya.
Sementara, aku dan Aihara hanya menonton di balik pagar. Pagar pembatas jalanan dengan tempat acara piknik Hanami.
"Kau tidak nonton bareng keluargamu?" tanyaku, membuka percakapan pertama setelah sampai.
"Sudah. Di prefektur kita kan, Hanami sudah bermekaran sejak akhir Maret. Tadi pas jalan ke sini, aku lihat di tempat ini belum. Jadi aku berniat mengajakmu ke sini."
"Oh iya. Saya lupa."
"Tapi, ini pertama kalinya aku melihat bunga sakura bermekaran selain dengan keluargaku."
"Saya juga."
"Lho, kok bisa sama, sih?"
"Jodoh kali."
Aku tertawa. Sementara Aihara malah merona.
Yah. Sepertinya aku salah bicara.
Lalu, tiba-tiba, setetes air mengenai kulit tanganku. Setetes air lagi mengenai kulit tangan Aihara yang saat itu sedang bersebelahan dengan tanganku. Tak lama, setetes air lain mengenai permukaan tanah.
Oh, tidak, hujan.
Aku mengajak Aihara berteduh. Di sekitaran kami, bangunan yang terlihat hanya toilet yang terletak di taman bermain itu. Pergilah aku dan Aihara ke sana.
Saat kami sedang berteduh, Aihara melihat jam tangannya. "Ah, tidak. Keretanya akan berangkat sebentar lagi. Kalau aku tidak ke stasiun sekarang, jadwal selanjutnya sekitar dua jam lagi. Ibu menyuruhku pulang sebelum sore."
"Kau bawa payung?"
"Bawa. Tapi, aku tidak berani memakainya. Hujannya deras sekali."
"Kalau bareng saya gimana?"
"Eh?"
"Kalau bareng saya, Aihara berani menembus hujan?"
Ah, sial. Jantungku berdegup kencang.
"A-ayo, kalau begitu."
Apa?
Aihara mengeluarkan payungnya. Kemudian membukanya.
Aku tertawa. "Payungmu selalu kecil, ya."
"Eh."
Aihara memberikan payungnya padaku. Menyuruhku menembus hujan duluan.
Aku sudah berdiri menggenggam payung di bawah hujan. Aihara masih menatapku ragu di depanku. Lalu, sedetik kemudian, dia bergabung bersamaku.
Ternyata, payung ini cukup lebar untuk kami berdua. Ya meski bahu kami terpaksa harus bersentuhan. Membuat jantungku terus-terusan berdegup dengan kencang.
Aku dan Aihara pun berjalan pergi meninggalkan taman bermain. Berdiri di bawah payung yang sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Bedanya kali ini, aku tidak terciprat genangan air jalanan.
Tapi, malah Aihara yang terciprat.
Yah, aku lupa membiarkannya berdiri di sebelah jalanan.
"Bajuku kotor."
"Ini pake jaket saya."
"Tapi, nanti Keiji-kun kedinginan."
"Tidak apa-apa. Berada di samping Aihara saja sudah membuat saya hangat. Eh. Tidak lupakan."
"Keiji-kun bilang apa?"
"Bukan apa-apa."
///
Kami melipir dulu ke halte di depan kami. Aku membuka jaketku. Aihara langsung memakainya di balik baju kotornya tadi. Untungnya bajunya cuma kotor sedikit dan tidak terlalu basah.
Kemudian, kami berdua pun melanjutkan perjalanan ke stasiun dengan Aihara yang memakai jaketku yang kebesaran.
Lucu sekali dia.
Jadi pengen bawa pulang.
Eh.
****
Besoknya, hari Minggu, Aihara datang ke rumahku untuk mengembalikan jaket. Aku sudah mengajaknya masuk tapi gadis itu menolak dengan alasan 'harus pergi ke rumah kakeknya nanti'.
Padahal aku sudah menyuruhnya untuk mengembalikannya hari Senin, di sekolah. Biar bisa sekalian ngobrol lagi.
Dan seperti yang aku perkirakan, kami pun tidak mengobrol dan bertegur sapa lagi.
Aku masih dan sering bertemu dengan Aihara di sekolah. Tapi, aku tidak berani mendekatinya.
Karna kupikir, tidak ada alasan lagi untuk kami bertemu dan mengobrol.
Gadis itu akan melupakanku lagi. Melupakan Sabtu yang menyenangkan, menonton mekarnya bunga sakura secara bersama-sama.
Keiji ingin menonton Hanami bareng Aihara lagi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro