Chapter 5
Under Pressure
Dengan masih menggunakan piyama kuningnya, Ellie berjalan dengan freedom sounds di area tangga yang ada di dekat kamarnya. Sengaja Ellie memperkeras suaranya yang menyatakan kekesalannya pada kedua orang tuanya. Bukankah mereka terlalu berlebihan mengekang Ellie di dalam rumah? Mungkin keadaan fisik Ellie membaik, tapi psikisnya sangat terganggu. Bahkan suatu hari Ellie berncana untuk berpura-pura gila agar bisa keluar dari rumah.
Saat itu Ellie berusia 15 tahun. Perasaannya saat itu benar-benar seperti burung yang ada di dalam kandang. Terasa gelap dan pengap walaupun banyak celah-celah untuk udara bebas. Tapi tak dirasakannya sama sekali. Saat menonton acara berita di TV, Ellie melihat seorang reporter wanita sedang meliput salah satu rumah sakit jiwa di London. Beberapa spot berhasil terekam dengan apik dan rapi. Saat banyak orang gila bermain boneka bersama bak orang normal, Ellie berencana untuk berpura-pura gila dan bermain bersama orang-orang gila di rumah sakit tersebut. Pasti akan ramai, pikirnya saat itu.
Ketika Ellie hampir melancarkan aksinya, ia mencari di mana Mom berada. Lima menit mencari keberadaan Mrs. Sheloinee, Ellie menemukannya di ruang makan dekat dapur sedang berbincang dengan beberapa pembantu pelaksana yang bekerja di dapur. Ellie mendekat sedekat mungkin dengan mereka agar ia bisa tahu apa yang sedang dibicarakan oleh para orang dewasa tersebut. Gadis belia itu memutuskan untuk bersembunyi di bawah kolong meja yang tertutup kursi makan Pops. Ellie mulai menajamkan telinganya.
"Apa itu benar?" tanya Mom dari sana.
"Benar, nyonya. Katanya orang gila itu kabur dari rumah sakit jiwa setelah menyiksa seorang gadis yang juga sakit jiwa di sana." Sahut Mr. Johnson, tukang masak keluarga Sheloinee.
"Ahh, bukankah itu sangat kejam?" Mrs. Riggle berargumen sambil bergidik ngeri. Tampak banyak kerutan di wajahnya yang menginjak usia 50 tahunan. "Aku dengar anak itu seusia dengan Ms. Ellie, kan?"
"Dasar orang gila tak bermoral." Marah Mrs. Sheloinee yang ditandai dengan mencengkram kuat gelas yang sedari tadi dibawanya.
Mendengar itu, Ellie merasa sangat takut. Bagaimana kalau nantinya ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa yang sedang di bicarakan oleh para orang dewasa tadi? Pikir Ellie, pasti orang gila itu masih punya sindikat lain di dalam rumah sakit jiwa itu atau bahkan berkomplot dengan para perawat. Setelah menimbang-nimbang dengan pasti, Ellie memutuskan untuk mengurungkan niat konyolnya itu. Yang pertama dan terakhir, karena ia masih ingin hidup normal.
Betapa bodohnya Ellie saat itu. Menjadi orang gila? Yang benar saja. Menjadi normal saja belum, mau tambah tidak normal. Oke, Ellie masih punya akal sehat yang kini sudah berfungsi lebih matang lagi.
Ellie berjalan cepat sambil mencoba mengikat rambut bergelombangnya. Ia bergegas ke arah gerbang dan menanti seseorang di sana. Ellie memegangi gerbangnya, tampak harap-harap-cemas tersirat di wajahnya yang sepertinya mulai tumbuh jerawat kecil di bawah bibirnya.
Tak lama, terdengar suara bel sepeda tua dari arah barat rumahnya. Mata Ellie segera berfokus pada seorang laki-laki paruh baya yang menaiki sepeda tua khas zaman dahulu di London. Sepeda yang harusnya sudah dimuseumkan tampak kokoh dikayuh kemanapun tuannya pinta. Ia adalah tukang koran yang selalu datang mengantar koran Mr. Sheloinee setiap pagi. Dan Ellie baru saja mengenalnya 6 hari yang lalu.
"Good morning, Miss Sheloinee. Apakah anda tidur nyenyak malam ini?" tanya tukang koran yang memiliki kumis tipis dan berkacamata itu dengan ramah dan sopan.
"Good morning too, Mr. Petersson. Sangat nyenyak, Mr. Petersson. Tapi hari ini aku sedikit pusing setelah bangun." Balas Ellie seraya mengambil koran dari Mr. Petersson. "Ada saran mungkin, Mr. Petersson?"
"Well, cobalah minum air putih dan usahakan tidurmu terlentang."
"Perfect. Thank you for your suggestion and your fresh-morning-newspaper."
"Your welcome, Miss. Have a nice day." Mr. Petersson segera mengayuh sepeda tuanya menuju ke rumah lainnya yang memesan korannya.
"You too!!" jawab Ellie dengan teriakan supernya karena lelaki paruh baya itu sudah agak jauh dari rumahnya. Mr. Petersson hanya membalas dengan lambaian tangan tanpa menoleh. Ellie tahu lelaki tua itu akan menjadi teman yang baik untuknya.
Setelah Mr. Petersson tak tampak lagi di hadapannya, Ellie mendesah pelan dan berjalan menuju ke dalam rumah. Ellie tak perlu repot-repot mengotori tangannya untuk membuka pintu karena salah satu pelayannya sudah membukakan pintu untuknya.
"Dimana Pops, Mr. Rawnley?" Ellie menatap pria paruh baya yang membukakan pintu untuknya. Pria itu selalu mengenakan sebuah kemeja dengan rompi dan sarung tangan agar tangannya tetap bersih.
"Seperti biasa, Miss. Beliau sedang berada di ruang kerjanya." Sahut Mr. Rawley sambil menutup pintu.
"Oh," ujar Ellie sedikit kecewa.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menggambrukkan dirinya di kasurnya yang berukuran king-size itu sambil menegadah menatap motif-motif yang terukir di langit-langit ruangannya. Ia mengikuti arah motif yang seakan terus bergerak ke samping dan keluar dari jendela yang terletak di salah satu sisi ranjang.
Setelah beberapa saat menatap ke arah jendela sambil menyipitkan matanya karena silau cahaya pagi, tiba-tiba matanya terfokus pada sesuatu yang ternyarta dari tadi digenggamnya. Koran pagi milik ayahnya yang sudah kusut itu dibukanya. Pada halaman pertama, tampak sebuah judul yang bertuliskan 'Lulusan Terbaik dari Universitas Oxford'.
"Lulusan terbaik dari Universitas Oxford, eh?" gumamnya pelan.
Ellie memejamkan matanya sejenak, lalu membuka Koran itu lagi dan segera membaca isi berita tersebut. Ia mencermati setiap kata yang terdapat di bacaan itu seolah-olah ia melewatkan kunci kebebasannya. Ia terlalu sibuk membaca berita sampai-sampai tidak menyadari Cate memasuki kamarnya.
"Hey, Ellie." Sapanya sambil duduk di salah satu ujung kasur.
Ellie memalingkan wajahnya untuk menatap Cate yang sedang membuka tasnya. Ia membalikkan tubuhnya yang tadinya terlentang menjadi tengkurap. "Hi, Cate."
"Apa yang sedang kau lakukan? Sampai-sampai hari ini tidak menyongsongku saat aku tiba seperti anak anjing yang kesenangan ketika ownernya datang?"
Ellie memutar bola matanya dan kembali membaca Koran. Cate menjulurkan lidahnya kepada Ellie dan rebahan di samping Ellie. Walaupun Cate adalah guru Ellie, tapi sebenarnya mereka lebih seperti kakak adik yang terkadang saling ejek, curhat, dan bahkan berkelahi.
"Cate,"
"Hmm?" Cate mendongakkan kepalanya menatap Ellie.
"Hari ini kita akan belajar mengenai apa?"
"Bagaimana kalau Matematika?" sahut Cate setelah terdiam selama beberapa saat. "Aku sedang ingin melemaskan otot-otot di otakku!"
"Otak tak memiliki otot, Cate."
"Kau menyimak, Ellie. Bagus!" Cate mengangguk-angguk puas. "Kalau aku begini terus dan kau mampu membetulkan setiap perkataanku, rasa-rasanya kita tak perlu lagi mengkhawatirkan biologi."
"Ah, aku mengerti. Tapi, bukankah kita sudah mempelajari tiga buku? Setahuku juga semua pelajaran telah usai. Hanya tinggal latihan soal."
"Yah, kata siapa kita akan memulai pelajaran baru? Selama kira-kira tiga hari kedepan kita hanya akan mengerjakan bebrapa evaluasi."
"Tiga hari saja?" Ellie yang dari tadi tiduran langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Cate tepat di matanya, "Memangnya ada apa sampai-sampai hanya akan latihan soal selama tiga hari?"
"Dasar payah!" Cate menjitak kepala Ellie sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Apa kau lupa kalau kau ini sudah kelas 3? Tentu saja aka nada ujian pada 2 hari berikutnya."
"Apa maksudmu, Cate? Jangan bilang 3 hari yang kau maksud itu termasuk hari ini?" Ellie membelalakan matanya pada Cate.
"Yeah, sayangnya begitu." Cate tersenyum cemas, "Tenang saja, Ellie. Kau akan baik-baik saja. Semua pasti akan berjalan dengan lancar, okay?"
Ellie mengangguk pelan dengan murung. Bagaimana ia bisa lupa? Padahal sebenarnya ia sudah berencana memancing Cate untuk menceritakan tentang Universitas kepadanya. Hancur sudah rencananya.
"Ellie," nada suara Cate yang tampak menegur membuatnya bertanya-tanya. Ellie hanya mendongakkan kepalanya dengan wajah innocentnya. "Kalau kau hanya melamun terus di situ, kapan kita akan belajarnya? Ayo segera siapkan bukumu!"
"Ah, sorry."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro