Chapter 4
Catty Cate
Ellie mendekati rak bukunya dan mengambil sebuah note, juga beberapa buku paket yang tebal dengan cover fosil dinosaurus yang dipajang di sebuah museum yang tak diketahui oleh Ellie. Ia memandang cover buku itu dengan jeli. Tulisan Archeology terpampang jelas di sana. Sampai sekarang, Ellie sangat menyukai pelajaran ini. Mungkin karena ia bisa menjadi arkeolog, berkelana mencari jejak-jejak sejarah, dan mengabadikannya dalam sebuah foto.
Jam 9 tepat. Waktu yang sangat terlambat untuk datang ke sekolah. Tapi tidak untuk Ellie. Ia baru saja akan memulai pelajaran. Ellie tidak belajar di sekolah seperti anak-anak lain yang belajar bersama dan tertawa saat jam istirahat. Jam belajar Ellie hanya dihabiskan olehnya dan gurunya yang setia mengajarinya selama bertahun-tahun. Miss Cate, begitu Ellie biasa memanggilnya. Tapi Ellie memang lebih suka memanggilnya Cate karena umur mereka hanya terpaut 5 tahun. Kata 'Miss' hanya ia gunakan saat ada Mr. dan Mrs. Sheloinee agar terlihat formal. Lagipula, Cate juga tidak keberatan.
"Hai, Cate." Sapa Ellie ketika Cate datang ke rumahnya.
Cate membalasnya dengan lambaian tangan karena saat itu ia sedang berada di depan pintu utama rumah Ellie sambil membenahi pakaiannya. Hari ini Cate memakai jaket biru dan celana jeans berwarna terang, dan selalu sneakers hitam yang agak kotor. Cate sangat memang sangat menyayangi sneakers hitamnya itu, entah kenapa, sampai sekarang tak ada yang tahu. Jika ada yang bertanya, maka ia akan menjawab, "Ya, hanya menyayanginya saja. Seperti kau menyayangi keluargamu.". selalu begitu hingga si penanya bosan, contohnya... Ellie.
"Cate, kita akan belajar apa hari ini?" tanya Ellie setelah mereka merebahkan diri di kursi belajar yang ada di kamar Ellie.
"Hmm, coba kita lihat," Cate mengamati buku-buku paket yang ada di rak buku Ellie. Semua tampak sangat rapi dan bersih di sana seperti tak ada segelintir depupun yang berani menempel pada buku-buku itu. Juga buku-buku paket milik Ellie tampak sangat membosankan untuk Cate. Bukan tidak mau lagi mengajar Ellie, hanya saja Cate sedang sangat malas untuk belajar. Ia sangat ingin bermain laptop atau bercerita saat ini.
"Hey, kau tahu Ellie, mungkin lebih baik kau yang memilih sendiri mata pelajaranmu hari ini. Ya, aku pikir, aku akan memberimu sedikit kebebasan untuk belajar mata pelajaran yang kau sukai. Aku akan menurut saja. Bagaimana?"
Ellie mengangguk-angguk sambil sedikit menahan tawa. Sudah berapa tahun Ellie mengenal Cate? Sangat lama. Dan itu membuatnya tahu apa yang sedang terjadi pada perempuan yang lebih tua 5 tahun darinya itu. Kalau sudah seperti ini, Cate pasti malas sekali untuk mengajar. Ellie menggaruk-garuk tengkuknya beberapa kali sambil mengamati Cate yang terus saja memandang jendela.
"Sounds good, Catty," Ellie menepuk-nepuk pundak Cate. "How about... watch something in your laptop or tell some story for me?"
Seketika itu juga wajah bosan Cate berubah menjadi cerah. Senyumanpun tak dapat dipungkiri dari wajahnya. Cate tahu ia salah, ia pasti akan makan gaji buta dari orang tua Ellie. Tapi, ayolah, hanya satu kali, bukan? Lagipula, Ellie yang mengajaknya. Ellie hanya tahu isi hatinya dan mengajaknya untuk membuka sesuatu di laptop atau bercerita. Tapi seketika itu juga, wajah Cate berubah menjadi sedikit bingung dan cemas. Laptop yang tadi sudah ia keluarkan seakan enggan untuk dibuka. Cate mengurungkan niatnya yang semula membuatnya bahagia.
"Ada apa?" selidik Ellie dengan dahi berkerut.
"Bagaimana kalau Mrs. Sheloinee tahu apa yang kita lakukan?"
Kini mimik wajah Ellie jadi tak beda jauh dari Cate. Kenapa ia tak memperhitungkan hal ini? Kalau Mom sampai tahu apa yang mereka lakukan, ia yakin Mom akan mengadukan hal ini pada Pops dan Pops akan menghukum mereka. Cate pasti tidak boleh datang mengajar Ellie dan akan menggantikan Cate dengan Ms. Miriam, guru yang tua, super galak, dan harus betul dan benar. Tipe-tipe super-perfect-teacher begitu lah. Maka dari itu, siapa sih yang mau punya guru seperti itu. Ellie sih malas-malas aja. Ellie inginnya seperti Cate. Asik, rame, dan cerdas.
"Bagaimana kalau kita sambil buka internet saja. Mmm, buka Google Picture. Nanti kalau Mom datang langsung pura-pura menerangkan tentang foto yang kita buka." Gagas Ellie sesaat kemudian.
"Cerdas. Ayo kita buka tentang manusia purba."
Ellie mengangguk-angguk menyetujui. Kemudian Cate segera membrowsing foto-foto manusia purba yang dulu pernah menyinggahi bumi ini. Selain foto-foto telanjang manusia purba yang langsung dikomentari Ellie dengan kata, "Eww...", Cate juga segera membrowsing tentang penjelasan-penjelasan manusia purba supaya lebih real. Ellie juga membuka buku sejarahnya dan sengaja membuka dibab tentang manusia purba dan menyiapkan catatannya minggu lalu agar terlihat kalau ia sudah mencatat.
"Persiapan yang sempurna, Cate," celetuk Ellie sambil ber-high five dengan guru homeschooling-nya itu.
"Yup. Sekarang apa yang akan kita lakukan?"
Ellie berpikir sejenak sampai akhirnya mendapatkan sebuah ide, "Hey, ceritakan tentang kuliahmu, Cate,"
Cate sedikit menaikkan salah satu alisnya tak mengerti. Pasalnya, Ellie adalah orang lain pertama selain keluarganya yang minta diceritakan tentang kuliahnya. Cate memang sudah wisuda di Oxford University tahun lalu dengan nilai akhir yang bisa dibilang pas-pasan untuk jurusan Mathematics and Science yang terbilang cukup rumit untuk hampir seluruh umat manusia. Melihat kebingungan yang ditunjukkan oleh Cate, Ellie segera menambah kata-katanya.
"Tentang Oxford, mata kuliahmu, dosenmu, atau... ehm, teman?"
Saat mendengar kata-katanya sendiri, Ellie merasa tersindir. Teman? Well, teman main Ellie itu sama dengan kandung kemih yang habis setelah dipakai untuk buang air kecil alias kosong. Hidup Ellie memang tak pernah dikelilingi teman sebaya dengannya. Dulu pembantu di rumah Ellie pernah mengatakan kalau ia memiliki anak kecil dan akan membawa anaknya jika sudah berumur 6 tahun pada Ellie. Ellie yang saat itu masih sangat muda sangat kegirangan akan mendapat teman baru. Tapi pembantu itu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di desa terpencil yang ada di Inggris.
Kalau dipikirkan ulang, teman Ellie sejak kecil hanya sebuah kamera digital pemberian Mom yang sekarang sudah rusak dan usang. Bahkan bagian lensaya sudah lepas karena jatuh saat ia ke kebun binatang. Tapi Ellie masil menyimpannya di lemari kaca yang sengaja diletakkan di sudut kamarnya untuk kenang-kenangan masa kecilnya. Dan dari kamera itu jugalah Ellie jadi tahu apa yang ia sukai dan orang tuanya pun juga mengerti apa bakat Ellie. Walaupun tetap saja ruang gerak Ellie terbatas sampai gerbang rumah.
"Well, bicara tentang Oxford, mungkin kau bisa melihat foto-fotoku bersama... ehm, teman kampusku," cara bicara Cate sedikit serak karena ia takut menyunggung perasaan Ellie.
"I'm fine. Lanjutkan saja," tukas Ellie dengan senyuman.
"Oke, ini halaman Oxford," Cate menunjukkan fotonya bersama beberapa temannya sedang duduk di rumput super hijau milik Oxford yang memang sering digunakan para mahasiwanya untuk belajar atau gathering semata.
Ellie membelalakkan matanya. Seakan pemandangan Oxford sangat menarik untuk dijelajahi. Dengan struktur bangunannya yang mirip kastil tua, menambah kesan elok dan menawan di mata Ellie yang memang tak pernah termanjakan oleh tempat asing. Kalau melihat sekilas, Ellie jadi mengingat film Harry Potter, di mana bangunan dan temboknya mirip Hogwarts.
"Wow," Ellie terperangah selama beberapa saat dan dengan refleks menekan arrow key ke kanan untuk melihat foto-foto yang lain.
Karena Ellie yang dari awal hanya terperangah saja saat menatap foto-foto dari awal dan terus menerus hanya menatap tanpa berkomentar, Cate menjadi khawatir. Bagaimana kalau tiba-tiba Ellie lepas kendali dan mulai mengoceh tentang betapa tak adilnya bila ia harus mendekam di rumah saat remaja-remaja seusianya sedang asik-asiknya bermain—bahkan berbuat onar di luar sana.
"Ellie?" Cate memegang bahunya pelan.
Ellie tersentak saat sentuhan ringan tangan Cate mengenai kulitnya yang tertutup baju tipis miliknya. Ia menatap Cate dengan ekspresi kagetnya yang lucu—kedua bola matanya membulat dan tatapannya tampak begitu innocent.
"Kau baik-baik saja, Ellie?"
"Ten—tentu saja, Cate!" Ellie menatapnya bingung, "Memangnya aku terlihat sedang sekarat ya?"
"Bukan begitu," Cate menahan nafasnya, seperti biasa yang dia lakukan kalau ada seseorang yang salah menangkap omongannya. "Hanya saja dari awal aku menunjukkan foto-fotoku padamu, kau tak menunjukkan ekspresi dan mengomentarinya sama sekali."
Ellie hanya mengangkat bahu dengan cepat lalu berkata "Aku hanya kagum dengan sekolahmu. Tampaknya sangat menyenangkan sekolah di tempat yang memiliki banyak spot untuk dipotret. Apalagi di sana juga pastinya kau memiliki banyak teman, kan? Kau benar-benar sangat beruntung, Cate."
Cate hanya terdiam sambil menatapnya. Ia tak tahu harus berkata apa karena takut kalau kata-katanya yang bertujuan menghibur Ellie justru menyakiti hatinya.
Sementara Ellie terdiam sambil menatap salah satu foto milik Cate yang menggambarkan tentang perpustakaan Oxford yang padat pengunjung. Hati Ellie terasa tercabik-cabik oleh tekanan orang tuanya yang sangat keterlaluan. Pikirannya terasa dikacaukan saat ia kesepian dan bosan. Apa sebuah kamera sudah cukup untuk mengobatinya? Ya, mungkin sudah cukup untuk tidak membuatnya sekarat di rumah sakit. Ellie hanya butuh—kebebasan.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro