Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

Ellie Sheloinee

Di sebuah rumah sakit elit, London Premier Hospital di daerah London pada tahun 1992, terbaring lemah seorang bayi perempuan yang mungil. Kulitnya kemerahan, matanya terpejam, ia terbalut kain sutra putih yang halus dan hangat, wajahnya tampak damai dalam tidurnya di sebuah tabung yang diterangi sebuah lampu kecil berwarna kuning api. Wajah damai itu, karena ia tak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Sementara itu, di balik inkubatornya, sang ayah sedang berbincang dengan dokter yang menangani putrinya tersebut. Sang ayah, Mr. Sheloinee, menatap putrinya dengan tatapan sendu. Ia sangat terpukul karena sang dokter memberitahunya tentang penyakit yang diderita oleh Ellie kecilnya. Penyakit epilepsi yang diderita Ellie menyerang sarafnya dan belum ditemukan obat apa yang dapat menyembuhkan penyakitnya.

Beberapa bulan kemudian merupakan bulan-bulan yang berat bagi keluarga Sheloinee. Ellie kecil sampai harus menetap di rumah sakit selama 2 tahun setelahnya. Menetap di rumah sakit selama itu membuat Ellie kecil tak memiliki teman seusianya. Bahkan saat ia sedang melihat dunia lewat jendela yang ada di kamarnya, Ellie hanya bisa diam saat melihat segerombolan anak kecil menyeberang jalan bersama seorang dewasa yang ia pikir seusia ibunya. Ellie memang tidak boleh merasa lelah karena itu akan memicu tekanan darahnya dan akan berakibat fatal seperti kematian. Namun, tahun berikutnya cukup untuk membuat nafas Mr. dan Mrs. Sheloinee lebih lega. Walaupun masih sering kambuh, tapi tidak separah tahun-tahun pertama Ellie.

Pada umur 4 tahun, Ellie diizinkan untuk pulang ke rumahnya. Untuk pertama kalianya Ellie akan melihat bagaimana bentuk rumah intinya. Dan untuk pertama kalinya juga Ellie akan bertemu dengan orang-orang baru yang akan membantu pekerjaan rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah yang menggunakan mobil Caravelle keluaran terbaru, Ellie tak henti-hentinya mengulum senyuman manis di bibir pink pucatnya. Ia tampak terkagum-kagum dengan pemandangan kota London yang selama ini hanya ia lihat sekecil kerikil dari jendela kamarnya. Ternyata apa yang ia lihat selama ini hanya tipuan. Semua tampak besar, dan lebih besar dari ayahnya. Gedungnya tinggi mencakar langit. Pohon-pohon berdiri kokoh memayungi perjalanan Ellie. Semua itu terasa indah di mata Ellie yang memang tak pernah memanjakan matanya seperti saat ini.

Mrs. Sheloinee menatap putrinya dari kursi depan dengan memutar badannya sedikit. Wajah Ellie yang diterpa angin luar membuat Mrs. Sheloinee seakan lupa bahwa anak tunggalnya ini mengidap penyakit mematikan. Perlahan, setitik air mata membasahi pipi Mrs. Sheloinee. Ia benar-benar tak tega dengan keadaan putrinya itu. Kenapa harus Ellie? Kenapa harus Ellie kecil yang mendapat penyakit epilepsi itu? Kenapa bukan dirinya saja? Andai bisa bertukar tempat, Mrs. Sheloinee pasti akan menukarkan tubuh sehatnya itu dengan tubuh rapuh Ellie. Ia rela, asalkan bukan anaknya.

"Mom, kenapa Ellie tidak melihat ini di rumah sakit?" tanya Ellie tiba-tiba dan berhasil memecah lamunan Mrs. Sheloinee. Wanita yang masih duapuluhan tahun itu segera mengusap air matanya yang meleleh agar tidak diketahui oleh anak tunggalnya itu.

"Apa yang tidak kamu lihat Ellie?"

"Itu," kata Ellie sembari menunjuk apapun yang sedang dilewati oleh mobil Caravelle milik keluarganya. Mrs. Sheloinee mengarahkan manik kembarnya yang berwarna biru itu pada apa yang ditunjuk oleh Ellie. Ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh gadis kecilnya itu. Tapi sesaat ia tertegun.

"Apa makhsud Ellie pemandangan kota?" Ellie mengangguk tanpa memandang wajah ibunya. "Karena pemandangan ini tertutup oleh tembok rumah sakit. Jadi Ellie tidak dapat melihatnya."

Sekali lagi, Ellie mengangguk tanpa melepas pandangannya dari pemandangan yang terus bergerak mengikuti alur laju mobil Caravelle berwarna hitam metalik. "Apa akan ada yang lebih mengagumkan lagi?" tanya Ellie kemudian.

"Tentu," Mrs. Sheloinee menjawab mantap, walau dalam batinnya ada rasa pilu yang tersirat. "Ketika Ellie bertambah dewasa, Ellie akan melihat yang lebih mengagumkan dari ini."

Ellie diam, tapi pikirannya seperti meledak bak kembang api. Ia sangat tak sabar menanti hari dewasanya. Di mana ia akan berada di suatu tempat asing yang indah dan memanjakan mata. Tempat yang tenang dangan segerombolan anak seusianya yang mengajaknya bermain dan bercanda. Tak ada tembok yang menghalanginya untuk berekspresi lebih dalam lagi. Ellie sadar bahwa waktu dewasanya tak datang dengan cepat seperti ketika ia melihat obat yang mondar-mandir dari pipa obat, atau seperti air yang mengucur dari kran air ketika ia membasuh tangan ssebelum makan. Maka dari itu, ia akan mempersiapkan semuanya.

*

Baru seminggu ada di dalam rumahnya, Ellie merasa tak ada bedanya dengan di rumah sakit. Ketika pertama menginjakkan kaki kecilnya di rumah ini, Ellie sangat bahagia. Ia sudah membayangkan aka nada mainan seperti ayunan dan papan seluncur di dalam kamarnya. Tapi yang ia lihat hanya mainan rumah Barbie, boneka lucu, dan mainan khas anak perempuan lainnya. Kamarnya juga didesign dengan warna pastel. Dan pikiran itu kembali muncul dalam benaknya, tidak ada bedanya dengan rumah sakit.

Di dalam rumah itu juga berisi orang dewasa. Tak ada yang seusia dengannya. Semua yang ada di rumah ini lebih tinggi darinya, tapi tidak lebih tinggi dari gedung pencakar langit yang ia lihat di jalan. Semua bertingkah seolah-olah ia adalah dokter dan mereka adalah suster. Ia tidak suka. Ia ingin dianggap setara dengan mereka, bukan seperti petinggi terhormat.

Untuk menghabiskan waktunya, Ellie biasa berdiri di depan jendela dan melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas dari kejauhan. Kendaraan itu lagi-lagi terlihat seperti kerikil yang terhempas oleh angin. Berjalan ke sana kemari tanpa jeda. Menurut mata kecilnya, setiap kali kendaraan lewat seperti pemandangan yang berbeda. Selain itu, Ellie juga suka melukis pemandangan yang ia bayangkan dalam benaknya. Ia benar-benar meginginkan menuju ke sebuah tempat yang ada dibenaknya. Tempat yang hijau dan tanpa tembok yang tinggi. Damai.

Suatu hari, ketika Ellie sedang asyik mengamati lalu-lintas kota London, pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati dan dipoles warna pink pastel itu terbuka tanpa diketahui oleh Ellie. Mata dan pikirannya masih terfokus pada jalanan kota London yang tak pernah sepi tapi juga tak terkesan ramai. Lampu kamarnya yang berwarna terang juga tak ia nyalakan seperti biasanya. Tiba-tiba seberkas cahaya singkat menyinari kamar Ellie yang luas dan berhasil menyita perhatian Ellie. Ellie berbalik. Bingung, kilatan dari mana itu? Ia tengah mendapati Mrs. Sheloinee tersenyum dan membawa benda berbentuk persegi panjang kecil berwarna putih susu. Di tengahnya terdapat sebuah lingkaran kecil hitam.

"Apa itu, mom?" tanya Ellie penasaran. Kemudian ia mendekati Mrs. Sheloinee, lalu memeluk lehernya tanpa bisa melepaskan pandangannya dari benda putih kecil yang ada di tangan Mrs. Sheloinee.

"Ini kamera, Ellie." Ujar Mrs. Sheloinee tanpa melepas senyuman. "Dengan kamera kau bisa mengabadikan gambar apapun yang kau lihat."

"Benarkah?" tanya Ellie makin antusias. Tampak sekali dari raut mukanya yang berbinar. "Apa aku bisa mengambil gambar jalanan di bawah sana?"

Mrs. Sheloinee mengangguk menanggapi pertanyaan anak tunggalnya. "Bahkan kau bisa mengambilnya dengan lebih dekat."

Mata Ellie mendadak membulat. Kamera putih yang ada di tangan ibunya seakan bersinar dan memanggil-manggil Ellie untuk segera memakainya. Ya, dengan kamera itu Ellie tak perlu repot-repot menggoreskan crayon-crayonnya pada kertas gambarnya. Ia juga tak perlu repot-repot bolak-balik ke jendela hanya untuk sekedar melihat pemandangan yang berubah-ubah setiap detiknya. Ia bisa memakai kamera hanya dalam sekali tekan. Great! Begitu pikir Ellie.

"Mom, boleh aku memilikinya? Kamera ini." Kata Ellie dengan senyum merajuk. Mrs. Sheloinee awalnya sangat terkejut, tapi ia segera mengubah mimik wajahnya menjadi ekspresi hangat.

"Tentu. Akan aku ajarkan padamu cara memakainya."

"Thanks, mom."

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro