Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Phase 00:07

Keheningan total menyelubungi ruangan itu. Sebagai satu-satunya Alpha yang ada disana, Soulah yang paling peka terhadap aroma.

Karena itu reaksi sang pemuda saat ini tak ayal mengundang rasa cemas.

"Tunggu saja disini, biar Sou yang bukakan pintunya." Lirih pemuda itu disambut anggukan dari Soraru, "Hati-hati, Sou-kun."

Maka pemuda rambut kelabu berjalan tenang, namun tak mengendurkan kewaspadaan. Detik demi detik yang bergulir terasa menegangkan. Ketidakpastian, ketidaktahuan, menggiring setiap kepala yang ada dalam ruangan itu untuk menerka sendiri. Memperkirakan siapa gerangan sosok asing di balik pintu sana.

Tangan Sou terulur. Pelan ia raih gagang pintu, sebelum kemudian membukanya penuh antisipasi.

"Halo?"

"Ah..."

Seorang berseragam kurir berdiri canggung di hadapannya. Melihat raut Sou yang mengintimidasi, tubuh orang itu sedikit gemetar. "P-permisi... delivery order..."

Termangu sebentar seorang Sou, sebelum kemudian menggeleng kuat-kuat. "Delivery order? Darimana?"

"Eh? Saya dari Liánhuā Chinese Cuisine"

Saat itu sebelah alis Sou naik. "Masakan China?"

Setahunya, Eve tidak terlalu sering memesan masakan China. Bukan tak suka, hanya tidak terpikir saja. Jenis makanan lain lebih menarik perhatiannya.

Kalau begitu, Soraru? Ia dengar dari Mafu kalau istrinya minta bebek peking pukul tiga dinihari kemarin.

Biasa, ngidam.

Sou terdiam. Apa dia terlalu waspada?

"Tapi tidak ada diantara kami yang memesan makanan," siaga tubuhnya, mata Sou menajam, "dan kalau memang Anda kurir delivery, mengapa datang dengan tangan kosong?--"

"--Kau siapa? Siapa yang menyuruhmu??"

Tiba-tiba bilah pisau hanya tinggal berjarak sekian senti dari pelupuk matanya. Sou yang sempat terkejut, langsung bergerak cepat menangkap duluan tangan itu. Memuntir tubuh lawan, dalam lima detik Sou berhasil mengunci pergerakan lelaki itu di lantai.

"Telpon Mafu-san, Soraru-san!" Seru pemuda itu yang langsung dibalas cepat oleh Soraru. Baru saja hendak merogoh saku untuk mengambil ponsel, Soraru tersentak.

"Sebentar, Sou-kun! Ada yang aneh..."

"Eh?"

Sejumlah pasang mata yang menyorot mereka itu, tatapannya terasa tak wajar.

Sou menenggak ludah. Tak ayal keringat dingin turun membasahi pelipisnya. "Gawat..." setengah berbisik dia bicara, "mereka semua... bukan staff..."

Tiba-tiba satu orang menerjang ke arah mereka. Sou dengan cekatan mendepak orang itu tepat di dagu, kemudian melakukan jab dan langsung menghantamkan tubuh lawan ke dinding. Satu orang tumbang, tubuhnya langsung dilemparkan menubruk satu lagi lawan yang hendak melakukan penyerangan susulan.

"Celah, Soraru-san!" Pemuda itu berseru, "saya bukakan jalan, Soraru-san dan yang lain larilah ke belakang! Kalau sudah di gasebo belakang tempat Mafu-san dan yang lain berkumpul, harusnya kalian sudah aman!"

"T-Tapi, Sou-kun--"

"Cepatlah!" Bantahan Soraru ditukas cepat, "keadaan ini aneh... Saya yang akan menahan mereka disini."

Mendengar itu, Soraru menggerit gigi sebelum kemudian menarik tangan Tomohisa dan Eve. "Hati-hati, Sou-kun!" Pesan lelaki raven itu sebelum hilang di balik belokan.

Seorang pria yang hendak menyusul mereka terpelanting oleh tendangan dari si pemuda kelabu. Beberapa dari rekannya tersentak.

"Gesit sekali..."

Mendengar lirihan itu, Sou mengusak hidungnya selagi menyengih puas, "Kalian terlalu meremehkanku, ya, mentang-mentang aku masih bocah sekolah."

Soraru, Tomohisa, dan Eve masih berlari kecil menyusur lorong. Pintu menuju area taman di belakang gedung masih cukup jauh. Mereka masih harus waspada akan keadaan sekitar yang tidak pasti.

"Picik sekali mereka," gumam Eve di sela mengatur napas, "ini jam istirahat siang. Gedung sedang sepi karena kebanyakan pekerja makan atau istirahat di luar. Timingnya benar-benar pas sekali!"

"Tapi itu berarti, mereka sudah hafal seluk beluk penjadwalan disini, kan? Bagaimana caranya??" Tomohisa menimpali, "dan yang paling penting, siapa mereka sebenarnya??"

Soraru sebetulnya ingin segera menelpon Mafu. Situasi tidak kondusif. Keadaan sekitar mereka yang terlalu sepi dan lengang justru meningkatkan kewaspadaan si lelaki raven.

"Jangan-jangan, mereka dari antek musuh yang akhir-akhir ini terlalu tenang... Sial! Eve-kun, Tomo-kun, dan Sou-kun ngga ada kaitannya dengan masalah ini. Mereka ngga tahu apa-apa soal penyelidikan rahasia kami! Sebenarnya kenapa? Mereka mengincar sia...

...Pa...?"

Membulat sepasang biru samuderanya, menghentikan monolog dengan sang batin, Soraru tercekat menyadari sebogem tinju hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Muncul tepat dari balik belokan. Saat itu juga refleks Soraru menarik mundur kepala, menghindari satu pukulan yang penuh dengan tenaga.

"Soraru-san!!"

"Ck!" Si raven mengatur napas. Sudah ia duga, masih ada gerombolan lain yang tersisa dan bersiaga.

Maka Soraru menggertak, "Siapa sebenarnya kalian??"

Orang yang barusan melayang tinju menampakkan diri bersama tiga orang yang lain. "Wah, padahal menurut informasi, katanya lagi hamil besar. Tidak kusangka geraknya masih tangkas sekali."

Tanpa mengendurkan kuda-kuda, Soraru sekali lagi bertanya, "Darimana kalian? Sebenarnya apa tujuan kalian disini? Siapa yang menyuruh, dan bagaimana caranya kalian bisa menyusup??"

"Haish, bawel sekali... Nanya satu persatu, dong!" Orang itu berlagak mengorek telinga. Sejenak kemudian dia menyeringai, "yah, tapi mau bagaimanapun, pertanyaanmu tidak akan terjawab, sih. Lagipula kami hanya melakukan suruhan atasan."

"Suruhan atasan?"

Apa mereka tipe ekor yang hanya digerakkan oleh uang bayaran?

Kalau begitu kasusnya, agak sia-sia Soraru bertanya. Tapi, ini patut dicoba. Setidaknya, dia harus mengorek clue sekecil apapun untuk menemukan siapa yang sudah menyewa orang-orang ini.

Maka kemudian Soraru memutuskan untuk kembali memancing, "Kalian bernyali sekali, ya, kayak dibayar gede saja. Padahal kalian tahu sendiri setingkat apa kesulitan pekerjaan kalian ini, kan?"

"Oh, bayaran?" Sang lawan bicara, justru tertawa terbahak-bahak. Soraru kembali tegang. Tomohisa dan Eve di belakangnya juga menahan napas mereka sejak tadi.

Saat tawa itu mereda, barulah dia kembali bicara, "Kau memang pandai bicara dan cepat berpikir. Kuapresiasi hal itu. Ya, memang benar! Kalau bukan karena nominal fantastis, mana sudi kami menerima pekerjaan mustahil begini. Apalagi kalau memikirkan harus berhadapan dengan monster macam apa sebagai konsekuensinya."

Tak menanggalkan senyum mengejek, orang itu kembali bicara, "Kalau begitu sebagai bonus, biar kubocorkan satu hal; sponsor kami sangat strategis. Apalagi dukungan di belakang mereka begitu besar. Kami jadi tidak perlu khawatir aksi kami menimbulkan masalah karena mereka akan membereskan sisanya. Aah... sudah berapa tahun lamanya aku tidak pernah beraksi dengan sebebas ini. Oh, satu lagi; mereka tidak takut berurusan dengan hukum, karena mereka tidak terikat dengan hukum disini."

Mendengar penuturan panjang itu, sepasang netra Soraru sedikit menyipit, "Bebas sekali tampaknya lisanmu bicara. Kau pikir membocorkan informasi sepenting itu tidak akan membuatmu lolos dari kemurkaan penyewa? Bukankah itu sama dengan pengkhianatan?"

"Peduli apa aku?" Mengangkat bahu, detik berikutnya orang itu sudah tinggal menghantam tubuh Soraru, "toh, kau takkan bisa mengadu karena akan habis disini!"

"Soraru-san!"

Segera Soraru berkelit. Dengan refleks yang cekat ia melayangkan tendangan yang ditangkis baik oleh lawan. Orang itu terseret mundur. Tak ayal, tendangan dari si raven cukup kuat untuk membuat tangan si musuh bengkak.

"Tch! Sialan..."

Ditatapnya sengit pemilik sepasang obsidian biru yang tetap tenang di depan sana. Tanpa getar dan keraguan pada suaranya, Soraru membalas, "Sepertinya, kalian jadi terlalu menggampangkan karena badanku kecil dan aku lagi mengandung--"

"--Apa kalian tidak pernah dengar? Sudah banyak cecunguk ceroboh yang sama sempitnya dengan kalian, berakhir di ruang rawat inap tanpa harus berhadapan dengan suamiku dulu."

Urat emosi menyembul di dahi si lawan. Cepat ia berteriak, "Bereskan j*lang sialan itu!"

"Orang-orang bodoh," Soraru mencibir. Baku hantam tak terelakkan. Orang-orang itu betulan menyerang Soraru tanpa ampun. Melihat pemandangan ini, Tomohisa ingin maju. Namun, tangannya dicegat oleh Eve.

"Eve-kun? Kita harus membantunya!"

Tak diduga, Eve membalas dengan gelengan. "Jangan maju, Tomo-san," katanya, "kalau kita maju, Soraru-san takkan bisa berkonsentrasi karena memikirkan kita."

"T-tapi..."

Tomohisa tertegun kemudian, mengamati betapa tangkas nan tangguh senior di hadapan mereka kini. Setiap gerak telah diperhitungkan dengan baik. Padahal tubuhnya pasti berat sekali. Apalagi dia harus berhati-hati karena membawa satu nyawa dalam diri. Tapi, Soraru tak sedikitpun terlihat gentar. Begitu lihai dan efektif serangan yang dilancarkan tubuh itu. Lawan-lawannya justru kewalahan tak bisa mengimbangi. Tak ayal, Tomohisa berbinar kagum. Ia segera tahu, kalau maju sekarang, dia hanya akan menjadi beban.

Menyadari ini membuat dirinya menggigit bibir bawah kuat. Tomohisa seketika merasa tak berguna. Ah, lagi-lagi aku ngga bisa apa-apa. Lagi-lagi aku diam seperti pengecut. Lagi-lagi...

...Apa tidak ada yang bisa aku lakukan?

Sesaat kemudian, ia tersentak. Saat itu juga Tomohisa bergerak merogoh sakunya. "Oh, benar juga!"

Tiga cecurut tumbang. Soraru menginjak tangan memar si pemimpin, menimbulkan suara renyah retak tulang disertai erangan keras.

"Sudah kubilang, kan?" Sorot tajam biru samudera itu dingin. Mampu membuat bulu kuduk si lawan meremang. "Meremehkan lawan adalah kesalahan yang sangat besar dan konyol--"

"-- Tapi terima kasih. Berkatmu, sekarang aku seratus persen yakin siapa orang dibalik kalian."

Buagh!

Satu pukulan telak. Pemimpin itu tak sadarkan diri seketika. Tomohisa dan Eve masih terdiam di tempat, takjub akan betapa keren sosok senior mereka ini.

Mengatur napas yang tersengal, Soraru menyeka peluh pada dagunya. "Hah... bagus, mereka semua sudah tak bergerak. Sekarang... kita harus..."

Brukk!!

Tubuh lelaki raven oleng. Dirinya ambruk, bersandar pada dinding seraya memegangi perutnya.

Sontak saja dua junior yang ada di sana panik seketika. "Soraru-san!!"

"Aakh... huff... huff... aku... s-sakit... ukh... sa... kit... aakh...."

Tomohisa segera merengkuh tubuh sang senior. Saat itu dia tersentak, mendapati celana Soraru perlahan semakin merah.

"A-apa...?? i-ini, kan..."

Pendarahan?!

"Soraru-san!!" Seruan penuh kepanikan dan kegusaran itu, mereka mengenalinya dengan amat baik. Pun sosok rambut salju yang rautnya pucat tak terkira yang tengah berlari ke arah mereka itu.

Langsung didekapnya tubuh kecil sang istri. "Bertahanlah, Soraru-san! Kumohon... Rumah sakit! K-kita harus cepat ke rumah sakit!!" Selagi begitu ia bangkit menggendong Soraru.

Suasana yang begitu genting, pada akhirnya berangsur membaik setelah polisi datang ke tempat kejadian setelah Tomohisa menelpon nomor darurat. Orang-orang itu diringkus semua, dan para korban telah dievakuasi menuju rumah sakit.

-

-

-

"Mafu... dengar... apa kata dokter tadi...?" Lirih sang pasien yang berbaring lemah di tempat tidur bertanya. Mafu mengangguk pelan. "...Un, Mafu dengar..."

"Ukh..." seketika sosok lelaki bersurai raven itu terisak. Suami albinonya segera menghambur, merangkul sang belahan jiwa yang lantas membenam wajah dalam peluk. Tentu saja reaksi ini wajar. Mereka baru saja hampir kehilangan seorang anak. Akibat perkelahian itu, rupanya Soraru nyaris mengalami keguguran.

Selain karena terlalu memaksakan fisik hingga terjadi guncangan internal, rupanya sejak awal memang kondisi rahim Soraru sangat rapuh. Itulah mengapa dulu dia sampai bergelut dengan sang maut kala melahirkan anak pertama.

"Kemungkinan besar setelah persalinan kedua ini, Anda sudah tidak akan bisa mengandung anak lagi."

Mengingat perkataan dokter tadi itu mengeratkan peluk si manik samudera. "Hik... hik... maaf... hik! Mafu, maaf... hik! Maafkan aku..."

"Ssh... Soraru-san kenapa minta maaf? Soraru-san ngga salah apa-apa..."

"Ta--tapi--Tapi--hik! Kata dokter tadi... Hik! Sora... Hik! Sora hampir... Hik! Maaf, gara-gara Mama... Hik! Maaf, Sayang, maafin Mama... hik! Mafu juga... Hik! Sora bikin Mafu khawatir lagi... hik! Maaf..."

Ah, ini dia. Sisi kekanakan seorang Soraru kala diliputi perasaan bersalah. Dia akan terus meminta maaf, berkali-kali. Mengatakan ini semua adalah salahnya. Bahwa apa yang telah terjadi semua gara-gara dia.

Padahal dari awal, ini semua bukan salahnya...

Tangan Mafu mengelus bahu sang istri tanpa mengendur jarak. "Tidak, tidak..." hibur dia, "kan, Mafu sudah sering bilang. Jangan suka menyalahkan diri Soraru-san sendiri. Toh, Soraru-san sudah melakukannya dengan baik. Soraru-san menumpas orang-orang itu, melindungi Eve-kun dan T-kun, bahkan mengorek informasi dari mereka. Soraru-san benar-benar luarbiasa!"

"T--Tapi, Mafu--"

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," si albino menukas, "tidak. Sama sekali tidak keberatan. Soraru-san tentu sangat tahu. Alasan Mafu mau menjadi pasangan, menikahi dan hidup bersama Soraru-san itu bukan karena Soraru-san bisa ngasih Mafu anak. Mafu tulus mencintai Soraru-san apa adanya... Atau, Soraru-san sebenarnya tidak puas dengan dua anak? Mau nambah lagi...?"

Tersentak sebentar si surai raven. Tak lama, bola matanya berkaca-kaca. Tidak menjawab pertanyaan si albino, Soraru hanya terisak semakin kencang. Membenam wajah semakin dalam ke pelukan sang suami.

Di luar kamar itu, Tomohisa duduk bersebelahan dengan Amatsuki. Sami tidur lelap di pangkuan lelaki brunette. Mulanya mereka berdua akrab dengan kebisuan. Sebelum kemudian Amatsukilah yang pertama memulai dialog, "Tomo-san tidak apa-apa, kan? Apa ada yang luka?"

"Ah, tidak. Tidak sama sekali," Tomohisa segera menyangkal. "Berkat Soraru-san, kami semua baik-baik saja. Sou-kun juga cuma kena cedera ringan."

Setelahnya tiba-tiba dia terdiam. Tomohisa menatap sendu ubin dingin di bawah kakinya. Lantas lirih ia bergumam, "Soraru-san keren, ya..."

Amatsuki diam mendengarkan.

Kali ini si manik amber mendongak. Dia melanjutkan, "Dalam waktu singkat di tengah kegentingan, Soraru-san bisa mengambil keputusan dan tindakan yang tepat. Meski sedang hamil, dia tetap bisa bertarung melindungi kami sampai seperti ini. Sebaliknya, kami..."

"...Aku, malah tidak bisa melakukan apa-apa."

"Pft!"

Mendengar tawa tertahan Amatsuki membuat Tomohisa tersentak. Seketika itu juga diarahkan atensi sepenuhnya pada sepasang netra si bintang. Sadar akan tatap penuh tanya itu, Amatsuki bicara,

"Membandingkan diri, kok, sama Soraru-san?"

"Eh?"

Amatsuki tersenyum maklum, "Soraru-san itu tidak normal, kau tahu? Umumnya orang hamil tidak akan sekuat itu. Memang dari sananya saja Soraru-san yang monster. Aduh... memang, ya, yang namanya jodoh selalu punya kemiripan satu sama lain. Dulu aku pikir Mafu dan Soraru-san itu bertolak belakang. Rupanya..."

Sebentar kemudian, Amatsuki tersenyum. Senyum hangat yang menghangatkan wajah Tomohisa. Tangan si brunette terulur, memberi elus lembut pada puncak kepala si surai cinnamon. "Tomo-san sudah melakukan hal yang tepat, kok. Kalau Tomo-san tidak berinisiatif menelponku dan polisi tadi, kami tidak akan tahu kalau ada serangan di dalam gedung. Dan mungkin, kami akan gagal menyelamatkan Soraru-san dan bayinya. Semua berkat Tomo-san. Jadi, kuharap Tomo-san tidak berkecil hati."

Ah, Tomohisa dapat merasakan desir jantungnya berbalapan. Berisik, berisik sekali. Seiring wajahnya yang semakin panas merah, seketika kepalanya serasa berputar. Elusan tangan yang hangat itu... benar-benar...

Pintu di sebelah mereka tiba-tiba terbuka. Pria albino melangkah keluar dari sana. "Amachan," panggil dia, "tolong jaga Soraru-san sebentar disini. Hare-chan dan ayah mertuaku sedang menyusul kemari. Aku mau mengecek keadaan Sou-kun dan Eve-kun dulu sama mengurus administrasi rumah sakit dan bicara dengan pihak pengelola gedung."

"Ah, oke..."

Mereka saksikan punggung kokoh itu berjalan semakin jauh. Amatsuki tertawa getir, "Duh, aku jadi kasihan sama pihak pengelola gedung yang bakal kena labrak habis ini..."

Ayah Soraru berjalan cepat menyusur trotoar bersama sang cucu dalam gendongnya. Tak ayal, telpon dari sang menantu membuat ia terkejut dan panik. Dia yang tadinya sedang main bersama Hare di taman buru-buru meluncur ke rumah sakit.

"Kakek, kakek!" Si kecil menepuk pipi kakeknya.

"Hm? Kenapa, Hare-chan?" Benar juga. Ia tak boleh terlihat cemas di depan Hare. Anak ini sepertinya justru menenangkan dia. "Tau engga? Temen-temen Hare takut liat Papa loh. Mereka sering nangis kalo liat muka Papa! Padahal, kan, Papa ngga menyeramkan!"

"Haha," si kakek tergelak pelan, "kau tahu? Kakek dulu juga takut waktu pertama kali lihat wajah Papamu, sebenarnya."

"Ah..." si kecil terdiam. Sebentar kemudian, dia bergumam, "tapi iya, sih. Papa kalau lagi marah banget... mukanya jadi menyeramkan..."

***

To be Continued...

Yhahaha--
Yup. Mumpung lagi mood, update. Tipikal Kafka sekali🙃

Keadaan semakin memanas, nih. Sebenarnya apa yang terjadi, ya? Terus, kenapa mereka sampai bertindak sejauh ini?? Hemm...

Baiklah. Sekian dulu cuap-cuap dari Kafka. Makasih banyak buat like dan komen kalian^^ kita ketemu lagi di apdetan selanjutnya!

Bubaii!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro