Phase 00: 01
Sore itu cukup mendung. Ditambah lagi, sudah memasuki penghujung musim gugur. Hawa yang terasa menjadi semakin dingin. Sungguh saat yang tepat untuk menikmati semangkuk mie panas di restoran mie yang sudah direservasi.
Adalah tiga sekawan, yang kini asyik dengan mangkuk mie masing-masing. Seperti biasa, mie naga level tujuh itu membuat lidah Amatsuki dan Sakata tremor padahal bukan mereka yang memesan. Sebaliknya, Mafumafu, tanpa repot peduli menikmati santapannya tanpa beban.
"Jadi," albino itu yang pertama bicara, "Tumben sekali kau ngajak kita kumpul begini, Sakatan?"
Anggap itu sebuah hipnotis, maka metodenya bisa dibilang sukses besar. Yang disebut seketika tersadar. Menggeleng kuat-kuat, dia membuka dialog setelah memasukkan beberapa seruput mie dalam mulutnya.
"Well, kau tahu, ini... topik yang cukup sensitif sebenarnya. Baik buat kau maupun Amacchi," ungkap Sakata. Pernyataan itu mengundang tanya di raut dua sahabatnya yang lain.
Sakata sadar betul ia tak mungkin menggantung mereka terlalu lama. Karena itu, setelah memikirkan struktur kalimat yang dirasa tepat, si surai merah mulai buka mulut, "Kemarin sore, Aniki memberi laporan pada Oyaji, soal hasil inspeksi yang dia lakukan bersama divisinya..."
"... Alasan mereka melakukan inspeksi intensif, adalah karena sudah dua minggu ini sering terjadi kecelakaan si sekitar beberapa area konstruksi akibat ledakan kebocoran gas."
Sakata bisa merasakan, napas kedua rekan yang kini membelalak kaget itu tercekat.
Lebih hati-hati, si surai merah melanjutkan kalimatnya, "Aniki melaporkan bahwa dari hasil penyelidikannya pada kejadian terakhir, dia curiga kebocoran gas itu adalah sesuatu yang disengaja. Dan dia juga menyadari, bahwa pola kecelakaan ini mirip seperti yang terjadi 17 tahun lalu, yang berujung sebuah ledakan besar yang memporak-porandakan town square--"
Suara sumpit patah terdengar. Kilat kemerahan mata Amatsuki begitu tajam menusuk matanya. "Stop disitu, Sakata."
"Sudah kuduga, kau juga sudah tau. Sasuga God Sushi Master," Sakata melengos. Ekor matanya lantas beralih ke Mafumafu, yang tampak sudah tahu kemana arah pembicaraan ini menuju.
"Jadi, maksudmu ada kecurigaan bahwa orang di balik kecelakaan-kecelakaan itu adalah orang yang sama di balik kematian ayahku dan ayahnya Amachan?" Si albino menyimpulkan.
Sakata mengangguk, "Aku ngga tahu kenapa mereka tiba-tiba berulah lagi setelah 17 tahun berlalu. Bisa jadi, ini ulah orang yang berbeda. Tapi, Oyaji menginginkan hal ini untuk segera dibereskan, karena dia memprediksi hal ini akan memberikan pengaruh besar dan mengacaukan dunia bawah, termasuk ke organisasi juga."
"Mereka belum tentu orang yang sama, kan?" Potong Amatsuki judes. Ia membuang pandang dengan mimik tak suka, "Paling ini cuma ulah peniru bodoh yang sok terinspirasi atau sok mengaku untuk cari sensasi."
"Reaksimu itu justru menunjukkan kalau kasus kali ini bukan seperti itu, loh, Amacchi," bantah si merah. Mata si brunette menyipit tajam. Bersitatap dengan merah delima Sakata sengit.
Hening untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya terdengar tanggapan dari si albino, "...Aku akan bantu."
Jawaban Mafu ini menyentak Sakata dan Amatsuki, terutama si pemuda bintang yang kemudian langsung memyambar dengan pekik tertahan. "Apa yang kau katakan, Mafu? Kau tahu ini bukan hal sepele yang tidak menyangkut nyawa, kan?"
Merah darah itu menunjukkan keseriusan. Si putih mengangguk, "Aku tahu."
"Lalu kenapa?!" Amatsuki meradang, "kau sudah punya hidup yang baik. Kau berhasil meninggalkan pekerjaan kotormu, memutus kontak dengan dunia bawah, punya pekerjaan yang lebih baik serta hidup yang damai. Kau juga sudah punya istri dan seorang anak. Kenapa kau berpikir untuk terlibat lagi dengan hal-hal seperti ini??"
Senyum kecut terkulum di bibir Mafu. "Entahlah. Aku... Merasa kalau aku perlu melakukan ini. Bisa jadi, aku hanya... tidak ingin ada lagi anak-anak lain yang bernasib seperti kita."
Snap!
Kerah ditarik. Mafu terkejut Amatsuki menatapnya nyalang. Si brunette berseru geram, "APA KAU SAMA SEKALI TIDAK MEMIKIRKAN PUTRIMU?!"
"Oi, oi, oi, Amacchi!" Sakata melirih. Beberapa pengunjung restoran kini menaruh perhatian pada mereka bertiga.
Ah, shit.
Mafu baru menyadari bahwa dirinya baru saja menginjak ranjau.
Berlagak seorang pahlawan patriotis padahal telah menyandang titel "orangtua" pasti mengingatkan si bintang pada seseorang.
Gawat. Kalau sudah begini, si brunette yang biasa rasional dan tenang itu pasti bakal mengamuk. Mereka harus berpikir kritis, cepat menemukan pengalih perhatian.
Ralat, Mafu harus berpikir. Karena dia tak yakin Sakata bakal jadi orang pertama yang menyeret mereka keluar dari krisis ini.
"Oh, ngomong soal anak... Mafudon, kudengar Soraru-san hamil lagi, ya?" Sakata justru bicara.
Si bodoh ini! Lagi genting malah ngomongin masalah lain--
"Hah? Soraru-san hamil lagi?" Kerah Mafu diturunkan, si brunette menatap Sakata heran, kemudian mengoper pandang pada Mafu minta penjelasan.
Oh? Pengalihan isu ini bekerja?
Fantastis.
Memperbaiki kerah kemeja yang serat habis ditarik, Mafu berdehem sebelum kembali duduk di kursinya. "D-dengar darimana, kau?"
"Ura-san cerita ke aku semalam."
"Aku tak heran," sambar si putih dengan ekspresi datar. Ia tahu betul kalau seperti ini kasusnya, pasti Soraru yang memutuskan sendiri untuk cerita. Soalnya, sejak sang istri menjadikan kehamilan itu hadiah ulang tahun si suami seminggu yang lalu, Mafu sama sekali belum membeberkan fakta ini pada siapapun selain keluarga serumah.
Kembali pada kenyataan, Mafu dapat mendengar decihan meluncur dari bibir si surai merah. "Aku sama Ura-san belum dikasih momongan, kau sudah nambah anak lagi? Luar biasa."
"Anakku baru otewe dua, bambang."
"Amacchi bahkan belum nemu pasangan hidup, maemunah."
Sontak keduanya sama-sama memiliki refleks yang cukup menyebalkan dengan melirik si empunya nama. Amatsuki menaikkan sebelah alis, tak lama, ia menghela napas.
"Kalian tidak lupa, kan, kalau aku nggak ada rencana untuk punya pasangan?" Ujar si brunette sambil dengan tenang melanjutkan makan mienya yang sempat terhenti.
"Kau yakin bakal selamanya begitu?" Sakata bertanya sangsi. Amatsuki kembali melayangkan tatap heran pada si merah. "Memangnya jomblo seumur hidup bakal bikin aku cepet mati? Engga, kan?"
"Kenapa topiknya jadi cepet mati, sih... Gini, loh, Amacchi, tidak ada salahnya, kan, memiliki orang yang kau cintai? Cinta sejati seringkali membuatmu menemukan kedamaian dan ketenangan hidup, loh."
"Kalian, kan, tahu apa yang terjadi pada orangtuaku. Menurutmu, setelah semua itu, aku masih percaya dengan adanya cinta sejati?" Si brunette kembali menyangkal.
"... Kamu tidak lihat Mafudon dan Soraru-san? Atau aku dan Ura-san?"
Sekarang Amatsuki terdiam. Tapi itu tak lama, karena kemudian si pemuda bintang menuding dua karibnya dengan sumpit kayu patah yang sejak tadi dia paksa untuk makan mie. "That's the point," katanya, "Gara-gara kebucinan kalian yang ga ngotak itu, hidupku jadi banyak masalah, tahu!"
Sakata tahu benar, biasanya Amatsuki dibuat pusing karena tingkah absurd dirinya dan si albino. Tapi sungguh, baru kali ini dia yang merasa sangat emosi sampai timbul hasrat ingin menampol kepala pemuda bintang ini yang tak kunjung menangkap esensi dari kalimatnya.
Tak disangka, Mafu mengambil alih argumentasi selancar air mengalir, "Memang benar saat itu aku jadi banyak sekali tertimpa masalah. Sakatan juga begitu waktu dekat-dekat ngelamar Urata-san, kan? Tapi coba lihat sisi baiknya. Karena Soraru-san, aku bisa bebas dari pekerjaan yang kotor. Karena Soraru-san, aku berubah jadi pribadi yang lebih baik. Kehadiran orang yang kucintai membawa hidupku pada arus yang berbeda, sampai aku sekejap lupa seperti apa watak dan hidupku sebelum bertemu dengannya. Dia sudah sama artinya dengan jiwaku, dan aku tak bisa membayangkan hidupku tanpanya. Memang sulit dijelaskan. Mungkin kamu ngga menyadarinya, tapi suatu saat kau menemukan orang yang tepat, kau juga akan merasakan sendiri, kok."
"Omong kosong," masih membantah juga mulut itu, "yang seperti itu tidak bisa digeneralisasikan, kan? Gagasanmu barusan tidak objektif. Perasaan abstrak yang ngga bisa ditakar dengan jelas kayak gitu, kalau salah perhitungan hanya akan membawa malapetaka."
"... Maf, rasanya pengen nampol gak, sih?"
"Jangan, Sakatan. Aku tau kamu emosi. Aku juga emosi. Tapi jangan. Bocah ini cuma kelewat kolot. Kelewat kolot."
Rasional dan penuh perhitungan. Tentu Mafu dan Sakata tahu benar tabiat karib mereka yang satu ini. Memberi cerita manis soal ikatan takdir atau sesederhana ramalan bintang takkan bekerja padanya. Dari sudut pandang Amatsuki yang selalu berpikir logis dan realistis, perasaan seperti "cinta sejati" hanya sebuah istilah fatamorgana yang sarat kemustahilan. Entitas psikologis yang sulit dicerna dan dijelaskan oleh akal sehat.
Amatsuki terdengar menghela napas. "Aku sama sekali ngga ngerti. Sekarang aku tanya, deh, Maf. Kenapa kau memilih Soraru-san? Apa yang membuatmu merasa bisa saja membuang nyawa demi dirinya?"
"Karena aku sayang dia--"
"Beri aku alasan masuk akal. What makes him that valuable that you can't get from other?"
"Ya mana kutahu. Em... senyumnya? Wajah manisnya? Elusan lembutnya ke rambutku? Sifatnya yang selalu bisa diandalkan? Kemampuan masaknya, mungkin? Bodinya juga termasuk-- EKHEM! ...Yah, walau mau gimanapun bentukannya Soraru-san, aku bakal tetep mencintainya, sih."
"...Itu kan gak bisa dipreferensikan ke semua orang."
Sakata memotong, lelah dengan betapa batu kawannya yang satu ini, "Yak, fix dia gak dapet pencerahan."
Kali ini Amatsuki menepuk dahi disertai helaan napas panjang. "Nah, kan? Random banget. Aku ngga melihat adanya nilai yang spesifik. Gak habis pikir, deh."
"Kau akan ngerti sendiri pada waktunya," titah Mafu, "yang kayak gini emang ga bisa dijelaskan lewat paragraf terstruktur kajian ilmiah yang sifatnya empiris, Amachan. Kau harus mengalami sendiri, baru kau ngerti."
Tiba-tiba kalimatnya terhenti. Mafu tersentak kala tak sengaja ekor matanya menangkap angka yang ditunjuk jarum arlojinya. "Lah, sudah jam segini?? Eh, aku duluan, ya. Aku udah janji hari ini mau jemput Hare-chan bareng Mamanya."
Sakata dan Amatsuki memberi izin melalui anggukan. Maka si albino berdiri. Sebelum benar-benar beranjak, ia kembali menoleh pada Amatsuki.
"Oh iya, Amachan."
Si brunette memberi tatap penasaran. Mafu tersenyum, "Jangan khawatir. Aku ngga berencana mati, kok."
Mendelik tajam netra si bintang, hal selanjutnya yang Mafu ingat adalah tarikan kasar pada kerahnya disambung nyeri pada pipi yang diakibatkan bogem mentah Amatsuki. Beberapa pengunjung jadi panik, sementara Sakata memekik frustrasi.
"AGH SI DODOL! UDAH BAGUS KUALIHIN PEMBICARAANYA, NAPA MALAH LU PANCING LAGI GEBLEK!!"
***
Mafu hanya menanggapi wajah kaget bercampur cemas istrinya ketika mendapati wajah dan tubuh sang suami bonyok sana sini dengan kekehan bocah dan senyum lebar. Soraru menghela napas dalam, dilanjut memijat kening.
"Aku tidak akan tanya. Pasti kamu yang salah," pungkas si biru. Mafu mendusel manja pipinya dengan pipi tembam Soraru, sambil menggoda tentunya.
"Aww~~ Soraru-san ngga khawatir sama Mafu~?"
"Kamu masih bisa cengengesan begitu, berarti baik-baik aja, kan?"
"Huweee... Jahat banget...."
Melengos lagi, Soraru memberi elusan pada helaian sewarna salju itu. Mafu mendengkur samar, menikmati lembut sentuhan jemari lentik sang istri.
"Jadi, apa yang bikin kamu babak belur kaya gini?" Meraih tangan Mafu, Soraru mulai mengajak suami albinonya ini berjalan.
Mafu diam sebentar, sebelum akhirnya buka suara, "Soraru-san inget, kan, Mafu sempat cerita kalau curiga kematian ayah Mafu bukan murni kecelakaan?"
Soraru mengangguk. Setelah pernah diceritai begitu sekitar setahun yang lalu, Soraru juga jadi ikut curiga. Bagaimanapun meski saat itu dia masih sangat kecil, memorinya cukup mumpuni untuk mengingat masa dimana berita kecelakaan konstruksi sering terdengar di televisi. Ayah Mafu cuma salah satu diantara korban kurang beruntung yang berjatuhan.
"... Ayahnya Amachan itu mantan kepala detektif kepolisian kota ini."
Hm? Kenapa tiba-tiba membahas Amatsuki? Soraru tidak mengerti, tapi biarlah albino ini menuntaskan ceritanya terlebih dahulu.
Maka itulah yang benar terjadi. Mafu melanjutkan kalimatnya, "Waktu itu beliau sudah menyadari bahwa kecelakaan beruntun ini saling berkaitan satu sama lain. Karena, pattern-nya sama, yaitu kebocoran gas yang mengakibatkan ledakan skala menengah. Beliau mengajukan izin penyelidikan, tapi ditolak. Akhirnya, beliau melakukan penyelidikan independen secara diam-diam..."
"... Sampai pada akhirnya, beliau jadi salah satu korban tewas insiden ledakan yang terjadi di Town Square."
"Eh?"
Soraru terhenti, diam dengan ekspresi terkejut teramat kentara. Otak cerdasnya tentu langsung paham, menangkap bahwa itu berarti, insiden yang dia dengar sebagai malfungsi sistem koordinasi arus listrik belasan tahun silam bisa jadi telah direncanakan jauh-jauh hari.
Mafumafu tersenyum kecut, "Habis itu, Amachan jadi benci banget sama polisi. Aku maklum, sih, karena ayahnya adalah satu-satunya yang dia punya. Sejak kejadian itu dia jadi sebatang kara. Setahuku, dia sempat tinggal dengan sahabat ayahnya, tapi di umur sepuluh tahun dia kabur dan memilih hidup terpisah. Saat itulah aku pertama kali kenal dia."
"Amachan lalu memutuskan jadi informan bahkan sampai sekarang. Meski dia bilang sama sekali tak mau lagi berurusan dengan masalah yang berkaitan dengan ayahnya, tapi... Kurasa entah sadar atau tidak, dia masih berharap menemukan petunjuk soal ayahnya dengan melakoni pekerjaan seperti itu."
Soraru tercenung. Tak ia sangka juniornya yang dapat diandalkan itu punya masa lalu seperti ini. "Apa ngga masalah kau cerita masalah sebesar itu ke aku? Amatsuki-kun bisa jadi keberatan, loh..."
Mafu terkekeh, kemudian memberikan kecup singkat pada dahi si raven. "Kamu belahan jiwaku, Dear. Aku gamungkin menyembunyikan apa-apa darimu. Lagian Amachan pasti malah akan kaget kalau aku tidak cerita ke Soraru-san. Karena dia paham betul; apa yang aku tahu, pasti Soraru-san tahu."
Soraru dibuat tersipu, entah untuk keberapa kalinya oleh albino ini. Mafu benar. Selama ini, apapun yang albino itu rasakan dan alami selalu diceritakan padanya seperti laporan rutin. Mafu benar-benar jadi mau bergantung padanya. Karena itu Soraru juga melakukan hal yang sama. Tiada main rahasia-rahasiaan diantara mereka. Meski untuk beberapa kasus, Soraru curiga ada hal-hal tertentu yang hanya diketahui suami dan putrinya.
Yah, kalau main rahasiaannya dengan si kecil, Soraru rasa biarlah itu jadi rahasia diantara mereka saja. Toh, setelah diamati Soraru yakin pasti rahasia itu juga tentang dirinya.
Tapi Soraru sama sekali tidak memprediksi, sifat terus terang itu kini membawanya pada sambaran petir siang bolong. "Akhir-akhir ini, Sakata bilang pola yang mirip-mirip terulang lagi di beberapa area konstruksi. Ayah angkatnya curiga ini dalang yang sama, jadi Sakata berniat membantu mengusut masalah ini..."
"... Dan aku bilang akan ikut membantu. Makanya, Amachan meradang terus aku dihajar habis-habisan."
Sepasang pipinya ditangkup sepasang tangan. Netra merah darah Mafu sedikit melebar mendapati wajah tak senang istrinya. "Aku juga keberatan, kau tahu? Dengar dari ceritamu saja, aku tahu ini bukan masalah yang sepele. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu?"
Mendengar hal itu, Mafu tersenyum. Dibelai tangan si raven lembut. "Aku selalu merasa bersyukur punya Soraru-san yang selalu memikirkanku. Makasih sudah khawatir, Dear. Tapi, aku tentu gak bisa biarkan tragedi lama terulang lagi, kan? Lagipula kami bertiga sudah buat kesepakatan tadi; kami nggak akan terlibat terlalu jauh. Sisanya akan dibereskan aniki-nya Sakatan. Kami bantu dikit-dikit aja."
"Tapi tetap saja..."
Ciuman lembut mendarat singkat di bibir merah muda Soraru. Ia kembali disuguhi wajah tersenyum tenang suaminya. Tanpa berkata apapun, Soraru dapat dengan mudah menebak si albino tengah berusaha bilang, 'Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.'
Oh, harusnya dia sudah hafal tabiat albino satu ini. Keras kepala setiap kali sudah memutuskan sesuatu. Maka yang bisa ia lakukan hanya menghela napas sekali lagi, lalu mengajukan sebuah syarat.
"Oke, aku percaya padamu. Tapi kuizinkan dengan satu syarat, aku akan ikut membantu sebisaku."
Mafu terkejut, tentu saja. Mulutnya langsung bergerak untuk menolak, "Jangan, Soraru-san! Aku gak mau Soraru-san kenapa-napa--"
"Terima syaratnya, atau gak kuizinkan sama sekali."
"Uukh..."
Yap, mereka berdua sama-sama keras kepala.
Baiklah, toh, Mafu berniat akan melindungi Soraru sekuat tenaga. Kalau sang istri harus terlibat, maka dia tinggal menjaga habis-habisan belahan jiwanya ini.
Begitulah akhirnya mereka mencapai kesepakatan.
-
-
-
Mafu masih asyik mengutak-atik aransemen untuk lagu barunya ketika terdengar suara pintu ruang kerja terbuka. Pendengarannya yang awas membawa kepala si albino menoleh, untuk melihat sosok albino lain berukuran lebih kecil mengintip.
"Papa..." lirih si kecil.
Melepas headphonenya, Mafu tersenyum. "Hm? Kenapa, Sayang? Kok, belum tidur?"
Gadis kecil itu melipir, mendekat untuk mendapatkan elusan lembut pada surai ikal seputih saljunya. "Hare mau minta sesuatu, boleh?"
Mafu sedikit terkejut. Tidak biasanya putri kecil ini terang-terangan meminta seperti ini. Meskipun, gesturnya terlihat rikuh. Tentu saja Mafu menyambut pertanyaan itu dengan senyuman hangat, "Bilang dulu, dong. Hare-chan minta apa, hm?"
Hare kecil memilin poni sampingnya, sambil sesekali biru safir itu melirik-lirik ke arah lain. Mafu sabar menunggu, hingga akhirnya si buah hati berhasil mengumpulkan keberanian untuk bicara.
Kali ini dengan wajah yang mantap, si kecil menatap lurus merah darah papanya, "Hare mau diajarin cara jadi kakak yang baik, dong!"
Untuk kedua kalinya, Mafu terkejut. Hare melanjutkan kalimatnya, "Kata Luz, Papa itu kakak terbaik yang pernah ada! Bentar lagi, kan, Hare bakal jadi Kakak... Hare mau jadi kakak terbaik juga kayak Papa!"
Aih, gemas sekali! Mafu rasanya jantungan. Serangan keimutan si kecil ini salah satu kelemahannya yang paling besar. Gawat, jangan histeris, Mafu. Tenangkan dirimu!
Menyembunyikan jeritan hati, Mafu terkekeh kecil. Kembali dielusnya puncak kepala putri tercinta. Mafu balik bertanya, "Kenapa ngga minta diajarin Mama? Kan, Mama seorang kakak juga?"
"Nanti Hare belajar cara jadi kakak yang keren dari Mama. Sekarang, Hare mau belajar jadi kakak yang baik dulu dari Papa!"
Oh, baik dan keren itu dua hal yang berbeda? Anak ini punya pemikiran yang cukup unik.
Sekarang tubuh si kecil diangkat. Hare merasakan ujung hidungnya disentuh telunjuk sang ayah sekian sekon, sebelum pria muda itu berkata, "Kalau gitu, belajarnya besok saja. Sekarang Hare-chan tidur dulu, ya? Udah malem banget ini..."
Mafu tahu wajah itu terlihat sedikit kecewa. Tapi, Hare adalah anak yang baik dan pengertian. Gadis kecil itu mengangguk, menuai pujian dari si ayah. "Anak pintar..."
Setelahnya, Mafu menggendong sang putri kembali ke kamar tidur, membaringkannya di kasur, dan merapatkan selimut. "Janji, ya, besok ajarin?" Hare kembali bertanya sebelum ayahnya meraih pintu kamar untuk keluar. Mafu mengangguk, "Iya, Papa janji."
Pintu ditutup. Hening sempat menyergap beberapa saat. Yang terdengar hanya suara detak jam di ruang tengah. Mafu menyandarkan punggungnya pada pintu kamar Hare, menengadah sejenak menatap langit-langit rumah.
Tidak lama, merah darahnya beralih menatap barisan foto di meja. Ada foto keluarga, ia bersama adiknya, bersama istri dan anaknya, dan... diantara mereka, terdapat sebuah foto tua yang dibingkai kayu pinus.
Mafu meraih foto itu, mengamati figur pasangan yang tercetak disana. Sesekali diusapnya dua sosok yang sangat ia cintai itu, terbersit kerinduan dalam matanya yang agak sendu.
"Aku berhasil, Tou-san, Kaa-san," ujarnya, "aku berhasil hidup dengan baik dan menemukan kebahagiaanku sendiri."
***
To be Continued...
SIAPA KANGEN HARE? SI KECIL YANG MIRIP BANGET SAMA PAPANYAAA😭💖💖
Oke tidak Kafka sangka ternyata bisa juga apdet hari ini:3 sekalian, deh, Kafka mau mengucapkan selamat menjalani ibadah puasa bagi yang menjalankan! Yeaayyy semangat kawan-kawankuu, kurang-kurangin maksiat klean mueheheheheh.
Oke, sejauh ini dah mulai keliatan yah backstorynya Amachan gimana. Kedepannya bakal lebih seru lagi, tapi entah kapan lanjutannya hwhw:"""
Okelah segini dulu deh cuap-cuap Kafka kali ini. Makasih udah mampir, vote, komen, dll di lapak kafka yang satu ini. Makasih juga kalian selalu ngedukung Kafka aaaa😭😭😭
Sampai ketemu apdetan berikutnya. Bubaaii~~
April 2, 2022
-Sierrakafka-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro