Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

第四天 (4)

Zong Bao laoshi kalah, gosip besar untuk diperbincangkan di grup chat malam ini. Di atas meja belajar, beberapa tumpuk buku masih membuka, alih-alih belajar, Sung Yi malah dengan menggebu-gebu bercerita lewat ketikannya di sana. Ponsel tua yang bakal tinggal kenangan ini harus digunakan sebaik-baiknya dulu. Sung Yi harus tabah dengan tombol-tombolnya yang agak koyak. Lagipula, masa depan tidak butuh tombol lagi, mereka tinggal menyentuhnya, seperti ponselnya Sha Yue yang bikin iri Sung Yi satu setengah semester ini.

"Bagaimana bisa Zong Bao kalah? Lagipula, bagaimana Darren diselamatkan oleh kepala sekolah? Apa mereka punya hubungan baik?" ketik Wei Wei. Tiba-tiba Sung Yi teringat kata-kata Ze Hua di lapangan tadi.

Tidak pernah ada yang tahu cerita SMP Darren dulu bagaimana. Yang orang-orang tahu, Darren itu preman. Titik, tidak ada lagi yang menarik selain tubuh kekar dan poni berjambul tipis yang karismatik. Meski begitu, kulitnya agak cokelat, apa dia benar-benar orang Taipei?

"Ze Hua itu dari SMP Taipei, apa mungkin dia tahu sesuatu dari Darren?" komentar Sha Yue.

"Sebenarnya teman-teman, aku curiga Darren itu orang kaya. Dia menyuap kepala sekolah untuk mempertahankan reputasinya." Wei Wei terus menggebu, kalau urusan siswa yang banyak kasus—terlebih Darren—gadis kepang dua itu selalu berapi-api. Walau kacamatanya tebal, tapi otaknya tidak sedungu itu. Dia cermat dalam berpikir, tanggap dalam mencerna. Pokoknya, urusan sains, Wei Wei jagonya.

"Mari kita perjelas besok, bagaimana?" Sha Yue memberi solusi. Meskipun Sung Yi menggebu-gebu menceritakan bagaimana Alan membela Darren, Zong Bao menyerah, sepertinya tidak akan mendapatkan jawabannya juga. Karena pada akhirnya, kelas 11-4 sepertinya tidak jadi dibubarkan.

Apa Alan akan baik-baik saja ya?

Sung Yi meratapi kursor di ponselnya yang berkedip-kedip lalu menghela napas. Bagaimana pun, setelah ujian ini, ia harus membereskan tugas-tugas yang terlambat belum diselesaikan. Sebelum tutup buku, ia harus menyerahkan semuanya sebelum nilai dicetak. Lebih baik begitu, supaya ia setidaknya bisa liburan musim panas dengan bebas.

"Apa kau sudah menyiapkan tugas yang laoshi Chen berikan? Aku belum, mau kah kalian membantuku?" tanya Sung Yi.

Sha Yue mengetik beberapa saat.

"Tidak, makasih. Aku tidak belajar."

Lubang hidung Sung Yi membesar, ia menahan geramnya. "Oke, kalau kau mau balas dendam."

Urusan tidak mau bekerja sama ketika ujian itu lain hal. Dan ini tidak ada sangkut pautnya dengan loyalitas pertemanan. Nilai adalah gengsi. Tahun lalu mereka bertiga sepakat untuk mengalahkan nilai Xiao Xing, tapi satu poin saja tidak ada yang mendekati. Kelompok pertemanan Sung Yi berasal dari gadis-gadis sederhana yang manis. Tak perlu lah belajar sekeras itu karena ujung-ujungnya, mereka lebih kasihan dengan otak kecil mereka.

Sung Yi mendengus sebal. Ia menatap buku tulisnya, membolak-balik buku cetak Sains. Bab terakhir dari semester satu soal Tata Surya. Ia menyukai itu, tapi ia harus melewati pelajaran Fisika tentang Gaya dan Massa. Masalahnya, Sung Yi tidak paham rumus-rumus yang diterangkan dalam kotak-kotak tips di buku cetak. Menyebalkan sekali, kalau Sha Yue masih marah soal kerja sama ujian itu, ia alamat harus memahami rumus fisika sebelum musim panas.

Ia menyandarkan punggung sejenak ke kursi lalu mendongak menatap langit-langit kamar sambil menghela napas.

Apa begini cara belajar Xiao Xing dulu di rumah ini? Ia jadi ingat soal kamar Xiao Xing. Di rumah baru ini hanya ada dua kamar utama di bawah. Yang besar pasti untuk ayah ibu, sementara di dekat tangga ada kamar Sung Hee, kakak laki-lakinya. Walaupun Sung Hee menyewa flat kecil di Taipei, ia selalu pulang satu minggu sekali ke Tainan. Kamar itu masih dipakai. Sementara di lantai dua hanya ada satu kamar dan ruang kerja. Ruang kerja letaknya menghadap gang depan, sementara balkon kamar Sung Yi mengarah ke blok gang perumahan di belakangnya.

Ia menoleh ke pintu geser yang ada di pojok ruangan. Di rumah yang lama, Sung Yi tidak punya balkon. Setidaknya, rumah Xiao Xing cukup asri kalau dilihat dari pagi hari. Ia cukup menyukai pemandangannya. Sung Yi berjalan hati-hati ke arah balkon. Ia belum sempat membersihkan balkon yang cukup luas itu. Masih ada beberapa pot tanaman yang belum dibawa. Di sudut-sudut balkon terbuka itu ada beberapa potongan kayu dan sebagian lantai yang terkena rembesan air dari pipa di pojokan. Di belakang kekacauan itu ada sebuah papan yang menutup separuh dinding.

Jarak antar rumah di samping kanan kiri terhitung cukup dekat. Sung Yi menyambut angin malam yang berembus pelan. Rambut pendek bobnya tersampir ke belakang, ia menaikan kacamata yang melorot. Angin-angin itu mengantar bau asap rokok. Apa ayah merokok di ruang kerja? Baunya sampai ke sini.

Baru saja Sung Yi berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar suara yang nyaris saja membuatnya menjerit.

"Sung Yi—"

Sung Yi refleks menoleh ke sumber suara. Ia terperanjat begitu mendapati seorang cowok tinggi sedang menatapnya dari sebrang balkon yang persis—hanya menjarak beberapa senti dari rumahnya itu. Mulut Sung Yi menganga, ia merasa gagang kacamatanya mengetat. Demi memastikan apa yang baru saja ia lihat, ia rela melepaskan kacamatanya dulu untuk menggosok benda itu lalu memasangnya kembali.

Raut cowok itu tidak berubah.

Darren!!!

"K—kau—kenapa bisa berdiri—di situ?" suara Sung Yi bergetar. Kakinya yang pendek gemetar. Padahal Darren ada di sebelah sana, terlihat sulit dijangkau, tapi kenapa—sebentar.

Apa dia tadi memanggil namanya?

Sung Yi berjengit lagi, wajah Darren tidak menggubris beberapa saat.

"Apa maksudmu dengan berdiri di sini? Jelas-jelas ini rumahku. Kau yang baru pindah," tukas Darren. Di bibirnya terselip tungkai permen. Sung Yi menarik napas untuk menenangkan diri, bayangan Darren yang sering terlihat di sekolah—dengan tongkat pemukul yang bisa diatur-atur tingginya, dan kemeja terbuka membiarkan singlet hitam terlihat begitu saja, masih tidak cukup membuatnya merasa baik-baik saja.

"Ah, benar." Sung Yi tergagap, "kalau begitu—" baru saja ia ingin berputar kembali masuk, Darren langsung mencegahnya.

"Siapa suruh kau masuk. Kemari." Nadanya cukup tegas untuk semakin membuat gigi Sung Yi bergemeletuk. Ia tidak pernah berhadapan dengan cowok—sekali pun cowok—mereka tidak pernah membawa tongkat pemukul seperti Darren. Sung Yi menelan ludah susah payah lalu tersenyum kering.

"Aku harus menyelesaikan—"

Darren mendecakkan lidah. Kaki Sung Yi membatu.

"Kau mau aku mengulangnya?"

Dengan sigap Sung Yi menggeleng, "ti—tidak, tidak. Ia aku ke sana. Lihat aku ke sana, kan—Aaaa—!"

Darren menjangkau tangannya untuk menarik kerah baju Sung Yi dari belakang.

"Apa sih kau ini? Aku tidak akan menjatuhkanmu. Buka mata sekarang."

Sung Yi refleks membuka mata. Tarikan penuh tenaga tadi cuma sedikit dari dorongan jantung yang menggebu cepat. Sialan, Sung Yi menghela napas tenang. Jarak antar balkon dengan rumah Darren benar-benar dekat. Bahkan memungkinkan cowok itu melompat dalam sekali gerakan saja.

"Ka—kau sebenarnya mau apa?" tanya Sung Yi diam. Di balik poni Darren yang berjatuhan, ia menatap Sung Yi dengan mata menyipit.

"Apa yang membuatmu begitu takut? Aku kan cuma mau bertanya."

"Kalau begitu, apa kau bisa melepaskan tanganmu ini?" tunjuk Sung Yi ke tangan di belakangnya.

"Kalau kulepas, kau tidak akan kabur?"

Sung Yi tergagap lagi. Ia tidak tahu apa maksud Darren, tapi bagaimana pun, jika ia lari, itu tidak akan membuatnya berada dua ratus kilometer jauhnya dari Darren. Kenyataannya bahkan, rumah barunya bersebalahan dengan si Dewa Tawuran ini.

"Tidak. Tidak. Aku tidak berani." Sung Yi menggeleng penuh minat. Sembari mengamati ekspresi Darren yang pelan-pelan melunak, ia pun melepaskan tangannya. Sung Yi menghela napas lega.

"Sekarang," kata Darren, "kau harus mengikuti perkataanku."

"Apanya? Bukannya tadi kau bilang ingin bertanya?"

Darren mendecak, "apa kau ingin mengoreksiku?"

Refleks, Sung Yi menaikkan kacamatanya yang tidak melorot. "Tidak-tidak. Silakan, katakan sesuatu." Dalam hati, Sung Yi mulai jungkir balik. Apa yang mau dikatakannya? Apa yang harus diikutinya? Kalau sekarang ia berteriak, apakah Darren bisa berhenti?

Dari belakang sakunya, ia mengeluarkan buku tulis yang digulung.

"Tuliskan aku surat permintaan maaf sebanyak sepuluh lembar."

Mata Sung Yi memelotot.

"Hah?! Kenapa—kenapa aku—?"

Tangan Darren lagi-lagi menarik baju Sung Yi sampai terperanjat.

"Kau ingin Alan-mu baik-baik saja, tidak?"

Mendengar nama Alan, Sung Yi refleks mendapat semangat baru. Ia menatap Darren dari balik ujung-ujung poninya yang agak basah. Bagaimana pun, ia adalah fans setia Alan. Apa pun yang bisa terjadi dengan idolanya, ia harus menjadi barir utama untuk mengamankan Alan.

Tapi... kalau begini, apakah ia bisa aman?

"Tapi—aku kan tidak melakukan apa pun. Kenapa aku sampai harus membantumu?"

Cengkraman Darren mengencang, mengagetkan Sung Yi.

"Kalau kau membantuku, itu artinya kau sedang membantu dirimu sendiri dan juga Alan. Apakah masih mau bertanya kau ingin membantu siapa?"

Sung Yi terdiam sebentar. Darren malah mendecak pelan.

"Aku dan A Shu—kepala kelompok kami bisa dengan mudah mendatangi Alan dalam satu jengkal dari jarak hidung kami. Dengan tubuh kurus itu juga, aku dengan mudah mematahkan lehernya, mematahkan kakinya, atau lebih buruk, aku bisa membuatnya tidak kuliah. Kami bisa saja melakukan—"

"Baik-baik, aku tidak memintamu untuk melanjutkan," sela Sung Yi setengah kesal. Darren tersenyum kecil lalu menyerahkan buku itu dengan ikhlas. Lagipula hanya sepuluh lembar surat permintaan maaf. Apa yang buruk? Demi Alan, pikir Sung Yi meneguhkan hatinya.

"Sekarang apa?" sahut Darren dari sebrang balkon.

Sung Yi mengernyit. "Apanya yang apa?"

Alis Darren mendelik ke arah pintu kamar Sung Yi, "cepat kerjakan. Besok pagi aku harus menerima itu. Kalau sampai mencoba kabur—" kedua jari Darren menunjuk matanya kemudian ke arah Sung Yi. Sambil berjalan masuk ke kamarnya sendiri, Sung Yi cuma bisa menghela napas keras.

Balkon rumah Darren nampak kosong. Cowok itu menutup pintu dan hening langsung menyambar. Dengan tangan menggenggam buku cowok itu, Sung Yi benar-benar tidak menyangka bisa-bisanya ini terjadi hanya dalam beberapa detik. Sambil menggerutu kesal, ia pun berbalik ke kamar, mengerjakan surat-surat bodoh itu sebelum mengantuk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro