Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

第十六天 (16)

Tepat dentang bel istirahat pukul dua belas, Sung Yi kembali mengecek chat-nya. Pesan Sung Yi masih tertanggal di tiga jam yang lalu ketika break pelajaran kedua ia mengirim pesan ke Darren. Ia menanyakan apakah istirahat ini ia bisa bertemu. Sekalian mengembalikan setumpuk buku, Sung Yi mau menceritakan hasil garis finish yang akhirnya terukir nyata untuk Darren. Siapa kira Xiao Xing bisa langsung mengubah sudut pandangnya waktu seorang Darren memegang buku? Yah, walau kenyataannya, cowok segarang Darren bisa kelihatan dewasa dan menarik ketika hanya ada rumus dan hapalan di otaknya. Bukannya bertarung atau menggeret teman satu kelasnya untuk bubar.

Sha Yue dan Wei Wei sempat mengajaknya makan bersama di kantin, tapi Sung Yi segera menolak karena ia sendiri akhirnya memutuskan untuk ke kelas Darren. Ia tidak mau membawa buku-buku ini kembali ke rumah. Buku ini bukan semuanya milik Darren juga. Beberapa punya teman sekelasnya, Sung Yi tidak bisa menitipkan ini di rumah Darren. Menghindari ocehan-ocehan tak penting, lebih baik Sung Yi langsung memberikannya pas di sekolah.

Masih dengan tatapan takjub dan bisik-bisik murid yang Sung Yi temui sepanjang jalan, ia terus menyimpan senyum dan berjalan menunduk. Melintasi lorong terbuka panjang dari gedung khusus cewek ke gedung khusus cowok, Sung Yi harus melewati kehebohan yang sedang terjadi di lapangan basket.

Beberapa orang mengelilingi lapangan sambil berseru sesuatu. Sung Yi agak memanjangkan lehernya dari antara kerumunan yang menghalangi lapangan. Kakinya yang tadi melangkah cepat kini pelan-pelan berhenti. Simpang siur anak-anak yang memenuhi lapangan terdengar, Sung Yi tertegun.

"Itu Darren? Dia bertarung lagi?"

"Hah? Bukankah kelasnya sudah dibubarkan?"

"Tidak jadi, anak itu tidak ada kapoknya."

"Ya ampun, memalukan sekali, sih..."

Buku-buku yang ada di tangan Sung Yi langsung dipeluk erat. Ia berlari menembus kerumunan berharap menemukan pemandangan Darren dan Alan sedang tanding basket lagi. Tapi yang ada di depan matanya justru hal lain.

Mulut Sung Yi menganga bersamaan air keringat yang terus menetes dari jalinan lengan berotot Darren. Cowok itu bergelantungan di bawah tiang basket dengan wajah menahan kesakitan. Poni jambulnya sudah basah, separuh kemeja seragamnya juga menjiplak singlet hitam dibaliknya karena basah kena keringat. Napas Darren jatuh bersamaan sinar matahari terik di atasnya. Sung Yi segera bertanya ke seseorang di sebelahnya.

"Dia kenapa?!" tanya Sung Yi menahan panik.

Seorang siswi yang menatap dengan kerut khawatir itu menjawab lemah, "katanya Darren dihukum setelah kemarin ia dan teman sekelasnya menyerang sekolah lain."

"Hah? Kenapa bisa—" kata-kata Sung Yi tertahan diingatannya bahwa kemarin, sepulang dari belajar bersama di kafe, Sung Yi tidak mengantar cowok itu pulang. Ia masih ingat Darren berbisik sesuatu kepada kedua kacungnya, tapi Sung Yi sama sekali tak sadar kalau Darren bisa diam-diam melakukannya. Entah gerakan alam bawah sadar atau bagaimana, Sung Yi merasa setengah hatinya berat mendapati kenyataan itu. Ia agak merasa dikhianati oleh hubungan pertemanan mereka. Yah, walau itu hanya formalitas, tapi Sung Yi tidak bisa membohongi dirinya kalau ia tidak rela Darren kembali bertarung.

Dengan langkah penuh entakan, Sung Yi menyisiri pinggir lapangan, melewati para murid yang menjadikan hukuman Darren sebagai tontonan seru. Buat mereka, si Dewa Tawuran memang paling keren kalau sedang dihukum. Mereka tidak peduli apa yang sedang Darren lalui, bagaimana kehidupan Darren yang tak diketahui mereka, tapi Sung Yi tahu pasti, pertarungan itu seharusnya bukan salah Darren sepenuhnya.

Ia agak mendongak, membenarkan letak kacamatanya waktu melihat Darren yang tak mengubris kedatangannya.

"Darren!" panggil Sung Yi setengah berteriak. Cowok itu baru menoleh. Di antara kekuatannya menahan tubuh yang menggantung, Darren mengernyit.

"Siapa kau?" tanyanya tak mau tahu.

Sung Yi menarik napas panjang. "Aku si Dungu! Heh, kalau kau masih tidak mau turun juga—"

"Dungu? Kau mau berpura-pura menjadi Dungu-ku? Kau terlalu imut untuk itu."

Bukannya tersipu, Sung Yi malah semakin kesal. Ia mengacak-acak rambutnya lagi, membuatnya setengah kusut lalu menunjukkannya pada Darren.

"Darren, berhenti bermain. Aku benar-benar Sung Yi. Tolong lihat aku.."

Darren mengalihkan pandangan tidak pedulinya lalu menatap Sung Yi beberapa detik.

"Ah, kau sama sekali tidak cocok begitu."

Bukan saatnya meminta pendapat, Sung Yi langsung menyela lagi, "Darren kenapa kau kemarin bertarung lagi, sih?"

Darren mengendus keras, "bukan urusanmu. Pergilah."

"Padahal aku mau melaporkan kalau—"

"Sung Yi!" Suara yang tak asing itu menahan kalimat Sung Yi. Ia menoleh dari antara anak-anak yang masih mengerubungi lapangan, wajah Xiao Xing yang tersiram matahari nampak begitu halus. Darren membuang wajah, waktu Xiao Xing menatap dengan kerut samar. Ia bertanya cemas.

"Dia kenapa?"

Sung Yi menghela napas pelan, "Darren..."

"Xiao Xing, kenapa kau di sini?" tanya Darren mengejutkan Sung Yi.

Xiao Xing agak menengadah, menjangkau Darren yang masih menggantung di tiang basket.

"Bukankah harusnya aku yang menanyakanmu? Kau kenapa?"

Mata Darren nampak mengerjap pelan, sepintas terlihat kegugupan yang berusaha ditutupi.

"Lebih baik kalian pergi. Jangan ikut-ikutan seperti anak bodoh itu."

"Darren, kau harus menjelaskan padaku. Ini hukumanmu, atau hukuman orang lain?" tanya Sung Yi meyakinkan. Terakhir, Darren membayarkan tenaganya demi Liao Ren dan A Shu. Hukuman bolos bersama Sung Yi ditutupi juga, kira-kira apa hukuman ini juga bukan miliknya?

"Semakin kau membuatku berbicara, semakin sulit aku nenahan di sini," jawab Darren disela-sela napasnya yang kedengaran mau putus.

"Tidak bisa. Aku akan bertanya pada A Shu. Xiao Xing, ayo ikut aku."

Darren agak terperangah waktu Sung Yi menggaet Xiao Xing yang menurut. Ia sempat mendengar Darren memanggilnya dari kejauhan. Sementara anak murid berpandang penuh tanya, genggaman Sung Yi yang mengerat pada Xiao Xing semakin tak rela jika Darren harus membayarkan hukuman orang lain. Meski gosip bahwa ia bertarung, Sung Yi masih belum percaya itu.

xx

Hukuman itu ternyata benar milik Darren. Setelah kembali dari kelas 11-4, seluruh anak cowok di kelas itu nampak murung. Tak ada entakan keras dan tatapan menantang. Mereka semua diam dan meratapi buku mereka. Waktu Sung Yi menitipkan buku tugas yang sudah dikerjakannya ke A Shu, cowok berkacamata itu menggiring Sung Yi ke pinggir koridor tanpa banyak bicara. Dari lantai dua kelas 11 gedung khusus cowok, lapangan basket dan voli yang memisahkan kedua gedung itu masih menampilkan keramaian di lapangan. Dengan Darren yang masih bergelantung menahan hukuman di bawah teriknya sinar matahari menuju musim panas.

"Bagaimana bisa itu terjadi?" tanya Sung Yi setengah meratap. A Shu yang pada dasarnya kelihatan culun, dengan kacamata bundar dan poni lepek itu mendecak kesal.

"SMA Barat memulai duluan. Mereka bilang akan menghancurkan basecamp kami di dekat danau kalau kemarin tidak datang untuk duel ulang."

"Duel ulang?" Xiao Xing yang masih ikut bersama Sung Yi sedari awal jadi bertanya-tanya.

"Yah, Bos punya banyak petarungan tapi dengan SMA Barat, paling sering. Mereka yang kemarin merecoki warga dan memaksaku untuk membela warga. Mereka merusak properti dengan alasan aku harus membawa Bos. Gara-gara itu, aku dan Liao Ren ditangkap. Dan Bos harus membayar hukuman kami. Kau tahu masalah itu, Sung Yi," ujar A Shu masih dengan sedikit penyesalan dalam ucapannya. Tentu Sung Yi tahu soal hukuman itu, tapi soal pertarungan dan dendam yang tak ada habisnya ini harus segera berakhir. Sampai kapan mereka terus bertarung? Kelas dua belas tinggal setengah tahun lagi, kalau Darren terus bertarung, apakah hidupnya bakal bisa baik-baik saja?

Pertanyaan itu terus berputar, sama seperti Xiao Xing yang mulai tertegun mencerna semuanya.

"Lalu kemarin kalian merencanakan untuk duel?" tanya Sung Yi lagi.

A Shu melirik ke tengah lapangan, "aku sudah berusaha mencegah Bos. Apalagi ancaman kelas akan dibubarkan. Tapi, tetap saja, Bos tidak mau dianggap pengecut oleh Da Feng."

"Da Feng?" Sung Yi bingung.

"Ah, dia pemimpin SMA Barat," tambah A Shu.

Mungkin permasalahan ini sedari awal tidak akan ada penyelesaiannya. Yang jelas, Sung Yi masih merasa semua kekonyolan ini seharusnya tidak pernah terjadi. Amat disayangkan kalau Xiao Xing merasa terancam dengan situasi ini, dan Darren akan kehilangan kesempatan. Kesempatan untuk memperjuangkan kisah cinta dan momen-momen indah untuk kenangan di masa depan. Walaupun itu si Dewa Petarung, ia juga tetap anak enam belas tahun yang punya masa depan, kan?

"Kalau tidak ada apa-apa lagi, aku kembali ke kelas." A Shu baru saja mau beranjak, tapi Xiao Xing menahannya.

"Eh, sebentar, bisakah kau memberiku nomor Weixin Darren?"

Mata A Shu jelas melebar kaget, Sung Yi menyembunyikan tatapan kecutnya berbalik mengangguk waktu A Shu beralih padanya untuk memastikan.

"Oh.. tentu boleh. Bos pasti senang sekali."

Keduanya bertukar kode QR untuk mendapatkan kontak lalu A Shu berbalik masuk ke kelas masih dengan ekspresi takjubnya. Sembari kembali ke kelas, Sung Yi diam-diam memikirkan nasib Darren.

"Sung Yi, apa Darren memang selalu senang bertarung selama itu?" Xiao Xing betanya disela-sela perjalanan mereka.

Sung Yi menggeleng pelan. Ia sebenarnya tidak pernah tahu pasti urusan itu. Akibat takut membuka diri pada Preman Sekolah, Sung Yi juga takut bertanya balik. Ditambah Darren bukan anak yang sudah cerita kalau bukan masalah iseng tak berguna. Sejauh mereka memiliki status pertemanan konyol itu, sebenarnya, Sung Yi jauh dari mengenal Darren selama ini. Apalagi waktu A Shu menceritakan masalah tadi. Kenapa Darren memulai pertarungan ya?

"Kau tidak pernah bertanya padanya soal itu?" Xiao Xing memperhatikan Sung Yi.

"Aku tidak pernah menanyakannya. Sebenarnya agak takut untuk mengenal Darren soal pertarungan antar sekolah yang sering digosipkan. Aku hanya menikmati hari-hari sambil berusaha keluar dari permainan konyolnya."

"Permainan konyol apa maksudmu?" tanya Xiao Xing. Nampaknya, si Kembang Sekolah ini terlalu sibuk menghapal log matematika sampai ketinggalan gosip. Atau memang Sung Yi saja yang kurang jadi pusat perhatian waktu Darren menyeretnya gara-gara surat permintaan maaf itu?

"Itu sebenarnya, sejak pertama kali tahu kalau kami bertetangga, Darren jadi menyuruhku untuk membantunya. Awalnya aku kira hidupku akan terkekang seperti anjing, tapi setelah kujalani, itu tidak terlalu buruk karena dia ternyata cukup pintar untuk membantuku belajar."

Kenyataan lain yang tak Sung Yi ketahui, Darren murid beasiswa dari laoshi Zong Bao yang selalu galak itu.

Xiao Xing menghentikan langkahanya sesaat.

"Jadi yang kemarin aku lihat di kafe waktu Darren belajar itu, benar?"

"Kemarin waktu aku dan Darren dihukum karena bolos ke arena sepatu roda itu, laoshi Zong Bao yang mengatakannya sendiri," cerita Sung Yi sambil mereka ulang kejadian yang sama mengejutkannya seperti yang Xiao Xing dengar saat ini.

Siapa yang percaya Darren si Preman Sekolah dan Dewa Tawuran memang penerima beasiswa? Atau bisa jadi lebih dari itu. Bagaimana kalau misalnya dulu Darren memang seseorang yang seperti Alan Luo?

***

Wah, lima hari aku tinggal nggak update, maaf banget ya kelamaan huhu. Dua hari yang lalu aku sempat obrak-abrik beberapa bab ke belakang soalnya. Aku ada kurang riset jadi harus perbaiki. Contohnya Weixin. Kenapa kemarin aku nulis ID Line, ya? :v nggak fokus banget, padahal kebanyakan orang Taiwan pakai weixin. Yah, walaupun ada juga sih yang pakai Line. Dulu aku sempat komunikasi sama temanku pakai Line soalnya. 

Oh ya, kalau ada yang mau ngintip beberapa fakta unik tentang A Days with You ini, kalian bisa cek di instagramku ya. Di sana aku sering upload konten-konten seputar cerita ini. 

Terima kasih buat yang masih nungguin, semoga terhibur ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro