Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

第十九天 (19)

Sung Yi melirik ke tengah gedung yang luas, ke arena yang membentang hampir mengisi ruangan. Di antara keramaian bar, Sung Yi melihat Darren dan Alan saling bercakap sambil meluncur lambat.

Alan memakai baju olahraga biru sementara Darren dengan alis terplester masih mengenakan kemeja yang tiga kancing atasnya dibiarkan terbuka sampai singlet hitam terlihat. Sung Yi agak menarik Xiao Xing yang ternyata tidak percaya diri. Sulit dipercaya bagaimana Xiao Xing sebenarnya memang ingin berteman dengan Darren tapi yang mengalihkan perhatian Sung Yi untuk beberapa saat adalah waktu Alan menoleh.

Senyum itu...

"Weh dungu, apa kau tidak bisa lebih cepat?" suara Darren membuyarkan gemerlap indah dari lekukan bibir Alan. Dari batas pinggir arena luncur, Alan dengan rendah hati keluar perbatasan dan mengambilkan sepatu roda dari kolong kursi tempat kedua tas cowok itu berada. Pegangan Sung Yi merasa lebih kencang di tangan Xiao Xing.

Wah seorang Alan Luo mengambilkannya sepatu roda—

"Xiao Xing—" sodoran sepatu itu membelok ke Xiao Xing yang ada di sebelah Sung Yi. Darah Sung Yi melebur, hampir saja ia mengangkat tangannya. Di belakang Alan, Darren terkikik seperti setan kecil yang bahagia melihat penderitaan orang lain. Sung Yi balas memelototi tapi Alan keburu memanggilnya.

"Wah, kau berubah sekali."

Sung Yi sedikit menyembunyikan rasa gugupnya sementara Xiao Xing memakai sepatu roda di bangku pinggir arena ditemani Darren yang memulai aksinya juga.

Sialan anak itu bisa satu langkah lebih cepat juga.

"Ah, masa sih?"

Masa sih?! Dasar Sung Yi dungu! Siapa pun bisa lihat itu, kenapa harus pura-pura sok manis!?

"Ya begitulah." Sung Yi menutup ragu sambil mengambil sepatunya sendiri dari kolong kursi. Entah siapa yang mengambilkan mungkin si Darren idiot itu. Yang penting, ia harus menghindari Alan yang mulai membuat degup jantungnya berdebar tak keruan.

"Tapi itu cantik."

Jari Sung Yi yang sedang memakai sepatu roda nyaris tergelincir kalau satu tangannya tidak menahan bobot sepatu roda yang lebih berat. Ia sedikit menengadah ke Alan yang ternyata agak membungkuk sedikit dan menatap ke dalam matanya.

Jantung Sung Yi berdegup hebat.

"E—a—em—itu—" Sung Yi nyaris mendadak bisu, tapi Alan keburu menarik diri sambil tertawa pelan lalu duduk di sebelah Sung Yi yang sudah berubah menjadi gumpalan es. Sepatu roda jadi semakin sulit dimasukan ke kaki. Sialan, ada apa dengan benda ini sih?!

"Kenapa? Apakah sepatunya tidak muat?"

Tangan Sung Yi tergelincir seketika, sepatunya terjatuh dan Alan langsung berjongkok untuk membantunya.

Sung Yi merutuki dirinya sendiri. Kini Alan berlutut di depannya setengah menengadah ke arahnya dalam tatapan tanya.

"Eh—muat kok, muat! Hanya saja, agak kaku sepertinya." Yang agak kaku itu kau! Tapi Sung Yi lagi-lagi hanya mengedarkan senyum kering dan membiarkan Alan melemaskan kain sepatu roda yang memang agak kaku. Lalu tanpa antisipasi Sung Yi, cowok itu tiba-tiba meraih kaki mungil Sung Yi yang untungnya—sudah berganti kaos kaki kemarin—dan memasangkan sepatu itu layaknya cinderella!

Jantung Sung Yi hampir saja mencelus jika ia tidak melihat Darren yang tersenyum penuh kemenangan dari belakangnya. Pemandangan itu merusak suasana sebenarnya tapi daya tarik Alan yang sedang memasang sepatu roda dengan anggun membuat kepala Sung Yi pusing tujuh keliling. Seluruh tubuhnya panas oleh rejangan asmara. Apakah akhirnya ia akan menggambar sebuah keping hati di lembar buku yang sudah ia sediakan sejak dulu? Apakah ini akan menjadi akhir yang....

"Lain kali, kau harus meminta tolong jika kesulitan. Tidak ada salahnya, kok." Alan mendongak sedikit, menyisipkan senyum tipis. Di saat seperti ini seharusnya Sung Yi membalas dengan anggun, bukan? Tapi entah kenapa pertanyaan di benak yang selama ini tertahan jadi muncul ke permukaan. Dengan hati-hati Sung Yi menyelipkan rambutnya ke balik telinga, membiarkan Alan menatapnya sedikit lama.

"Alan, bukankah kau dan Xiao Xing..." kedua jari telunjuk Sung Yi disatukan, membentuk arti 'pacaran' yang langsung dimengerti Alan. Cowok itu tergelak pelan lalu beranjak duduk kembali ke sebelah Sung Yi.

"Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"

"Tentu saja semua orang berpikir begitu," apalagi soal cerita yang ia curi dengar waktu itu—cerita selangkangan yang hampir membuat Sung Yi pingsan.

Alan tertawa lagi. Tawa yang merdu seperti suara suling bambu dan hembusan angin pelan di antara hutan-hutan di bawah kaki gunung yang hanya ada di drama-drama Pendekar atau paling banter, lagu Eric Chou yang menyejukkan.

"Lalu, apa kau berpikir begitu juga?"

Tatapan Alan tertahan untuk beberapa detik, Sung Yi nyaris tenggelam terlalu lama melihatnya, ia lalu buru-buru mengerjap tersadar. Sambil terkekeh menyingkirkan gugup, ia menjawab, "aku—mana mungkin aku berpikir begitu?"

Alan hanya tersenyum kecil tanpa memberi jawaban lagi. Jadi si bodoh Sung Yi ini bertanya lagi.

"Jadi, kau benar-benar tidak berpacaran?"

Alan menggeleng pelan, "tidak. Kami hanya sebatas teman. Tapi, teman yang senang bermain sepatu roda itu cukup berharga loh!" cowok itu mengulurkan tangan sambil berdiri. Dengan sepatu rodanya, Alan bergerak seimbang. Kakinya berubah seperti tiang yang bisa berseluncur, ia menunggu Sung Yi menyambutnya.

Uluran tangan itu seperti ajakan—apakah kau mau membentuk kenangan indah bersamaku—yang refleks tidak akan ditolak tapi untuk menerimanya harus dengan sentuhan hati-hati. Jika terlalu keras memegangnya, Sung Yi takut tangan berharga Alan rusak dan kotor. Jadi, dengan gerak anggun yang tanpa sadar Sung Yi keluarkan, ia menyambut Alan. Sung Yi ditarik berdiri dan dengan ajaib, walaupun lututnya gemetar hebat, ia masih bisa berdiri dan bergandengan dengan Alan masuk ke arena sepatu roda.

Saat itu, Sung Yi pikir, genggaman itu adalah goresan baru di lembaran kenangannya.

xx

Sepeda Sung Yi di dorong pelan memasuki gang kompleks rumah. Jarak dari arena sepatu roda cukup dekat, jadi ia tidak perlu repot-repot menaiki itu dan beralih berjalan santai bersama Alan.

Darren sudah mengajak Xiao Xing lebih dulu ke toko buku. Awalnya Sung Yi mendengar itu seperti sebuah lelucon. Darren? Ke toko buku? Yang benar saja? Tapi memang itu kenyataannya. Darren yang tidak lagi membawa tongkat pemukul hitam, yang sudah mengancing rapat seragamnya dengan rapi, jambul rambut yang sempurna dan senyum penuh pesona yang semuanya diberikan hanya untuk Xiao Xing gadis yang ia sukai.

Eh? Kenapa jadi memikirkan si idiot itu!?

Sung Yi sedikit melirik ke arah Alan yang sedang mengamati rumah-rumah di gang kompleks itu. Seperti rumah di gang pada umumnya, yang punya pagar rapat dan tertutup, sepanjang jalan Minzu. Daerah pertokoan dan kompleks rumah yang jadi satu bersama lanskap kota sederhana.

"Itu... apa kau benar-benar tidak masalah mengantarku?"

Alan menoleh lalu tersenyum, "kau sudah menanyakan itu berkali-kali. Apa kau benar-benar tidak mau kuantar?"

"Eh bukan-bukan. Maksudku, aku merasa semua ini tidak nyata."

"Tidak nyata di bagian mana?"

Sung Yi agak menahan napasnya. Buat apa mengatakan hal bodoh terus sih?!

Ia menyengir, "kau tahu kan, menurutku, orang yang bisa dekat dengan murid populer di sekolah itu seperti punya satu tingkat lebih baik. Aku merasa tidak nyata waktu bisa bermain sepatu roda denganmu."

"Bagaimana kau bisa berpikir begitu? Justru akulah yang merasa seperti mimpi. Jarang sekali ada yang suka pergi ke arena sepatu roda selain aku, Xiao Xing dan Darren."

Darren? Mari singkirkan satu nama itu lalu lanjut ke topik yang seharusnya.

"Apakah memang jarang yang menyukai sepatu roda?"

Sung Yi sendiri tidak pernah tahu masih ada arena sepatu roda. Rata-rata orang di zaman sekarang sudah punya sepatu roda sendiri dan mereka bermain di taman-taman atau mall. Jarang ada yang benar-benar bermain di satu tempat seperti arena lama yang ada di tempat gymnasium itu.

"Selain jarang, yang benar-benar menyukai suasana arenanya hanya sedikit. Orang-orang lebih senang bermain di taman, tapi sebenarnya arena itu sendiri mempunyai kenangan yang cukup dekat denganku."

Suara derik dari gerigi sepeda menyatu dengan jangkrik malam. Mendekati musim panas, suara angin yang menerpa pelan membuat lonceng rumah seseorang berbunyi samar dari kejauhan. Sung Yi menatap Alan sebelum meyakinkan diri untuk bertanya lebih.

"Apa karena kau sudah memainkannya sejak kecil?"

Alan mengangkat wajahnya dan tersenyum pelan, "bukan. Kau tidak tahu ya kalau bibi pemilik arena sepatu roda itu hampir ditutup? Katanya, permainan sepatu roda itu sudah ketinggalan zaman. Arena itu hampir diganti menjadi warnet, tapi bibi pemilik mempertahankan tempat itu karena hanya lokasi itu satu-satunya tempat di mana ia dan almarhum suaminya dipertemukan."

Mata Sung Yi mengerjap. Adakah orang lain yang tahu soal ini?

"Menurutku, alasan itu cukup dalam. Dan aku senang karena aku salah satu orang yang langganan di sana. Aku kadang berharap bisa memiliki perasaan setulus seperti bibi. Kau pasti menganggapku kekanak-kanakan, tapi itu alasannya aku senang bermain di sana. Selain melepas penat, aku bisa memiliki harapan di dalamnya."

Harapan untuk bertemu cinta yang tulus juga maksudnya?

Keduanya berhenti di depan rumah yang pagar rumahnya ditutup rapat. Sung Yi masih ingin mendengarkan Alan bercerita.

"Beberapa bulan sebelum naik kelas sebelas, aku bermain sendiri. Tapi waktu aku bertemu Xiao Xing bermain, kami jadi sering janjian. Jarang sekali kami menemukan murid sekolahan masuk ke sana. Selain kelompok orangtua, kupikir hanya kami pelanggan setia. Tapi beberapa waktu kemudian, aku melihat Darren juga bermain sendirian."

"Darren bermain sendirian?" tanya Sung Yi teringat hari pertama ia dijadikan teman pingitnya, selain menjadikannya bahan lelucon, ternyata Darren memang suka bermain? Sejak kapan Darren melakukannya?

"Sejauh itu, hanya kami bertiga. Tapi kedatangan Darren sulit diprediksi. Aku juga tidak biasa mengajaknya, jadi hanya aku dan Xiao Xing saja."

Kepala Sung Yi manggut-manggut paham. Ia menemukan dirinya bertanya-tanya soal hobi Darren yang senang bermain sendiri. Tapi sebelum ke sana, kenapa Alan juga senang bermain sendiri?

"Lalu, kenapa kau juga bermain sepatu roda? Apa yang membuatmu pergi ke sana untuk pertama kali?" Sung Yi melihat raut Alan yang agak menghindar. Ia segera terkekeh kering, "ah, tidak apa kalau kau tidak—"

"Adikku," sela Alan cepat, ia terarah ke Sung Yi yang membungkam, "aku hanya senang jika memikirkan adikku sambil bersepatu roda."

Pernyataan itu cukup menggantung. Tapi waktu Sung Yi ingin menanyakan lebih, suara gerbang terbuka. Sung Yi dan Alan kompak menoleh ke arah yang sama. Dari sebelah rumah Sung Yi, tangan Darren tertahan di daun pintu gerbang itu, lalu ia menyengir.

"Ups. Salahkan pintunya. Aku berusaha tidak mengganggu kalian," katanya sambil mengangkat kedua tangan. Sung Yi menahan napas, ia hampir bersungut kalau bukan Alan yang tergelak pelan.

Cowok itu memegang puncuk kepala Sung Yi, membuatnya menoleh setengah mendongak.

"Aku akan menceritakanmu detailnya lain kali," kata Alan sambil melepas tangannya, "sampai besok, Sung Yi," ia melambai setengah tersenyum dan beranjak pergi.

Sung Yi melambai ke arah punggung Alan yang kian mengecil dari gang perumahan. Semakin kecil dan lenyap, bersamaan seperti debar jantungnya tiba-tiba kembali beranjak. Dalam satu detik terakhir, Sung Yi menjerit senang ke arah Darren yang masih berdiri di depan rumah.

"Wah! Kau lihat barusan!?" Sung Yi setengah berlari ke arah Darren yang mengernyit dan menatapnya seolah melihat orang gila.

"Jangan terlalu senang. Ini baru kencan pertama," tandas Darren.

Sung Yi mengernyit tak terima, "kenapa, hah? Kau kan juga sudah jauh lebih cepat dengan Xiao Xing."

Darren cepat-cepat memukul kening Sung Yi. "Heh, dungu. Suruh siapa kau tidak bisa menjaga mulut dan bilang kalau aku menyukainya?"

"Siapa bilang?! Aku hanya bilang kalau besar kemungkinan kau menyukainya..."

Alis Darren yang tebal kian bertaut, "itu sama saja, bodoh! Aku kan tidak punya persiapan yang lebih romantis waktu kami memutuskan untuk pacaran!"

Mata Sung Yi seketika membelalak. Ia tidak tahan untuk mencengkram pundak Darren dengan mata berbinar.

"Katakan sekali lagi!?"

Darren berlagak menyingkir tapi kegirangan yang tertahan di bibir Sung Yi menahannya.

"Kami berpacaran," ulang Darren. Lantas, Sung Yi menjerit lebih gembira.

"Eh, eh, jangan berlebihan bisa tidak?" Darren ikut tertawa. Dunia Sung Yi sepenuhnya seperti penuh warna. Tapi sebersit kekosongan tiba-tiba terlintas.

"Kenapa?" tanya Darren yang melihat itu. Sung Yi seketika mengerjap tersadar.

"Ah?"

"Kenapa kau tiba-tiba memasang ekspresi itu?" tanya Darren sambil membenarkan tali tasnya.

Sung Yi berdeham sekali, "aku hanya merasa kehidupan kita bakal berubah banyak, bukan? Padahal sepertinya rencana bodohmu itu baru saja beberapa hari yang lalu."

Tangan Darren menarik belakang kerah Sung Yi seperti biasa. "Eh, aku membohongimu, dungu."

Giliran Sung Yi yang berputar takjub ke arah Darren yang menahan gelak tawanya. "Apa?"

Darren meledak. Ia tertawa sampai seluruh tubuhnya bergetar. Pemandangan itu adalah kali pertama Sung Yi melihat Darren tertawa sepuas itu. Wah, anak ini benar-benar. Jangan harap ia mendengar pujian gagah yang sempat Xiao Xing katakan tadi siang. Tidak akan pernah!

"Tenang saja, kau masih berhutang padaku. Lagipula, aku tidak akan secepat itu. Perasaan orang kan bisa berubah-ubah," sahut Darren semakin membuat Sung Yi mengernyit bingung. Tapi baru ia ingin menanyakannya lagi, ponsel Darren berdering. Ia mengangkatnya dalam satu kali bunyi.

"Halo? Ya, ini aku. Shasha? Kau mau ke sini?"

***

Perasaanku aja apa di sini Alan gemesin yak :3 btw, aku nggak sadar nulis sampai 1900 kata kwkwkw saking keseruan nulis bab ini kayaknya. 

Semoga part ini menghibur~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro