第十七天 (17)
Tian Mei sempat mengunjungi rumah lagi untuk makan bersama. Hari ini kursi meja makan tambah satu, sambil mengoceh tampilan baru Sung Yi, kakaknya, Sung Hee terus meramaikan suasana makan malam dengan teori-teori anehnya.
"Lagipula siapa sih yang masih tertarik dengan cewek cantik? Zaman sekarang ini, cowok lebih suka kalau otak cewek itu pintar. Sekedar penampilan saja bisa diubah, contohnya kau."
Tian Mei menyenggol sikut kakaknya. Nasi di mangkuk Sung Yi hanya habis setengah. Ia tidak tertarik menelan apa pun setelah Darren menolak untuk pulang bersama. Pikirannya soal cowok itu masih belum beranjak juga. Anehnya, Sung Yi selalu berusaha untuk tidak peduli, tapi semakin memikirkan kehidupan cowok itu, ia semakin sulit menyingkirkannya. Kenapa Darren harus menanggung semuanya sendirian, sih? Dan kenapa Darren tidak mau membuat kenangan untuk masa depan dengan cara yang lebih baik?
"Sung Hee, kau jangan berkata begitu. Sung Yi juga cukup rajin kok. Perhitungan rejeki orang untuk mendapatkan pacar itu sudah diatur. Kau tidak boleh merendahkannya," terang Tian Mei lembut. Ibu dan ayah sibuk mengunyah, memelototi Sung Yi yang terdiam lemas.
"Sung Yi, tidak biasanya kau lemas begini. Kenapa, hah? Ada yang melemparimu dengan kulit kacang lagi?"
Sung Yi pernah dilempari kulit kacang waktu kelas satu dari kakak kelas cewek yang menyebalkan. Untungnya mereka sekarang sudah lulus. Tapi tekanan itu tidak diambil pusing oleh Sung Yi, karena yang dilempari kulit kacang bukan hanya dia. Sha Yue dan Wei Wei juga kumpulan dari si Tidak Paling Dikenal di sekolah.
"Oh, apa kau di-bully anak sebelah? Sung Yi-a, ayo katakan pada ibu. Apa anak cowok di sebelah itu mengganggumu?"
Ayahnya sambil mengunyah udang goreng mengernyit bingung ke ibunya, "kenapa anak cowok di sebelah?"
Mata ibu mulai memelotot, "haduh, kau ini tidak tahu ya kalau sebelah kita itu anak gengster? Kata ibu-ibu di depan gang, beberapa bulan yang lalu anak itu selalu pulang babak belur. Wajahnya berdarah-darah. Memang sih tidak pernah mengganggu warga, tapi banyak yang khawatir soal dia. Karena tinggal sendiri," ujar ibu terus terang. Sumpitnya mengaduk-aduk nasi, melahap setengah mangkuk sambil kembali berujar.
"Sung Yi-a, lebih baik jangan terlalu sering bermain dengannya. Kau bisa kena kasus, anak berandal semacam itu tidak baik untuk masa depan. Kasihan betul dia. Apa orangtuanya memperhatikan?"
Sung Yi melirik ibunya yang berkata seolah-olah Darren itu anak yang dilahirkannya. Tapi mungkin itu perkataan yang dikeluarkan oleh ibu-ibu terhadap anak cowok yang punya riwayat buruk di mata orang asing. Padahal Sung Yi yakin sekali, Darren pasti melakukan itu dengan sebab. Ia tidak mungkin asal melakukan hal-hal konyol seperti itu tanpa alasan yang jelas.
"Kau bilang dia tinggal sendiri. Kenapa dia tinggal sendiri?" tanya ayahnya yang masih sibuk mengunyah. Tian Mei dan Sung Hee masih menyimak sementara Sung Yi kian malas ada di lingkaran ini terlalu lama.
"Entahlah. Mungkin dia anak pembangkang?" sahut ibu masih menekan tensi gosipnya daripada memberi informasi. Ayah hanya mengerut samar, mengunyah terus seakan mencerna cerita itu.
Tidak ada gunanya juga menjelaskan kalau Darren tidak seperti itu. Entah bagaimana, Sung Yi percaya Darren untuk beberapa fakta. Darren selalu menutupi hukuman, caranya memang agak sulit diterima, tapi seperti itulah Darren menjalankan hidupnya.
"Aku sudah selesai makan. Bu, tinggalkan saja cuciannya di bak, nanti aku turun untuk membereskannya. Aku harus membereskan tugas tambahan sebelum libur. Aku naik duluan ya."
Ibu dan ayah agak terperangah hendak menahan Sung Yi dengan sepasang sumpit, tapi Sung Yi yang langsung melengos naik ke kamarnya menghentikan sambatan itu.
Setelah masuk ke kamar dan berhadapan dengan tugas di depan matanya, otak Sung Yi masih belum bisa diam. Ia mengecek ponselnya, melihat pesan yang belum dibaca Darren. Anak itu sudah pulang belum ya?
Seketika ia menoleh ke luar, melongok lewat pintu geser di balkon. Mengecek apakah Darren ada di balkonnya. Tempat itu kosong ternyata. Malam sudah membentang, cuacanya cerah. Langit cerah dan bersih. Banyak sekali bintang yang terlihat bertebaran, tapi rasa penasaran Sung Yi membuatnya tak berniat mengangkut teropong seperti biasa. Tatapannya tergoda untuk menyebrangi balkon lewat dipan yang masih dipasang di sana.
Sung Yi memeriksa ke dipan yang menyanggah sekedarnya ke sisi balkon. Ia melihat ke jendela yang ditutup tirai. Kamar Darren lampunya nyala. Sung Yi mencari-cari kerikil yang waktu itu dilempar Darren lalu melemparnya balik ke jendela Darren.
Hening menjadi jawaban. Darren tak bergerak menyibak gorden. Entah dia ada di dalam atau tidak, tapi lebih baik mengeceknya sendiri daripada harus bergulat dengan rasa penasaran. Pelan-pelan, Sung Yi memanjat pagar balkon hati-hati. Ketinggian lantai dua memang tidak terlalu jauh, tapi tetap ada rasa menyeramkan waktu kakinya melangkah di perbatasan dipan itu. Jarak balkon itu mudah dijangkau, Sung Yi hanya perlu melebarkan kakinya lalu kedua tangannya mengerat kencang ke besi balkon rumah Darren. Ia berbalik dan memanjat ke dalam. Sambil mendeteksi keberadaan cowok itu, Sung Yi mengintip pelan lewat pinggiran jendela yang tak tertutup tirai.
Kamar Darren agak berantakan. Sebagian sisinya sulit terlihat. Ia beralih ke depan pintu kayu di depan kamar, berharap pintu itu tidak dikunci. Sung Yi memutar kenop pelan-pelan, lalu bunyik ceklek sekali terdengar.
Pintunya tidak terkunci.
Sung Yi membukanya berharap tak keluar suara derit yang biasa sering terdengar. Pandangannya beralih langsung ke depan kasur di bawah lantai. Sung Yi terperanjat waktu melihat Darren telungkup di atas lantai. Ia berlari masuk lalu mengguncang tubuh cowok itu.
"Darren! Darren! Kau kenapa?! Darren! Bangun ayo! Kau harus bangun! Darren!!"
Cowok itu tidak bergeming. Sung Yi mulai panik. Ia menatap kesekeliling. Memeriksa apa yang baru Darren lakukan. Sung Yi mengecek sisi tubuh Darren, ada beberapa memar di lengannya. Ia melongok, mengecek wajah cowok itu. Alisnya sobek sedikit. Ada bekas luka di sana. Kemarin belum ada, bukti kemarin bertarung?
Ya ampun, kenapa harus begini? Sung Yi beralih, berusaha membalik tubuh cowok itu tapi tenaga Sung Yi satu gram pun tak mampu membuatnya bergerak.
"Darren, bangun! Darren! Apa kau bisa mendengarku?! Darren! Kau tidak harus begini, jangan mati dulu!"
Sung Yi bangkit, ia mencari ponsel cowok itu. Hendak menelepon orangtuanya. Yah walau tidak tahu apakah itu berguna, tapi sebelum menelepon bantuan, Sung Yi tidak mau mengumbar keburukan Darren yang lain pada orang asing. Tapi sebelum Sung Yi beranjak, tangan Darren tiba-tiba mencengkram pergelangan kaki Sung Yi. Sung Yi menjerit kaget dan tersuruk jatuh.
Kepala Darren terangkat dari posisi telungkupnya, matanya mengerjap menahan kantuk. Ia menarik napas panjang sambil mengerang.
"Sedang apa sih kau? Berisik sekali."
Cowok itu bangkit berdiri masih setengah linglung lalu naik ke kasur dengan posisi berbaring. Matanya kembali memejam.
Hah? Apa yang baru saja terjadi? Kebingungan di wajah Sung Yi ditangkap Darren, cowok itu bergumam pelan.
"Aku cuma terjatuh dari kasur. Aku butuh tidur."
Sung Yi menyadari kengerian yang menyelimuti inci kulitnya tadi seketika hilang dan lenyap. Ia menoleh ke pintu balkon yang masih terbuka lalu kembali menatap Darren yang tertidur.
"Darren, kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi? Aku kan tidak perlu..."
"Eh dungu, kau itu tidak usah berlebihan. Kenapa sampai melakukan ini, hah? Tidak biasanya."
Perkataan itu membuat Sung Yi jadi teringat kekesalannya soal pertarungan dan hal-hal yang ditutupi cowok itu. Ia bangkit lalu berjalan ke sisi kasur sambil menahan napas kesal.
"Eh, siapa suruh kau bertarung tanpa menceritakannya padaku? Kau bilang kita teman, teman kan seharusnya saling membantu!"
Bibir Darren membentang tipis, tapi matanya masih memejam.
"Kau mau membantuku bertarung? Boleh. Kau masuk ke tim mulai hari ini."
Sung Yi duduk di sisi kasur, mengamati Darren serius.
"Maksudku adalah, kenapa selama ini kau bertarung Darren. Kenapa kau tidak mau membuat kenangan di SMA yang baik? Setidaknya untuk tidak membuat penyesalan untukmu."
Mata Darren pelan-pelan membuka. Cowok itu menatap langit-langit tanpa mengucapkan apa-apa untuk beberapa saat lalu hanya menghela napas panjang.
"Sudahlah. Tidak ada gunanya juga untuk memikirkan itu."
"Maksudmu?"
Darren mengerjap tak peduli, "aku sudah mengacaukan hidupku sejak masuk SMA. Kau tidak perlu repot-repot membantuku untuk memperbaikinya, lagipula..." Darren bangkit duduk sedikit untuk melihat Sung Yi.
"Kenapa kau tiba-tiba memedulikanku? Bukannya kau takut padaku?"
Sung Yi balas menatap cowok itu tak terima, "kau pikir aku sedungu itu? Weh, aku jadi penasaran sedungu apa aku di matamu."
Darren menyengir, "sangat dungu. Terlalu dungu sampai mau membela seorang Alan."
"Wei! Aku ini tulus. Lagipula, aku tidak akan peduli padamu jika bukan Xiao Xing yang meminta."
Kepala Darren langsung terpaku, ia menatap Sung Yi lekat-lekat.
"Xiao Xing?"
Alis Sung Yi ditaik-taikkan, berusaha menggoda dengan nama gadis itu.
"Kau harus berterima kasih padaku. Berkat mengajakmu kemarin ke kafe, dia terpesona waktu melihatmu belajar. Bahkan ya, tadi siang dia menanyakan soal permen kunyah yang selama ini kau berikan! Gila ya, kekuatan cowok memegang buku itu memang kuat banget! Apalagi makhluk garang sepertimu yang melakukannya. Kujamin, kalau kau terlihat seperti Alan, pasti kau sama populernya."
Sebelah alis Darren terangkat, "maksudmu aku kalah populer?"
Sung Yi mengernyit, "kau benar-benar perlu mengaca!"
"Berani-beraninya!" Darren melompat ke arah Sung Yi, menyerangnya dengan cubitan kecil di perut Sung Yi hingga ia harus terjungkal ke kasur. Sung Yi menjerit sambil tertawa minta ampun, tapi Darren terlalu sibuk untuk mengisenginya. Keheningan yang tadi melekat di antara dinding kamar perlahan menguap menjadi tawa dan candaan singkat. Darren terhenti waktu luka dj lengannya tanpa sengaja menyenggol jam tangan Sung Yi yang berusaha kabur.
"Ah!" Darren tanpa sadar mengeluh. Sung Yi berbalik dan melihat luka Darren, ia agak membeliak lalu menghampiri cowok itu. Luka di lengannya masih mengeluarkan darah dan memar di sekitarnya. Sung Yi mendecih, ia menatap Darren yang menarik tisu kering dari laci nakas.
"Lihat saja, habis bertarung luka masih belum kering tapi masih mau menyerangku." Sung Yi mengambil beberapa lembar tisu lalu membasahinya di wastafel toilet Darren.
"Tidak punya alkohol?"
"Alkohol buat apa? Luka itu lebih bagus tidak diobati," komentar Darren yang langsung kena jitak Sung Yi. Ia keluar sambil memeras tisu basah itu lalu menekannya ke luka Darren. Cowok itu mendesah perih sebentar. Sung Yi menaikkan tungkai kacamatanya lalu melirik Darren dengan tatapan menuduh.
"Baguslah masih bisa merasakan sakit. Mau kuberi saran?"
Gantian Darren yang menempelkan tisu kering untuk menutupi lukanya.
"Saran apa dungu?"
"Xiao Xing nampaknya menyukaimu kalau kau belajar. Bukankah aku punya saran bagus kalau misalnya kau berhenti bertarung lalu belajar rajin untuk mendapatkan Xiao Xing? Dengar, masa SMA itu lebih bagus jika kau membuat momen tanpa merasakan penyesalan di masa depan," Sung Yi berceloteh tanpa memperhatikan Darren yang menatap kosong. Sung Yi sibuk mengeluarkan plester dari kotak yang koyak di dalam laci, membantu cowok itu menempelkannya lalu menepuknya satu kali. Selesai mengobatinya, Sung Yi beralih ke Darren yang ternyata sudah memandangnya lebih dulu.
"Lalu rencana memutuskan mereka?"
Sung Yi mendecih sambil mengibaskan tangannya, "sudah kukatakan tidak perlu. Alan bahkan mengajakku untuk bermain sepatu roda. Begini lebih baik, bukan? Kau dan aku bisa mendekati impian kita dengan cara yang baik. Lihatlah aku!"
Darren tergelak takjub, "kau mendapatkan tawaran itu sebelum bertransformasi menjadi seperti ini."
"Seperti ini bagaimana maksudmu, hah? Eh, omong-omong, apa kau berminat mengajak Xiao Xing ke arena sepatu roda? Akan lebih seru kalau kita bermain berempat. Aku takut canggung jika berdua saja dengan Alan."
"Wah, kau serius?"
Sung Yi bisa merasakan jantungnya yang berdebar setiap membayangkan Alan yang waktu itu datang padanya. Rasanya masih seperti mimpi, tapi terlalu nyata untuk dipikirkan ulang.
"Kita harus membuat momen, sudah kubilang. Bagaimana?"
Kepala Darren menggeleng samar. Ia menyisipkan senyum kecil sebelum menatap Sung Yi lekat-lekat. Ketika Sung Yi mengira Darren akan menciumnya, cowok yang mendekatkan wajahnya itu malah menarik kacamata Sung Yi lepas dari wajahnya.
"Begini lebih baik," gumam Darren membuat Sung Yi mundur sejenak. Ia menatap Darren yang tersenyum.
"Ma—maksudmu...?"
"Kau bilang ingin membuat momen dengan Alan, kan? Kalau begitu kau juga harus membuat dirimu lebih imut daripada Xiao Xing. Dan begini lebih baik."
Ada desiran hangat yang mendorong tenggorokan Sung Yi untuk menelan ludah. Mata Darren yang lancip dan tajam seperti mata elang itu melebur tiap detiknya. Sung Yi mengerjap, menyingkirkan bayangan itu lalu beranjak berdiri. Memisahkan sengatan yang terasa aneh itu.
"Baik, baik. Aku paham. Tapi, berjanji padaku dulu bagaimana?"
Darren menghela napas panjang. Ia bangkit lalu mendorong Sung Yi keluar lewat pintu balkon.
"Lihat besok saja. Sana pulang, sebelum ada yang mencarimu."
Darren mengerling singkat lalu segera menutup pintunya. Sung Yi merasa tidak yakin dengan apa yang terjadi barusan. Tapi waktu ia berharap ada sesuatu yang sesuai ekspektasinya untuk beberapa hal, jantung Sung Yi justru terus berdebar pada sengatan aneh itu.
Sengatan waktu Darren menatapnya dalam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro