第二十八天 (28)
"Kau serius membawa mi instan itu? Ah, aku harus berterima kasih pada Yue Yue!"
Dari balik tenda, Sung Yi menahan keinginannya untuk merebus mi cup yang dibawa Alan dalam ransel besarnya. Alan hanya tersenyum lalu memberikannya satu, "cukup satu saja. Aku tidak mau dapat laporan omelan dari ibumu jika ketahuan," katanya. Hasil pengalaman Alan sejak beberapa bulan main ke rumah tapi malah makan mi instan. Padahal Sung Yi suka sekali mi instan, hanya saja ibu selalu melarangnya makan. Katanya, sesuatu yang pakai pengawet hanya mempercepat umur kita di dunia. Padahal, ibunya tidak tahu saja kalau Darren sering mentraktir Sung Yi mi instan waktu dulu masih belajar bersama.
Eh? Kenapa jadi memikirkan itu sekarang?
"Sung Yi, apa kau membawa termos besar yang kubilang kemarin?"
Sung Yi segera tersadar, ia mengangguk lalu berlari ke tendanya. Tempat ia dan Xiao Xing tidur.
Hari ini rencana menginap bersama untuk menghabiskan liburan kenaikan kelas akhirnya terlaksana. Sejak selesai ujian beberapa hari yang lalu, Xiao Xing dan Alan merencanakan libur akhir tahun di bawah kaki gunung yang ada di Distrik ZuoZhen. Mereka tidak benar-benar menginap, hanya berkemah santai di dekat rimbunan hutan arah perkemahan umum yang biasa dibuka.
Bersama Darren, Ze Hua, dan anak-anak Olimpiade lainnya, Sung Yi diajak karena Alan. Padahal ia sendiri sudah mau menolak karena perkunpulan anak Olimpiade cuma bisa membuatnya minder. Kalau bukan Alan yang membujuk, pasti Sung Yi lebih baik mendekam di kamar membaca komik.
"Ada di tasku," kata Sung Yi.
"Ayo kita seduh sekarang," bisik Alan setengah tertawa. Udara dingin mengembus dari bibirnya.
"Kau benar-benar menakjubkan."
Kemudian Sung Yi yang dihadiahi dengan diacak-acak rambutnya segera bangkit ke tendanya sendiri. Ada lima tenda yang di posisikan mengelilingi tumpukan kayu untuk api unggun tengah malam nanti. Udara di sekitar gunung sudah lebih gila lagi dinginnya. Mendekati akhir tahun, semua nampak membeku dan melambat.
Orang-orang sedang sibuk berkumpul di tengah sambil bermain gitar, menyanyikan lagu-lagu mengisi malam. Jangkring berderik, menjadi backsound mereka. Dari tengah kemah, acara bebas ini hanya menarik minat beberapa orang termasuk Darren yang sedang tertawa-tawa dengan salah satu cowok. Pertama kali, pemandangan itu terasa asing bagi Sung Yi. Biasanya yang ada di samping Darren adalah si narsis A Shu atau si kocak Liao Ren.
Xiao Xing melambai di tengah keseruan mereka. Sung Yi yang sudah menenteng termos melirik ke arah Alan sejenak, cowok itu tidak di tenda. Mungkin menyiapkan bakar-bakaran untuk api unggung sekalian.
"Ada apa?" tanya Sung Yi ke arah Xiao Xing yang duduk.
"Alan bilang dia dan Si Jiu sedang mengolah daging untuk api unggun. Ze Hua nanti akan mengurus kayu bakar. Apa kau bisa menyiapkan susu panas sementara aku menyiapkan peralatan makan?"
Sung Yi baru sadar kelompok menyanyi itu sudah pada bubar dan bersiap menyiapkan bakar-bakaran.
"Oh, oke oke. Kebetulan termos keramatku ada di sini!" ujar Sung Yi senang, setidaknya ia bisa membantu. Cowok-cowok mulai menyiapkan kursi, menggotong potongan kayu yang agak besar lalu mulai menyiramkan sedikit bensin untuk menyalakan api unggun.
Sejenak, Sung Yi tersadar, "ah, tapi di mana aku mengambil persediaan airnya?"
Xiao Xing yang sedang mengaduk-aduk kardus isi peralatan makan langsung terdiam. Ia menatap ke sekeliling sejenak lalu berseru ke arah cowok-cowok.
"Darren, bisakah kau temani Sung Yi sebentar? Ke pos depan buat ambil air!"
Jantung Sung Yi seketika berdegup, ia melirik ke arah Darren yang mengiyakan lalu berjalan menghampirinya. Sung Yi refleks memeluk termos semakin erat.
"Nah, kau bersama Darren dulu ya, aku harus membersihkan ini. Nanti susunya ada di kardus yang itu," jelas Xiao Xing sabar. Tidak masuk otak karena napas Sung Yi makin tersendat mendapati Darren kini sudah berdiri di sebelahnya.
"Oke," jawab Sung Yi ala kadarnya. Ia agak menoleh, Darren sedang menatapnya lebih dulu.
"Ayo Dung—maksudku Sung Yi."
Sung Yi mengerjap kecil lalu berjalan mendahului, "ayo."
Untuk melintasi pos itu, mereka harus mengikuti trek yang agak panjang dari tengah perkemahan. Jalur kemah sendiri letaknya agak ke dalam dari pos masuk. Udara di sekitar hutan dan jauh dari keramaian semakin dingin. Sedingin hubungan Sung Yi dan Darren sekarang.
Kalau dihitung-hitung, sudah berapa lama ya mereka tidak lagi tegur sama? Sejak akhir libur musim panas, bukan? Wah, itu hampir lima bulan jika mencakup Desember.
Tapi bukan masalah. Lagian Sung Yi tahu persis kenapa Darren menjauh. Dia hanya ingin fokus pada perubahannya yang drastis. Menjadi panutan baru, pemenang Olimpiade, contoh dari murid membanggakan versi Zong Bao laoshi, dan kekasih Xiao Xing—yang sekarang menjadi salah satu sahabatnya.
"Alan ke mana?" tanya Darren seketika.
Sung Yi melirik sedikit lalu menjawab acuh, "dia sedang mengolah daging bersama Si Jiu. Kalau kau tidak mau menemani, kau bisa bilang daritadi kok. Aku tidak apa-apa," ujarnya. Terdengar Darren menghela napas kecil, ia memasukkan kedua tangannya ke saku jaket.
"Aku tidak bilang tidak ingin menemanimu, bukan?"
Sung Yi menengadah, Darren sudah lebih dulu memandangnya setengah menunduk. Perbedaan yang signifikan waktu dilihat dari jarak sedekat ini adalah, rambut Darren yang kini membentuk poni terlihat sangat manis. Menutupi mata tajamnya sedikit, terkesan misterius sekaligus menawan.
Astaga, apa sih yang kau pikirkan!
Sung Yi segera membuang wajah, jantungnya mulai bergemuruh tak teratur dan langkah kakinya bergerak lebih cepat.
"Sung Yi," tahan Darren dari belakang. Ia menutup langkah tpai tak menoleh. Gemuruh dalam dada yang tadi ia pikir adalah sengatan pesona Darren yang baru ternyata salah. Itu adalah perasaan yang selama ini ia simpan jauh-jauh. Perasaan yang ia pikir tidak akan pernah muncul lagi tapi tiba-tiba menyesakkan dadanya.
"Apa kau tidak ingin bertanya sesuatu padaku?"
Setelah kau mendiamkan aku hampir lima bulan kau baru menanyakan ini sekarang? Yang benar saja?
Sung Yi tidak mau merasakannya tapi air mata itu sudah mengaburkan pandangannya. Ia tetap menjaga diri lebih di depan Darren.
"Bertanya apa?"
"Semuanya," sahut Darren pendek.
"Buat?" nada Sung Yi terdengar mencibir.
Kaki Darren berhenti tepat di belakang punggungnya. Jarak hangat itu terasa jelas. Persis seperti waktu musim panas bulan lalu ia memeluk punggung cowok itu di atas sepeda yang terlonjak. Di mana Sung Yi masih begitu menyukai momen itu dan bersyukur atas pertemanan itu.
"Buat hubungan kita?" kata Darren akhirnya.
Dengan napas tertahan, Sung Yi berbalik, ia mendongak ke arah Darren yang ternyata berdiri cukup dekat. Sung Yi menarik napas sejenak lalu berujar, "kita punya hubungan apa? Kupikir sejak awal kau tidak akan pernah menganggapku sejauh itu?"
Alis Darren menyusut, ia terlihat gugup karena melihat Sung Yi sekuat tenaga menahan air matanya.
"Kau... Bukankah bahagia bersama Alan?"
Sung Yi mengulas senyum lebar, "benar. Aku sangat bahagia. Apa kau pernah berpikir kalau rencana konyol kita bisa berhasil? Ah, sayangnya kau sudah terlalu jauh untuk membahas itu sekarang."
"Sung Yi," ucap Darren agak terbata, dari kantong jaket lapisan dalamnya, Darren mengeluarkan sebuah buku harian kecil yang kovernya polos. Ia memberikan itu pada Sung Yi.
"Apa ini?"
"Semoga itu bisa jadi permintaan maafku yang terakhir kali." Kemudian Darren berjalan mendahului Sung Yi yang kini menggenggam sebuah buku harian kecil itu. Waktu baru ia ingin membukanya, Darren yang sudah setengah berjalan lebih dulu menoleh ke belakang.
"Tolong jangan lihat itu sekarang. Ayo ambil air dulu."
Ketika sesuatu yang selama ini kita lihat dari dekat itu tidak pernah nampak, sekarang, setelah jarak mereka menjauh, Sung Yi baru sadar kalau perintah yang selama ini sering ia dengar, sebenarnya sebuah ajakan.
Ajakan yang sama seperti Alan lakukan dulu.
Apa kau mau mengisi lembar kenanganmu dengan cara yang baru? Setelah menyadarinya, Sung Yi pun tahu, kalau warna yang digambar dari atas sana lebih beragam daripada orang normalnya.
xx
Di tengah api unggun yang masih berkorbar kecil, Sung Yi menyelimuti dirinya dengan jaket tebal milik Alan. Ia duduk di bongkahan kayu yang dijadikan kursi sendirian. Cowok itu sudah tidur beberapa jam yang lalu sejak keramaian di tengah kemah ini masih berlangsung. Setelah menyalakan api unggun dan mengobrol, menghabiskan waktu bersama—ada yang main game, bernyanyi dengan gitar, menyalakan kembang api dan berfoto, semuanya pergi tidur di tenda masing-masing. Hanya Sung Yi dan Xiao Xing yang masih betah membicarakan rencana apa untuk kelas tiga nanti setelah besok pulang dari sini. Yang jelas, rencana Sung Yi tidak berubah. Ia akan terus belajar mengejejar nilai supaya bisa kuliah di tempat yang sama bersama Alan.
Sambil menyeruput cokelat panas keduanya, Sung Yi mendengar seseorang membuka tenda. Ia pikir Xiao Xing yang tersadar Sung Yi bangun, ternyata suara itu dari tenda Alan.
Cowok itu tersenyum, matanya sayu terlihat habis bangun tidur. Sung Yi balas tersenyum, memberi tempat sedikit di bongkahan kayu tempatnya duduk.
"Aku terbangun karena aroma cokelat panas." Alan mengintip ke gelas cokelat Sung Yi.
"Aku buatkan, ya?"
Alan mengangguk, membiarkan Sung Yi sibuk sendiri menyeduh cokelat panas instan yang ia bawa. Seharusnya nanti akan semakin banyak orang yang bangun dari tidur kalau begini.
"Kau tidak bisa tidur, Sung Yi?"
Gelas terkepul cokelat panas itu menguarkan aroma cokelat yang menusuk hidung. Sung Yi menyerahkannya ke Alan yang langsung menangkupkan tangannya.
"Sedikit. Rasanya masih sulit menyadari kalau besok kita sudah naik kelas tiga. Ujian universitas semakin dekat," lirih Sung Yi sambil mengintip Alan yang menyesap minumanya.
Mereka terdiam sejenak, mungkin sama-sama berpikir hal yang sama. Padahal baru semester awal kemarin Sung Yi berteriak-teriak di pinggir lapangan, tapi sekarang, Alan sudah duduk di sebelahnya. Menikmati suasana malam di tengah perkemahan dan langit yang cerah. Di depan api unggung, bukankah ini suasana yang romantis? Tapi buat Sung Yi justru ia sedikit tertekan.
"Lebih baik jangan terlalu dipikirkan. Menurutku, semua hasil ujianmu akhir-akhir ini sudah bagus, kok."
Wajah Sung Yi dipangku ke kedua lututnya yang dipeluk, "kau benar. Tapi tetap saja aku sering membayangkan kalau aku selalu tertinggal. Kau tahu, kadang aku sendiri masih sulit menyadari kalau aku ini pacarmu."
"Kenapa bisa?"
Sung Yi terdiam cukup lama untuk menjawab itu. Pikirannya berkecamuk dan jika suara-suara di kepalanya berhenti, bayangan Darren menyerahkan buku harian itu muncul. Dan itu terus mengganjal.
"Sung Yi, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Alan pelan. Suaranya merasuk penuh kelembutan, membuat jantung Sung Yi berdebar pelan, ia menoleh ke arah Alan, menatap mata teduh cowok itu. Alisnya mengerut, tampak kekhawatiran yang Sung Yi rasakan.
"Alan, apa kau merasa aku ini bukan teman yang baik?"
Gelas Alan diletakkan di pinggir kayu, ia menggeser mendekat.
"Apa ini masih soal Darren?"
Kepala Sung Yi langsung terangkat, ia berharap mengenyahkan itu, tapi tatapan tulus dari mata Alan membuatnya tak kuasa. Ia menelan ludah sejenak, lalu membiarkan Alan membaca pikirannya.
"Kau masih belum tahu kenapa dia selama ini mendiamkanmu, bukan?"
Sung Yi mengangguk lemas, lalu ia menjawab, "walaupun aku pernah bilang kalau aku ini maklum, tapi sebenarnya aku tidak bisa. Aku terus memikirkan apakah ada yang salah denganku sehingga dia menjauhiku begitu saja? Tanpa kabar, tanpa cerita. Setelah aku berteman selama itu..." hidung Sung Yi beringsut tajam, ia menunduk, tak ingin membiarkan ucapannya semakin terdengar serak dan menyedihkan.
"Kau hanya terlalu peduli padanya," kata Alan sedikit membangkitkan minatnya lagi, tapi ia melanjutkan, "kau tahu kenapa aku menyukaimu? Waktu Xiao Xing bilang kalau kau orang yang berusaha untuk membantu Darren—kurasa jarang sekali ada cewek yang bisa berteman dengannya."
Pelan-pelan Sung Yi melirik Alan yang menatap ke kobaran api yang masih tersisa di bongkahan kayu yang menghitam itu.
"Maksudmu?"
Alan menoleh, ia menatap setengah tersenyum, "kau tahu kan aku ini teman SMP-nya? Aku jauh lebih mengerti kenapa ia tidak mau didekati cewek-cewek. Katanya, cewek itu merepotkan, mereka sembilan puluh persen lebih dungu karena keturunan cewek biasanya paling lamban memproses sesuatu. Tapi, meskipun mereka lamban di otak, sebenarnya hatinya sangat perasa. Dia takut kalau suatu hari bakal bermain dengan perasaan karena setiap hari hubungan keluarganya cukup menguras perasaan dia sendiri."
"Kau tidak pernah menceritakan ini padaku," kata Sung Yi pelan. Ia menatap Alan yang mengangguk kecil.
"Itu karena Darren bilang dia tidak suka orang lain membuka masalah keluarganya. Tapi kalau itu kau, kurasa aku harus mengatakannya."
Masalah keluarga Darren yang Sung Yi tahu hanya sekilas dari Zong Bao laoshi waktu itu. Yah, semua anak sekolah pasti punya masalah keluarga. Baik dengan adiknya, kakaknya, atau dengan orangtuanya. Pilihan pribadi untuk kita menceritakannya atau tidak. Sementara Darren memilih diam dan langsung membuktikan kalau kebebasan yang ia miliki sudah ia capai selama ini.
"Lalu?" tanya Sung Yi lagi.
"Kurasa, kau hanya perlu jujur pada dirimu sendiri, Sung Yi."
"Jujur pada diriku sendiri? Maksudnya apa?"
Alan menghela napas pelan, lalu menyesap cokelatnya lagi, "Darren tidak akan meminta siapa pun ada di sampingnya kecuali orang itu ingin. Contohnya aku. Dulu, sebelum kami masuk SMA, aku bertanya apakah ia mau bejalar bersamaku lagi? Tapi semua pesanku diabaikan, teleponku, kunjunganku, bahkan setelah aku sadar kalau dia sudah pindah lebih dulu ke Tainan, aku tidak bisa menemukannya. Hingga kami bertemu di sekolah, yang dia lakukan adalah... mengabaikanku."
"Dia mengabaikanmu dan bermain dengan teman yang lain?"
Alan mengangguk, mendalami pikirannya pada bayangan cerita itu. "Yang kutahu, Darren berusaha mendapatkan kebebasannya. Ia mengira bahwa aku tidak mengerti perasaannya, jadi daripada membujuk seseorang untuk memahami itu, ia lebih baik berusaha sendiri. Mengabaikan aku dan membuat dunianya sendiri. Aku khawatir pada awalnya, tapi setelah berita dan gosip simpang siur kalau Darren berubah menjadi berandal, sejak saat itu, aku pasrah. Pernah sekali aku menghubunginya, tapi ia cuma bilang, kalau kita tetap berteman. Dan hari itu adalah saat di mana ia mengajakku untuk bermain sepatu roda. Kupikir dia bercanda, tapi nyatanya, dia mau bermain denganmu."
Bayangan Sung Yi terhenti di ingatan waktu Darren mengajaknya membolos. Untuk kali pertama, di lembar bukunya yang kosong, Sung Yi masih ingat jelas bagaimana perasaannya bolos dari sekolah. Walau ia tidak menyangka kalau perasaan lega itu benar-benar seluas pemandangan dari balik dinding sekolah, ia tidak pernah menyesali perbuatannya.
Justru, ia menginginkannya lagi.
"Bagi Darren, kau mungkin sesuatu di matanya. Mungkin kau kekhawatiran yang ia hindari. Yah, walau aku tidak tahu persis, tapi sebaiknya kau bertanya dan yang terpenting," Alan mengambil tangan Sung Yi dan memeluknya hangat, "kau jujur pada dirimu sendiri." Mata Alan menatap ke dalam mata Sung Yi. Sentuhan hangat itu melebur bersamaan perasaan lega yang sayup-sayup mulai terasa. Sedingin apa hubungannya dengan Darren setidaknya Sung Yi masih punya tempat untuk merasa kalau ia tidak pernah sendiri. Kenangan pahit itu selalu punya alasan. Dan inilah alasan Sung Yi bertahan.
Dalam satu gerakan, Alan menarik Sung Yi masuk ke dalam dekapannya. Bersama cokelat panas dan api unggun yang masih berkobar, malam tanpa bintang ini akan menjadi akhir atas perasaannya pada Darren.
***
Sebentar lagi menuju ending nih. Kira-kira apa yang kalian harapkan dari hubungan Darren dan Sung Yi ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro