第二十五天 (25)
Sung Yi jadi tersengat semangat sejak Alan dan Yue Yue bersenang-senang hari ini. Selang perjalanan pulang, Alan kembali ingin memaksa mengantarnya, tapi Sung Yi beralih menolak susah payah karena ia ingin Yue Yue cepat-cepat tidur. Kasihan gadis kecil itu, dua jam berputar-putar dan bermain di arena membuatnya kehabisan energi. Bahkan sampai tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.
Alih-alih kehabisan energi, obrolannya dengan Alan tadi siang justru terus teringiang-ngiang dalam benaknya. Membuat Sung Yi semakin kuat untuk merasakan degup jantungnya kembali. Setidaknya, dengan Alan yang terus ada di sampingnya, hal itu membuatnya lupa akan sosok Darren yang selalu ia tunggu tiba di rumah. Setidaknya, hal-hal kecil yang sering membuatnya tanpa sadar mengharapkan Darren, hilang hanya karena Alan dalam pikirannya.
Lagipula, mau sampai kapan mengharapkan Darren bisa selalu ada di balkon rumah? Dia kan sudah mau pacaran, Sung Yi harus membatasi itu dan membiarkannya fokus untuk Olimpiade dan menikmati perubahan hidupnya nanti. Tinggal beberapa hari lagi masuk sekolah, berita Olimpiade Fisika yang sempat teredam libur, pasti jadi obrolan seru buat anak-anak.
Siapa yang bakal mengira dalam setengah semester saja seorang Darren yang sudah hampir satu tahun dikenal sebagai Dewa Petarung, berandal, murid yang paling ditakuti cewek-cewek, sekarang berubah menjadi pesaing baru Alan? Kalau sampai orang-orang tahu apa yang membuatnya berubah, pasti semua cewek akan sama mengidolakan Darren seperti Alan.
Karena terlalu larut dengan pikirannya sendiri, Sung Yi nyaris tidak menyadari Darren yang sama-sama baru tiba di rumah tapi dari arah yang berlawanan. Shasha yang masuk ke rumah lebih dulu dengan wajah cemberut mengabaikan Sung Yi yang berjalan ke arahnya. Aneh sekali, kaki Sung Yi berjalan tanpa perintah otaknya.
"Kalian habis dari mana?" tanya Sung Yi melihat Shasha sudah menghilang dari dalam rumah. Darren menghela napas, rambut jambulnya yang dulu sering ditaikkan ke atas, sekarang jatuh membentuk poni.
"Dari rumah Xiao Xing."
Ah, benar juga, tadi siang kan ia sudah melihatnya di telepon Xiao Xing.
"Kau sendiri?" tanya Darren balik. Ia melirik Sung Yi yang hanya membawa tas selempang kecil, "sepertinya bukan dari belajar bersama. Wah, kau habis kencan ya?" Wajah Darren yang sedikit menunduk, tersenyum lebar. Sung Yi mengernyit, "kencan atau bukan, itu tidak ada urusannya denganmu."
Darren mengangguk dibuat-buat, "oh begitu ya. Sekarang sudah mau sok rahasia-rahasiaan, nih?"
"Kau ini ya, harusnya sudah pacaran dengan Xiao Xing. Kenapa sampai sekarang belum menembaknya, hah?"
"Kenapa kau selalu memintaku buru-buru pacaran, sih?"
Sung Yi juga jadi bertanya sendiri, tapi ia segera teringat perasaan Xiao Xing yang sudah tidak sabar.
"Ya bukannya lebih baik? Lagipula, kau ini kan belum bisa membuktikan apa-apa, bagaimana kalau nanti ada cowok lain yang lebih menduluinya?"
Darren mendecak malas, "ya kalau begitu aku biarkan saja."
"Mana bisa begitu!" Bagaimana bisa dia ngomong santai begitu? Padahal dulu siapa coba yang berencana memutuskan Alan dan Xiao Xing? Aneh sekali.
"Kalau begitu, kapan kau bakal pacaran sama Alan? Atau sudah?"
Ditanya balik seperti itu, Sung Yi jadi kecut, "aku tidak tahu sih, tapi hari ini jantungku cukup lelah berdegup terus di sampingnya," cerita Sung Yi setengah melamun. Tidak tahu apakah ia benar-benar merasakan jantungnya yang lelah atau kakinya saja yang lelah. Tapi ia segera mendongak untuk mendukung perkataannya lagi.
"Aku hari ini habis bermain sepatu roda, jadi cukup lelah."
"Ah? Sepatu roda? Wah sudah lama sekali aku tidak memainkan itu. Ayo kita main lagi!"
Sung Yi mengernyit ketus, "untuk apa ajak aku? Ajak saja calon pacarmu."
"Kenapa kau kejam sekali? Xiao Xing lelah kalau aku ajak ke tempat seperti itu. Kami mah lebih baik makan malam romantis. Nah, kalau sesuatu yang berbau fisik, lebih baik ajak kau saja."
"Kurang ajar!" Sung Yi menjerit setengah tertawa, tapi Darren buru-buru melintasi gerbang rumahnya sambil terbahak-bahak. Sebelum menutup pintu, Darren menyahut lagi.
"Besok jam sepuluh kutunggu di arena!"
Pintu gerbang aluminium ditutup keras. Tanpa sadar keheningan yang menyambar membuat Sung Yi pelan-pelan mendengar sesuatu yang berdegup di jantungnya.
Tidak, jangan sekarang.
Sung Yi harus segera masuk dan buru-buru memikirkan kuis untuk belajar lagi.
xx
Sebelum tidur, Sung Yi tidak bisa menghentikan bayangannya soal rencana besok bermain sepatu roda lagi bersama Darren. Ia bahkan tanpa sadar memilah baju-baju yang bagus dari lemari. Bodoh sekali, buat apa juga memancing perhatian Darren? Sudah jelas cowok itu menyukai Xiao Xing, gadis cantik yang tidak akan pernah bisa ia saingi sampai kapan pun. Tapi pengaruh jantung yang berdebar-debar itu membuat otak Sung Yi tak berfungsi baik. Maka, cara untuk mengempaskan itu pelan-pelan adalah dengan menghadapinya.
Sung Yi membuka obrolan Wei Xin terakhirnya dengan Darren lalu mengetik pesan.
"Darren, kenapa kau menyukai sepatu roda?"
Setelah menekan Kirim, jantung Sung Yi malah jadi berdebar-debar lagi. Ia teringat ucapan Alan soal bagaimana ia melihat bibi pemilik arena terhadap cintanya tulus kepada almarhum suaminya. Alan bilang, cerita itu membuatnya jadi bisa berharap kalau suatu hari akan ada orang yang sama mencintainya setulus itu. Mungkin ini berhubungan dengan kondisi orangtuanya yang disayangkan.
"Kenapa, memang tidak boleh?"
Selalu saja jawabannya seperti itu.
Sung Yi segera mengetik balasan, "apa gara-gara kau tahu kisah bibi pemilik arena?"
Bukannya menjawab pesan, Darren malah menelpon Sung Yi. Ia galau sebentar, bertanya-tanya apakah lebih baik diabaikan atau dijawab. Tapi, ini kan hanya obrolan tidak penting, seharusnya ini masih wajarlah. Jadi cepat-cepat Sung Yi menjawab.
"Kenapa lama sekali mengangkat telponnya?" ucap Darren langsung dengan nada datar.
Sung Yi mengatur degup jantungnya lebih dulu baru menjawab, "kenapa memang tidak boleh?"
"Kau kan habis mengirim pesan ke aku, bikin aku jadi penasaran saja."
"Eh? Penasaran apa?" tanya Sung Yi bingung.
"Kenapa tiba-tiba menanyakan sepatu roda?"
"Ah, itu..." karena Sung Yi ingin saja tahu, tapi ia tidak menjawab itu. Tentu saja tidak. Pasti akan terasa canggung.
"Itu karena aku tidak mengantuk saja dan bingung kenapa kau selalu suka mengajakku ke arena sepatu roda. Apa kau pernah mengajak Xiao Xing?"
"Kan sudah kubilang, Xiao Xing sudah jarang ke arena. Aku lebih baik mengajaknya ke mall dan makan romantis."
Sung Yi menggerutu, "sok romantis."
"Terus, kisah bibi pemilik arena itu kenapa?"
"Kau tidak tahu?"
"Kenapa juga aku harus tahu? Dengar dari siapa?" Darren berkata menuduh, tapi itu membuat degup jantung Sung Yi pelan-pelan membaik. Percakapan ini yang seharusnya terjadi, seperti malam-malam sebelumnya di atap. Tidak memisahkan kecanggungan yang tiba-tiba membuat Sung Yi terus takut merasakan ini.
Lalu Sung Yi mulai menceritakan alasan Alan ke sepatu roda. Soal cerita bibi pemilik dan bagaimana Alan memfilosofikan hubungan mereka ke harapannya. Darren tentu berdecak, ia merasa jijik pasti.
"Klise sekali. Alan memang terlalu lembek."
"Jangan bilang begitu. Semua orang berusaha untuk menghadapi hidupnya. Memangnya kau tidak?"
"Tidak, aku bermain sepatu roda karena aku ingin membuat orang-orang menyukaiku saja."
"Dasar bocah aneh," tandas Sung Yi.
"Kau aneh."
"Kau lebih aneh!"
"Kau!"
"Dasar pendek!"
"Dasar—weh, Xiao Xing juga sepantar denganku loh."
"Tapi Xiao Xing—" Darren terhenti diucapannya sedetik lalu terdiam.
Dengan hati-hati Sung Yi bicara lagi di telepon, "ada apa?"
"Tidak ada," jawab Darren. Kemudian, "aku merasa hubungan kita agak menjauh, bukan begitu?"
"Ah?" Sung Yi setengah kaget, tapi ia segera mengelabui perasaannya, "wajar. Kita kan sudah hampir mendekati tujuan kita. Kau dengan Xiao Xing, aku dengan Alan. Lagipula itu berdampak baik kok."
"Begitu ya menurutmu? Aku sih tidak." Aku Darren membuat napas Sung Yi seketika terhambat, sebelum berujar, Darren menyisakan hening beberapa saat.
"Aku merindukan..." suara Darren yang terkadang terdengar keras, tiba-tiba merasuk lembut, meleburkan sebagian rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh Sung Yi.
"Aku merindukan memerintahmu, menarik kerah bajumu, membentakmu," lalu Darren tergelak tawa yang keras di teleponnya dan Sung Yi menjerit kesal. Bagaimana pun, Darren memang begini.
Setidaknya untuk waktu yang masih bisa ia miliki, Sung Yi masih bisa mendengar kata-kata menyebalkannya. Sebelum waktu tiba di garis finish, ini adalah malam-malam yang bakal Sung Yi rindukan entah sampai kapan.
***
Huhu aku merasa Darren jadi cowok yang paling aku sukain di sini deh. Dia bisa tau banget kalau Sung Yi emang pengin ngobrol sama dia. Peka aja gitu hiks. Oh ya, omong-omong barusan aja aku abis kelar nulis bab 30 yang di mana bab terakhir kita gengs :') gimana ya, rasanya campur aduk sih. Aku masih belum puas di satu sisi, tapi rencana sequel juga jadi menghantui. Jadi nanti ada cerita dari sudut pandang Darren dan Alan Sung Yi yang bakal jadi pasangan paling bikin iri di kampus :v Ngebayanginnya sih seru, tapi aku masih harus riset lagi buat dunia perkampusan di Taipei.
Makasih buat yang masih baca sampai sini, jangan lupa votes dan share ke teman-teman kalian kalau butuh cerita antimainstream hehe. Ketemu besok lagi yaw^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro