第二十三天 (23)
Orang bilang, cinta pertama adalah seseorang tidak mungkin kau lupakan. Itu benar, tapi bagi Sung Yi, cinta pertama adalah hal yang membuatnya sadar kalau orang yang ingin ia lihat terus sampai masa muda ini usai hanyalah sahabatmu. Selang perjalanan pulang, semburat oranye menyebar di langit. Ia dan Alan berpisah di depan persimpangan. Walau Alan memaksanya untuk mengantar pulang, tapi Sung Yi beralih menolak.
Hari ini terlalu banyak cerita yang ingin ia ingat sampai Sung Yi sendiri mungkin takut untuk memejamkan mata. Takut waktu akan membalik lembaran buku kenangannya terlalu cepat. Meski begitu, ini adalah hari pertama musim panas. Masih ada hari-hari menakjubkan lainnya yang harus dipersiapkan lagi. Sung Yi masuk ke rumah, mendapati makan malah telah disiapkan. Ia makan sebentar lalu bersih-bersih untuk belajar lagi.
Sesekali Sung Yi turun ke ruang tengah untuk menonton TV, lalu naik ke kamar lagi untuk mengerjakan kuis Fisika yang kemarin. Tapi lama-lama menghindari kepenatan, Sung Yi sendiri bosan. Ia menatap langit-langit kamar lalu merenung.
Bayangan Alan yang hanya beberapa sentimeter di sebelahnya, belajar bersama di kafe, mengobrol, menghabiskan waktu berdua, kadang bagi Sung Yi, itu masih terasa seperti mimpi. Padahal satu tahun yang lalu ia masih meneriaki Alan yang bermain basket di pinggir lapangan atau mengintip Alan yang sedang makan di kantin bersama gengnya sendiri. Kalau bukan karena Darren mengajaknya membolos, apa Sung Yi bakal bertemu Alan dan merasakan momen ini?
Sung Yi beranjak dan keluar kamar menuju balkon rumah. Langit seperti biasa, terang benderang menunjukkan bintang-bintangnya. Ia bisa melihat beragam lekukan rasi bintang, hanya dengan diam dan mengamati itu, hati Sung Yi jadi kembali terasa berdebar-debar. Seperti apa ya masa SMA ini akan berakhir? Ia hanya bisa menikmati setiap momen yang ada sebelum sibuk belajar. Soal universitas dan segala macamnya. Tentang Alan dan Darren, kemudian Xiao Xing dan kedua temannya. Kira-kira di masa depan nanti, apa mereka akan mengingat hari ini? Bagaimana pun, Sung Yi pasti tidak akan pernah melupakannya.
"Oi dungu," panggil seseorang dari atas Sung Yi. Ia terlonjak kaget lalu melihat ke atap dak yang ada di atas kamarnya. Kepala Darren terjulur dari perbatasan atap lalu menyengir.
"Darren? Sejak kapan kau di sana?"
"Kau mau naik?" tawar Darren menghiraukan pertanyaan Sung Yi. Ia kemudian menyusul Darren, menaiki tangga kayu yang menempel sedikit ke atap lalu menghampiri cowok yang sedang merebahkan diri.
"Apa hari ini pelajarannya berjalan lancar?" Sung Yi ikut duduk di sebelah Darren yang berbaring.
Cowok itu bergumam pelan, "baik sekali. Aku banyak membantu Xiao Xing."
Sung Yi memelotot sambil menoleh, "kau membantu Xiao Xing—wah."
"Kau sendiri bagaimana? Senang ya?"
Diam-diam Sung Yi meletakkan dagunya di atas lutut kaki lalu tersenyum kecil, "aku baru tahu juga kalau selain kalian teman SMP, kalian juga punya adik perempuan."
Teringat sekilas cerita-cerita Alan tadi siang soal keluarganya. Omong-omong soal adik perempuan, Sung Yi jadi berbalik penasaran dengan perkataan Shasha tadi pagi. Sejauh apa sih Xiao Xing di mata Darren?
"Apa yang dia katakan tentang adiknya?" tanya Darren sedikit kedengaran melamun. Tapi Sung Yi meladeninya.
"Dia cukup menyayangi adiknya. Bahkan, Alan sering membantu adiknya belajar walau orangtuanya sering tidak akur. Hm, mungkin kau sudah tahu bagian itu, tapi aku malah senang mendengar orang yang punya saudara dan mereka akur. Kadang aku iri untuk memiliki kakak yang perhatian seperti Alan."
Membayangkan Sung Hee yang amat menyebalkan kadang memang tidak enak. Yah, bagaimana pun, walau Sung Hee menyebalkan, kalau dia tidak pulang ke rumah sebulan karena sibuk ujian, pasti Sung Yi akan merindukannya.
"Jadi maksudmu aku tidak perhatian dengan Shasha?"
Sung Yi menoleh pelan ke arah Darren yang sedang menatap kosong langit malam.
"Aku tidak mengatakan itu."
Beberapa detik, Darren tidak menjawab. Tatapan lesu itu anehnya membuat Sung Yi terdorong untuk ikut merebahkan diri. Entah apa yang Darren lihat dengan matanya, apa yang ia pikirkan tentang sesuatu dalam otaknya, Sung Yi hanya ingin merasa Darren tidak kesepian.
"Tadi pagi aku bertemu Shasha kami sempat mengobrol sebentar," kata Sung Yi kini menatap langit bersama Darren. Cowok itu tidak menggubris, jadi Sung Yi melanjutkan lagi, "Shasha agak dingin, tapi aku langsung bisa melelehkannya. Ternyata, dia cukup menyukai Xiao Xing. Jadi waktu aku menyinggung kalau kau dan dia akan mendekati Xiao Xing, Shasha menyukaiku."
"Bagaimana bisa, dasar mulut ember."
Sung Yi tertawa sejenak, tapi ia meneruskan, "kedengarannya kau sudah menyukai Xiao Xing sejak lama, ya?"
Degup jantung Sung Yi berubah waktu ia melirik ke wajah Darren yang memandang sayu dari sebelah wajahnya. Pemandangan itu terasa berbeda hari ini. Wajah Darren yang cenderung kaku, kini jadi lembut waktu sinar-sinar seadanya menerangi lekukan rahangnya.
"Perasaan orang kan berubah-ubah, aku sudah pernah bilang padamu, bukan?"
"Maksudmu apa? Kau tidak menyukai Xiao Xing lagi?" tanya Sung Yi.
"Bukan begitu. Karena hubungan kami sekarang sudah dekat, aku jadi memikirkan hal-hal lain untuk kami habiskan berdua."
Mulut Sung Yi mengerucut, "ah, begitu ya. Kedengarannya pasti menyenangkan."
Darren agak melongok ke Sung Yi yang sudah beralih, "kau sendiri juga sudah menunjukkan perkembangan."
Sung Yi ingin tertawa, tapi ia tidak bisa. Gemuruh dalam dadanya nampak menyesakkannya untuk beberapa saat, jadi ia memilih diam untuk merasakannya saja.
"Omong-omong, kau sudah memikirkan universitas?" tanya Darren.
"Hm.. paling Universitas Chenkung atau Unviersitas Tainan. Harapanku tidak sejauh Alan yang mengincar Universitas Taipei," gumam Sung Yi waktu mengingat obrolannya dengan Alan lagi. Bagi murid sepintar Alan, hal itu pasti tidak sulit. Jadi Sung Yi lebih baik sadar diri sajalah. Ia juga masih mau merengek pada Sung Hee untuk membelikan ponsel apel. Bagaimana pun, fokusnya sekarang adalah belajar.
"Chenkung atau Tainan ya... hm, kedengarannya bagus kok. Aku jadi mau kuliah di sana juga."
Seketika Sung Yi berseru, "ayo kita kuliah bersama pasti ser—"
Darren agak melongok sedikit ke arah Sung Yi yang langsung menahan kata-katanya, "ah ya, kau pasti mau kuliah bersama Xiao Xing, kan. Maaf, aku lupa."
Diam-diam Sung Yi merutuki diri sendiri, lalu Darren menyahut santai, "betul sekali. Xiao Xing bakal mengincar Taipei. Lihat, kau harus berjalan dua jam untuk bertemu kami nantinya."
Ah, membayangkannya saja sudah menyebalkan. Seandainya otak Sung Yi sepintar Darren, seencer Alan dan secerdik Xiao Xing, pasti sekarang mereka tinggal merencanakan kencan ganda. Tapi sebelum itu, memangnya Alan sudah pasti bakal bersamanya? Lagi-lagi, ia merasa malah Darren yang lebih dulu sukses.
"Kalau kau dan Xiao Xing pacaran, aku jamin bukan hanya aku yang bangga, tapi Shasha pasti senang. Dia menyukai Xiao Xing sekali," ujar Sung Yi ringan.
Darren menjawab sekedarnya, "Shasha menyukai Xiao Xing karena sama-sama suka Matematika. Dia itu sama dungunya sepertimu. Berpikir kalau hanya ada satu orang yang bisa memahaminya di dunia ini selain Xiao Xing."
"Tidak buruk juga kok, berpikir seperti itu. Selama ada satu orang yang memahami kita, pasti rasanya akan baik-baik saja, bukan?" Sung Yi tersenyum membayangkan ada Sha Yue dan Wei Wei yang sejauh ini bisa memahaminya. Walau kedua anak itu cenderung mendominasi, tapi tetap saja, mereka adalah kedua sahabat Sung Yi yang pasti akan terus mengobrol hingga sepuluh tahun kemudian.
"Bagus sekali. Pemikiranmu akan membawamu ke hal-hal yang baik, dungu," kata Darren sekilas sambil menatap Sung Yi. Mereka berdua tertawa sejenak, memikirkan hal-hal ringan seperti tidak akan ada hari lain. Sebelum semuanya berubah terlalu cepat, Sung Yi hanya ingin memastikan kalau degup jantungnya sudah berubah arah.
xx
Seminggu kemudian waktu Sung Hee tidak pulang juga karena masih sibuk belajar untuk ujian, Sung Yi kedapatan paket dari ibunya. Ibu bilang itu dari Sung Hee. Ia bingung, padahal akhir-akhir ini kakak cowoknya tidak mengirimkan pesan apa-apa. Biasanya anak itu sering mengirim makanan dan camilan, yah kedengarannya sih manis, tapi itu termasuk jatah bulanan yang sering Sung Hee ambil paksa waktu Sung Yi masih SMP. Merebut makanan adik adalah hal paling seru, begitu kata Sung Hee. Maka setelah dia sudah sadar dan malu terhadap kedewasaannya, ia pun berbalik mengirimkan camilan-camilan untuknya.
Waktu Sung Yi beranjak masuk kamar, ia melihat sekotak dus kecil di atas kasur. Nampaknya bukan seperti dus camilan dari Taipei. Jadi dengan segera ia membuka paket itu.
Mata Sung Yi membelalak waktu ia melihat sebuah dus ponsel berlogo apel. Ia tertegun untuk beberapa saat, memastikan ini semua bukan khayalan lalu cepat-cepat dibukanya.
Demi apa, si idiot sombong itu?!?
"Ibu!!! Kakak membelikanku ponsel apel!!" jerit Sung Yi sambil tertawa terbahak-bahak, menatap ponsel elegan itu kini ada di tangannya seperti orang gila. Terdengar ibu berteriak tidak jelas dari luar, tapi peduli setan. Sung Yi segera menelepon si Idiot Sombong itu. Dengan debar jantung yang sudah melonjak dua kali lebih cepat, Sung Yi mengelus-elus tubuh ramping si ponsel apel idamannya. Wah, mimpi apa dia bisa dapat ponsel apel sebagus ini?
Sung Hee mengangkat setelah beberapa nada sambung, "halo?"
"Kak! Apa kau tidak sedang ingin menyuruhku melakukan sesuatu—"
"Sudah terima paketnya?" tanya Sung Hee.
Sung Yi mengangguk penuh semangat walau kakaknya tidak bisa melihat itu, "sudah! Wah, apa aku bermimpi? Kau tidak benar-benar menyuruhku apa-apa, kan?"
"Weh, tentu saja ada pertukarannya."
"Hah?!" Sung Yi berseru. Dasar si Idiot Sombong, selalu saja ada hal yang mengganjal di tengah arus rasa bahagia.
"Kau harus masuk ke Universitas Taipei untuk membayar itu. Ingat, ayah dan ibu perlu kau buat bangga. Bukan aku saja."
Baru saja Sung Yi ingin berteriak dan memprotes, tapi waktu mendengar perkataan itu terdengar serius, ia jadi menahannya.
"Kau serius?"
"Kau pikir? Aku menabung tiga bulan untuk membelikan ponsel itu. Untung saja murah, aku hanya menyisihkan sedikit dari gaji sambilanku."
Hidung Sung Yi mengernyit pedas. Baru saja kemarin ia iri dengan hubungan baik Alan dengan adiknya yang ia ceritakan dengan tatapan berbinar-binar, merasa bangga dengan adiknya yang rajin. Apa selama ini kakaknya juga menceritakan pada orang kalau Sung Yi sama membanggakannya seperti kakak?
"Kenapa kau bilang begitu?" alih Sung Yi berusaha tidak terbawa suasana. Ia mencengkram ponsel apel itu dengan erat.
"Aku tahu kau sedang berusaha menikmati masa SMA itu, tentu saja kau bebas memilikinya. Tapi percayalah Sung Yi, aku setuju soal itu. Karena kau harus menikmatinya sebelum kau sibuk belajar sepertiku. Maka dengan ponsel itu, aku harap kau membentuk banyak kenangan, dan yah, bayar hutangku segera."
Ponsel ditutup, Sung Yi termenung sejenak. Ia menemukan dirinya terdiam untuk beberapa saat lalu duduk di pinggir kasur. Ponsel apel itu nampak lebih bersih, elegan dan indah untuk dipandang mata. Dibanding ponsel anggur yang ia pegang di sebelahnya, tapi perbedaan itu yang membuat dorongan hati Sung Yi jadi merasa tertantang atas permintaan Sung Hee barusan.
Benarkah aku harus mendaftar ke Universitas Taipei? Kenapa si Idiot itu menumpukkan beban itu kepadanya di saat sekarang sih?! Sung Yi mengendus keras, tapi jika dipikir lagi, buat apa dia belajar keras untuk memperbaiki segalanya hanya untuk masuk Unversitas ChenKung? Tidak ada yang buruk dengan Universitas mana pun, tapi kalau ia pergi ke Taipei, pasti bakal ada buku baru untuk membentuk kenangan setelah masa SMA, bukan? Selama hidup berjalan, seharusnya bakal ada kisah lain yang pasti akan ia kenang hingga masa tua. Bukankah itu bisa lebih baik dan bagus? Ia bisa berkuliah bersama Alan dan Xiao Xing, dekat dengan kakak, lalu yang terpenting, hubungan ia dan Darren masih akan sedekat ini. Pasti akan sangat seru, bukan?!
Memikirkannya saja membuat Sung Yi jadi tak sabar. Ia melihat buku yang masih bertebaran di atas meja belajar. Sambil menelepon Alan untuk mengunjungi rumahnya, ia harus cepat-cepat belajar kembali. Demi membayar apa yang sudah ia dapat dan akan ia dapat dari semburan rasa semangat ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro