Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

第二十一天 (21)

Darren mengayuh sepeda Sung Yi di tengah udara panas yang mulai menyentuh kulit-kulitnya. Dari sebrang taman sembilan di jalan Dongrong menuju kompleks rumahnya, Sung Yi sudah bisa merasakan aroma daun dan tanah yang beralih dari musim semi ke musim panas. Aroma kering yang berpadu suhu panas. Membuat Sung Yi semakin menyukai embusan angin yang menampar wajahnya lembut. Ternyata, menggunakan lensa kontak cukup efisien juga. Kebiasaan Sung Yi yang suka mengangkat wajah untuk meluruskan pandangan jadi tidak peduli dan hebatnya, hidung Sung Yi terasa ringan.

"Darren, apa kau tidak mau menceritakan padaku bagaimana akhirnya kau bisa diajak lomba Olimpiade Fisika?"

Sepanjang di kafe selama dua jam tadi, Darren benar-benar berubah menjadi laoshi Chen Dan yang menyebalkan. Sok-sok melatih rumus padahal memang hobinya saja yang melihat orang kesulitan. Yah, walau pada akhirnya Darren memberi tips-tips mudah dan soal berulang, hal itu cukup menempel di otak Sung Yi. Nanti malam, ia hanya perlu mengerjakan kuis lagi untuk mengulang materi hari ini.

Tanpa menoleh, Darren menjawab setengah berseru, "kenapa, hah? Kau iri, ya?"

"Jadi kau sudah pasti bakal melakukan aksi pendekatan, kan? Kau bakal melupakan pertarungan, kan?"

Jalan trotoar yang tak rata dihantam Darren, Sung Yi agak mencengkram ujung kemeja cowok itu waktu sepeda terlonjak sedikit dan bertahan di jok belakang.

"Kenapa sih kau selalu bersikeras kalau masa muda itu cuma di SMA?"

Sung Yi mengernyit mendengar itu. "Memang kau bisa dapat masa muda ini kapan lagi, hah? Beberapa tahun lagi umurmu juga dua puluh, kau akan disibukkan banyak sekali kegiatan kuliah, dan kau tidak bisa lagi merasakan cinta monyet karena SMA adalah sekolah paling santai sebelum universitas."

"Cinta monyet ya katamu. Jangan kebanyakan membaca novel di internet, otakmu jadi tidak sehat."

Sung Yi memukul pundak Darren, "otakmu tuh! Dengar kataku ya, setiap anak di masa remaja itu punya satu buku. Kau tahu itu buku apa?"

"Apa sih?" Darren bertanya malas.

"Buku itu adalah buku kenangan yang cuma hati dan ingatanmu punya. Buku itu memang tak kasat, tapi tanpa buku itu, ketika kau dewasa nanti kau tidak bisa melihat dan tidak bisa mengobrol dengan masa lalumu."

Darren menggeleng setengah tertawa miris, "Sung Yi, kau benar-benar teracuni oleh kata-kata orang dewasa yang sok tahu."

"Memang benar kok. Contohnya ibuku. Dia sering cerita kalau aku harus menikmati masa SMA. Yah, walau kita sibuk belajar, tapi justru di sana cara menikmatinya. Rasanya enak seperti kalau mencuil kue. Benar, tidak? Kalau kau memakannya sekaligus, pasti terlalu banyak, kan? Nah, kalau kau bisa sedikitnya membuat kenangan, itu bakal jadi hal yang indah sekali pun kau hanya mengingatnya."

Sepeda berbelok ke gang terakhir blok rumah, Darren belum menjawab sampai mereka sampai di depan rumah Sung Yi. Langit masih terang, belum begitu gelap. Tapi waktu sudah hampir menuju petang. Serat jingga mulai menampik di tengah cakrawala tanpa awan.

Sung Yi turun lalu menunggu Darren merespon.

"Lalu, apa kau menikmati secuil hari bersamaku?"

Pertanyaan Darren kontan membuat Sung Yi tertegun. Untuk beberapa saat, Darren menatapnya serius. Saking seriusnya Sung Yi sampai hampir merasakan degup jantungnya nyaris bergemuruh kalau bukan cowok itu sendiri yang tiba-tiba tertawa keras.

"Karena aku sangat menikmati hari-hari memerintahmu banyak hal! Hahahaha!"

Sung Yi menarik napas keras lalu menggunakan tenaga dalam, ia menggebuk tangan Darren yang berotot. Darren mengaduh sambil menyelesaikan tawa, ia turun dari sepeda sambil menyerahkannya pada Sung Yi.

"Dasar tidak pernah bisa diajak serius! Lihat saja ya, aku akan membalasmu."

Darren menjulurkan lidah sambil berjalan mundur ke rumahnya sendiri. "Wek, wek, coba saja. Dasar Sung Yi dungu, wek!"

Cowok itu berbalik masuk ke rumah lalu menutup pagar keras-keras. Hening menyambar bersamaan Darren menghilang, tapi tiba-tiba Sung Yi tertawa pelan. Sebelum sinar mentari tenggalam di hari pertama musim panas, Sung Yi merasakan sebuah jawaban samar yang terucap dari hatinya. Sangat pelan sampai ia sendiri tidak bisa mendengarnya.

xx

Setelah selesai makan malam dan mandi, Sung Yi mendapat pesan dari Alan. Ia menyapukan jari ke layar kunci ponsel lalu membuka Weixin. Sambil mengemil keripik kentang, ia mengeluarkan sekotak kardus berisi catatan tentang rasi bintang. Padahal ia mau mengerjakan soal, tapi apalah daya, langit hari ini terlalu indah untuk dilewati begitu saja.

"Liburan ini kau merencanakan apa?"

Sung Yi memandang langit-langit kamar. Apa yang ia rencanakan buat liburan ini ya? Ia sendiri belum memikirkannya. Sejak kejadian di sekolah yang bertubi-tubi mengelilingi kehidupannya, entah kenapa Sung Yi hanya mengikuti arus dan menikmati itu semua. Sha Yue pergi ke Beijing, mengunjungi keluarga neneknya di sana. Mungkin satu minggu penuh ia baru pulang. Sementara Wei Wei bakal ke Taipei. Seperti tradisi tahun sebelumnya. Mereka semua punya rencana, apa cuma Sung Yi yang bakal menghabiskan waktunya di Tainan? Tahun lalu Sung Yi dan keluarganya pergi liburan ke Malaysia, mengunjungi saudaranya yang mau menikah. Tak banyak kenangan bagus, tapi setidaknya ia sibuk dan bisa saja melupakannya langsung.

"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya aku akan belajar untuk menyambut semester depan. Nilaiku belum cukup untuk seleksi masuk universitas kelas dua belas nanti."

Ia beranjak keluar balkon sambil menggotong kardus tadi. Langit malam yang membentang di atasnya bersih. Sung Yi mendesah kagum waktu bintang berkelip-kelip memenuhi gelap. Ini saat yang bagus. Ia buru-buru masuk lagi untuk menggotong teropong keramatnya keluar, tapi langkahnya tertahan waktu mendengar seseorang asing dari balkon rumah Darren.

"Kau siapa?"

Sung Yi menoleh pelan, memastikan kalau ia tidak salah mendengar. Tatapannya beradu dengan seorang gadis cantik memakai gaun tidur selutut berdiri di depan pagar pembatas. Tangannya bersedekap di depan dada dengan alis tebal saling bertaut. Gadis itu jelas bicara dengannya. Tak ada orang lain di sekitar balkon, sementara Sung Yi balas tertegun penuh tanya, ia menyahut pelan.

"Aku Sung Yi. Kau ini—"

"Kenapa kau menempati rumahnya Kak Xiao Xing?"

Kedua alis Sung Yi menaik. Ia mengerjap beberapa saat lalu terkekeh, "ah, itu. Xiao Xing sudah pindah, dan aku baru pindah awal musim semi kemarin."

Gadis itu tak menjawab untuk beberapa saat. Ia malah meneliti Sung Yi dari atas sampai ke bawah. Mengikuti arah pandangnya, tiba-tiba Darren muncul dari balik pintu.

"Shasha," panggilnya seketika. Darren terpaku sejenak, Sung Yi mengendikkan bahu lalu cowok itu mendekat ke gadis itu.

"Adikku dari Taipei," kata Darren bermaksud mengenalkan tapi gadis itu lebih dulu berbalik masuk ke rumah.

Adik? Darren punya adik?

"Maaf, dia memang agak—" telunjuk Darren berputar di sebelah kepalanya lalu sambil menyengir ia memanjat menyebrangi balkon menggunakan dipan seperti biasa.

Sung Yi yang masih berusaha mencerna apa yang baru terjadi tiba-tiba merasa bingung.

"Adikmu?"

Darren mengagguk antusias, ia lalu menengadah melihat ke atas. "Wah, ayo cepat keluarkan teropongmu! Aku mau lihat!"

Sung Yi hendak bertanya, tapi ia harus menahannya sampai momen yang tepat. Setelah keluar dari kamar, menggotong teropong ke rooftop di atas kamar, hening disertai semilir angin malam mulai menyerap akrab. Sung Yi memanjakan matanya beberapa saat, memandang luasnya angkasa dan berpikir bagaimana bisa ada kehidupan yang indah menjarak dari tempatnya berdiri. Sementara Darren bergumam kagum menggunakan teropong, Sung Yi menatap punggung cowok itu sejenak.

"Darren, kenapa adikmu tiba-tiba ke sini?"

Darren langsung menjawab tanpa beralih, "kenapa? Memangnya adikku tidak boleh mengunjungi rumah?"

"Bukan begitu. Kau tidak pernah menceritakan apa pun soal keluargamu, aku tidak tahu kalau cewek tadi adikmu. Ia cantik sekali, berbeda denganmu."

Darren mengangkat wajah dari teropong, meluruskan alisnya masam, "apa maksudmu?"

Sung Yi berlagak manggut-manggut, "yah, kurasa dia tipe yang dikejar-kejar di sekolah, bukan?"

"Dia tipe yang merepotkan dan dibenci teman-teman sekolahnya," kata Darren.

"Benarkah? Ternyata tidak jauh perbedaannya." Sung Yi memberi kesimpulan yang langsung di damprat Darren dengan melotot. Cowok itu berdeham, ia beranjak duduk bersama Sung Yi. Menatap malam dengan bintang-bintang memperhatikan mereka. Suara derik jangkring menemani desiran daun yang terkena angin.

"Dia itu suka menjadi pusat perhatian. Dia pintar, tapi dibenci karena sombong. Aku tidak sepertinya," kata Darren yang membuat Sung Yi jadi tertarik.

"Lalu, apa kau bisa menjelaskan kau ini orang yang seperti apa?"

Darren agak menatap Sung Yi sebentar lalu membuang pandangannya ke langit malam. "Entahlah. Intinya, aku tidak sepertinya lah. Jangan bertanya lagi!"

Sung Yi diam-diam tertawa kecil, tapi Darren mengerut tak suka. "Kau tertawa apa sih, dungu?"

"Aku tahu kau seperti apa. Kau itu anaknya sok sekali. Selalu mau jadi pahlawan, bahkan kau sebenarnya sama dungunya sepertiku. Siapa yang mau membiarkan dirinya dihukum hanya demi kedua temannya lepas dari kepsek?"

"Eh, apa kau tidak akan melakukan hal yang sama jika kedua temanmu dijerat?"

"Hm. Entahlah. Kurasa, teman-temanku tidak mungkin juga lebih dulu melakukan hal bodoh seperti temanmu."

Darren agak menghadap Sung Yi dengan ekspresi berusaha memahami ucapan Sung Yi barusan.

"Dungu, baru saja tadi sore kau menasihatiku untuk menikmati waktu SMA. Ya seperti itulah aku dengan teman-temanku. Kau tidak bisa menilai kedunguan seseorang hanya karena membela temannya. Itu tidak adil."

"Mungkin kau benar," sahut Sung Yi kembali berpikir, "tapi, pertarungan tidak akan membuat masa SMA-mu indah! Aku jamin, kau pasti akan menyesal."

Darren tertawa remeh, "baiklah. Kita buktikan ya. Lagipula, semester dua nanti aku sibuk bersama Xiao Xing. Kemungkinan tidak akan bertarung juga."

Ini adalah kebanggaan tersendiri bagi Sung Yi. Apa pun itu, Sung Yi ingin Darren berhenti menyia-nyiakan waktunya untuk menjadi seseorang yang bisa lebih dari apa yang ia kira. Darren yang sebenarnya pintar Fisika, pintar main sepatu roda, gagah dan tinggi, ia bisa mendapatkan masa SMA dan menikmati hari ini demi memori indahnya. Dan Sung Yi ingin ia ada di ingatan Darren untuk beberapa tahun lagi.

"Omong-omong, kau tidak akan ke mana-mana liburan ini?" tanya Darren.

"Kau sendiri? Kau tahu aku hanya akan belajar untuk semester depan dan membenarkan nilai sebelum ujian kenaikan kelas."

Darren memandang ke atas langit, ia nampak berpikir sambil bergumam rendah.

"Aku juga tidak ada. Sibuk belajar untuk Olimpiade."

"Apa teman-temanmu sudah tahu?"

"Mereka sudah tahu, bahkan hanya kau dan semua orang di sekolah yang tidak tahu kalau sebenarnya aku murid beasiswa."

Ada pernyataan miris yang terselip di sana. Bagaimana Darren membentuk dirinya di atas opini anak-anak sekolah ternyata jauh melampaui apa yang sebenarnya terjadi. Dan Darren berhasil menyimpan kehebatan itu hanya bersama teman sekelasnya. Apakah ini juga sebab waktu itu Alan membela Darren dan kelas 11-4 yang terkenal berandal itu? Seketika tengkuk Sung Yi meremang. Ia jadi teringat perkataan Alan soal Darren yang bermain sepatu roda sendirian.

"Darren," panggil Sung Yi sedikit melirik cowok itu, "kenapa akau pergi ke sepatu roda sendirian?"

Darren mungkin sedikit tak menyangka dengan pertanyaan itu, tapi ia dengan cepat berkilah santai, "suka saja. Memang tidak boleh pergi ke sana sendirian?"

Diam-diam, semakin Sung Yi memikirkan banyak hal yang sukar ia sadari, Darren yang duduk di sebelahnya ini terasa jauh. Apa sebenarnya pertemanan yang mereka jalankan selama ini benar adanya? Atau jangan-jangan Darren jauh merencanakan sesuatu yang bahkan tak Sung Yi tahu?

"Kenapa, sih?" tanya Darren penasaran, "apa Alan memberitahumu sesuatu?"

Sung Yi menjawab dengan suara pelan dan melamun, "sekarang aku jadi tahu kenapa kau mengajak Alan waktu kita bolos. Kau sebenarnya sudah cukup kenal dengannya, kan?"

Kali ini Darren nampak menghindar. Terlalu banyak yang Sung Yi temukan di akhir kisah, ia hanya meratapi temannya itu.

"Tidak bisa dibilang dekat juga. Aku dan ia hanya teman SMP. Tidak lebih."

Mata Sung Yi melebar. "Benarkah? Wah..."

Darren menanggapi itu dengan santai, "cuma sebatas itu. Sudahlah jangan bicarakan Alan. Aku tahu kau pasti akan menanyakan hal instan tentang dia, tapi cobalah untuk mencari tahunya sendiri, oke?"

Padahal Sung Yi tidak ingin menanyakan tentang Alan. Malah yang mengejutkan, Sung Yi terlalu penasaran untuk menanyakan seperti apa sebenarnya wujud Darren? Jangan-jangan apa yang Xiao Xing bilang kemarin itu benar? Bagaimana jika Alan dan Darren diadu? Apa mereka punya kemampuan yang sama hebatnya? Wah, bisa-bisa dunia jungkir balik, kartu yang telungkup tiba-tiba terbuka hanya dalam sekejap. Darren bagai keajaiban dunia di mata Sung Yi.

Cowok itu mengeluarkan ponsel, menunjukkan layar pesan Weixin ke arah Sung Yi yang masih setengah membayangkan pertanyaan di kepalanya.

"Lihat, aku bakal dapat teman baru untuk menikmati waktu belajar. Apa kau tidak mau mem-booking-ku lebih dulu?"

Sung Yi mengernyitkan alis, "booking untuk apa?"

Darren menoleh tak percaya, "jelas untuk soal Fisika-mu. Urusan kita belum selesai, jangan harap kau kabur." Cowok itu beralih menunduk, asik mengirimkan pesan kepada Xiao Xing. Wajahnya setengah senyum-senyum, mungkin cowok itu sedang memikirkan bakal seasik apa kencan mereka berdua nanti. Malah yang mengejutkan justru Sung Yi tersenyum kecil dan merasakan kalau Darren yang dulu membuat kakinya gemetar karena merenggut kerah bajunya, kini menjadi teman yang duduk bersamanya di bawah bintang-bintang langit musim panas.

***

Kalian merasa nggak sih kalau Darren itu sebenarnya cukup misterius? Sedikit spill nih guys, aku sebenarnya antara merencanakan sequel dan side story. Jadi kalau setiap bab ada tanda bintang seperti ini (*) itu artinya akan ada side story dari pov Darren hehe. 

Tapi sebelumnya, ditunggu bab selanjutnya besok ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro