Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

第二十二天 (22)

Sinar matahari menembus tirai jendela yang tak tertutup rapat. Wajah Sung Yi terpapar sengatan hangat itu, ia mengerjap beberapa saat lalu mengulet sambil mengerang malas. Udara musim panas tercium segar, bercampur masak-masakkan ibu dari dapur, Sung Yi segera beranjak. Ia melirik ke jam di atas meja belajar, sekarang pukul sepuluh pagi. Seperti tradisi hari libur biasanya, semua keluarga pasti bangun siang.

Ibu tidak ke pasar, ayah membuka toko sore nanti. Dia bakal pergi ke peluncuran toko baru temannya siang ini. Berdasarkan filosofi orang tua, awal musim panas sering membawa rejeki. Yah, bawa rejeki atau tidak, intinya hari ini Sung Yi harus memulai liburan pertamanya dengan baik dan benar.

Sebelum pergi mandi, Sung Yi iseng mengecek balkon Darren. Mana tahu ia melihat gadis itu lagi. Walau belum tahu kenapa tiba-tiba adiknya datang—tapi di sisi lain, Sung Yi bisa tahu kalau ternyata Darren punya adik perempuan yang cukup... cantik sebenarnya. Dari atas nakas, suara ponsel Sung Yi berdenting sekali. Ia segera meraihnya lalu membaca pesan singkat dari Alan.

"Apa aku perlu menjemputmu?"

Sung Yi segera mengetik balasan, "eh, jangan repot-repot. Aku harus membantu ibuku memasak dulu. Apa kau sudah mau ke kafe?"

Alan membalas cepat, "tidak juga. Hanya jika kau ingin ke suatu tempat lebih dulu..."

Mata Sung Yi membeliak. Ia menatap kursor yang berkedip-kedip di kolom pesan lalu menahan senyumnya.

Apakah Alan sedang mengajaknya berkencan?

Dentum jantung Sung Yi seketika meningkat. Ia hampir melompat dari kasur lalu berlari ke balkon rumah. Ia mencari-cari kerikil untuk memanggil Darren, tapi jendela balkon cowok itu tidak bergeming. Untuk beberapa saat, sepertinya Darren sedang pergi? Sung Yi bertahan untuk beberapa saat lalu ia kembali masuk ke kamar dan membalas pesan Alan.

"Sepuluh menit?"

Beberapa saat, Alan kembali membalas, "boleh."

"Oke, tapi kita ketemu di kafe saja nanti? Kebetulan aku mau ke toko buku!"

Tanpa menunggu balasan, Sung Yi segera meraih handuk dan pergi mandi. Tak butuh waktu lama, ia bergegas mengecek penampilan. Mencari baju yang pas, memilah blus dan kaos serta celana jins ketat atau kebesaran. Cermin menjadi teman keputusannya. Sung Yi tak pernah bergi berdua bersama cowok lain kecuali Darren dalam balutan seragam, ia ingin benar-benar tampil cantik dan segar. Bagaimana pun, ia bakal menggunakan kemampuan ekstra yang sudah pernah diturunkan Tian Mei—pacar kakaknya itu—untuk berdandan. Ia menyisir rambut, membentuk poni rapinya dan memoles bibirnya sedikit lalu kembali melihat ke cermin.

Oke! Ini sangat oke! Sung Yi segera menyambar ranselnya dan turun ke ruang keluarga. Ibu berteriak ketika mendengar langkah tergesa-gesa Sung Yi menuruni tangga untuk sarapan, tapi Sung Yi balas menolak. Ayah yang memandangnya dari kursi ruang makan hanya menggumam pelan, "lihat anakmu itu, dia mau pergi kencan sepertinya."

Sung Yi terkekeh pelan, ia menyebrangi ruang tamu lalu berseru, "aku hanya mengenakan rok kenapa harus begitu tanggapanmu!"

Sebelum merekatkan tali, ibu Sung Yi muncul lagi dari dapur, kali ini kedua tangannya menggenggam mangkuk sayur.

"Eh Sung Yi kau mau ke mana?"

"Aku bakal belajar di kafe sampai sore. Sampai nanti!"

"Makan dulu!"

Terlambat, Sung Yi sudah keburu menutup pintu dan bergegas keluar. Entah semangat apa yang membuat ia antusias untuk buru-buru sampai ke kafe. Entah karena udara musim panas, atau sengatan sinar matahari yang begitu terik, tapi jika itu keduanya, Sung Yi tidak bisa menghentikan langkahnya yang setengah berlari.

Kecuali...

Tatapan Sung Yi terarah ke seorang gadis yang baru saja menutup pintu pagar rumah Darren di sebelahnya. Mengambil arah yang sama, gadis berambut panjang sepunggung yang mengenakan celana pendek jins dan kaos ketat yang dimasukkan seketika teralihkan ke arah Sung Yi yang mematung sejenak.

"Hai," sapa Sung Yi membenarkan tali tasnya dengan gugup. Ia memandang dirinya sendiri waktu gadis itu mengernyit ke arahnya. Apa yang aneh?

"Aneh, kenapa kakakku bisa bergaul denganmu."

Sung Yi mengernyit, ia cukup bisa mendengar perkataan itu lalu menyusul gadis itu.

"Eh, apa maksudmu bilang begitu?"

Gadis itu melirik ke arahnya, sambil menyusuri gang bersama, ia mendengus, "kakakku itu anaknya pilih-pilih. Kalau kau bukan cantik, berarti kau masuk ke kategori yang aneh."

Oke, sudah cukup sepertinya. Sung Yi harus membusungkan dadanya sedikit dan menarik percaya dirinya.

"Dik, kelas berapa sih kau ini? Darren dan aku berteman itu bukan urusanmu, loh."

"Memang bukan. Aku juga malas punya kakak sepertinya."

Dahi Sung Yi mengerut dalam, ia menoleh ke arah gadis itu, "maksudmu apa? Kalau kau tidak mau punya kakak sepertinya, kenapa kau pulang?"

Ia bersedekap, seakan enggan meneruskan obrolan. Tapi apa boleh buat, walau tak bertanya pun, Sung Yi bisa lihat kalau adik Darren ini nampaknya ingin pergi ke suatu tempat.

"Aku pulang juga karena terpaksa. Kalau bukan untuk memberikan beberapa formulir kampus, aku malas sekali."

Untuk beberapa saat, Sung Yi terdiam sejenak. Ia mengamati kakinya yang terbalut sepatu kets, mengikuti irama tebak-tebakan di dalam kepalanya.

"Darren bilang dia belum tahu mau kuliah di mana. Tapi bisa kuduga, ia bakal mengambil kampus yang sama dengan Xiao Xing."

Mendengar nama itu, adik Darren tiba-tiba menoleh sambil tersenyum, "kau serius?"

Sung Yi terbata sejenak, tapi kemudian mengalihkan ekspresinya lagi dengan senyum, "benar. Kuberitahu ya, gara-gara aku Darren bisa pacaran dengan Xiao Xing."

Kali ini reaksinya lebih terkejut, "mereka sudah pacaran?"

"Ah, belum sih. Tapi sebentar lagi, sedikit... lagi."

Jawaban itu cukup membuat adik Darren menghela napas lega. Wajahnya yang kaku dan dingin tadi tiba-tiba berubah lunak dan tersenyum. Ada binar kagum di matanya, sambil menyahut setengah mengkhayal, ia melanjutkan, "aku mengagumi Kak Xiao Xing. Kalau sampai kakak iparku bukan dia, aku pasti akan menuntut Darren untuk melakukannya."

Wah, Sung Yi merasa sengatan runcing dari angin menyeret kerongkongannya. Ia tergelak pelan saat langkah mereka akhirnya tiba di ujung blok. Persimpangan jalan terlihat, sinar matahari menyiram kota dengan suasana baru. Orang-orang nampak berpakaian lebih terbuka. Sudut-sudut jalanan banyak penjual es krim dan jus murah. Sebelum berpisah, adik Darren menyahut sambil mengulurkan tangan.

"Aku Shasha. Alasan kenapa aku mendukung Kak Xiao Xing bersama kakakku adalah karena hanya dia yang bisa membuat kakakku luluh."

Luluh? Bagaimana bisa? Bukannya Xiao Xing tidak mengenal Darren dulu?

"Kak Darren senang bertarung waktu dulu, tapi kalau bukan karena Kak Xiao Xing yang ternyata tetangganya, mungkin ia sudah lebih serampangan dari sekarang," jelasnya lagi. Sung Yi agak mencerna penjelasan itu. Sekali lagi, apa yang ada di masa lalu Darren, bagi Sung Yi, itu seperti sebuah kejutan. Ia bahkan tidak tahu kalau adik Darren bisa begitu mengenal sosok Xiao Xing.

"Bagaimana Xiao Xing melakukannya?" tanya Sung Yi sejenak.

Shasha menoleh sekali lalu menghalau sinar matahari yang terik menggunakan tangannya, "tentu saja dengan kepintarannya."

Setelah berkata demikian, Shasha menyebrang sendiri. Ia sempat melirik sekali, lalu langsung menyetop taksi dari pinggir jalan. Ia merenung di asap mobil yang simpang siur. Untuk sejenak, Sung Yi lupa ingin ke mana. Kalau bukan karena telepon Alan, mungkin ia bisa memikirkan perkataan Shasha seharian.

Bagaimana cara Xiao Xing—yang bahkan tak menyapanya sekali pun bisa mengubah Darren? Apakah itu juga alasan Darren menyukai Xiao Xing?

Sekilas, ucapan kakaknya terdengar, lagipula, cowok mana yang masih menyukai cewek cantik? Zaman sekarang, bukan hanya cantik, tapi cewek juga harus pintar untuk menarik perhatian cowok!

xx

Blok pertokoan di sepanjang jalan Minzu menjajakan beragam pelayanan. Restoran, warung kopi, toko emas, bar camilan, toko buah, dan beragam pusat perbelanjaan lainnya yang membuat blok Minzu itu tidak pernah sepi. Orang-orang mulai mengenakan pakaian ringan, menikmati obrolan sambil menjilat es krim atau minum teh dingin. Tidak ingin menghabiskan hari pertama musim panas di rumah kecuali mungkin Sha Yue dan Wei Wei.

Tadi pagi kedua temannya itu sudah ribut-ribut ingin pulang dan bermain di rumah saja. Pasalnya, ketika menginap di rumah saudara adalah kita harus mengikuti jam rumah pemilik rumah. Yang apesnya, Wei Wei, walau semua keluarganya pergi berkendara ke suatu tempat, Wei Wei malah harus menjaga adik-adik sepupunya yang masih kecil. Haha, kasihan Wei Wei. Sementara Sung Yi sekarang hanya perlu menarik napas lega dan melirik sedikit untuk bertemu cowok manis di sebelahnya ini.

"Sebenarnya, kau itu bukannya bodoh, kau hanya malas," komentar Alan waktu mereka berdua memasuki sebuah toko buku yang cukup besar. Letaknya agak ke tengah persimpangan blok yang ramai. Sung Yi berjalan ke bagian Gaozhong. Di sana banyak sekali buku-buku ujian yang tebal. Sung Yi langsung tertarik waktu melihat buku ujian IPA.

"Apa kau akan mengomentariku seperti Darren?"

Alan agak melihat judul buku yang diambil Sung Yi lalu tersenyum. "Memangnya Darren biasanya mengomentarimu seperti apa?"

Sung Yi terdiam sebentar, "dia biasanya bakal bilang, aku ini bukannya tidak pintar tapi malas. Malas itu pengaruh buruk untuk membiarkan chi kepintaran masuk. Sumpah, omongannya itu jadi kedengaran idiot jika diucap ulang."

Alan malah tertawa ketika mendengarnya. Sung Yi balas tersenyum, bagaimana pun, ucapan itu memang terlalu konyol untuk diucapkan seorang Preman Sekolah.

Ah, bukan Preman Sekolah lagi.

"Apa kau tahu kalau Darren bakal mengikuti Olimpiade Fisika?" tanya Sung Yi. Alan yang berada beberapa jarak darinya mengangguk samar.

"Tahu, itu bukan hal yang aneh lagi kok, buatku."

Seketika Sung Yi teringat kata-kata Darren semalam kalau Alan adalah teman SMP-nya dulu. Ia tahu seharusnya di saat berdua dengan Alan—momen yang paling ia impikan dari dulu—ia menikmati keberadaan Alan seperti sebuah buku dongeng. Tapi yang sebenarnya Sung Yi rasakan sekarang malah penasaran dengan Darren. Agak konyol juga, tapi apa boleh buat!

Sung Yi berjalan pelan ke arah Alan yang sedang mengamati buku ujian Matematika. Alan terkenal dengan juara Olimpiade Matematikanya. Wajar sekali ia mengangkat buku itu, wajah Alan dari samping jadi terkesan agung sekali. Tapi Sung Yi meneruskan pertanyaannya.

"Alan, kau dan Darren dulu satu SMP ya?"

Alan menoleh sekilas lalu berpindah lagi menatap buku, "benar. Tidak banyak yang mengetahui itu."

"Yah, memang. Termasuk aku. Tapi, mungkin aku sedikit tidak menyangka kau dan dia kenalan lama. Berarti waktu kau dan dia tanding di lapangan basket waktu itu, sebenarnya...kalian bukan sedang bertengkar?"

Kali ini Alan menghadap Sung Yi yang lebih pendek, "kau lihat sendiri, kan? Sebenarnya, Darren hanya mau kelasnya tidak dibubarkan. Sejak kelas sepuluh, semua orang mulai tidak nyaman dengan kondisi Darren yang seperti setan. Kadang muncul kadang tidak. Walaupun tidak muncul juga, hanya dengan bicara tentangnya orang-orang langsung takut. Aku sendiri tidak terlalu mementingkan Darren karena dia juga sudah tidak peduli tentang dirinya. Karena laporan yang terus berdatangan itu, Zong Bao laoshi juga jadi tidak tahan dan mau tidak mau mengajukan petisi ke kepsek untuk membubarkan kelas berandal itu. Tapi lebih dari kepedulian tentang diri sendiri, sebenarnya ia peduli dengan orang lain. Bahkan menurutku, cenderung konyol."

"Setuju. Apalagi waktu dia mau dihukum demi Liao Ren dan A Shu lepas. Menurutku itu kesalahan temannya yang bodoh, tapi Darren masih mau membantunya."

Sambil membalik halaman buku, Alan berujar pelan, "untungnya masih ada yang tidak berubah darinya."

Sejenak, Sung Yi jadi bertanya-tanya apa saja yang sudah berubah dari Darren SMP. Tapi kalau ia bertanya lebih, pasti kencan berkedok belajar bersama ini bakal hanya dihabiskan untuk membicarakan anak itu. Tapi lebih baik begini sih, Sung Yi tidak perlu merasakan jantungnya berdegup keras. Anehnya, ia merasa cukup tenang hanya karena membicarakan Darren. Alan benar, bagaimana pun, setiap orang boleh berteman dengan murid populer, dan Sung Yi mulai merasa terbiasa untuk menghadapi kenyataan itu.

Mereka ke kasir lalu membayar buku ujian yang dibutuhkan. Alan sempat membantu Sung Yi meletakkan bukunya di tas jinjingnya. Tangan mereka sempat bersentuhan, tapi waktu Sung Yi menatap Alan yang terlalu sibuk membantu sampai tidak menyadarinya malah membuahkan tanya.

Kenapa jantungnya tidak berdegup keras lagi?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro