Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6th letter: i think i'm in love

May 29th 2020


Ditulis pukul 7 pagi, tepat setelah aku terbangun dari mimpi.

SERIUS Nathan, aku pikir aku mulai gila.

Oke, kuakui menulis surat setiap bulan pada seseorang yang bahkan sekarang tidak kuketahui dimana keberadaannya atau bagaimana kabarnya sekarang adalah hal sinting. Awalnya, aku menulis surat sebagai bentuk ekspresi dan curahan hatiku karena rupa-rupanya, kamu selalu berhasil singgah dan memporak-porandakan isi benakku. Sebenarnya kamu itu zat adiktif model apa, sih?

Aneh. Aku tidak pernah mencoba nikotin dalam rokok atau alkohol dalam minuman keras. Tapi memikirkanmu terasa bagai candu yang sudah biasa kutenggak sehari-hari, bahkan efeknya lebih serius dari kafein.

Lucunya, kamu bak kutu yang melompat-lompatーditemukan tidak bisa, diusir pun susah. Satu malam, kamu muncul dalam mimpiku, seharian itu juga kamu terus-terusan menetap dalam kepalaku. Pekerjaanku jadi berantakan, dateline demi dateline kulewatkan, konten blog-ku yang bulan ini sudah terjadwal jadi amburadulーaku butuh satu minggu untuk menyusun ulang jadwalnya.

Tapi, di hari-hari lain Nathan (seringnya, malah), kamu sama sekali tidak muncul dalam mimpiku. Malahan, eksistensimu menjadi hal terakhir yang kukhawatirkan, jadi sudah jelas ini bukan cinta. Bisa dilihat dari tanggal tiap suratku yang berjarak dan tidak konsistenーbahkan, ada yang mencapai satu bulan. Seacak itu jadwal menulis suratmu, sampai-sampai aku sengaja menyempatkan diri mampir ke Miniso dan membeli laci plastik khusus untuk menyimpan semua surat ini.

Seperti sekarang, satu bulan sudah berlalu sejak terakhir aku menulismu surat. Dan baru kemarinーcatat, KEMARINーaku berpikir untuk berhenti menulis surat bodoh ini, kini aku malah menelan ludahku sendiri.

Oke Jonathan, aku serius.

Kenapa kamu selalu muncul di mimpiku?

Aku pernah baca di sebuah artikel online, ada 2 alasan mengapa seseorang kerap muncul di mimpi. Pertama, antara kau begitu merindukannya hingga alam sadarmu memanifestasikan kehadirannya dalam mimpimu (lebih masuk akal). Atau alasan kedua, orang itulah yang merindukanmu.

Aku tidak sedang merindukanmu akhir-akhir ini. Jadwalku memang lenggang, tapi aku punya kesibukan lain yang menyita cukup banyak waktu dan energi baik fisik maupun emosional. Jadi aku yakinーsangat amat yakin malahーbahwa bukan aku yang merindukanmu. Walau tidak masuk akal, aku mulai mempertimbangkan kemungkinan kedua:

Bisa jadi, kamu-lah yang merindukanku.

Tidak percaya? Baiklah, kupersingkat saja.

Aku rasa aku jatuh cinta.

Bukan denganmu, tapi dengan salah seorang pemuda yang kutemui di toko buku. Bisa dibilang seperti, jatuh cinta pada pandangan pertama, sebab kita belum terlalu dekat tapi aku sudah naksir duluan. Ia pemuda yang tinggi (sekitar 172 cm, aku yakin ia lebih tinggi darimu), tubuhnya cungkring dengan kulit putih kekuningan--khas orang-orang keturunan Tionghoa. Rambutnya lurus rapi dan tampak fluffy (editorku kerap berkata aku sangat buruk dalam mendeskripsikan tampilan fisik, jadi anggap saja aku sudah berusaha yang terbaik di sini), matanya tajam dan menukik, tampak proporsional dengan bentuk alisnya yang tidak terlalu tebal tapi juga tak terlalu tipis.

Soal gaya, ia bukan yang terbaik. Dua kali bertemu, kulihat ia hanya mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh dipadukan jeansーtapi justru itu yang kusuka. Sederhana, tapi memikat.

Harus kuakui, awal aku tertarik padanya karena penampilan fisik. Hari itu hari Minggu ketika kami berpas-pasan di aisle kamus. Aku hendak menuju rak komik, sementara dari arah berlawanan, kulihat ia sedang membawa dua tumpukan kamus Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia yang cukup tebal dan pasti akan jatuh kalau saja aku tak segera meletakkan tanganku pada tumpukan buku itu. Aku duluan yang mengulurkan tangan membantunya.

Ia melirikku dengan kikuk. "Makasih."

Aku mengangguk.

Kemudian, ia berjalan ke kasir dan aku lanjut berjalan menuju rak komik. Pertemuan pertama yang sama sekali tidak istimewa. Aku kira hanya berujung di sana pertemuan kami, sampai takdir membawakuーmembawa kamiーpada pertemuan kedua.

Masih di tempat yang sama; di toko buku lokal di ujung kompleks.

Hari itu, aku masih ingat ia mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dan celana jeans putih yang bagian bawahnya kotor dan bernoda. Ia berdiri di depan kasir, terlihat sedang berbicara dengan salah seorang pegawai di sana. Aku sengaja melihat-lihat rak "rekomendasi" dekat kasir untuk menguping.

"Beneran lagi kosong stoknya, Mas?" Ia menghela napas. "Tiga toko buku sudah saya datangi dan kosong semua. Saya lagi butuh banget ini."

"Iya, Kak. Buku yang kakak cari termasuk edisi lama, jadi sudah nggak nyetok lagi, Kak. Yang tahun 2019 aja gimana, kak? Kalau tahun lalu masih ada stoknya."

Alisnya tertekuk kecewa. Ia tampak imut walau sedang kecewa. "Nggak Mas, saya butuhnya yang edisi tahun 2015 atau 2016 boleh, deh."

"Wah maaf banget, kak. Kalau itu memang sudah nggak stok lagi."

"Ya udah, Mas. Makasih, ya."

Aku melirik buku yang ditawarkan di kasir. Buku latihan ujian nasional SMP edisi tahun 2015. Aku punya buku itu, aku ingat aku masih punya buku itu di salah satu rak berdebu milikku. Kalau aku bisa meminjamkannya ...

Percayalah, Nathan, hari itu aku tak tahu apa yang merasuki pikiranku dan dari mana keberanian yang tiba-tiba muncul hingga tanpa angin tanpa hujan aku langsung berkata, "Aku punya!"

Ia menoleh. Pemuda ituーyang tadinya sudah berjalan menuju pintu keluarーtiba-tiba menghentikan langkah. Ia sempat menatapku lama dengan kernyitan, seolah berusaha mengingat-ingat apa ia mengenalku. Ternyata, tidak. Sepertinya ia tidak ingat.

Ouch.

"Ah ... itu." Aku menelan ludah, berusaha untuk tampak tidak terlihat creepy. "Aku nggak sengaja denger kamu lagi nyari buku latihan UN SMP tahun 2015. Memang itu sudah sulit dicari sekarang, tapi aku punya."

Ia masih menatapku penuh kernyitan seolah berkata, "Oh. Terus?"

"Mungkin kamu mau ... pinjam?"

Satu detik berlalu. Dua detik. Tiga detik.

Aku sudah bisa merasakan keringat menetesi kening, dalam satu detik langsung menyesali keputusan impulsifku ini. Apa-apaan lelaki ini? Makhluk baja yang sok kuat? Aku sudah berbaik hati meminjamkan bukuku, lho. Kenapa reaksinya biasa begitu? Padahal tadi di kasir, sok-sokan marah dan kecewa. Kenapa tidak langsung terima bantuanku saja, sih?

"Siapa ...?"

"Oh, aku Sora." Aku menyodorkan tangan. "Kita pernah ketemu di toko buku ini, ingat?"

Ia menatap tanganku ragu, kemudian menjabatnya sembari mengangguk. "Alex. Di rak kamus, 'kan?"

Aku tak percaya dia ingat. "Benar! Muka kamu kelihatan familiar. Kamu langganan juga di sini?"

"Eh, enggak juga, sih." Ia mengusap leher, lagi-lagi tampak canggung. "Ini toko buku paling dekat kampus."

Saat mendengar kata "kampus", senyumku langsung luruh. Dia masih mahasiswa. Biar kuulangi, Nathan, pemuda iniーpemuda yang kutaksir iniーternyata masih seorang mahasiswa. Aku berusaha menelan saliva sembari memaksakan senyum kaku. "Oh. Semester berapa?"

"Delapan."

Mataku membulat. Otakku langsung melakukan kalkulasi cepat:

Kalau ia langsung kuliah setelah lulus SMA, berarti usianya sekarang sekitar 21 tahun. Sementara aku 23 tahun. Berarti, ia memang lebih muda 2 tahun dariku.

Ah. Aku sudah naksir adek-adek gemas.

Memikirkannya membuat aku malu sendiri.

"Jadi, bukunya? Gimana? Beneran aku bisa pinjam?"

Aku tersentak dari lamunanku. Kami bertukar nomor ponsel, kemudian begitu saja. Pulang. Sejak pertemuan kami yang terakhir meminjam buku, aku dan Alex bertambah dekat. Nyaris setiap hari kami bertukar pesan. Aku mengenalnya lebih dekat dan dia mengenalku lebih dekat. Dulu, aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyukai atau berpacaran dengan pemuda yang lebih muda. Kalau kamu tahu betapa labilnya aku, kamu pun pasti akan setuju. Bagiku pemuda yang lebih muda merepotkan dan manja.

Tapi Nathan, lagi-lagi, aku menelan ludahku sendiri.

Kurasa aku naksir dia, pemuda random toko buku yang ternyata lebih muda dariku.

Anehnya ketika semalam kututup dengan membaca ulang pesanku dengan Alex, aku langsung terlelap dan kamu hadir di mimpiku.

Wajahmu, suaramu, tawamu.

Seolah kamu hendak memperingatkanku untuk tidak jatuh cinta pada siapapun.

Seolah kamu ingin aku tetap pada posisiku sekarang: duduk dan menulis surat sambil menunggu kedatanganmu.

Padahal sudah bertahun-tahun aku menanti, dan setiap hari selalu sama. Tak pernah ada kabar darimu.

Entahlah Nathan, kadang-kadang sikapmu seperti ini membingungkan.

Ah, aku pasti sudah gila karena menyalahkan mimpi sekarang.


ーyang sedang pusing memikirkan jadwal pengganti konten blog,

Sora. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro